SULUK WUJIL

1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahsia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya
Sudah Wujil
Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada

6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tiggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namuni isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”

11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat

15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini

17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia

20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini

22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan

Karya : Kanjeng Sunan Bonang

SERAT WULANG REH PUTRI

Serat Wulang Reh Putri adalah teks Jawa yang berbahasa dan beraksara Jawa serta berbentuk tembang macapat yang terdiri atas, pupuh Mijil (10 pada atau bait), Asmaradana (17 pada atau bait), Dhandhanggula (19 pada atau bait), dan Kinanthi (31 pada atau bait).Serat Wulang Reh Putri berisi nasihat dari Paku Buana X kepada para putri-putrinya tentang bagaimana sikap seorang wanita dalam mendampingi suami. Isi nasihat itu antara lain bahwa seorang istri harus selalu taat pada suami. Disebutkan bahwa suami itu bagaikan seorang raja, bila istri membuat kesalahan, suami berhak memberi hukuman. Istri harus selalu setia, penuh pengertian, menurut kehendak suami, dan selalu ceria dalam menghadapi suami meski hatinya sedang sedih. Berikut ini adalah suntingan teks“SERAT WULANG REH PUTRI” beserta  terjemahannya.

 

Pupuh
M I J I L

 

  1. Ingsun nulis ing layang puniki / atembang pamiyos / awawarah wuruk ing wijile / marang sagung putraningsun estri / tingkahing akrami / suwita ing kakung //.

  2. Nora gampang babo wong alaki / luwih saking abot / kudu weruh ing tata titine / miwah cara-carane wong laki / lan wateke ugi / den awas den emut //

  3. Yen pawestri tan kena mbawani / tumindak sapakon / nadyan sireku putri arane / nora kena ngandelken sireki / yen putreng narpati / temah dadi lu p ut //

  4. Pituturraja Cina dhingin / iya luwih abot / pamuruke marang atmajane / Dewi Adaninggar duk ngunggahi / mring Sang Jayengmurti / angkate winuruk //

  5. Pan wekase banget wanti-wanti / mring putrane wadon / nanging Adaninggar tan  angangge / mulane patine nora becik / pituture yogi / Prabu Cina luhung //

  6. Babo nini sira sun tuturi / prakara kang abot / rong prakara gedhene panggawe / ingkang dhingin parentah narpati / kapindhone laki / padha abotipun //

  7. Yen tiwasa wenang mbilaheni / panggawe kang roro / padha lawan angguguru lire / kang meruhken salameting pati / ratu lawan laki / padha tindakipun //

  8. Wadya bala pan kak ing narpati / wadon khak ing bojo / pan kawasa barang pratikele / asiyasat miwah anatrapi / Sapra- tingkahneki / luput wenang ngukum //.

  9. Sapolahe yen wong amrih becik / den amrih karaos / pon-ponane kapoka ing tembe / nora kena anak lawan rabi / luput ngapureki / tan wande anempuh //.

  10. Amung bala wenang ngapureki / polahe kang awon / beda lawan rabi ing lekase / pan mangkono nini wong ngakrami / apaitan eling / amrih asmareng kung //

 

Pupuh
ASMARANDANA

 

  1. Pratikele wong akrami / dudu brana dudu rupa / amung ati paitane / luput pisan kena pisan / yen gampang luwih gampang / yen angel-angel kelangkung / tan kena tinambak arta // .

  2. Tan kena tinambak warni / uger-ugere wong krama / kudu eling paitane / eling kawiseseng priya / ora kena sembrana / kurang titi kurang emut / iku luput ngambra-ambra //

  3. Wong lali rehing akrami / wong kurang titi agesang / Wus wenang ingaran pedhot / titi iku katemenan / tumancep aneng manah / yen wis ilang temenipun / ilang namaning akrama //

  4. Iku wajib kang rinukti / apan jenenging wanita / kudu eling paitane / eling kareh ing wong lanang / dadi eling parentah / nastiti wus duwekipun / yen ilang titine liwar //

  5. Pedhot liwaring pawestri / tan ngamungken wong azina /ya kang ilang nastitine / wong pedhot dherodhot bedhot / datan mangan ing ngarah / pratandhane nora emut / yen laki paitan manah //

  6. Dosa lahir dosa batin / ati ugering manungsa / yen tan pi nantheng ciptane / iku atine binubrah / tan wurung karusakan / owah ing ati tan emut / yen ati ratuning badan //

  7. Badan iki mapan darmi / nglakoni osiking manah / yen ati ilang elinge / ilang jenenging manungsa / yen manungsane ilang / amung rusak kang tinemu / tangeh manggiha raharja //

  8. Iku wong durjana batin/ uripe nora rumangsa / lamun ana nitahake / pagene nora kareksa / ugere wong ngagesang / teka kudu sasar susur / wong lali kaisen setan //

