SULUK WUJIL

1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahsia terdalam
2
Sepuluh tahun lamanya
Sudah Wujil
Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf
3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang
4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar
5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada

6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tiggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat
7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namuni isinya berwarna kuning
8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan
9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”

11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat

15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini

17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia

20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini

22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan

Karya : Kanjeng Sunan Bonang

SERAT WULANG REH PUTRI

Serat Wulang Reh Putri adalah teks Jawa yang berbahasa dan beraksara Jawa serta berbentuk tembang macapat yang terdiri atas, pupuh Mijil (10 pada atau bait), Asmaradana (17 pada atau bait), Dhandhanggula (19 pada atau bait), dan Kinanthi (31 pada atau bait).Serat Wulang Reh Putri berisi nasihat dari Paku Buana X kepada para putri-putrinya tentang bagaimana sikap seorang wanita dalam mendampingi suami. Isi nasihat itu antara lain bahwa seorang istri harus selalu taat pada suami. Disebutkan bahwa suami itu bagaikan seorang raja, bila istri membuat kesalahan, suami berhak memberi hukuman. Istri harus selalu setia, penuh pengertian, menurut kehendak suami, dan selalu ceria dalam menghadapi suami meski hatinya sedang sedih. Berikut ini adalah suntingan teks“SERAT WULANG REH PUTRI” beserta  terjemahannya.

 

Pupuh
M I J I L

 

  1. Ingsun nulis ing layang puniki / atembang pamiyos / awawarah wuruk ing wijile / marang sagung putraningsun estri / tingkahing akrami / suwita ing kakung //.

  2. Nora gampang babo wong alaki / luwih saking abot / kudu weruh ing tata titine / miwah cara-carane wong laki / lan wateke ugi / den awas den emut //

  3. Yen pawestri tan kena mbawani / tumindak sapakon / nadyan sireku putri arane / nora kena ngandelken sireki / yen putreng narpati / temah dadi lu p ut //

  4. Pituturraja Cina dhingin / iya luwih abot / pamuruke marang atmajane / Dewi Adaninggar duk ngunggahi / mring Sang Jayengmurti / angkate winuruk //

  5. Pan wekase banget wanti-wanti / mring putrane wadon / nanging Adaninggar tan  angangge / mulane patine nora becik / pituture yogi / Prabu Cina luhung //

  6. Babo nini sira sun tuturi / prakara kang abot / rong prakara gedhene panggawe / ingkang dhingin parentah narpati / kapindhone laki / padha abotipun //

  7. Yen tiwasa wenang mbilaheni / panggawe kang roro / padha lawan angguguru lire / kang meruhken salameting pati / ratu lawan laki / padha tindakipun //

  8. Wadya bala pan kak ing narpati / wadon khak ing bojo / pan kawasa barang pratikele / asiyasat miwah anatrapi / Sapra- tingkahneki / luput wenang ngukum //.

  9. Sapolahe yen wong amrih becik / den amrih karaos / pon-ponane kapoka ing tembe / nora kena anak lawan rabi / luput ngapureki / tan wande anempuh //.

  10. Amung bala wenang ngapureki / polahe kang awon / beda lawan rabi ing lekase / pan mangkono nini wong ngakrami / apaitan eling / amrih asmareng kung //

 

Pupuh
ASMARANDANA

 

  1. Pratikele wong akrami / dudu brana dudu rupa / amung ati paitane / luput pisan kena pisan / yen gampang luwih gampang / yen angel-angel kelangkung / tan kena tinambak arta // .

  2. Tan kena tinambak warni / uger-ugere wong krama / kudu eling paitane / eling kawiseseng priya / ora kena sembrana / kurang titi kurang emut / iku luput ngambra-ambra //

  3. Wong lali rehing akrami / wong kurang titi agesang / Wus wenang ingaran pedhot / titi iku katemenan / tumancep aneng manah / yen wis ilang temenipun / ilang namaning akrama //

  4. Iku wajib kang rinukti / apan jenenging wanita / kudu eling paitane / eling kareh ing wong lanang / dadi eling parentah / nastiti wus duwekipun / yen ilang titine liwar //

  5. Pedhot liwaring pawestri / tan ngamungken wong azina /ya kang ilang nastitine / wong pedhot dherodhot bedhot / datan mangan ing ngarah / pratandhane nora emut / yen laki paitan manah //

  6. Dosa lahir dosa batin / ati ugering manungsa / yen tan pi nantheng ciptane / iku atine binubrah / tan wurung karusakan / owah ing ati tan emut / yen ati ratuning badan //

  7. Badan iki mapan darmi / nglakoni osiking manah / yen ati ilang elinge / ilang jenenging manungsa / yen manungsane ilang / amung rusak kang tinemu / tangeh manggiha raharja //

  8. Iku wong durjana batin/ uripe nora rumangsa / lamun ana nitahake / pagene nora kareksa / ugere wong ngagesang / teka kudu sasar susur / wong lali kaisen setan //

  9. Ora eling wong aurip / uger-uger aneng manah / wong mikir marang uripe / ora ngendhaleni manah / anjarag kudu rusak / kasusu kagedhen angkuh / kena ginodha ing setan //

  10. Pan wus panggawening eblis/yen ana wong lali bungah / setane njoged angleter / yen ana wong lengus lanas / iku den aku kadang / tan wruh dadalan rahayu / tinuntun panggawe setan //

  11. Wong nora wruh maring sisip/ iku sajinis lan setan / kasusu manah gumedhe / tan wruh yen padha tinitah / iku wong tanpa tekad / pan wus wateke wong lengus / ambuwang ugering tekad //

  12. Iku nini dipunelin /lamun sira tinampanan / marang Sang Jayengpalugon /  ya garwane loro ika / putri teka Karsinah / iya siji putri Kanjun / aja sira duwe cipta //

  13. Maru nira loro nini /nadyan padha anak raja / uger gedhe namaning ngong / lan asugih ratu cina / parangakik Karsinah / rangkepa karatonipun / maksih sugih ratu Cina //

  14. Budi kang mangkono nini / buwangen aja kanggonan / mung nganggowa andhap asor / karya rahayuning badan / den kapara memelas / budi ingkang dhingin iku / wong ladak anemu rusak //

  15. Yen bisa sira susupi / tan kena ginawe ala / yen kalakon andhap asor / yen marumu duwe cipta /ala yekti tan teka / andhap asorira iku / kang rumeksa badanira //

  16. Lamun sira lengus nini / miwah yen anganggo lanas/ dadi nini sira dhewe / angrusak mring badanira /marumu loro ika / sun watara Jayengsastru / dadi tyase loro pisan //

  17. Telas pituturireki / mring putra Sang Prabu Cina / prayoga tiniru mangke /marang sakehing wanodya / iki pituturira / ing Tarnite Sang Aprabu / Geniyara gula drawa //

Pupuh
DHANDHANGGULA

  1. Lenggah madyeng pandhapa Sang Aji / lan kang garwa munggwing ngingdhadhampar / panganten estri kalihe / munggwing ngarsa Sang Prabu / duk wineling kang putra kalih / winuruk ing masalah / angladosi kakung / Prabu Tarnite ngandika / anak ingsun babo den angati-ati / abagus lakinira //

  2. Suteng nata prajurit sinekti / tur kinondhang Sang Prabu Jenggala / amumpuni sarjanane / ing pramudita kasub / wicaksana alus ing budi / prawira mandraguna / prakoseng dibya nung / ratu abala kakadang / amepeki musthikane wong sabumi / taruna nateng Jawa //

  3. Marma babo dibegjanireki / sinaruwe mring prabu Jenggala / pira-pira ing maripe / ing Jawa nggoning semu / wit sasmita wingiting janmi / babo dipangupaya/wiweka weh sadu / mungguhing paniti krama / wong alaki tadhah sakarsaning laki / padhanen lan jawata //

  4. Nistha madya utama den eling/utamane babo wong akrama / jawata nekseni kabeh / pan ana kang tiniru / Putri Adi Manggada nguni / wido dari kungkulan / ing sawarnanipun / lan sinung cahya murwendah / Citrawati sinembah ing wido dari / Putri Adimanggada //

  5. Garwanira rajeng Mahespati / Sri Mahaprabu Harjuna Sasra / tinarimeng Batharane / dennya ngugung mring kakung / mila prabu ing Mahespati / katekan garwa dhomas / saking garwanipun / putri Manggada kang ngajap / sugih maru akeh putri ayu luwih / yen ana kinasihan //

  6. Mring kang raka Prabu Mahespati / Putri Manggada sigra anyandhak / kinadang-kadang yektine / jinalukaken wuwuh / ing sihira kang raka aji / pan kinarya sor-soran / kang raka anurut / dadya sor-soran sakawan / Citrawati saking panjunjungireki / tinurut dening raka //

  7. Lega ing tyas anrus ing wiyati / murtining priya putri Manggada / limpat grahitane sareh / iku yogya tiniru / Citrawati guruning estri / nini iku utama / suwita ing kakung / tan ngarantes pasrah jiwa / raga nadyan anetep den irih-irih / ing raka tan lenggana //

  8. Nora beda nini jaman mangkin / ingkang dadituladan utama / putri Manggada anggepe / suraweyan Sang Prabu / manthuk- manthuk atudhang- tudhing/ putra kalih gung nembah /ing rama Sang Prabu /poma nini dipun awas / pan wano dyaden cadhang karsaning laki / den bisa nuju karsa //

  9. Aja rengu ing netra den aris / angandika Prabu Geniyara / tan kapirsan andikane / mung solah kang kadulu /heh ta nini madyaning krami / sumangga ing sakarsa / tan darbe pakewuh / manut sakarsaning raka / Citrawati waskitha solahing laki / mila legawa tama //

  10. Nisthaning krama sawaleng batin / ing lahire nadyan lastari  ya / ing wuri sumpeg manahe / ing pangarepan nyatur / nora wani mangke ing wuri / tyase agarundhelan / mongkok-mongkok mungkuk/ ing batin ajape ala / iya aja ana wadon kang den sihi / ngamungna ingsun dhawak //

  11. Tan kawetu mung ciptaneng batin / nisthanira tan wus saking driya / durjana iku ambege / pasthi den bubuk mumuk / bumi langit padha nekseni / nalutuh ing sajagad / dosane gendhukur / wido dari akeh ewa / ing delahan ing nraka den engis-engis / ing widodari kathah //

  12. Lamun nini nira den pasrahi / raja brana ing priya den angkah / branane wus den wehake /sayekti duwekingsu/ iku anggep wong trahiyoli / luwih nisthaning nistha / pakematan agung /dudu anggepe wong krama / baberan duba ruwun setan kaeksi / dudu si pating jalma //

  13. Setan kere pan anggawa lading / thethel–thethel balung wus binuwang / jejenising jagad kabeh / bebete wong anglindur/ tanpa niyat duwe pakarti / buru karep kewala / mring darbeking kakung / sanadyan pepegatana / duwek iku jer wus dadi duwek mami / jer ingsun wus digarap //

  14. Yeku budi satus trahiyoli / papalanyahan murka anungsang / nyilakani ing tanggane / lakon pitung panguwuh / ing tanggane kang denulari / aja na sasandhingan / wong mangkono iku / yekti kasrengat cilaka / bonggas gawe asandhing wong kena pidhir / reregede sajagad //

  15. Gawe kurang ambiyanireki /lah usungen dunya ing Mekasar / mung aja amurang bae / aja toleh maring / anggegawa regeding ati / lamun sira anyipta / yen atmajeng ratu / dadi gungan ing tyasira / wong akrama katon wong tuwanireki / anggandelaken ala //

  16. Ing akrama estri dadi adi / wus tinitah ing Suksma Kawekas /wus mangkana titikane/karsaning bathara gung / pangulahing hyang Hudipati / yen ana kang anerak / wong mopo ing tuduh / Bathara Suksma Kawekas / babendhu manungsa kang den upatani / dadi warit sakala //

  17. Saya lamun di suka ing Widhi / dadi manggih apureng delahan / kalamun den ingu bae / di sukana ing besuk / yeku ingkang ambab ayani / tanpa dadi delahan / yen mangkono kontang / poma nini den suwita / marang laki yen sira ginawa benjing / mulih mring lakinira //

  18. Sampun telas pitutur sang Aji / ing Tarnite Prabu Geniyara / sri atmaja kakalihe / pan prakara satuhu / yen tiruwa pasthi abecik / aja dumeh wong Buda / kang duwe pitutur / kaya sang raja ing Cina / aja dumeh-dumeh / kalamun wong kapir / tur majusi kapirnya //

  19. Nanging pitutur apan prayogi / mapan pirit pinet ing sarapat / lan kadis Rosulullohe / eklasna putraningsun / didimena raharjeng krami / nyuwargakken wong tuwa sira yen mituhu / marang wuruke si bapa / apan ana tatandhane ingkang becik / anganthia kang raharja //

 

Pupuh
KINANTHI

 

  1. Dene ta pitutur ingsun / marang putraningsun estri / den eling ing aranira / sira pan ingaran putri / puniku putri kang nyata / tri tetelu tegesneki //.