  9. Ora eling wong aurip / uger-uger aneng manah / wong mikir marang uripe / ora ngendhaleni manah / anjarag kudu rusak / kasusu kagedhen angkuh / kena ginodha ing setan //

  10. Pan wus panggawening eblis/yen ana wong lali bungah / setane njoged angleter / yen ana wong lengus lanas / iku den aku kadang / tan wruh dadalan rahayu / tinuntun panggawe setan //

  11. Wong nora wruh maring sisip/ iku sajinis lan setan / kasusu manah gumedhe / tan wruh yen padha tinitah / iku wong tanpa tekad / pan wus wateke wong lengus / ambuwang ugering tekad //

  12. Iku nini dipunelin /lamun sira tinampanan / marang Sang Jayengpalugon /  ya garwane loro ika / putri teka Karsinah / iya siji putri Kanjun / aja sira duwe cipta //

  13. Maru nira loro nini /nadyan padha anak raja / uger gedhe namaning ngong / lan asugih ratu cina / parangakik Karsinah / rangkepa karatonipun / maksih sugih ratu Cina //

  14. Budi kang mangkono nini / buwangen aja kanggonan / mung nganggowa andhap asor / karya rahayuning badan / den kapara memelas / budi ingkang dhingin iku / wong ladak anemu rusak //

  15. Yen bisa sira susupi / tan kena ginawe ala / yen kalakon andhap asor / yen marumu duwe cipta /ala yekti tan teka / andhap asorira iku / kang rumeksa badanira //

  16. Lamun sira lengus nini / miwah yen anganggo lanas/ dadi nini sira dhewe / angrusak mring badanira /marumu loro ika / sun watara Jayengsastru / dadi tyase loro pisan //

  17. Telas pituturireki / mring putra Sang Prabu Cina / prayoga tiniru mangke /marang sakehing wanodya / iki pituturira / ing Tarnite Sang Aprabu / Geniyara gula drawa //

Pupuh
DHANDHANGGULA

  1. Lenggah madyeng pandhapa Sang Aji / lan kang garwa munggwing ngingdhadhampar / panganten estri kalihe / munggwing ngarsa Sang Prabu / duk wineling kang putra kalih / winuruk ing masalah / angladosi kakung / Prabu Tarnite ngandika / anak ingsun babo den angati-ati / abagus lakinira //

  2. Suteng nata prajurit sinekti / tur kinondhang Sang Prabu Jenggala / amumpuni sarjanane / ing pramudita kasub / wicaksana alus ing budi / prawira mandraguna / prakoseng dibya nung / ratu abala kakadang / amepeki musthikane wong sabumi / taruna nateng Jawa //

  3. Marma babo dibegjanireki / sinaruwe mring prabu Jenggala / pira-pira ing maripe / ing Jawa nggoning semu / wit sasmita wingiting janmi / babo dipangupaya/wiweka weh sadu / mungguhing paniti krama / wong alaki tadhah sakarsaning laki / padhanen lan jawata //

  4. Nistha madya utama den eling/utamane babo wong akrama / jawata nekseni kabeh / pan ana kang tiniru / Putri Adi Manggada nguni / wido dari kungkulan / ing sawarnanipun / lan sinung cahya murwendah / Citrawati sinembah ing wido dari / Putri Adimanggada //

  5. Garwanira rajeng Mahespati / Sri Mahaprabu Harjuna Sasra / tinarimeng Batharane / dennya ngugung mring kakung / mila prabu ing Mahespati / katekan garwa dhomas / saking garwanipun / putri Manggada kang ngajap / sugih maru akeh putri ayu luwih / yen ana kinasihan //

  6. Mring kang raka Prabu Mahespati / Putri Manggada sigra anyandhak / kinadang-kadang yektine / jinalukaken wuwuh / ing sihira kang raka aji / pan kinarya sor-soran / kang raka anurut / dadya sor-soran sakawan / Citrawati saking panjunjungireki / tinurut dening raka //

  7. Lega ing tyas anrus ing wiyati / murtining priya putri Manggada / limpat grahitane sareh / iku yogya tiniru / Citrawati guruning estri / nini iku utama / suwita ing kakung / tan ngarantes pasrah jiwa / raga nadyan anetep den irih-irih / ing raka tan lenggana //

  8. Nora beda nini jaman mangkin / ingkang dadituladan utama / putri Manggada anggepe / suraweyan Sang Prabu / manthuk- manthuk atudhang- tudhing/ putra kalih gung nembah /ing rama Sang Prabu /poma nini dipun awas / pan wano dyaden cadhang karsaning laki / den bisa nuju karsa //

  9. Aja rengu ing netra den aris / angandika Prabu Geniyara / tan kapirsan andikane / mung solah kang kadulu /heh ta nini madyaning krami / sumangga ing sakarsa / tan darbe pakewuh / manut sakarsaning raka / Citrawati waskitha solahing laki / mila legawa tama //

  10. Nisthaning krama sawaleng batin / ing lahire nadyan lastari  ya / ing wuri sumpeg manahe / ing pangarepan nyatur / nora wani mangke ing wuri / tyase agarundhelan / mongkok-mongkok mungkuk/ ing batin ajape ala / iya aja ana wadon kang den sihi / ngamungna ingsun dhawak //

  11. Tan kawetu mung ciptaneng batin / nisthanira tan wus saking driya / durjana iku ambege / pasthi den bubuk mumuk / bumi langit padha nekseni / nalutuh ing sajagad / dosane gendhukur / wido dari akeh ewa / ing delahan ing nraka den engis-engis / ing widodari kathah //

  12. Lamun nini nira den pasrahi / raja brana ing priya den angkah / branane wus den wehake /sayekti duwekingsu/ iku anggep wong trahiyoli / luwih nisthaning nistha / pakematan agung /dudu anggepe wong krama / baberan duba ruwun setan kaeksi / dudu si pating jalma //

  13. Setan kere pan anggawa lading / thethel–thethel balung wus binuwang / jejenising jagad kabeh / bebete wong anglindur/ tanpa niyat duwe pakarti / buru karep kewala / mring darbeking kakung / sanadyan pepegatana / duwek iku jer wus dadi duwek mami / jer ingsun wus digarap //

  14. Yeku budi satus trahiyoli / papalanyahan murka anungsang / nyilakani ing tanggane / lakon pitung panguwuh / ing tanggane kang denulari / aja na sasandhingan / wong mangkono iku / yekti kasrengat cilaka / bonggas gawe asandhing wong kena pidhir / reregede sajagad //

  15. Gawe kurang ambiyanireki /lah usungen dunya ing Mekasar / mung aja amurang bae / aja toleh maring / anggegawa regeding ati / lamun sira anyipta / yen atmajeng ratu / dadi gungan ing tyasira / wong akrama katon wong tuwanireki / anggandelaken ala //

  16. Ing akrama estri dadi adi / wus tinitah ing Suksma Kawekas /wus mangkana titikane/karsaning bathara gung / pangulahing hyang Hudipati / yen ana kang anerak / wong mopo ing tuduh / Bathara Suksma Kawekas / babendhu manungsa kang den upatani / dadi warit sakala //

  17. Saya lamun di suka ing Widhi / dadi manggih apureng delahan / kalamun den ingu bae / di sukana ing besuk / yeku ingkang ambab ayani / tanpa dadi delahan / yen mangkono kontang / poma nini den suwita / marang laki yen sira ginawa benjing / mulih mring lakinira //

  18. Sampun telas pitutur sang Aji / ing Tarnite Prabu Geniyara / sri atmaja kakalihe / pan prakara satuhu / yen tiruwa pasthi abecik / aja dumeh wong Buda / kang duwe pitutur / kaya sang raja ing Cina / aja dumeh-dumeh / kalamun wong kapir / tur majusi kapirnya //

  19. Nanging pitutur apan prayogi / mapan pirit pinet ing sarapat / lan kadis Rosulullohe / eklasna putraningsun / didimena raharjeng krami / nyuwargakken wong tuwa sira yen mituhu / marang wuruke si bapa / apan ana tatandhane ingkang becik / anganthia kang raharja //

 

Pupuh
KINANTHI

 

  1. Dene ta pitutur ingsun / marang putraningsun estri / den eling ing aranira / sira pan ingaran putri / puniku putri kang nyata / tri tetelu tegesneki //.

  2. Bekti nastiti ing kakung / kaping telune awedi / lahir batin aja esah / anglakoni satuhuning / laki ciptanen bendara / mapan wong wadon puniki //

  3. Wajib manut marang kakung / aja uga amapaki / marang karepe wong lanang / sanadyan atmajeng aji / alakiya panakawan / sayekti wajib ngabekti //

  4. Kalamun wong wadon iku / angrasa mengku mring laki / ing batine amarentah / rumangsa menang mring laki / nora rumangsa wanodya / puniku wataking laki //

  5. Iku wong wadon kepahung / bingung bintang kena wening / tan wurung dadi ranjapan / ing dunya tuwin ing akhir / dadi intiping naraka / kalabang lan kalajengking //

  6. Ingkang dadi kasuripan / sajroning naraka benjing / iku wong wadon candhala / iku tan bisa merangi / ing nepsu kala hawa / amarah kang den tutwuri //

  7. Iku poma putraningsun / anggonen pitutur iki / den wedi ing kakung nira / aja dumeh suteng aji / yen sira nora bektiya / ing laki tan wande ugi //