  2. Bekti nastiti ing kakung / kaping telune awedi / lahir batin aja esah / anglakoni satuhuning / laki ciptanen bendara / mapan wong wadon puniki //

  3. Wajib manut marang kakung / aja uga amapaki / marang karepe wong lanang / sanadyan atmajeng aji / alakiya panakawan / sayekti wajib ngabekti //

  4. Kalamun wong wadon iku / angrasa mengku mring laki / ing batine amarentah / rumangsa menang mring laki / nora rumangsa wanodya / puniku wataking laki //

  5. Iku wong wadon kepahung / bingung bintang kena wening / tan wurung dadi ranjapan / ing dunya tuwin ing akhir / dadi intiping naraka / kalabang lan kalajengking //

  6. Ingkang dadi kasuripan / sajroning naraka benjing / iku wong wadon candhala / iku tan bisa merangi / ing nepsu kala hawa / amarah kang den tutwuri //

  7. Iku poma putraningsun / anggonen pitutur iki / den wedi ing kakung nira / aja dumeh suteng aji / yen sira nora bektiya / ing laki tan wande ugi //

  8. Anggagawa rama ibu / kurang pamuruking siwi / iku terkaning ngakathah / apan esaningsun iki / marang Allohu Tangala / miwah ing Rosullullah//

  9. Sakabehe anak ingsun / pawestri kang kanggo laki / kinasihan ing kang priya / pan padha bektiya laki / padha lakinya sapisan / dipun kongsi nini-nini //

  10. Maksih angladeni kakung / sartaa dipun welasi / angoyoda arondhowa / warege amomong siwi / lan nini pitutur ingwang / estokna ing lahir batin //

  11. Lawan ana kojah ingsun / saking eyangira swargi / pawestri iku elinga / lamun ginawan dariji / lilima punika ana / arane sawiji-wiji //

  12. Jajempol ingkang rumuhun / panuduh ingkang ping kalih / panunggul kang kaping tiga / kaping pat dariji manis / kaping gangsale punika / ing wekasan pan jajenthik //

  13. Kawruha sakarsanipun / mungguh pasmoning Hyang Widhi / den kaya pol manahira / yen ana karsane laki / tegese pol kang den gampang / sabarang karsaning laki //

  14. Mila ginawan panuduh / aja sira kumawani / anikel tuduhing priya / ing satuduh anglakoni / dene panunggul suweda / iku sasmitaning ugi //

  15. Priyanta karyanen tangsul / miwah lamun apaparing / sira uga unggulena / sanadyan amung sathithik / wajib sira ngungkulena / mring guna kayaning laki //

  16. Marmane sira punika / ginawan dariji manis / dipun manis ulatira / yen ana karsaning laki / apa dene yen angucap / ing wacana kudu manis //

  17. Aja dosa ambasengut /nora maregaken ati / ing netra sumringah / sanadyan rengu ing batin / yen ana karsaningpriya / buwangen aja na kari //

  18. Marmane ginawan iku / iya dariji jajenthik / dipun angthag akethikan / yen ana karsaning laki / karepe kathah thik-thikan / den tarampil barang kardi //

  19. Lamun angladasi kakung / den keba nanging den ririh / aja kebat gerobyagan / dreg-dregan sarya cicincing / apan iku kebat nistha / pan rada ngose ing batin //

  20. Poma-poma wekasingsun / marang putraningsun estri / muga padha den anggowa / wuruke si bapa iki / yen den lakoni sadaya / iba saiba ta nini //

  21. Si bapa ingkang ananggung / yen den anggowa kang weling / wus pasthi amanggih mulya / ing donya tuwin ing akhir / lan aja manah anyimpang / dipun tumemen ing laki //

  22. Den maruwa patang puluh / tyasira aja gumingsir / lahir batin aja owah / angladeni marang laki / malah sira upayakna / wong wadon kang becik-becik //

  23. Parawan kang ayu-ayu / sira caosna ing laki / mangkono patrape uga / ngawruhi karsaning laki / pasthi dadi ing katresnan / yen wong lanang den tututi //

  24. Yen wong wadon nora angsung / bojone duweya selir / mimah lumuh den wayuh / ikuwong wadon penyakit / nora weruh tata karma / daliling Qur’an mastani //

  25. Papadhane asu bunting / celeng kobong pamaneki / nora pantes pinecakan / norawurung mamarahi / den doh sapitung pandahat / aja anedya pinikir //

  26. Kaya kang mangkono iku / balik kang dipun nastiti / marang wuruke si bapa / darapon manggih basuki / kayata yen maca layang / tingkahing wanodya adi //

  27. Pagene ta nedya tiru / kalawan ewa pawestri / kang kinasihan ing priya / apa pawestri parunji / miwah ta estri candhala / apa nora kedhah-kedhih //

  28. Ingkang kinasihan kakung / kabeh pawestri kang bekti / kang nastiti marang priya / dene estri kang parunji / candhala pan nora nana / den kasihi marang laki //

  29. Malah ta kerep ginebug / dadine wong wadon iki / tanpa gawe maca layang / tan gelem niru kang becik / mulane ta putraningwang / poma-poma dipun eling //

  30. Marang ing pitutur ingsun / muga ta Hyang Maha Suci / netepana elingira / marang panggawe kang becik / didohna panggawe ala / siyasiya kang tan becik //

  31. Titi tamat layang wuruk / marang putraningsun estri / Kemis Pon ping pitu sura / Kuningan Be kang gumanti / esa guna swareng nata / Sancaya hastha pan maksih /

Terjemahan Teks

 

PUPUH
M I J I L

 

  1. Saya menulis karya ini, dalam bentuk tembang, memberikan petuah dalam bentuk (tembang) mijil, kepada seluruh anak perempuan saya, (tentang) tata krama dalam perkawinan, mengabdi kepada suami.

  2. Tidak mudah orang bersuami, sangat berat, harus tahu aturan, juga harus tahu cara-cara orang bersuami, dan juga watak (lelaki), waspadalah dan ingatlah.

  3. Wanita jangan mendahului kehendak suami, berbuat semaunya (asal perintah) meskipun kamu itu putri, kamu jangan menonjolkan kalau putra raja, akhirnya tidak baik.

  4. Nasihat ratu Cina ini, sangatlah berharga, nasehat yang diajarkan kepada anaknya, Dewi Adaninggar ketika melamar, Sang Jayengmurti, ketika berangkat (dinasihati).

  5. Pesannya dengan bersungguh-sungguh, kepada putra perempuannya, namun Adaninggar tidak mengindahkannya, maka kematiannya tidak baik, ajaran kebaikan, Prabu Cina yang luhur.

  6. Engkau anak perempuanku, saya menasihati, perkara yang berat, dua perkara yang besar, yaitu: yang pertama perintah raja, yang kedua suami, sama beratnya.

  7. Kalau salah dapat berbahaya, dua perbuatan, artinya sama dengan berguru, yang menunjukkan keselamatan, kematian, raja sama dengan lelaki, (sama perbuatannya).

  8. Jika prajurit hak raja, perempuan hak suami, sangat kuat pengaruhnya, siasat maupun tindakannya, dan segala tindakannya, salah bisa dihukum.

  9. Segala tingkah lakunya, jika orang itu menuju kebaikan, supaya dirasakan tujuannya, kalau suami tidak memberi maaf, kelak istri dan anak akan melakukan perbuatan yang tidak baik.

  10. Hanya prajurit yang, bertingkah laku salah, berbeda dengan istri yang tidak bisa dimaafkan, memberi maaf itu keliru,anak istri akan melakukan perbuatan tidak baik, jadi harus eling, dan cinta kasih.

 

PUPUH
ASMARANDANA

 

  1. Bekal orang menikah, bukan harta bukan pula kecantikan, hanya berbekal hati (cinta), sekali gagal, gagallah, jika mudah terasakan amat mudah, jika sulit terasakan amat sulit, uang tidak menjadi andalannya.

  2. Tidak bisa dibayar dengan rupa, syarat-syarat orang berumah tangga, harus diingat modalnya, ingat kekuasaan laki-laki, tidak boleh seenaknya, kurang berhati-hati dan kurang waspada, kesalahan yang berlebihan.

  3. Orang yang lupa aturan berumahtangga, orang yang kurang berhati-hati dalam hidupnya, dapat dikatakan sudah rusak, teliti itu artinya bersungguh-sungguh, meresap dalam hati, jika sudah hilang ketelitiannya, hilang nama baik berumah tangga.

  4. Itu kewajiban yang harus dipelihara, karena hanya wanita, harus bermodalkan eling, ingat akan wewenang laki-laki, jadi ingat perintah, berhati-hati sudah menjadi miliknya, apabila tidak berhati-hati maka rusaklah.

  5. Perempuan yang rusak, tidak hanya pada orang berzina, termasuk orang yang tidak berhati-hati (tidak teliti), dinamakan “bejat” moralnya, tidak mengenal arah, pertanda tidak ingat, bahwa berumah tangga bermodalkan hati.

  6. Dosa lahir dan batin, hati menjadi pedoman, jika tidak khusuk ciptanya, pertanda hatinya kacau, bisa menyebabkan kerusakan, berubahnya hati karena tidak ingat, kalau hati itu rajanya badan.

  7. Badan adalah hanya sekadar pelaksana geraknya hati, melaksanakan kemauan hati, jika hati hilang kesadarannya, hilang sifat kemanusiaannya, apabila sifat kemanusiaannya hilang, hanya kerusakan yang didapatkan, tidak mungkin mendapatkan kebahagiaan.

  8. Itu orang yang jahat, tidak menyadari hidupnya, bahwa hidupnya ada yang mencipta, mengapa tidak dirawat, syaratnya orang hidup, jangan sampai salah langkah, orang yang lupa menjadi prbuatan setan.

  9. Tidak ingat tentang kehidupan, berpedoman pada hati, orang yang mengelak terhadap kehidupan, tidak mengendalikan hati, sengaja ingin merusak, terburuburu tingi hati (sombong), terkena godaan setan.

  10. Memang sudah menjadi perbuatan iblis, jika ada orang lupa menjadi senang, setan menari-nari dengan gembira, jika ada orang pemarah, itu dianggap saudara, tidak melihat jalan kebenaran, mengarah kepada pekerjaan setan.

  11. Orang yang tidak melihat akan kesalahan, itu sejenis dengan setan, tergesa-gesa menjadi tinggi hati, tidak tahu sama-sama dititahkan (diciptakan), itu orang yang tidak berpendirian, sudah menjadi watak orang pemarah, membuang pedoman yang menjadi dasar pedoman tersebut.

  12. Itulah anakku ingatlah, apabila engkau diterima, oleh Sang Jayengpalugon, yang istrinya dua itu, putrinya Karsinah, yang satunya putri Kanjun, janganlah engkau punya pikiran.

  13. Madumu dua orang itu, walaupun sama-sama anak raja, asal besar namaku, dan raja Cina lebih kaya, Parangakik Karsinah, walaupun rangkap kerajaannya, masih lebih kaya ratu Cina.

  14. Budi yang demikian itu anakku, buanglah jangan sampai kau miliki, gunakanlah rasa rendah hati, untuk keselamatan diri, berbuatlah agar dikasihi, budi yang pertama tadi, orang pemarah (sombong) akan berakibat celaka.

  15. Jika bisa engkau mengerti, tidak dapat dibuat jelek, jika berbuat rendah hati, jika madumu mempunyai niat jelek, pasti tidak akan terlaksana, sebab sikapmu yang rendah hati, yang telah bersemayam dalam badanmu.

  16. Namun, jika engkau sombong anakku, lebih-lebih jika “galak”, menjadikan dirimu, merusak badanmu sendiri, kedua madumu itu, ibaratnya “jayeng satru”, keduanya jadi perhatian.

  17. Nasihatnya telah selesai, kepada putra Sang Prabu Cina, sebaiknya kelak menjadi teladan, untuk semua wanita, ini nasihatnya, Sang Prabu di Ternate, Geniyara beralih pada pupuh dhandhanggula.

 

PUPUH
DHANDHANGGULA

 

  1. Sang raja duduk di tengah pendopo, dan sang istri berada di singgasana, kedua mempelai putri, berada di depan sang raja, kedua putrinya diberi pesan, diajarkan suatu hal, tentang melayani suami, Raja Ternate berkata, “anakku, berhatihatilah!, baik-baiklah pada suami”.

  2. Putra raja prajurit sakti, dan dikenal oleh Sang Prabu Jenggala, memiliki banyak kepandaian, akan kesenangan dan kemashuran, bijaksana dan berbudi halus, perwira yang agung (perkasa), kuat badannya, raja bertentara sanak saudara, mendekati keindahan orang sedunia, raja muda di Jawa.

  3. Bahwa keberuntungan itu, diperhatikan oleh Raja Jenggala, berapa banyak saudara ipar, di Jawa tempat tersamar, dan isyarat juga sampai di luar, berusaha memimpin, berhati-hati pada orang suci, bahwa di dalam ajaran tata krama, orang berumah tangga hendaknya menurut laki-laki, samakanlah dengan dewa.

  4. (orang) rendah, sedang, dan utama, ingatlah, terutama orang berumah tangga, semua dewa menyaksikan, bukankah ada yang ditiru, putri cantik dari Adimanggada, melebihi bidadari, dari segala warna, dan diberi sinar keutamaan yang indah, Citrawati disembah oleh bidadari, putri cantik Adimanggada.

  5. Istri raja Mahespati, Sri Mahaprabu Harjunasasra, diterima oleh dewa, karena menyanjung suaminya, karena itu raja Maespati, mendapat putri delapan ratus, dari istrinya, putri Magada menginginkan, memiliki madu yang banyak dan cantik-cantik, apabila ada yang dikasihi.

  6. Oleh suaminya raja Mahespati, putri Manggada segera mengambilnya, sebagai saudara kandungnya, dimintakan tambah, kasih sayang suaminya, dikerjakannya terus menerus, maka suami akan menurut, menjadi teman selamanya, usaha Dewi Citrawati, diturut oleh suaminya.

  7. Lega dan terangnya hati tak terhingga, pikiran yang dimiliki oleh putri Manggada, pandai dan berperasaan kepada orang lain, itu baik untuk ditiru, Citrawati sebagai guru wanita, anakku itu utama, mengabdi kepada suami, tidak merana menyerahkan jiwa, apabila raja dilindungi, dikasihi, yang tak terduga oleh suami.

  8. Tidak berbeda dengan zaman yang akan datang, yang menjadi teladan, hanya putri Manggada yang dipercaya, sang raja asyik, mengangguk-angguk dan menunjuk, kedua putrinya menghaturkan sembah, kepada ayahnya. “Anakku, waspadalah, bukankah wanita itu menerima segala kehendak suami”, dapatlah mengerti kemauannya.

  9. Jangan ragu-ragu dalam memandang, sang raja Geniyara berkata, tidak terdengar kata-katanya, hanya gerak-gerik yang terlihat, bahwa di dalam berumah tangga, pasrah pada kehendak (suami), tidak memiliki rasa sungkan, menurut kehendak suami, Citrawati memahami gerak hatinya, maka berada dalam keutamaan.

  10. Hal yang nistha di dalam batin, walaupun akan lestari, pada akhirnya hatinya bingung, di depan berkata, di belakang tidak berani, di dalam hati mengeluh, di dalam hati berniat tidak baik, jangan sampai wanita yang dikasihi, hanya memikirkan diri sendiri saja.

  11. Hanya dipikirkan di dalam hati, kejelekan orang itu tidak selamanya melekat di hati, orang jahat itu menganggap pasti itu penyakit bodoh, bumi dan langit menyaksikan, kotoran di dunia, dosanya bertumpuk, semua bidadari tidak senang, kelak masuk neraka dan diperolok-olok, oleh bidadari-bidadari.

  12. Namun, anakku jika engkau diberi, harta benda oleh suamimu berhati-hatilah, hartanya sudah diserahkan, hakikatnya kepunyaanmu, itu dianggap orang jahanam, lebih daripada hina, tukang sihir besar, bukan dianggap orang berumah tangga, menabur dupa dan setan menari-nari, bukan sifat makhluk (manusia).

  13. Setan berkeliaran membawa pisau, mengambil tulang yang sudah dibuang, mengotori seluruh dunia, perbuatan orang mengigau, tidak berniat memiliki perbuatan, mengejar kenyang saja, akan harta milik suami, walaupun terjadi perceraian, milikmu sudah menjadi milikku, sebab (saya) sudah diperistri.

  14. Yaitu budinya seratus jahanam, orang yang acak-acakan, membuat celaka tetangga, kotoran berlipat tujuh, tetangga ditulari, jangan didekati, orang seperti itu, pasti akan terkena kejelekannya, tidak ada gunanya berdekatan dengan orang sesat, kotoran sedunia.

  15. Ambillah harta dari Makasar, hanya jangan melanggar kehormatan, jangan mengingat ayahmu, akan membawa kotor hati, apabila berpendapat, bahwa engkau putra raja, menjadi kebanggaan hatimu, orang berumah tangga terlihat oleh orang tua itu, mempertebal/memperbesar kejelekan.

  16. Dalam rumah tangga wanita menjadi terhormat, yang diciptakan oleh Suksma Kawekas, itu sudah pertanda, kehendak Bathara Yang Maha Tinggi, kehendak Hyang Hutipati, jika ada yang menerjang, orang yang tidak mengindahkan petunjuk, Bathara Suksma Kawekas, semoga dihukum disumpah, menjadi “cacing” seketika.

  17. Semakin lama disukai Yang Maha Kuasa, kelak jadilah pemaaf, jika disimpan saja, kena marah nantinya, itu yang berbahaya, tidak akan berhasil nantinya, apabila demikian peruntungannya, maka dari itu anakku dapatlah mengabdi, kepada suami jika kamu dibawa nanti, kembali kepada suamimu.

  18. Sudah selesai nasihat sang raja, Raja Geniyara dari Ternate, kepada kedua putrinya, perkara yang sangat baik, jika ditiru baik manfaatnya, jangan merasa orang “buda”, yang memiliki ajaran, seperti Raja Cina, jangan merasa bahwa kafir itu segalanya, apabila kafirnya orang Mejusi.

  19. Tetapi ini ajaran (nasihat) yang baik, makna yang dikandungnya baik untuk diambil, dan hadis Rasulullah, ikhlaskan anakku, agar bahagia dalam berumah tangga, menjunjung nama orang tua, jika kamu turuti, ajaran (nasihat) ayahmu, berada dalam tanda/alamat yang baik, ajakan menuju kebahagiaan.

PUPUH
KINANTHI

 

  1. Bahwa ajaranku (nasihatku), kepada anak perempuanku, agar ingat akan namamu, engkau disebut putri, itu putri yang sejati, tiga, ketiganya ini maksudnya.

  2. Bebakti dan cermat kepada suami, yang ketiga takut, lahir batin jangan mengeluh, melaksanakan yang satu, jadikanlah suamimu orang terhormat, bukankah perempuan itu.

  3. Wajib menurut kepada suami, jangan menghalang-halangi, akan kehendaksuami, walaupun putra raja, mengabdilah kepada suami, harus benar-benar berbakti.

  4. Apabila wanita itu, merasa menguasai laki-laki, dalam batinnya memerintah, merasa menang dengan suami, tidak merasa sebagai wanita, itu wataknya laki-laki.

  5. Wanita jahat, bingung hatinya, tidak urung menjadi orang tercela, di dunia hingga akhirat, menjadi dasar neraka, kelabang dan kalajengking.

  6. Yang menjadi alasnya, di neraka kelak, itu wanita tercela, yang tidak dapat mengendalikan, hawa nafsu, amarah yang diikuti.

  7. Inilah anakku, pakailah ajaran ini, takutlah kepada suami, jangan merasa takabur (sombong) sebagai putri raja, jika engkau tidak berbakti, kepada suami tidak urung juga

  8. Membawa bapak ibu, kurang memberikan petuah pada anak, itu prasangka orang banyak, permintaanku ini, kepada Allah Taala, dan kepada Rasulullah.

  9. Semua putraku, yang putri terpakailah oleh suami, semoga dikasihi oleh suami, dan berbaktilah kepada suami, bersuamilah sekali saja, mudah-mudahan sampai neneknenek.

  10. Tataplah melayani suami, serta dikasihi, dapatlah memberikan keteduhan, semoga puas mengasuh anak, dan nasihatku kepadamu, hendaknya ditaati lahir dan batin.

  11. Dan ada pesan, dari mendiang kakekmu, ingatlah bahwa perempuan itu, dibekali jari, kelimanya itu ada, apabila dirinci mempunyai arti.

  12. Ibu jari yang pertama, telunjuk yang kedua, jari tengah yang ketiga, keempat jari manis, yang kelima itu, yang terakhir adalah kelingking.

  13. Ketahuilah maksudnya, isyarat Hyang Widhi, ibaratnya sepenuh hati, jika ada kehendak suami, arti yang mudah sepenuh hati, segala kehendak suami.

  14. Maka engkau dibekali telunjuk, janganlah engkau berani, apabila suamimenunjukkan, cepatlah melaksanakan, dengan jari tengahmu, itu juga isyarat.

  15. Suamimu jadikanlah pengikat, dan apabila memberikan sesuatu, kepadamu junjunglah, walaupun hanya sedikit, engkau wajib menjunjung, akan penghasilan suami.

  16. Maksudnya engkau, dibekali jari manis, buatlah “manis” roman mukamu, jika berada di depan suami, apabila jika bicara, pergunakanlah kata-kata yang manis.

  17. Janganlah pemarah dan bermuka masam, itu tidak menarik hati, roman muka dibuat gembira, walaupun sedang kesal hatinya, jika berada di depan suami, buanglah jangan sampai ketinggalan.

  18. Oleh karena itu dibekali, juga jari kelingking, ditimbang-timbang, jika ada kemauan suami, maksud ditimbang-timbang adalah, agar terampil dalam bekerja.

  19. Jika melayani suami, yang cepat namun halus, jangan cepat namun kasar, tergesagesa dan tidak tenang, bukankah itu cepat namun tercela, sebab dalam hati agar marah.

  20. Demikianlah pesanku, kepada putra perempuanku, semoga dilaksanakan, ajaran bapak ini, jika engkau laksanakan semua, begitulah anakku.

  21. Bapak yang menanggung, jika engkau laksanakan pesanku, sudah tentu menemukan kebahagiaan, di dunia dan di akhirat, dan hati jangan menyimpang, bersungguhsungguh terhadap suami.

  22. Walaupun dimadu berjumlah empat puluh, hatimu jangan berubah, lahir dan batin jangan berubah, melayani suami, usahakanlah, wanita yang baik-baik.

  23. Gadis yang cantik-cantik, serahkanlah kepada suami, demikian itu sifat, mengerti kehendak laki-laki, pasti memupuk cinta kasih, jika suami dibuat puas hatinya.

  24. Jika wanita tidak merelakan, suaminya mempunyai selir, dan tidak suka dimadu, itu wanita tercela, tidak tahu tata krama, menurut dalil Qur’an.

  25. Sama dengan anjing buntung, diumpamakan celeng terbakar, tidak pantas didatangi, tidak urung membuat, supaya dijauhkan tujuh ukuran, janganlah terus dipikir.

  26. Hal seperti itu, agar diteliti kembali, ajaran san bapak, dimaksudkan untuk mendapatkan selamat, ibaratnya membaca surat, tingkah laku wanita luhur.

  27. Mengapa tidak ditiru, oleh para istri, yang dikasihi oleh suami, apakah wanita jahat, dan wanita tercela, apa tidak segan-segan.

  28. Yang dikasihi oleh suami, suami wanita yang berbakti, yang teliti terhadap suami, namun wanita yang jahat, tercela, tidak ada yang dikasihi suami.

  29. Bahkan sering dipukul, wanita yang begini, tidak ada gunanya membaca surat, tidak mau meniru yang baik, oleh sebab itu anakku, ingat-ingatlah.

  30. Ajaranku (nasihatku) ini, semoga Hyang Maha Suci, tetap memberikan kesadaran, terhadap perbuatan yang baik, dijauhkan dari perbuatan jahat, aniaya yang tidak baik.

  31. Tamatlah surat ajaran (nasihat), kepada putra putrinya, Kamis Pon tanggal 7 Sura, Kuningan tahun Be, dengan Candrasangkala “esa guna swareng nata”, Windu sancaya yang ke delapan.

    http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/serat-wulang-reh-putri/

Memahami Shalat Daim

Sebelum kita memahami Shalat Daim, ada baiknya kita memahami apa sebenarnya arti dari kata Shalat itu. Arti daripada shalat adalah mengingat-ingat GUSTI ALLAH (Dzikrullah) di waktu duduk, berdiri dan melakukan aktivitas dalam kehidupan ini. Sedangkan kata Daim itu memiliki arti terus-menerus ataupun tak pernah putus. Jadi, jika kedua kata itu digabungkan maka Shalat Daim itu berarti mengingat-ingat GUSTI ALLAH tanpa pernah putus. Atau Dzikrullah secara terus menerus. Salah satu contoh dari Shalat Daim dapat kita tauladani dari sejarah saat Sunan Bonang menggembleng Raden Mas Syahid sebelum bergelar Sunan Kalijaga. Saat itu Sunan Bonang sudah mengajarkan apa yang dinamakan Shalat Daim pada Raden Mas Syahid. Bagaimana Shalat Daim itu? Pertama kali Sunan Bonang menyuruh Raden Mas Syahid untuk duduk, diam dan berusaha untuk mengalahkan hawa nafsunya sendiri. Menurut ajaran dari Sunan Bonang, Shalat Daim itu hanya duduk, diam, hening, pasrah pada kehendak GUSTI ALLAH. Raden Mas Syahid tidak disuruh untuk dzikir ataupun melakukan ritual apapun. Apa rahasia dibalik duduk diam tersebut? Cobalah Anda duduk dan berdiam diri. Maka hawa nafsu Anda akan berbicara sendiri. Ia akan melaporkan hal-hal yang bersifat duniawi pada diri Anda. Hal itu semata-mata terjadi karena hawa nafsu kita mengajak kita untuk terus terikat dengan segala hal yang berbau dunia. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun setelah sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan benar-benar tidak memiliki daya untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas dan lenyap. Dalam kondisi demikian, manusia akan berada dalam kondisi nol atau suwung total. Karena ego dan hawa nafsu sudah terkalahkan. Demikian juga dengan kondisi Raden Mas Syahid ketika bertapa di pinggir kali. Ia hanya pasrah dan tidak melakukan ritual apapun. Hanya diam dan hening. Hingga akhirnya Sunan Kalijaga bertemu dengan GURU SEJATINYA. “BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….” Lewat Suluk Wujil, Sunan Bonang sudah menjelaskan perihal Shalat Daim yaitu UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAT DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Keutamaan diri ini adalah mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib (shalat 5 waktu). Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama). Shalat sejati tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Shalat sejati adalah SHALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. Lebih lanjut Sunan Bonang juga menjelaskan tentang cara melakukan Shalat Daim lewat Suluk Wujil, yaitu PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir).

sumber:  http://kawruh-kejawen.blogspot.com

Syariat Dalam Perspektif Makrifat Jawa

 

Bagi tasawuf jawa Al Qur’an terbagi atas dua macam pertama qur’an garing (kitab garing) dan kitab teles (kitab basah). Kitab garing adalah kitab al Qur’an yang tertulis sebagai petunjuk dalam memahami ayat-ayat Tuhan. Kitab basah adalah al Qur’an yang terdapat didalam hati. Kedudukan kitab basah derajatnya lebih tinggi, juga kedudukanya karena ia menyangkut ayat-ayat semesta, dan sebagai sumber untuk memahami makna kehidupan. Posisinya atas kitab basah, kitab kering berfungsi sebagai lampu penerang, agar kitab basah dapat berfungsi dengan baik dan tidak berjalan dalam kegelapan.