  8. Anggagawa rama ibu / kurang pamuruking siwi / iku terkaning ngakathah / apan esaningsun iki / marang Allohu Tangala / miwah ing Rosullullah//

  9. Sakabehe anak ingsun / pawestri kang kanggo laki / kinasihan ing kang priya / pan padha bektiya laki / padha lakinya sapisan / dipun kongsi nini-nini //

  10. Maksih angladeni kakung / sartaa dipun welasi / angoyoda arondhowa / warege amomong siwi / lan nini pitutur ingwang / estokna ing lahir batin //

  11. Lawan ana kojah ingsun / saking eyangira swargi / pawestri iku elinga / lamun ginawan dariji / lilima punika ana / arane sawiji-wiji //

  12. Jajempol ingkang rumuhun / panuduh ingkang ping kalih / panunggul kang kaping tiga / kaping pat dariji manis / kaping gangsale punika / ing wekasan pan jajenthik //

  13. Kawruha sakarsanipun / mungguh pasmoning Hyang Widhi / den kaya pol manahira / yen ana karsane laki / tegese pol kang den gampang / sabarang karsaning laki //

  14. Mila ginawan panuduh / aja sira kumawani / anikel tuduhing priya / ing satuduh anglakoni / dene panunggul suweda / iku sasmitaning ugi //

  15. Priyanta karyanen tangsul / miwah lamun apaparing / sira uga unggulena / sanadyan amung sathithik / wajib sira ngungkulena / mring guna kayaning laki //

  16. Marmane sira punika / ginawan dariji manis / dipun manis ulatira / yen ana karsaning laki / apa dene yen angucap / ing wacana kudu manis //

  17. Aja dosa ambasengut /nora maregaken ati / ing netra sumringah / sanadyan rengu ing batin / yen ana karsaningpriya / buwangen aja na kari //

  18. Marmane ginawan iku / iya dariji jajenthik / dipun angthag akethikan / yen ana karsaning laki / karepe kathah thik-thikan / den tarampil barang kardi //

  19. Lamun angladasi kakung / den keba nanging den ririh / aja kebat gerobyagan / dreg-dregan sarya cicincing / apan iku kebat nistha / pan rada ngose ing batin //

  20. Poma-poma wekasingsun / marang putraningsun estri / muga padha den anggowa / wuruke si bapa iki / yen den lakoni sadaya / iba saiba ta nini //

  21. Si bapa ingkang ananggung / yen den anggowa kang weling / wus pasthi amanggih mulya / ing donya tuwin ing akhir / lan aja manah anyimpang / dipun tumemen ing laki //

  22. Den maruwa patang puluh / tyasira aja gumingsir / lahir batin aja owah / angladeni marang laki / malah sira upayakna / wong wadon kang becik-becik //

  23. Parawan kang ayu-ayu / sira caosna ing laki / mangkono patrape uga / ngawruhi karsaning laki / pasthi dadi ing katresnan / yen wong lanang den tututi //

  24. Yen wong wadon nora angsung / bojone duweya selir / mimah lumuh den wayuh / ikuwong wadon penyakit / nora weruh tata karma / daliling Qur’an mastani //

  25. Papadhane asu bunting / celeng kobong pamaneki / nora pantes pinecakan / norawurung mamarahi / den doh sapitung pandahat / aja anedya pinikir //

  26. Kaya kang mangkono iku / balik kang dipun nastiti / marang wuruke si bapa / darapon manggih basuki / kayata yen maca layang / tingkahing wanodya adi //

  27. Pagene ta nedya tiru / kalawan ewa pawestri / kang kinasihan ing priya / apa pawestri parunji / miwah ta estri candhala / apa nora kedhah-kedhih //

  28. Ingkang kinasihan kakung / kabeh pawestri kang bekti / kang nastiti marang priya / dene estri kang parunji / candhala pan nora nana / den kasihi marang laki //

  29. Malah ta kerep ginebug / dadine wong wadon iki / tanpa gawe maca layang / tan gelem niru kang becik / mulane ta putraningwang / poma-poma dipun eling //

  30. Marang ing pitutur ingsun / muga ta Hyang Maha Suci / netepana elingira / marang panggawe kang becik / didohna panggawe ala / siyasiya kang tan becik //

  31. Titi tamat layang wuruk / marang putraningsun estri / Kemis Pon ping pitu sura / Kuningan Be kang gumanti / esa guna swareng nata / Sancaya hastha pan maksih /

Terjemahan Teks

 

PUPUH
M I J I L

 

  1. Saya menulis karya ini, dalam bentuk tembang, memberikan petuah dalam bentuk (tembang) mijil, kepada seluruh anak perempuan saya, (tentang) tata krama dalam perkawinan, mengabdi kepada suami.