Kitab suci yang kering, hanyalah sebagai tanah kosong yang perlu di cangkul, dipupuk dan ditanami. Untuk itulah diperlukan kitab suci basah, atau yang terdapat dalam diri manusia. Kitab suci sebagai formaslisme syariat yang harus menemukan benih yang tepat, yakni hati yang bersih, dan penanam yang tepat pula. Itulah sang salik, yang hatinya bersih, dan segenap jiwanya diarahkan kepada Allah. Hal ini menjadi salah satu berimbangan antara syariat dan makrifat. Berikut penulis petikkan dari serat nitisruti pupuh dhandhanggula bait 11~14 karya sunan kajenar yang terjemahanya sebagi berikut:

“” Maksud ajaran yang permulaan mengenai kududukan uluma, bilamana sudah benar sesuai penempatanya, jujurnya perasaan didalam hati tiada tabir, karena sudah waspada kedudukanya yang di sembah dan yang menyembah, menjadi biasa dalam keberadaan sejati, menjadi mulia yang sebenarnya, selarasnya yang demikian itu sebenarnya, tidak terbuka dalam hati manusia, yang tanpa pengetahuan, dan yang masih bodoh, sungguh bodoh pemikiranya, oleh karena itu haruslah, hati terus berusaha, mengambil teladan guru, kepada para ulama yang mahir, sebagai kemuliaan sejati. Maksud rasa hati yang sudah sampai pada kebenaran, kotoran diri sudah sirna, mencegah segala yang tidak baik, bagaikan tubuh yang cantik, yang demikian itu bilamana, sudah sampai luar dalam, akhirnya selaras bersih tak bercampur, dalam dalam suasana yang indah yang di sebut benar-benar sirna sifat manusiawinya. Jelas sekali sebenarnya yang demikian itu sudah tak ada gusti dan hamba, karena sudah sirna rasanya, sedangkan yang tidak tau ,pengetahuan yang diuraikan, tak dapat diceritakan bagaimana cara hidupnya, sudah penuh bisa, hanya kedurjanaan yang dilakukan, lain halnya bagi yang sudah kokoh budinya…””

Pupuh diatas sangat mewakili ajaran mistik dan makrifat islam jawa. Terutama yang di sebarkan oleh sunan kajenar dan sunan kaliajaga. Mistik makrifat yang secara mudahnya berarti “inisiasi” adalah praktek kontak spiritual langsung dengan Tuhan melalui kontemplasi atau pengalaman psikologis. Oleh karenanya rahasia dan rasanya hanya dapat dirasakan oleh pelakunya saja, dan masing-masing pelaku ( salik ) akan selalu memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Namun secara jelas dan tegas dapat dinyatakan bahwa tanpa laku, tanpa penghayatan langsung dan nyata, maka keadaan yang sesungguhnya dari pengalaman keagamaan, rasa agama (al-halawat al-iman), atau apa pun namanya dari buah lelaku tersebut niscaya tidak dapat dirasakan dan tidak bisa diperoleh.

Demikian pula pengetahuan keagamaan sedalam apapun tidaklah bisa disebut sebagai makrifat. Mendalamnya ilmu syariat juga belum bisa tentu sanggup mengantarkan pemilikannya sampai pada kemakrifatan. Mungkin mereka mengetahui tentang Tuhan. Ia tahu segala sifat-sifatnya melalui buku dan guru. Karena mereka tahu tapi tidak pernah kontak, maka hasilnya juga menjadi kurang benar. Maka dalam makrifat di butuhkan lelaku. Dalam bahasa sufi, makrifat merupakan buah dari perjalanan, suluk, seorang hamba kepada Tuhannya. Dari proses perjalanan itulah maka akan tercapai makrifatullah. Dan di ketahui secara jelas apa itu sangkan paraning dumadi( inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).

Dalam hal ini syariat bukanlah sekedar aturan-aturan formal keagamaan, yakni yang sering hanya dibatasi sebagai fiqih. Sekarng ini kata-kata “syariat islam” telah direduksi oleh para agamawan hanya sebatas fiqih, aturan formal keagamaan yang dibakukan dalam berbagai karya hukum keagamaan oleh manusia. Fiqih sebenarnya hanyalah produk perjalanan ulama dalam sejarah islam, bukan syariat itu sendiri. Sedangkan syariat dalam tataran makrifat adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan.

Adapun cara untuk menempuh laku syariat itu di sebut sebagai terekat, yang tentu terkait dengan masing-masing tempat, zaman, tradisi dan budaya yang berbeda.praksisme keagamaan inilah yang pernah diusung oleh parah tokoh sufi jawa pada abad ke 15 yang lalu.dalam hal ini bahwa syariat baru menjadi berarti setelah dilalui melalui proses tirakat atau lelakon. Dalam melakukan hal tersebut, maka yang pertama kali harus diperhatikan adalah upaya untuk melongok kedalam diri sendiri atau introspeksi. dalam hal inilah diperlukan adanya laku untuk mengendalikan hawa nafsu. Tahapan utama untuk ini adalah khalwat, tahannuts atau meditasi (menempuh laku heneng dan hening). Jika prose ini berhasil maka akan mengantarkan pelakunya untuk mendapatkan apa yang ia sebut sebagai inspirasi spiritual dan sebagainya. Dari ilham yang di peroleh maka akan melahirkan berbagai pengetahuan baru dan perilaku-perilaku yang berasas pada keluhuran budi sebagai buah ber-musyahadah (menyaksikan dan berkontak langsung dengan Allah), Atau buah iman. Dengan demikian maka kita berjalan menuju kepada –nya, kita menyatu dengan-nya, dan kita telah membangun sikap hidup yang berdasarkan kehendak Tuhan itu sendiri……

Dalam sistimatika makrifat jawa persoalan sholat mendapatkan perhatian cukup penting. Dalam hal ini, yang cukup signifikan untuk dibahas pada tempat ini adalah yang berkaitan dengan tiga hal pokok, yang sering mendatangkan kontraversi, yakni tentang sholat tarek, sholat daim, dan tentunya, terkait dengan hal tersebut adalah tentang adanya sholat. Dalam qur’an sholat dikategorikanmenjadi dua seperti firman Allah SWT: “Peliharalah semua sholatmu dan sholat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam sholat) yang khusyu’ “ ( QS. AL-Bagarah/2:238).

Dalam sistem islam jawa makna sholatmu” dalam ayat tersebut mengacu pada sholat syariat atau lahir, dan sholat wustha pada sholat hati. Secara lahir sholat dilakukan dengan berdiri, membaca al-fatihah, sujud, duduk dan sebagainya, yang melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah sholat jasmani dan fisikal karena semua gerakan badan berlaku dalam semua sholat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawati (segala shalat), yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.

Bagian kedua adalah shalat wustha. Yang di maksud secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah ,yakni di tengah”diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan sholat ini adalah untuk mencapai kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kanan dan kiri, antara depan dan belakang, antara bawah dan atas, dan antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga di ibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkan kemana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat yang Maha Menghukum dan Mengazab dengan sifat yang indah, yang kasih sayang, yang lemah lembut.

Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah shalat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyu’, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi sholat jasmani hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyu’. Kalau hati tidak khusyu’, serta tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak akan dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apapun yang di lakukan dengan bacaan dan gerakanya tidak akan mengantarkan sampai kepada Allah.

Urgensi kekhusukan itu berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak perduli akan makna rohani sholat, shalat yang di lakukan tersebut tidak akan memberikan manfaat apapun. Sebab semua yang di lakukan jasmaninya sangat tergantung kepada hati sebagai zat untuk badan. Ingatlah sabda Rasulullah :” ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati…”

Kekhusukan hati akan membawa shalat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak,yakni hati yang tidak dapat hadir kepada Allah. Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal: tempa, waktu, kesucian badan, pakaian dan sebagainya, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalul dilakukan terus-menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk rohani ada didalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang berzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa rohaniah. Imamnya dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat daim yang di ajarkan oleh guru saya yang memperoleh ajaran ini dari para orang bijak seperti sunan kajenar dan sunan kalijaga dan sebagainya..

Nah, shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tidur. Inilah tahapan orang-orang yang sudah mencapai makrifatullah, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu ia ada tanpa dirinya, karena dirinya telah fana’ telah hilang lenyap. Ingatanya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah. pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut, tidak ada lagi gerakan berdiri, sujud, rukuk dan sebagainya. Dia telah telah berbincang-bincang dengan Allah.sebagaimana firman Allah:” Hanya engkau yang kami sembah, dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS Al-Fatihah/1:5).

Friman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah mengalami beberapa tingkata alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau keesaan Allah dan berpadu denganya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun, mereka pun sering tidak mau mengungkapkannya, tidak ingin membocorkan rahasia ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah. hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semat-mata ucapan ‘Allahu akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk memuji kebesaran Dzatnya.

Jadi takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hambanya. Bukan hasil dari dorongan emisional. Karenannya. Takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. dan takbir sejati adalah penyebutan namanya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang demikian itu, maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya Allah. kemanapun kita menghadap yang ada hanya wajah Allah. maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, Roh dan Hati seperti yang tergambar itu. Membawanya msuk kehadirat Allah, hatinya berpadu mesra dengan Allah. dalam alam nyata ia menjadi hamba yang alim dan wara’. Dalam alam rohani ia menjadi hamba yang ma’rifah yang telah sampai pada tingkatan kesempurnaan mengenal Allah. inilah makna bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku keji dan moral. Sebaliknya menghasilkan kehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku. Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fiqih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini. Sholat yang tidak tau makna hakikatnya mendapat kritik tajam dari sunan kajenar sebagai berikut: ” syahadat, shalat, puasa semua tanpa makna termasuk zakat dan haji ke mekkah itu semua telah menjadi palsu tidak bisa di jadikan panutan hanya menghasilkan kerusakan bumi membohongi makhluk lain, hanya ingin surga kelak orang bodoh mengikuti para wali sementara kenyataanya sama saja belum mencapai tahapan hening”

Sunan kajenar mengkritik pelaksanaan hukum fiqih pada masa kerajaan demak. Karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang menina bobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak, yang belum ada kenyataanya. Oleh karenannya. Para tokoh sufi jawa dan para sufi lainya yang sudah benar-benar mencapai tahapan ma’rifah mengajarkan shalat yang fungsional. Berbeda dengan para ulama yang hanya mengandalkan hukum fiqih semata. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syariat, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh budi pekerti kehidupan. Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesioanalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut telah melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat daim. Sunan kalijaga pun memiliki wejangan shalat daim sebagai berikut:

terjemahannya “””” wahai anak cucuku, setiap engkau menyelesaikan shalat lima waktu, segeralah mendirikan shalat daim, shalat kekal, shalat wustha. Mensucikan diri tanpa air melainkan dengan bacaan istighfar yang senilai suci. Caranya tanpa rukuk dan sujud, melainkan dengan serba merasa diri menghadap, mengabdi kepada Tuhan yang maha suci dikala engkau sedang diam, bergerak dan bekerja apa saja. Syaratnya hanya satu: niat menghambakan diri secara sempurna kepada Allah, dengan memberikan kebajikan kepada orang lain. Itulah wahai anak cucuku, jalan mencapai saat kematian sejati, memperoleh akhir hidup yang sempurna dikaruniai rahmat Allah.

Jadi shalat daim tidak terbatas oleh waktu, keadaan atau batasan-batasanyang lain. Dalam sulik linglung sunan kalijaga menegaskan bahwa shalat daim dilaksanakan tanpa menggunakan air wudhu untuk menghilangkan najis dan hadas, shalat daim merupakan shalat batin yang sebenarnya. Shalat yang seseorang di dalamnya boleh dengan makan, tidur, bersenggama, maupun buang kotoran.

Sunan Bonang pun memiliki ajaran shalat daim sebagai berikut: “” Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat isa atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila di sebut shalat, maka itu hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama.””

Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya di lakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagaman. Sementara shalat daim merupakan shalat yang sebenarnya, yakni kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Yang Maha Agung di dalam diri-nya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahnya. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk tidak menebar kekejian dan kemungkaran. Mampu menghadirkan ramatan lil ‘alamin.

Dalam sukuk wujil Sunan Bonang pun memberikan penjelasan tentang makna shalat.
“”Janganlah menyembah wahai engkau wujil, jika tidak kelihatan nyata. Sembah dan pujian tidak ada gunannya. Bila yang disembah itu jelas ada dihadapanmu, (maka engkau) mengerti adamu sebagai Yang Maha Agung, adamu sendiri tidak ada. Itulah yang dinamakan daim pada orang yang memuji, menjadi nyata kehendak purba.””

Orang yang melaksanakan sembahyang, akan tetapi tidak bisa mengarahkan ibadahnya tersebut kepada pengetahuan akan Tuhan, dalam ajaran suluk islam jawa dianggap sia-sia. Demikian pula jika shalat hanya dimaksudkan untuk sekedar mendapatkan pahala, maka hal tersebut sia-sia. Orang yang menyembah harus mengetahui benar siapa yang disembah.

Dalam suluk wujil Sunan Bonang berkata:
“” Manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya ditebar tak ada satupun yang mengenai burung sasaranya. Akhirnya, Cuma menyembah adam sarfin, penyembahnya menjadi sia-sia tidak ada gunanya.””

Dalam serat Wedhatama di sebutkan bahwa shalat merupakan sembah raga, yang pelakunya baru disebut magang, agar ia dapat menjalankan penyembahan pada kualitas yang lebih tinggi. Dalam tasawufnya di sebut sebagai riyadhah( latihan ). Adapun tujuan dari sembah raga adalah untuk memperoleh kondisi badan yang lebih sehat dan segar. Agar shalat daim/Dzikr yang dilaksanakan dapat mencapai sasaran yang optimal, maka pelaksanaanya harus dengan sepenuh hati dan pikiran, serta semua daya hanya ditujukan kepad Allah. hal tersebut dinyatakan salam suluk supanalaya, bahwa dzikr harus dengan amuntu hakikat.

Yakni dengan mengheningkan cipta dan merenungkan hakikat Tuhan disertai dengan hati yang penuh dengan kerinduan atau hidayat Tuhan. Jika kinerja tersebut terdapat penyertaan dari Allah yang berupa diberikanya rahmat serta hidayahnya, maka dipastikan orang tersebut akan bisa manunggal dengan Allah. apa yang diciptakan terjadi, dan yang dikehendaki terlaksana. Selemat merenungkan galilah wawasan dari mana saja datangnya untuk pengetahuan.

serat darmogandul

DARMAGANDUL

Anyariosaken reringkesanipun

BABAD BEDAHING MAJAPAHIT

Kawewehan pepandinganing cariyos

Miturut suraosipun serat walisana

Serat Darmagandul sudah diterbitkan beberapa kali setidaknya hingga empat kali naik cetak di atas kertas. Cetakan ke-empat dilakukan pada tahun 1955. Dari beberapa sejarah dan karya sastra tersebut  mengalami beberapa tambahan dan sedikit pengurangan. Sementara itu, Darmagandul cetakan pertama (mungkin dalam bentuk tulisan di atas daun lontar) sangat sulit dilacak keberadaannya. Berikut ini saya sertakan cetakan ke 3. Tanpa ada tendensi apapun saya menayangkan Darmagandul sekedar menambah dan melestarikan karya sastra kuno, demi menghargai para leluhur perintis bangsa. Selain itu saya berusaha semaksimal mungkin untuk mencintai dan menggali produk-produk lokal yang sarat muatan nilai kearifan. Saya pun menyadari sering terjadi pemutarbalikan sejarah masa lampau terutama apa yang terjadi pada masa abad 15 s/d 19. Dengan harapan penayangan ini dapat menambah khasanah ilmu yang berfungsi menjadi bandul penyeimbang sumber sejarah lainnya yang dianggap kontraversi dengan kejadian masa lalu. Dalam konteks ini saya berusaha tidak mengambil sikap pro kontra, sebaliknya berangkat dari sikap ilmiah, dan etika akademisi. Yang terpenting saya mencoba merambah hakekat ilmu yang “katanya” bebas nilai, walaupun saya sangat pesimis dengan pendapat tersebut.  Namun dengan sangat menyesal tayangan masih dalam bahasa Jawa sehingga belum bisa dipahami khalayak umum. Sementara ini saya masih menyelesaikan alih bahasa yang dibantu sahabat-sahabat yang peduli dengan pelestarian kesusastraan kuno.

BEBUKA

Sinarkara sarjunireng galih,

myat carita dipangiketira,

kihai Kalamwadine,

ing nguni anggeguru,

puruhita mring Raden Budi,

mangesthi amiluta,

duta rehing guru,

sru sêtya nglampahi dhawah,

panggusthine tan mamang ing lair batin,

pinindha lir Jawata.

 

Satuduhe Raden Budi ening,

pan ingembun pinusthi ing cipta,

sumungkem lair batine,

tan etung lebur luluh,

pangesthine ing awal akhir,

tinarimeng Bathara,

sasedyanya kabul,

agung nugraheng Hyang Suksma,

sinung ilham ing alam sahir myang kabir,

dumadya auliya.

 

Angawruhi sasmiteng Hyang Widdhi,

pan biyasa mituhu susetya,

mring dhawuh weling gurune,

kedah medharken kawruh,

karya suka pireneng jalmi,

mring sagung ahli sastra,

tuladhaning kawruh,

kyai Kalamwadi ngarang,

sinung aran srat Darmagandhul jinilid,

sinung tembang macapat.

 

Pan katemben amaos kinteki,

tembang raras rum seya prasaja,

trewaca wijang raose,

mring tyas gung kumacelu,

yun darbeya miwah nimpeni,

pinirit tinuladha, lelepiyanipun,

sawusnya winaos tamat,

linaksanan tinedhak tinurun sungging,

kinarya nglipur manah.

 

Pan sinambi-sambi jagi panti,

saselanira ngupaya tedha,

kinarya cagak lenggahe,

nggennya dama cinubluk,

mung kinarya ngarem-aremi,

tarimanireng badan,

anganggur ngethekur,

ngebun-bun pasihaning Hyang,

suprandene tan kaliren wayah siwi,

sagotra minulyarja.

Wus pinupus sumendhe ing takdir,

pan sumarah kumambang karseng Hyang,

ing lokhilmakful tulise,

panitranira nuju,

ping trilikur ri Tumpak manis,

Ruwah Je warsanira,

Sancaya kang windu,

masa Nem ringkêlnya Aryang,

wuku Wukir sangkalanira ing warsi:

wuk guna ngesthi Nata

[taun Jawa 1830].

DARMAGANDHUL

Ing sawijining dina Darmagandhul matur marang Kalamwadi mangkene “Mau-maune kêpriye dene wong Jawa kok banjur padha ninggal agama Buddha salin agama Islam?”

Wangsulane Ki Kalamwadi: “Aku dhewe iya ora pati ngrêti, nanging aku tau dikandhani guruku, ing mangka guruku kuwi iya kêna dipracaya, nyaritakake purwane wong Jawa padha ninggal agama Buddha banjur salin agama Rasul”.

Ature Darmagandhul: “Banjur kapriye dongengane?”

Ki Kalamwadi banjur ngandika maneh: “Bab iki satêmêne iya prêlu dikandhakake, supaya wong kang ora ngrêti mula-bukane karêben ngrêti”.

Ing jaman kuna nagara Majapahit iku jênênge nagara Majalêngka, dene ênggone jênêng Majapahit iku, mung kanggo pasêmon, nanging kang durung ngrêti dêdongengane iya Majapahit iku jênêng sakawit. (1)

Ing nagara Majalêngka kang jumênêng Nata wêkasan jêjuluk Prabu Brawijaya.

Ing wêktu iku, Sang Prabu lagi kalimput panggalihe, Sang Prabu krama oleh Putri Cêmpa, (2) ing mangka Putri Cêmpa mau agamane Islam, sajrone lagi sih-sinihan, Sang Rêtna tansah matur marang Sang Nata, bab luruhe agama Islam, sabên marak, ora ana maneh kang diaturake, kajaba mung mulyakake agama Islam, nganti njalari katariking panggalihe Sang Prabu marang agama Islam mau.

Ora antara suwe kaprênah pulunane Putri Cêmpa kang aran Sayid Rakhmat tinjo mênyang Majalêngka, sarta nyuwun idi marang Sang Nata, kaparênga anggêlarake sarengate agama Rasul. Sang Prabu iya marêngake apa kang dadi panyuwune Sayid rakhmat mau. Sayid Rakhmat banjur kalakon dhêdhukuh ana Ngampeldênta ing (3) anggêlarake agama Rasul. Ing kono banjur akeh para ngulama saka sabrang kang padha têka, para ngulama lan para maulana iku padhamarêk sang Prabu ing Majalêngka, sarta padha nyuwun dhêdhukuh ing pasisir. Panyuwunan mangkono mau uga diparêngake dening Sang Nata. Suwe-suwe pangidhêp mangkono mau saya ngrêbda, wong Jawa banjur akeh bangêt kang padha agama Islam.

Sayid Kramat dadi gurune wong-wong kang wis ngrasuk agama Islam kabeh, dene panggonane ana ing Benang (4) bawah Tuban. Sayid Kramat iku maulana saka ing ‘Arab têdhake Kanjêng Nabi Rasulu’llah, mula bisa dadi gurune wong Islam. Akeh wong Jawa kang padha kelu maguru marang Sayid Kramat. Wong Jawa ing pasisir lor sapangulon sapangetan padha ninggal agamane Buddha, banjur ngrasuk agama Rasul. Ing Balambangan sapangulon nganti tumêka ing Bantên, wonge uga padha kelu rêmbuge Sayid Kramat.

Mangka agama Buddha iku ana ing tanah Jawa wis kêlakon urip nganti sewu taun, dene wong-wonge padha manêmbah marang Budi Hawa. Budi iku Dzate Hyang Widdhi, Hawa iku karêping hati, manusa ora bisa apa-apa, bisane mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake.

Sang Prabu Brawijaya kagungan putra kakung kang patutan saka Putri Bangsa Cina, miyose putra mau ana ing Palembang, diparingi têtêngêr Raden Patah.

Barêng Raden Patah wis diwasa, sowan ingkang rama, nganti sadhereke seje rama tunggal ibu, arane Raden Kusen. Satêkane Majalêngka Sang Prabu kewran panggalihe ênggone arêp maringi sêsêbutan marang putrane, awit yen miturut lêluri saka ingkang rama, Jawa Buddha agamane, yen nglêluri lêluhur kuna, putraning Nata kang pambabare ana ing gunung, sêsêbutane Bambang. Yen miturut ibu, sêsêbutane: Kaotiang, dene yen wong ‘Arab sêsêbutane Sayid utawa Sarib. Sang Prabu banjur nimbali patih sarta para nayaka, padha dipundhuti têtimbangan ênggone arêp maringi sêsêbutan ingkang putra mau. Saka ature Patih, yen miturut lêluhur kuna putrane Sang Prabu mau disêbut Bambang, nanging sarehne ibune bangsa Cina, prayoga disêbut Babah, têgêse pambabare ana nagara liya. Ature Patih kang mangkono mau, para nayaka uga padha mupakat, mula Sang Nata iya banjur dhawuh marang padha wadya, yen putra Nata kang miyos ana ing Palembang iku diparingi sêsêbutan lan asma Babah Patah. Katêlah nganti tumêka saprene, yen blastêran Cina lan Jawa sêsêbutane Babah. Ing nalika samana, Babah Patah wêdi yen ora nglakoni dhawuhe ingkang rama, mulane katone iya sênêng, sênênge mau amung kanggo samudana bae, mungguh satêmêne ora sênêng bangêt ênggone diparingi sêsêbutan Babah iku.

Ing nalika iku Babah Patah banjur jinunjung dadi Bupati ing Dêmak, madanani para bupati urut pasisir Dêmak sapangulon, sarta Babah Patah dipalakramakake oleh ing Ngampelgadhing, kabênêr wayahe kiyai Agêng Ngampel. Barêng wis sawatara masa, banjur boyong marang Dêmak, ana ing desa Bintara, sarta sarehne Babah Patah nalika ana ing Palembang agamane wis Islam, anane ing Dêmak didhawuhi nglêstarekake agamane, dene Raden Kusen ing nalika iku jinunjung dadi Adipati ana ing Têrung (5), pinaringan nama sarta sêsêbutan Raden Arya Pêcattandha.

Suwening suwe sarak Rasul saya ngrêbda, para ngulama padha nyuwun pangkat sarta padha duwe sêsêbutan Sunan, Sunan iku têgêse budi, uwite kawruh kaelingan kang bêcik lan kang ala, yen wohe budi ngrêti marang kaelingan bêcik, iku wajib sinuwunan kawruhe ngelmu lair batin.

Ing wêktu iku para ngulama budine bêcik-bêcik, durung padha duwe karêp kang cidra, isih padha cêgah dhahar sarta cêgah sare. sang Prabu Brawijaya kagungan panggalih, para ngulama sarake Buddha, kok nganggo sêsêbutan Sunan, lakune isih padha cêgah mangan, cêgah turu. Yen sarak rasul, sirik cêgah mangan turu, mung nuruti rasaning lesan lan awak. Yen cêgah mangan rusak, Prabu Brawijaya uga banjur paring idi. Suwe-suwe agama Rasul saya sumêbar. Ing wêktu iku ana nalar kang aneh, ora kêna dikawruhi sarana netra karna sarta lesan, wêtune saka engêtan, jroning utêk iku yen diwarahi budi nyambut gawe, kang maca lan kang krungu nganggêp têmên lan ora, iya kudu ditimbang ing sabênêre, saiki isih ana wujuding patilasane, isih kêna dinyatakake, mula saka pangiraku iya nyata.

Dhek nalika samana Sunan Benang sumêdya tindak marang Kadhiri, kang ndherekake mung sakabat loro. Satêkane lor Kadhiri, iya iku ing tanah Kêrtasana, kêpalangan banyu, kali Brantas pinuju banjir. Sunan Benang sarta sakabate loro padha nyabrang, satêkane wetan kali banjur niti-niti agamane wong kono apa wis Islam, apa isih agama Budi. Ature Ki Bandar wong ing kono agamane Kalang, sarak Buddha mung sawatara, dene kang agama Rasul lagi bribik-bribik, wong ing kono akeh padha agama Kalang, mulyakake Bandung Bandawasa. Bandung dianggêp Nabine, yen pinuji dina Riyadi, wong-wong padha bêbarêngan mangan enak, padha sênêng-sênêng ana ing omah. Sunan Benang ngandika: “Yen ngono wong kene kabeh padha agama Gêdhah, Gêdhah iku ora irêng ora putih, tanah kene patut diarani Kutha Gêdhah”.