  2. Tidak mudah orang bersuami, sangat berat, harus tahu aturan, juga harus tahu cara-cara orang bersuami, dan juga watak (lelaki), waspadalah dan ingatlah.

  3. Wanita jangan mendahului kehendak suami, berbuat semaunya (asal perintah) meskipun kamu itu putri, kamu jangan menonjolkan kalau putra raja, akhirnya tidak baik.

  4. Nasihat ratu Cina ini, sangatlah berharga, nasehat yang diajarkan kepada anaknya, Dewi Adaninggar ketika melamar, Sang Jayengmurti, ketika berangkat (dinasihati).

  5. Pesannya dengan bersungguh-sungguh, kepada putra perempuannya, namun Adaninggar tidak mengindahkannya, maka kematiannya tidak baik, ajaran kebaikan, Prabu Cina yang luhur.

  6. Engkau anak perempuanku, saya menasihati, perkara yang berat, dua perkara yang besar, yaitu: yang pertama perintah raja, yang kedua suami, sama beratnya.

  7. Kalau salah dapat berbahaya, dua perbuatan, artinya sama dengan berguru, yang menunjukkan keselamatan, kematian, raja sama dengan lelaki, (sama perbuatannya).

  8. Jika prajurit hak raja, perempuan hak suami, sangat kuat pengaruhnya, siasat maupun tindakannya, dan segala tindakannya, salah bisa dihukum.

  9. Segala tingkah lakunya, jika orang itu menuju kebaikan, supaya dirasakan tujuannya, kalau suami tidak memberi maaf, kelak istri dan anak akan melakukan perbuatan yang tidak baik.

  10. Hanya prajurit yang, bertingkah laku salah, berbeda dengan istri yang tidak bisa dimaafkan, memberi maaf itu keliru,anak istri akan melakukan perbuatan tidak baik, jadi harus eling, dan cinta kasih.

 

PUPUH
ASMARANDANA

 

  1. Bekal orang menikah, bukan harta bukan pula kecantikan, hanya berbekal hati (cinta), sekali gagal, gagallah, jika mudah terasakan amat mudah, jika sulit terasakan amat sulit, uang tidak menjadi andalannya.

  2. Tidak bisa dibayar dengan rupa, syarat-syarat orang berumah tangga, harus diingat modalnya, ingat kekuasaan laki-laki, tidak boleh seenaknya, kurang berhati-hati dan kurang waspada, kesalahan yang berlebihan.

  3. Orang yang lupa aturan berumahtangga, orang yang kurang berhati-hati dalam hidupnya, dapat dikatakan sudah rusak, teliti itu artinya bersungguh-sungguh, meresap dalam hati, jika sudah hilang ketelitiannya, hilang nama baik berumah tangga.

  4. Itu kewajiban yang harus dipelihara, karena hanya wanita, harus bermodalkan eling, ingat akan wewenang laki-laki, jadi ingat perintah, berhati-hati sudah menjadi miliknya, apabila tidak berhati-hati maka rusaklah.

  5. Perempuan yang rusak, tidak hanya pada orang berzina, termasuk orang yang tidak berhati-hati (tidak teliti), dinamakan “bejat” moralnya, tidak mengenal arah, pertanda tidak ingat, bahwa berumah tangga bermodalkan hati.

  6. Dosa lahir dan batin, hati menjadi pedoman, jika tidak khusuk ciptanya, pertanda hatinya kacau, bisa menyebabkan kerusakan, berubahnya hati karena tidak ingat, kalau hati itu rajanya badan.

  7. Badan adalah hanya sekadar pelaksana geraknya hati, melaksanakan kemauan hati, jika hati hilang kesadarannya, hilang sifat kemanusiaannya, apabila sifat kemanusiaannya hilang, hanya kerusakan yang didapatkan, tidak mungkin mendapatkan kebahagiaan.

  8. Itu orang yang jahat, tidak menyadari hidupnya, bahwa hidupnya ada yang mencipta, mengapa tidak dirawat, syaratnya orang hidup, jangan sampai salah langkah, orang yang lupa menjadi prbuatan setan.

  9. Tidak ingat tentang kehidupan, berpedoman pada hati, orang yang mengelak terhadap kehidupan, tidak mengendalikan hati, sengaja ingin merusak, terburuburu tingi hati (sombong), terkena godaan setan.

  10. Memang sudah menjadi perbuatan iblis, jika ada orang lupa menjadi senang, setan menari-nari dengan gembira, jika ada orang pemarah, itu dianggap saudara, tidak melihat jalan kebenaran, mengarah kepada pekerjaan setan.

  11. Orang yang tidak melihat akan kesalahan, itu sejenis dengan setan, tergesa-gesa menjadi tinggi hati, tidak tahu sama-sama dititahkan (diciptakan), itu orang yang tidak berpendirian, sudah menjadi watak orang pemarah, membuang pedoman yang menjadi dasar pedoman tersebut.

  12. Itulah anakku ingatlah, apabila engkau diterima, oleh Sang Jayengpalugon, yang istrinya dua itu, putrinya Karsinah, yang satunya putri Kanjun, janganlah engkau punya pikiran.

  13. Madumu dua orang itu, walaupun sama-sama anak raja, asal besar namaku, dan raja Cina lebih kaya, Parangakik Karsinah, walaupun rangkap kerajaannya, masih lebih kaya ratu Cina.

  14. Budi yang demikian itu anakku, buanglah jangan sampai kau miliki, gunakanlah rasa rendah hati, untuk keselamatan diri, berbuatlah agar dikasihi, budi yang pertama tadi, orang pemarah (sombong) akan berakibat celaka.

  15. Jika bisa engkau mengerti, tidak dapat dibuat jelek, jika berbuat rendah hati, jika madumu mempunyai niat jelek, pasti tidak akan terlaksana, sebab sikapmu yang rendah hati, yang telah bersemayam dalam badanmu.

  16. Namun, jika engkau sombong anakku, lebih-lebih jika “galak”, menjadikan dirimu, merusak badanmu sendiri, kedua madumu itu, ibaratnya “jayeng satru”, keduanya jadi perhatian.

  17. Nasihatnya telah selesai, kepada putra Sang Prabu Cina, sebaiknya kelak menjadi teladan, untuk semua wanita, ini nasihatnya, Sang Prabu di Ternate, Geniyara beralih pada pupuh dhandhanggula.

 

PUPUH
DHANDHANGGULA

 

  1. Sang raja duduk di tengah pendopo, dan sang istri berada di singgasana, kedua mempelai putri, berada di depan sang raja, kedua putrinya diberi pesan, diajarkan suatu hal, tentang melayani suami, Raja Ternate berkata, “anakku, berhatihatilah!, baik-baiklah pada suami”.

  2. Putra raja prajurit sakti, dan dikenal oleh Sang Prabu Jenggala, memiliki banyak kepandaian, akan kesenangan dan kemashuran, bijaksana dan berbudi halus, perwira yang agung (perkasa), kuat badannya, raja bertentara sanak saudara, mendekati keindahan orang sedunia, raja muda di Jawa.

  3. Bahwa keberuntungan itu, diperhatikan oleh Raja Jenggala, berapa banyak saudara ipar, di Jawa tempat tersamar, dan isyarat juga sampai di luar, berusaha memimpin, berhati-hati pada orang suci, bahwa di dalam ajaran tata krama, orang berumah tangga hendaknya menurut laki-laki, samakanlah dengan dewa.

  4. (orang) rendah, sedang, dan utama, ingatlah, terutama orang berumah tangga, semua dewa menyaksikan, bukankah ada yang ditiru, putri cantik dari Adimanggada, melebihi bidadari, dari segala warna, dan diberi sinar keutamaan yang indah, Citrawati disembah oleh bidadari, putri cantik Adimanggada.

  5. Istri raja Mahespati, Sri Mahaprabu Harjunasasra, diterima oleh dewa, karena menyanjung suaminya, karena itu raja Maespati, mendapat putri delapan ratus, dari istrinya, putri Magada menginginkan, memiliki madu yang banyak dan cantik-cantik, apabila ada yang dikasihi.

  6. Oleh suaminya raja Mahespati, putri Manggada segera mengambilnya, sebagai saudara kandungnya, dimintakan tambah, kasih sayang suaminya, dikerjakannya terus menerus, maka suami akan menurut, menjadi teman selamanya, usaha Dewi Citrawati, diturut oleh suaminya.

  7. Lega dan terangnya hati tak terhingga, pikiran yang dimiliki oleh putri Manggada, pandai dan berperasaan kepada orang lain, itu baik untuk ditiru, Citrawati sebagai guru wanita, anakku itu utama, mengabdi kepada suami, tidak merana menyerahkan jiwa, apabila raja dilindungi, dikasihi, yang tak terduga oleh suami.

  8. Tidak berbeda dengan zaman yang akan datang, yang menjadi teladan, hanya putri Manggada yang dipercaya, sang raja asyik, mengangguk-angguk dan menunjuk, kedua putrinya menghaturkan sembah, kepada ayahnya. “Anakku, waspadalah, bukankah wanita itu menerima segala kehendak suami”, dapatlah mengerti kemauannya.

  9. Jangan ragu-ragu dalam memandang, sang raja Geniyara berkata, tidak terdengar kata-katanya, hanya gerak-gerik yang terlihat, bahwa di dalam berumah tangga, pasrah pada kehendak (suami), tidak memiliki rasa sungkan, menurut kehendak suami, Citrawati memahami gerak hatinya, maka berada dalam keutamaan.