Ki Bandar matur: “Dhawuh pangandika panjênêngan, kula ingkang nêkseni”. Tanah saloring kutha kadhiri banjur jênêng Kutha Gêdhah, nganti têkane saiki isih karan Kutha Gêdhah, nanging kang mangkono mau arang kang padha ngrêti mula-bukane.

Sunan Benang ngandika marang sakabate: “Kowe goleka banyu imbon mênyang padesan, kali iki isih banjir, banyune isih buthêk, yen diombe nglarani wêtêng, lan maneh iki wancine luhur, aku arêp wudhu, arêp salat”.

Sakabate siji banjur lunga mênyang padesan arêp golek banyu, têkan ing desa Pathuk ana omah katone suwung ora ana wonge lanang, kang ana mung bocah prawan siji, wajah lagi arêp mêpêg birahi, ing wêktu iku lagi nênun. Sakabat têka sarta alon calathune: “mBok Nganten, kula nêdha toya imbon bêning rêsik”. mBok Prawan kaget krungu swarane wong lanang, barêng noleh wêruh lanang sajak kaya santri, MBok Prawan salah cipta, pangrasane wong lanang arêp njêjawat, mêjanani marang dheweke, mula ênggone mangsuli nganggo têmbung saru: “nDika mêntas liwat kali têka ngangge ngarani njaluk banyu imbon, ngriki botên entên carane wong ngimbu banyu, kajaba uyuh kula niki imbon bêning, yen sampeyan ajêng ngombe”.

Santri krungu têtêmbungan mangkono banjur lunga tanpa pamit lakune dirikatake sarta garundêlan turut dalan, satêkane ngarsane Sunan Benang banjur ngaturake lêlakone nalika golek banyu. Sunan Benang mirêng ature sakabate, bangêt dukane, nganti kawêtu pangandikane nyupatani, ing panggonan kono disabdakake larang banyu, prawane aja laki yen durung tuwa, sarta jakane aja rabi yen durung dadi jaka tuwa, barêng kêna dayaning pangandika mau, ing sanalika kali Brantas iline dadi cilik, iline banyu kang gêdhe nyimpang nrabas desa alas sawah lan patêgalan, akeh desa kang padha rusak, awit katrajang ilining banyu kali kang ngalih iline, kali kang maune iline gêdhe sanalika dadi asat. Nganti tumêka saprene tanah Gêdhah iku larang banyu, jaka lan prawane iya nganti kasep ênggone omah-omah. Sunan Benang têrus tindak mênyang Kadhiri.

Ing wêktu iki ana dhêmit jênênge Nyai Plêncing, iya iku dhêmit ing sumur Tanjungtani, tansah digubêl anak putune, padha wadul yen ana wong arane Sunan Benang, gawene nyikara marang para lêlêmbut, ngêndêl-êndêlake kaprawirane, kali kang saka Kadhiri disotake banjur asat sanalika, iline banjur salin dalan kang dudu mêsthine, mula akeh desa, alas, sawah sarta patêgalan, kang padha rusak, iya iku saka panggawene Sunan Benang, kang uga ngêsotake wong ing kono, lanang wadon ngantiya kasep ênggone omah-omah, sarta kono disotake larang banyu sarta diêlih jênênge tanah aran Kutha Gêdhah, Sunan Benang dhêmêne salah gawe. Anak putune Nyai Plêncing padha ngajak supaya Nyai Plêncing gêlêma nêluh sarta ngrêridhu Sunan Benang, bisaa tumêka ing pati, dadi ora tansah ganggu gawe. Nyai Plêncing krungu wadule anak putune mangkono mau, enggal mangkat mêthukake lakune Sunan Benang, nanging dhêmit-dhêmit mau ora bisa nyêdhaki Sunan Benang, amarga rasane awake padha panas bangêt kaya diobong. Dhêmit-dhêmit mau banjur padha mlayu marang Kadhiri, satêkane ing Kadhiri, matur marang ratune, ngaturake kahanane kabeh. ratune manggon ing Selabale. (6) Jênênge Buta Locaya, dene Selabale iku dununge ana sukune gunung Wilis. Buta Locaya iku patihe Sri Jayabaya, maune jênênge kiyai Daha, duwe adhi jênênge kiyai Daka. Kiyai daha iki cikal-bakal ing Kadhiri, barêng Sri Jayabaya rawuh, jênênge kiyai Daha dipundhut kanggo jênênge nagara, dheweke diparingi Buta Locaya, sarta banjur didadekake patihe Sang Prabu Jayabaya.

Buta iku têgêse: butêng utawa bodho, Lo têgêse kowe, caya têgêse: kêna dipracaya, kiyai Buta Locaya iku bodho, nanging têmên mantêp sêtya ing Gusti, mulane didadekake patih. Wiwite ana sêbutan kiyai, iya iku kiyai daha lan kiyai Daka, kiyai têgêse: ngayahi anak putune sarta wong-wong ing kanan keringe.

Jêngkare Sri Narendra anjujug ing omahe kiyai Daka, ana ing kono Sang Prabu sawadya-balane disugata, mula sang Prabu asih bangêt marang kiyai Daka, jênênge kiyai Daka dipundhut kanggo jênêng desa, dene kiyai Daka banjur diparingi jênêng kiyai Tunggulwulung, sarta dadi senapatining pêrang.

Samuksane Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga padha muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nusa Jawa, kuthane ana sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jawa, kabeh padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin.

Buta Locaya panggonane ana ing Selabale, dene kiyai Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, rumêksa kawah sarta lahar, yen lahar mêtu supaya ora gawe rusaking desa sarta liya-liyane.

Ing wêktu iku kiyai Buta Locaya lagi lênggah ana ing kursi kêncana kang dilemeki kasur babut isi sari, sarta kinêbutan êlaring mêrak, diadhêp patihe aran Megamêndhung, lan putrane kakung loro uga padha ngadhêp, kang tuwa arane Panji Sêktidiguna, kang anom aran panji Sarilaut.

Buta Locaya lagi ngandikan karo kang padha ngadhêp, kaget kasaru têkane Nyai Plêncing, ngrungkêbi pangkone, matur bab rusake tanah lor Kadhiri, sarta ngaturake yen kang gawe rusak iku, wong saka Tuban kang sumêdya lêlana mênyang Kadhiri, arane Sunan Benang. Nyai Plêncing ngaturake susahe para lêlêmbut sarta para manusa.

Buta Locaya krungu wadule Nyai Plêncing mangkono mau bangêt dukane, sarirane nganti kaya gêni, sanalika banjur nimbali putra-wayahe sarta para jin pêri parajangan, didhawuhi nglawan Sunan Benang. Para lêlêmbut mau padha sikêp gêgaman pêrang, sarta lakune barêng karo angin, ora antara suwe lêlêmbut wis têkan ing saêloring desa Kukum, ing kono Buta Locaya banjur maujud manusa aran kiyai Sumbre, dene para lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha ora ngaton, kiyai Sumbre banjur ngadêg ana ing têngah dalan sangisoring wit sambi, ngadhang lakune Sunan Benang kang saka êlor.

Ora antara suwe têkane Sunan Benang saka lor, Sunan Benang wis ora kasamaran yen kang ngadêg ana sangisoring wit sambi iku ratuning dhêmit, sumêdya ganggu gawe, katitik saka awake panas kaya mawa. Dene lêlêmbut kang pirang-pirang ewu mau padha sumingkir adoh, ora bêtah kêna prabawane Sunan Benang. Mangkono uga Sunan Benang uga ora bêtah cêdhak karo kiyai Sumbre, amarga kaya dene cêdhak mawa, kiyai Sumbre mangkono uga.

Sakabat loro kang maune padha sumaput, banjur padha katisên, amarga kêna daya prabawane kiyai Sumbre.

Sunan Benang andangu marang kiyai Sumbre: “Buta Locaya! kowe kok mêthukake lakuku, sarta nganggo jênêng Sumbre, kowe apa padha slamêt?”.

Buta Locaya kaget bangêt dene Sunan Benang ngrêtos jênênge dheweke, dadi dheweke kawanguran karêpe, wusana banjur matur marang Sunan Benang: “Kados pundi dene paduka sagêd mangrêtos manawi kula punika Buta Locaya?”.

Sunan Benang ngandika: “Aku ora kasamaran, aku ngrêti yen kowe ratuning dhêmit Kadhiri, jênêngmu Buta Locaya.”.

Kiyai Sumbre matur marang Sunan Benang: “Paduka punika tiyang punapa, dene mangangge pating gêdhabyah, dede pangagêm Jawi. Kados wangun walang kadung?”.

Sunan Benang ngandika maneh: “Aku bangsa ‘Arab, jênêngku Sayid Kramat, dene omahku ing Benang tanah Tuban, mungguh kang dadi sêdyaku arêp mênyang Kadhiri, pêrlu nonton patilasan kadhatone Sang Prabu Jayabaya, iku prênahe ana ing ngêndi?”.

Buta Locaya banjur matur: “Wetan punika wastanipun dhusun Mênang (9), sadaya patilasan sampun sami sirna, kraton sarta pasanggrahanipun inggih sampun botên wontên, kraton utawi patamanan Bagendhawati ingkang kagungan Ni Mas Ratu Pagêdhongan inggih sampun sirna, pasanggrahan Wanacatur ugi sampun sirna, namung kantun namaning dhusun, sadaya wau sirnanipun kaurugan siti pasir sarta lahar saking rêdi Kêlut. Kula badhe pitaken, paduka gêndhak sikara dhatêng anak putu Adam, nyabdakakên ingkang botên patut, prawan tuwa jaka tuwa, sarta ngêlih nami Kutha Gêdhah, ngêlih lepen, lajêng nyabdakakên ing ngriki awis toya, punika namanipun siya-siya botên surup, sikara tanpa dosa, saiba susahipun tiyang gêsang laki rabi sampun lungse, lajêng botên gampil pêncaripun titahing Latawalhujwa, makatên wau saking sabda paduka, sêpintên susahipun tiyang ingkang sami kêbênan, lepen Kadhiri ngalih panggenan mili nrajang dhusun, wana, sabin, pintên-pintên sami risak, ngriki paduka-sotakên, sêlaminipun awis toya, lepenipun asat, paduka sikara botên surup, nyikara tanpa prakara”.

Sunan Benang ngandika: “Mula ing kene tak-êlih jênêng Kutha Gêdhah, amarga wonge kene agamane ora irêng ora putih, têtêpe agama biru, sabab agama Kalang, mula tak-sotake larang banyu, aku njaluk banyu ora oleh, mula kaline banjur tak-êlih iline, kene kabeh tak sotake larang banyu, dene ênggonku ngêsotake prawan tuwa jaka tuwa, amarga kang tak jaluki banyu ora oleh iku, prawan baleg.”.

Buta Locaya matur maneh: “Punika namanipun botên timbang kaliyan sot panjênêngan, botên sapintên lêpatipun, tur namung tiyang satunggal ingkang lêpat, nanging ingkang susah kok tiyang kathah sangêt, botên timbang kaliyan kukumipun, paduka punika namanipun damêl mlaratipun tiyang kathah, saupami konjuk Ingkang Kagungan Nagari, paduka inggih dipunukum mlarat ingkang langkung awrat, amargi ngrisakakên tanah, lah sapunika mugi panjênêngan-sotakên wangsulipun malih, ing ngriki sagêda mirah toya malih, sagêd dados asil panggêsangan laki rabi taksih alit lajêng mêncarakên titahipun Hyang Manon. Panjênêngan sanes Narendra têka ngarubiru agami, punika namanipun tiyang dahwen”.

Sunan Benang ngandika: “Sanadyan kok-aturake Ratu Majalêngka aku ora wêdi”.

Buta Locaya barêng krungu têmbung ora wêdi marang Ratu Majalêngka banjur mêtu nêpsune, calathune sêngol: “Rêmbag paduka niki dede rêmbage wong ahli praja, patute rêmbage tiyang entên ing bambon, ngêndêlake dumeh tiyang digdaya, mbok sampun sumakehan dumeh dipunkasihi Hyang Widdhi, sugih sanak malaekat, lajêng tumindak sakarsa-karsa botên toleh kalêpatan, siya dahwen sikara botên ngangge prakara, sanadyan ing tanah Jawi rak inggih wontên ingkang nglangkungi kaprawiran paduka, nanging sami ahli budi sarta ajrih sêsikuning Dewa, têbih saking ahli budi yen ngantos siya dhatêng sêsami nyikara tanpa prakara, punapa paduka punika tiyang tunggilipun Aji Saka, muride Ijajil. Aji Saka dados Ratu tanah Jawi namung tigang taun lajêng minggat saking tanah Jawi, sumbêr toya ing Mêdhang saurutipun dipunbêkta minggat sadaya, Aji Saka tiyang saka Hindhu, paduka tiyang saking ‘Arab, mila sami siya-siya dhatêng sêsami, sami damêl awising toya, paduka ngakên Sunan rak kêdah simpên budi luhur, damêl wilujêng dhatêng tiyang kathah, nanging kok jêbul botên makatên, wujud paduka niki jajil bêlis katingal, botên tahan digodha lare, lajêng mubal nêpsune gêlis duka, niku Sunan napa? Yen pancen Sunaning jalma yêktos, mêsthi simpên budi luhur. Paduka niksa wong tanpa dosa, nggih niki margi paduka cilaka, tandhane paduka sapunika sampun jasa naraka jahanam, yen sampun dados, lajêng paduka-ênggeni piyambak, siram salêbêting kawah wedang ingkang umob mumpal-mumpal. Kula niki bangsaning lêlêmbut, sanes alam kaliyan manusa, ewadene kula taksih engêt dhatêng wilujêngipun manusa. Inggih sampun ta, sapunika sadaya ingkang risak kula-aturi mangsulakên malih, lepen ingkang asat lan panggenan ingkang sami katrajang toya kula-aturi mangsulakên kados sawaunipun, manawi panjênêngan botên karsa mangsulakên, sadaya manusa Jawi ingkang Islam badhe sami kula-têluh kajêngipun pêjah sadaya, kula tamtu nyuwun bantu wadya bala dhatêng Kanjêng Ratu Ayu Anginangin ingkang wontên samodra kidul”.