  10. Hal yang nistha di dalam batin, walaupun akan lestari, pada akhirnya hatinya bingung, di depan berkata, di belakang tidak berani, di dalam hati mengeluh, di dalam hati berniat tidak baik, jangan sampai wanita yang dikasihi, hanya memikirkan diri sendiri saja.

  11. Hanya dipikirkan di dalam hati, kejelekan orang itu tidak selamanya melekat di hati, orang jahat itu menganggap pasti itu penyakit bodoh, bumi dan langit menyaksikan, kotoran di dunia, dosanya bertumpuk, semua bidadari tidak senang, kelak masuk neraka dan diperolok-olok, oleh bidadari-bidadari.

  12. Namun, anakku jika engkau diberi, harta benda oleh suamimu berhati-hatilah, hartanya sudah diserahkan, hakikatnya kepunyaanmu, itu dianggap orang jahanam, lebih daripada hina, tukang sihir besar, bukan dianggap orang berumah tangga, menabur dupa dan setan menari-nari, bukan sifat makhluk (manusia).

  13. Setan berkeliaran membawa pisau, mengambil tulang yang sudah dibuang, mengotori seluruh dunia, perbuatan orang mengigau, tidak berniat memiliki perbuatan, mengejar kenyang saja, akan harta milik suami, walaupun terjadi perceraian, milikmu sudah menjadi milikku, sebab (saya) sudah diperistri.

  14. Yaitu budinya seratus jahanam, orang yang acak-acakan, membuat celaka tetangga, kotoran berlipat tujuh, tetangga ditulari, jangan didekati, orang seperti itu, pasti akan terkena kejelekannya, tidak ada gunanya berdekatan dengan orang sesat, kotoran sedunia.

  15. Ambillah harta dari Makasar, hanya jangan melanggar kehormatan, jangan mengingat ayahmu, akan membawa kotor hati, apabila berpendapat, bahwa engkau putra raja, menjadi kebanggaan hatimu, orang berumah tangga terlihat oleh orang tua itu, mempertebal/memperbesar kejelekan.

  16. Dalam rumah tangga wanita menjadi terhormat, yang diciptakan oleh Suksma Kawekas, itu sudah pertanda, kehendak Bathara Yang Maha Tinggi, kehendak Hyang Hutipati, jika ada yang menerjang, orang yang tidak mengindahkan petunjuk, Bathara Suksma Kawekas, semoga dihukum disumpah, menjadi “cacing” seketika.

  17. Semakin lama disukai Yang Maha Kuasa, kelak jadilah pemaaf, jika disimpan saja, kena marah nantinya, itu yang berbahaya, tidak akan berhasil nantinya, apabila demikian peruntungannya, maka dari itu anakku dapatlah mengabdi, kepada suami jika kamu dibawa nanti, kembali kepada suamimu.

  18. Sudah selesai nasihat sang raja, Raja Geniyara dari Ternate, kepada kedua putrinya, perkara yang sangat baik, jika ditiru baik manfaatnya, jangan merasa orang “buda”, yang memiliki ajaran, seperti Raja Cina, jangan merasa bahwa kafir itu segalanya, apabila kafirnya orang Mejusi.

  19. Tetapi ini ajaran (nasihat) yang baik, makna yang dikandungnya baik untuk diambil, dan hadis Rasulullah, ikhlaskan anakku, agar bahagia dalam berumah tangga, menjunjung nama orang tua, jika kamu turuti, ajaran (nasihat) ayahmu, berada dalam tanda/alamat yang baik, ajakan menuju kebahagiaan.

PUPUH
KINANTHI

 

  1. Bahwa ajaranku (nasihatku), kepada anak perempuanku, agar ingat akan namamu, engkau disebut putri, itu putri yang sejati, tiga, ketiganya ini maksudnya.

  2. Bebakti dan cermat kepada suami, yang ketiga takut, lahir batin jangan mengeluh, melaksanakan yang satu, jadikanlah suamimu orang terhormat, bukankah perempuan itu.

  3. Wajib menurut kepada suami, jangan menghalang-halangi, akan kehendaksuami, walaupun putra raja, mengabdilah kepada suami, harus benar-benar berbakti.

  4. Apabila wanita itu, merasa menguasai laki-laki, dalam batinnya memerintah, merasa menang dengan suami, tidak merasa sebagai wanita, itu wataknya laki-laki.

  5. Wanita jahat, bingung hatinya, tidak urung menjadi orang tercela, di dunia hingga akhirat, menjadi dasar neraka, kelabang dan kalajengking.

  6. Yang menjadi alasnya, di neraka kelak, itu wanita tercela, yang tidak dapat mengendalikan, hawa nafsu, amarah yang diikuti.

  7. Inilah anakku, pakailah ajaran ini, takutlah kepada suami, jangan merasa takabur (sombong) sebagai putri raja, jika engkau tidak berbakti, kepada suami tidak urung juga

  8. Membawa bapak ibu, kurang memberikan petuah pada anak, itu prasangka orang banyak, permintaanku ini, kepada Allah Taala, dan kepada Rasulullah.

  9. Semua putraku, yang putri terpakailah oleh suami, semoga dikasihi oleh suami, dan berbaktilah kepada suami, bersuamilah sekali saja, mudah-mudahan sampai neneknenek.

  10. Tataplah melayani suami, serta dikasihi, dapatlah memberikan keteduhan, semoga puas mengasuh anak, dan nasihatku kepadamu, hendaknya ditaati lahir dan batin.

  11. Dan ada pesan, dari mendiang kakekmu, ingatlah bahwa perempuan itu, dibekali jari, kelimanya itu ada, apabila dirinci mempunyai arti.

  12. Ibu jari yang pertama, telunjuk yang kedua, jari tengah yang ketiga, keempat jari manis, yang kelima itu, yang terakhir adalah kelingking.

  13. Ketahuilah maksudnya, isyarat Hyang Widhi, ibaratnya sepenuh hati, jika ada kehendak suami, arti yang mudah sepenuh hati, segala kehendak suami.

  14. Maka engkau dibekali telunjuk, janganlah engkau berani, apabila suamimenunjukkan, cepatlah melaksanakan, dengan jari tengahmu, itu juga isyarat.

  15. Suamimu jadikanlah pengikat, dan apabila memberikan sesuatu, kepadamu junjunglah, walaupun hanya sedikit, engkau wajib menjunjung, akan penghasilan suami.

  16. Maksudnya engkau, dibekali jari manis, buatlah “manis” roman mukamu, jika berada di depan suami, apabila jika bicara, pergunakanlah kata-kata yang manis.

  17. Janganlah pemarah dan bermuka masam, itu tidak menarik hati, roman muka dibuat gembira, walaupun sedang kesal hatinya, jika berada di depan suami, buanglah jangan sampai ketinggalan.

  18. Oleh karena itu dibekali, juga jari kelingking, ditimbang-timbang, jika ada kemauan suami, maksud ditimbang-timbang adalah, agar terampil dalam bekerja.

  19. Jika melayani suami, yang cepat namun halus, jangan cepat namun kasar, tergesagesa dan tidak tenang, bukankah itu cepat namun tercela, sebab dalam hati agar marah.

  20. Demikianlah pesanku, kepada putra perempuanku, semoga dilaksanakan, ajaran bapak ini, jika engkau laksanakan semua, begitulah anakku.

  21. Bapak yang menanggung, jika engkau laksanakan pesanku, sudah tentu menemukan kebahagiaan, di dunia dan di akhirat, dan hati jangan menyimpang, bersungguhsungguh terhadap suami.

  22. Walaupun dimadu berjumlah empat puluh, hatimu jangan berubah, lahir dan batin jangan berubah, melayani suami, usahakanlah, wanita yang baik-baik.

  23. Gadis yang cantik-cantik, serahkanlah kepada suami, demikian itu sifat, mengerti kehendak laki-laki, pasti memupuk cinta kasih, jika suami dibuat puas hatinya.

  24. Jika wanita tidak merelakan, suaminya mempunyai selir, dan tidak suka dimadu, itu wanita tercela, tidak tahu tata krama, menurut dalil Qur’an.

  25. Sama dengan anjing buntung, diumpamakan celeng terbakar, tidak pantas didatangi, tidak urung membuat, supaya dijauhkan tujuh ukuran, janganlah terus dipikir.

  26. Hal seperti itu, agar diteliti kembali, ajaran san bapak, dimaksudkan untuk mendapatkan selamat, ibaratnya membaca surat, tingkah laku wanita luhur.

  27. Mengapa tidak ditiru, oleh para istri, yang dikasihi oleh suami, apakah wanita jahat, dan wanita tercela, apa tidak segan-segan.

  28. Yang dikasihi oleh suami, suami wanita yang berbakti, yang teliti terhadap suami, namun wanita yang jahat, tercela, tidak ada yang dikasihi suami.

  29. Bahkan sering dipukul, wanita yang begini, tidak ada gunanya membaca surat, tidak mau meniru yang baik, oleh sebab itu anakku, ingat-ingatlah.

  30. Ajaranku (nasihatku) ini, semoga Hyang Maha Suci, tetap memberikan kesadaran, terhadap perbuatan yang baik, dijauhkan dari perbuatan jahat, aniaya yang tidak baik.

  31. Tamatlah surat ajaran (nasihat), kepada putra putrinya, Kamis Pon tanggal 7 Sura, Kuningan tahun Be, dengan Candrasangkala “esa guna swareng nata”, Windu sancaya yang ke delapan.

    http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/serat-wulang-reh-putri/