Sunan Benang barêng mirêng nêpsune Buta Locaya rumaos lupute, dene gawe kasusahan warna-warna, nyikara wong kang ora dosa, mula banjur ngandika: “Buta Locaya! aku iki bangsa Sunan, ora kêna mbaleni caturku kang wus kawêtu, besuk yen wus limang atus taun, kali iki bisa bali kaya mau-maune”.

Buta Locaya barêng krungu kêsagahane Sunan Benang, banjur nêpsu maneh, nuli matur marang Sunan Benang: “Kêdah paduka- wangsulna sapunika, yen botên sagêd, paduka kula-banda”.

Sunan Benang ngandika marang Buta Locaya: “Wis kowe ora kêna mangsuli, aku pamit nyimpang mangetan, woh sambi iki tak-jênêngake cacil, dene kok kaya bocah cilik padha tukaran, dhêmit lan wong pêcicilan rêbut bênêr ngadu kawruh prakara rusaking tanah, sarta susahe jalma lan dhêmit, dak-suwun marang Rabbana, woh sambi dadi warna loro kanggone, daginge dadiya asêm, wijine mêtuwa lêngane, asêm dadi pasêmoning ulat kêcut, dene dhêmit padu lan manusa, lênga têgêse dhêmit mlêlêng jalma lunga. Ing besuk dadiya pasêksen, yen aku padu karo kowe, lan wiwit saiki panggonan têtêmon iki, kang lor jênênge desa Singkal, ing kene desa ing Sumbre, dene panggonane balamu kang ana ing kidul iku jênênge desa Kawanguran”.

Sunan Benang sawuse ngandika mangkono banjur mlumpat marang wetan kali, katêlah nganti tumêka saprene ing tanah Kutha Gêdhah ana desa aran Kawanguran, Sumbre sarta Singkal, Kawanguran têgêse kawruhan, Singkal têgêse sêngkêl banjur nêmu akal.

Buta Locaya nututi tindake Sunan Benang. Sunan Benang tindake têkan ing desa Bogêm, ana ing kono Sunan Benang mriksani rêca jaran, rêca mau awak siji êndhase loro, dene prênahe ana sangisoring wit trênggulun, wohe trênggulun mau akeh bangêt kang padha tiba nganti amblasah, Sunan Benang ngasta kudhi, rêca jaran êndhase digêmpal.

Buta Locaya barêng wêruh patrape Sunan Benang anggêmpal êndhasing rêca jaran, saya wuwuh nêpsune sarta mangkene wuwuse: “Punika yasanipun sang Prabu Jayabaya, kangge pralambang ing tekadipun wanita Jawi, benjing jaman Nusa Srênggi, sintên ingkang sumêrêp rêca punika, lajêng sami mangrêtos tekadipun para wanita Jawi”.

Sunan Benang ngandika: “Kowe iku bangsa dhêmit kok wani padu karo manusa, jênênge dhêmit kêmênthus”.

Buta Locaya mangsuli: “Inggih kaot punapa, ngriku Sunan, kula Ratu”.

Sunan Benang ngandika: “Woh trênggulun iki tak-jênêngake kênthos, dadiya pangeling-eling ing besuk, yen aku kêrêngan karo dhêmit kumênthus, prakara rusaking rêca”.

Ki Kalamwadi ngandika: “Katêlah nganti saprene, woh trênggulun jênênge kênthos, awit saka sabdane Sunan Benang, iku pituture Raden Budi Sukardi, guruku”.

Sunan Benang banjur tindak mangalor, barêng wis wanci asar, kêrsane arêp salat, sajabane desa kono ana sumur nanging ora ana timbane, sumure banjur digolingake, dene Sunan Benang sawise, nuli sagêd mundhut banyu kagêm wudhu banjur salat.

Ki Kalamwadi ngandika: “Katêlah nganti saprene sumur mau karane sumur Gumuling, Sunan Benang kang anggolingake, iku pituture Raden Budi guruku, êmbuh bênêr lupute”.

Sunan Benang sawise salat banjur nêrusake tindake, satêkane desa Nyahen (10) ing kona ana rêca buta wadon, prênahe ana sangisoring wit dhadhap, wêktu iku dhadhape pinuju akeh bangêt kêmbange, sarta akeh kang tiba kanan keringe rêca buta mau, nganti katon abang mbêranang, saka akehe kêmbange kang tiba, Sunan Benang priksa rêca mau gumun bangêt, dene ana madhêp mangulon, dhuwure ana 16 kaki, ubênge bangkekane 10 kaki, saupama diêlih saka panggonane, yen dijunjung wong wolung atus ora kangkat, kajaba yen nganggo piranti, baune têngên rêca mau disêmpal dening Sunan Benang, bathuke dikrowak.

Buta Locaya wêruh yen Sunan Benang ngrusak rêca, dheweke nêpsu maneh, calathune: “Panjênêngan nyata tiyang dahwen, rêca buta bêcik-bêcik dirusak tanpa prakara, saniki awon warnine, ing mangka punika yasanipun Sang Prabu Jayabaya, lah asilipun punapa panjênêngan ngrisak rêca?”

Pangandikane Sunan Benang: “Mulane rêca iki tak-rusak, supaya aja dipundhi-pundhi dening wong akeh, aja tansah disajeni dikutugi, yen wong muji brahala iku jênênge kapir kupur lair batine kêsasar.”

Buta Locaya calathu maneh: “Wong Jawa rak sampun ngrêtos, yen punika rêca sela, botên gadhah daya, botên kuwasa, sanes Hyang Latawalhujwa, mila sami dipunladosi, dipunkutugi, dipunsajeni, supados para lêlêmbut sampun sami manggen wontên ing siti utawi kajêng, amargi siti utawi kajêng punika wontên asilipun, dados têdhanipun manusa, mila para lêlêmbut sami dipunsukani panggenan wontên ing rêca, panjênêngan-tundhung dhatêng pundi? Sampun jamakipun brêkasakan manggen ing guwa, wontên ing rêca, sarta nêdha ganda wangi, dhêmit manawi nêdha ganda wangi badanipun kraos sumyah, langkung sênêng malih manawi manggen wontên ing rêca wêtah ing panggenan ingkang sêpi edhum utawi wontên ngandhap kajêng ingkang agêng, sampun sami ngraos yen alamipun dhêmit punika sanes kalayan alamipun manusa, manggen wontên ing rêca têka panjênêngan-sikara, dados panjênêngan punika têtêp tiyang jail gêndhak sikara siya-siya dhatêng sasamining tumitah, makluking Pangeran. Aluwung manusa Jawa ngurmati wujud rêca ingkang pantês simpên budi nyawa, wangsul tiyang bangsa ‘Arab sami sojah Ka’batu’llah, wujude nggih tugu sela, punika inggih langkung sasar”.

Pangandikane Sunan Benang: Ka’batu’llah iku kang jasa Kangjêng Nabi Ibrahim, ing kono pusêring bumi, didelehi tugu watu disujudi wong akeh, sing sapa sujud marang Ka’batu’llah, Gusti Allah paring pangapura lupute kabeh salawase urip ana ing ‘alam pangumbaran”.

Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: “Tandhane napa yen angsal sihe Pangeran, angsal pangapuntên sadaya kalêpatanipun, punapa sampun angsal saking Pangeran Kang Maha Agung tapak asta mawi cap abrit?

Sunan Benang ngandika maneh: “Kang kasêbut ing kitabku, besuk yen mati oleh kamulyan”.

Buta Locaya mangsuli karo mbêkos: “Pêjah malih yen sumêrêpa, kamulyan sanyata wontên ing dunya kemawon sampun korup, sasar nyêmbah tugu sela, manawi sampun nrimah nêmbah curi, prayogi dhatêng rêdi Kêlut kathah sela agêng-agêng yasanipun Pangeran, sami maujud piyambak saking sabda kun, punika wajib dipunsujudi. Saking dhawuhipun Ingkang Maha Kuwaos, manusa sadaya kêdah sumêrêp ing Batu’llahipun, badanipun manusa punika Baitu’llah ingkang sayêktos, sayêktos yen yasanipun Ingkang Maha Kuwaos, punika kêdah dipunrêksa, sintên sumêrêp asalipun badanipun, sumêrêp budi hawanipun, inggih punika ingkang kenging kangge tuladha. Sanadyan rintên dalu nglampahi salat, manawi panggenanipun raga pêtêng, kawruhipun sasar-susur, sasar nêmbah tugu sela, tugu damêlan Nabi, Nabi punika rak inggih manusa kêkasihipun Gusti Allah, ta, pinaringan wahyu nyata pintêr sugih engêtan, sidik paningalipun têrus, sumêrêp

cipta sasmita ingkang dereng kalampahan. Dene ingkang yasa rêca punika Prabu Jayabaya, inggih kêkasihipun Ingkang Kuwaos, pinaringan wahyu mulya, inggih pintêr sugih engêtan sidik paningalipun têrus, sumêrêp saderengipun kalampahan, paduka pathokan tulis, tiyang Jawi pathokan sastra, bêtuwah saking lêluhuripun. sami-sami nyungkêmi kabar, aluwung nyungkêmi kabar sastra saking lêluhuripun piyambak, ingkang patilasanipun taksih kenging dipuntingali. Tiyang nyungkêmi kabar ‘Arab, dereng ngrêtos kawontênanipun ngrika, punapa dora punapa yêktos, anggêga ujaripun tiyang nglêmpara. Mila panjênêngan anganjawi, nyade umuk, nyade mulyaning nagari Mêkah, kula sumêrêp nagari Mêkah, sitinipun panas, awis toya, tanêm-tanêm tuwuh botên sagêd mêdal, bênteripun bantêr awis jawah, manawi tiyang ingkang ahli nalar, mastani Mêkah punika nagari cilaka, malah kathah tiyang sade tinumbas tiyang, kangge rencang tumbasan. Panjênêngan tiyang duraka, kula-aturi kesah saking ngriki, nagari Jawi ngriki nagari suci lan mulya, asrêp lan bênteripun cêkapan, tanah pasir mirah toya, punapa ingkang dipuntanêm sagêd tuwuh, tiyangipun jalêr bagus, wanitanipun ayu, madya luwês wicaranipun. Rêmbag panjênêngan badhe priksa pusêring jagad, inggih ing ngriki ingkang kula-linggihi punika, sapunika panjênêngan ukur, manawi kula lêpat panjênêngan jotos. Rêmbag panjênêngan punika mblasar, tandha kirang nalar, kirang nêdha kawruh budi, rêmên niksa ing sanes. Ingkang yasa rêca punika Maha Prabu Jayabaya, digdayanipun ngungkuli panjênêngan, panjênêngan punapa sagêd ngêpal lampahing jaman? Sampun ta, kula aturi kesah kemawon saking ngriki, manawi botên purun kesah sapunika, badhe kula undhangakên adhi kula ingkang wontên ing rêdi Kêlut, panjênêngan kula-kroyok punapa sagêd mênang, lajêng kula bêkta mlêbêt dhatêng kawahipun rêdi Kêlut, panjênêngan punapa botên badhe susah, punapa panjênêngan kêpengin manggen ing sela kados kula? Mangga dhatêng Selabale, dados murid kula!”.

Sunan Benang ngandika: “Ora arêp manut rêmbugmu, kowe setan brêkasakan”.

Buta Locaya mangsuli: “Sanadyan kula dhêmit, nanging dhêmit raja, mulya langgêng salamine, panjênêngan dereng tampu mulya kados kula, tekad panjênêngan rusuh, rêmên nyikara niaya, mila panjênêngan dhatêng tanah Jawi, wontên ing ‘Arab nakal kalêbêt tiyang awon, yen panjênêngan mulya tamtu botên kesah saking ‘Arab, mila minggat, saking lêpat, tandhanipun wontên ing ngriki taksih krejaban, maoni adating uwong, maoni agama, damêl risak barang sae, ngarubiru agamane lêluhur kina, Ratu wajib niksa, mbucal dhatêng Mênadhu”.

Sunan Benang ngandika: “Dhadhap iki kêmbange tak jênêngake celung, uwohe kledhung, sabab aku kêcelung nalar lan kêledhung rêmbag, dadiya pasêksen yen aku padu lan ratu dhêmit, kalah kawruh kalah nalar”.

Mula katêlah nganti tumêka saprene, woh dhadhap jênênge kledhung, kêmbange aran celung.

Sunan Benang banjur pamitan: “Wis aku arêp mulih mênyang Benang”.

Buta Locaya mangsuli karo nêpsu: “Inggih sampun, panjênêngan enggala kesah, wontên ing ngriki mindhak damêl sangar, manawi kadangon wontên ing ngriki mindhak damêl susah, murugakên awis wos, nambahi bênter, nyudakakên toya”.

Sunan Benang banjur tindak, dene Buta Locaya sawadya-balane uga banjur mulih. Gênti kang cinarita, nagari ing Majalêngka, anuju sawijining dina, Sang Prabu Brawijaya miyos sinewaka, diadhêp Patih sarta para wadya bala, Patih matur, yen mêntas nampani layang saka Tumênggung ing Kêrtasana, dene surasane layang ngaturi uninga yen nagara Kêrtasana kaline asat, kali kang saka Kadhiri miline nyimpang mangetan, saperanganing layang mau unine mangkene: “Wontên ler-kilen Kadhiri, pintên-pintên dhusun sami karisakan, anggenipun makatên wau, saking kenging sabdanipun ngulama saking ‘Arab, namanipun Sunan Benang.

Sang Prabu mirêng ature Patih bangêt dukane, Patih banjur diutus mênyang Kêrtasana, niti-priksa ing kono kabeh, kahanane wonge sarta asile bumi kang katrajang banyu kapriye? Sarta didhawuhi nimbali Sunan Benang.

Gêlising carita, Patih sawise niti-priksa, banjur ngaturake kahanane kabeh, dene duta kang diutus mênyang Tuban uga wis têka, matur yen ora oleh gawe, amarga Sunan Benang lunga ora karuhan parane.

Sang Prabu midhangêt ature para wadya banjur duka, paring pangandika yen ngulama saka ‘Arab pada ora lamba atine. Sang Prabu banjur dhawuh marang Patih, wong ‘Arab kang ana ing tanah Jawa padha didhawuhi lunga, amarga gawe ribêding nagara, mung ing Dêmak lang Ngampelgadhing kang kêparêng ana ing tanah Jawa, nglêstarekake agamane, liyane loro iku didhawuhi ngulihake mênyang asale, dene yen padha ora gêlêm lunga didhawuhi ngrampungi bae. Ature Patih: “Gusti! lêrês dhawuh paduka punika, amargi ngulama Giripura sampun tigang taun botên sowan utawi botên ngaturakên bulubêkti, mênggah sêdyanipun badhe rêraton piyambak, botên ngrumaosi nêdha ngombe wontên tanah Jawi, dene namanipun santri Giri anglangkungi asma paduka, pêparabipun Sunan ‘Aênalyakin, punika nama ing têmbung ‘Arab, mênggah têgêsipun Sunan punika budi, têgêsipun Aenal punika ma’rifat, têgêsipun Yakin punika wikan, sumêrêp piyambak, dados nama tingal ingkang têrus, suraosipun ing têmbung Jawi nama Prabu Satmata, punika asma luhur ingkang makatên punika ngirib-irib tingalipun Kang Maha Kuwasa, mariksa botên kasamaran, ing alam donya botên wontên kalih ingkang asma Sang Prabu Satmata, kajawi namung Bathara Wisnu nalika jumênêng Nata wontên ing nagari Mêdhang-Kasapta. Sang Prabu midhangêt ature Patih, banjur dhawuh nglurugi pêrang mênyang Giri, Patih budhal ngirid wadya-bala prajurit, nglurug mênyang Giri. Patih sawadya-balane satêkane ing Giri banjur campuh pêrang. Wong ing Giri geger, ora kuwat nanggulangi pangamuke wadya Majapahit. Sunan Giri mlayu mênyang Benang, golek kêkuwatan, sawise oleh bêbantu, banjur pêrang maneh mungsuh wong Majalêngka, pêrange rame bangêt, ing wêktu iku tanah jawa wis meh saparo kang padha ngrasuk agama Islam, wong-wong ing Pasisir lor wis padha agama Islam, dene kang kidul isih têtêp nganggo agama Buddha. Sunan Benang wis ngrumasani kaluputane, ênggone ora sowan mênyang Majalêngka, mula banjur lunga karo Sunan Giri mênyang Dêmak, satêkane ing Dêmak, banjur ngêbang marang Adipati Dêmak, diajak nglurug mênyang Majalêngka, pangandikane Sunan Benang marang Adipati Dêmak: “Wêruha yen saiki wis têkan masa rusake Kraton Majalêngka, umure wis satus têlu taun, saka panawangku, kang kuwat dadi Ratu tanah Jawa, sumilih Kaprabon Nata, mung kowe, rêmbugku rusakên Kraton Majalêngka, nanging kang sarana alus, aja nganti ngêtarani, sowana besuk Garêbêg Mulud, nanging rumantiya sikêping pêrang: 1. gaweya samudana, 2. dhawuhana balamu para Sunan kabeh lan para Bupati kang wis padha Islam kumpulna ana ing Dêmak, yen kumpule iku arêp gawe masjid, mêngko yen wis kumpul, para Sunan sarta Bupati sawadya-balane kang wis padha Islam, kabeh mêsthi nurut marang kowe”.

Ature Adipati Dêmak: “Kula ajrih ngrisak Nagari Majalêngka, amêngsah bapa tur raja, kaping tiganipun damêl sae paring kamukten ing dunya, lajêng punapa ingkang kula-walêsakên, kajawi namung sêtya tuhu. Dhawuhipun eyang Sunan Ngampelgadhing, botên kaparêng yen kula mêngsah bapa, sanadyan Buddha nanging margi-kula sagêd dumados gêsang wontên ing dunya. Inggih sanadyan Buddha punapa kapir, tiyang punika bapa inggih kêdah dipunhurmati, punapa malih dereng wontên lêpatipun dhatêng kula”.

Sunan Benang ngandika mêneh: “Sanadyan mungsuh bapa lan ratu, ora ana alane, amarga iku wong kapir, ngrusak kapir Buddha kawak: kang kok-têmu ganjaran swarga. Eyangmu kuwi santri mêri, gundhul bêntul butêng tanpa nalar, patute mung dadi godhogan, sapira kawruhe Ngampelgadhing, bocah kalairan Cêmpa, masa padhaa karo aku Sayid Kramat, Sunan Benang kang wis dipuji wong sabumi ‘alam, têdhak Rasul panutaning wong Islam kabeh. Kowe mungsuh bapakmu Nata, sanadyan dosa pisan, mung karo wong siji, tur ratu kapir, nanging yen bapakmu kalah, wong satanah Jawa padha Islam kabeh. Kang mangkono iku, sapira mungguh kauntunganmu nugrahaning Pangeran tikêl kaping êmbuh, sihing Hyang Kang Maha Kuwasa kang dhawuh marang kowe. Satêmêne ramanira iku siya-siya marang sira, tandhane sira diparingi jênêng Babah, iku ora prayoga, têgêse Babah iku saru bangêt, iya iku: bae mati bae urip, wiji jawa digawa Putri Cina, mula ibumu diparingake Arya Damar, Bupati ing Palembang, wong pranakan buta; iku mêgat sih arane. Ramanira panggalihe têtêp ora bêcik, mulane rêmbugku, walêsên kalawan alus, lire aja katara, ing batin sêsêpên gêtihe, mamahên balunge”.

Sunan Giri nyambungi rêmbug: Aku iki ora dosa dilurugi ramamu, didakwa rêraton, amarga aku ora seba marang Majalêngka. Sumbare Patih, yen aku kacandhak arêp dikuciri lan dikon ngêdusi asu, akeh bangsa Cina kang padha têka ana ing tanah Jawa, ana ing Giri padha tak-Islamake awit kang muni ing kitabku, yen ngislamake wong kapir, besuk ganjarane swarga, mula akeh bangsa Cina kang padha tak- Islamake, tak-anggêp kulawarga. Dene têkaku mrene ini ngungsi urip mênyang kowe, aku wêdi marang Patih Majalêngka, lan ramanira sêngit bangêt marang santri kang muji dhikir, ênggone ngarani jare lara ayan esuk lan sore, yen kowe ora ngukuhi, mêsthi rusak agama Mukhammad Nabi”.

Wangsulane Sang Adipati Dêmak: “Anggenipun nglurugi punika lêrês, tiyang rêraton, botên ngrumaosi yen kêdah manut prentahing Ratu ingkang mbawahakên, sampun wajibipun dipunlurugi, dipunukum pêjah, awit panjênêngan botên ngrumaosi dhahar ngunjuk wontên in tanah Jawi”.

Sunan Benang ngandika maneh: “Yen ora kok-rêbut dina iki, kowe ngênteni surude bapakmu, kaprabone bapakmu wis mêsthi ora bakal tiba kowe, mêsthi dipasrahake marang Adipati Pranaraga, amarga iku putrane kang tuwa, utawa dipasrahake marang putra mantu, iya iku Ki Andayaningrat ing Pêngging, kowe anak nom, ora wajib jumênêng Nata, mumpung iki ana lawang mênga, Giri kang dadi jalarane ngrusak Majalêngka, nadyan mati, mungsuh wong kapir, mati sabilu’llah, patine slamêt nampani swarga mulya, wis wajibe wong Islam mati dening wong kapir, saka ênggone nyungkêmi agamane, karo wis wajibe wong urip golek kamuktening dunya, golek darajat kang unggul dhewe, yen wong urip ora wêruh marang uripe, iku durung gênêp uripe, lamun sipat manusa mêsthi melik mêngku praja angreh wadya bala, awit Ratu iku Khalifa wakile Hyang Widdhi, apa bae kang dikarêpake bisa kêlakon, satêmêne kowe wis pinasthi bakal jumênêng Ratu ana ing tanah Jawa, sumilih kaprabone ramamu, ananging ing laire iya kudu nganggo sarat dirêbut sarana pêrang, yen kowe ora gêlêm nglakoni, mêsthine sihe Gusti Allah kang mênyang kowe bakal dipundhut bali, dadi kowe jênênge nampik sihe Allah, aku mung sadarma njurungi, amarga aku wis wêruh sadurunge winarah, wis tak-sêmprong nganggo sangkal bolong katon nêrawang ora samar sajroning gaib, kowe kang katiban wahyu sihe Pangeran, bisa dadi Ratu ana ing tanah Jawa, murwani agama suci, ambirat ênggonmu madêg Narendra, bisa ngideni adêgmu Nata mêngku tanah Jawa, bisa lêstari satêruse”. Akeh-akeh dhawuhe Sunan Benang, pambujuke marang adipati Dêmak supaya mêtu nêpsune, gêlêm ngrusak Majalêngka, malah diwenehi lêpiyan carita Nabi, kang gêlêm ngrusak bapa kapir, iku padha nêmu rahayu.

Adipati Dêmak matur: “Manawi karsa panjênêngan makatên, kula namung sadarmi nglampahi dhawuh, panjênêngan ingkang mbotohi”.

Sunan Benang ngandika maneh: “Iya mangkono iku kang tak karêpake, saiki kowe wis gêlêm tak botohi, lah saiki uga kowe kirima layang marang adhimu Adipati Têrung, ananging têmbungmu kang rêmit sarta alus, adhimu antêpên, apa abot Sang Nata, apa abot sadulur tuwa kang tunggal agama. Yen adhimu wis rujuk adêgmu Nata, gampang bangêt rusaking Majalêngka. Majapahit sapa kang diêndêlake yen Kusen mbalik, Si gugur isih cilik, masa ndadak waniya, Patihe wis tuwa, dithothok bae mati, mêsthi ora bisa nadhahi yudamu”. Adipati Dêmak banjur kirim layang marang Têrung, ora suwe utusan bali, wis tinampan wangsulane Sang Adipati Têrung, saguh ambiyantu pêrang, layang banjur katur Sunan Benang, ndadekake sukaning panggalih, Sunan Benang banjur ngandika marang Adipati Dêmak, supaya Sang Adipati ngaturi para Sunan lan para Bupati kabeh, samudana yen arêp ngêdêgake masjid, lan diwenehana sumurup yen Sunan Benang wis ana ing Dêmak. Gêlising carita, ora suwe para Sunan lan para Bupati padha têka kabeh, banjur pakumpulan ngêdêgake masjid, sawise mêsjid dadi, banjur padha salat ana ing masjid, sabakdane salat, banjur tutup lawang, wong kabeh dipangandikani dening Sunan Benang, yen Adipati Dêmak arêp dijumênêngake Nata, sarta banjur arêp ngrusak Majapahit, yen wis padha rujuk, banjur arêp kêpyakan tumuli. Para Sunan lan para Bupati wis padha rujuk kabeh, mung siji kang ora rujuk, iya iku Syekh Sitijênar. Sunan Benang duka, Syekh Sitijênar dipateni, dene kang kadhawuhan mateni iya iku Sunan Giri, Syekh Sitijênar dilawe gulune mati. Sadurunge Syekh Sitijênar tumêka ing pati, ninggal swara: “Eling-eling ngulama ing Giri, kowe ora tak-walês ing akhirat, nanging tak-walês ana ing dunya kene bae, besuk yen ana Ratu Jawa kanthi wong tuwa, ing kono gulumu bakal tak-lawe gênti”. Sunan Giri mangsuli: “Iya besuk wani, saiki wani, aku ora bakal mundur”. Sawise golong karêpe, nglêstarekake apa kang wis dirêmbug. Sang Adipati Dêmak banjur ingidenan jumênêng Nata, amêngku tanah Jawa, jêjuluk Senapati Jimbuningrat, patihe wong saka Atasaning aran Patih Mangkurat. Esuke Senapati Jimbuningrat wis miranti sapraboting pêrang, banjur budhal mênyang Majapahit, diiringake para Sunan lan para Bupati, lakune kaya dene Garêbêg Maulud, para wadya bala ora ana kang ngrêti wadining laku, kajaba mung para Tumênggung lan para Sunan apa dene para ngulama, Sunan Benang lan Sunan Giri ora melu mênyang Majapahit, pawadane sarehne wis sêpuh, mung arêp salat ana ing masjid bae, lan paring idi rahayuning laku, dadi mung para Sunan lan para Bupati bae kang ngiringake Sultan Bintara, ora kacarita lakune ana ing dalan.

Gênti kocapa nagara in Majapahit, Patih saulihe saka ing Giri banjur matur sang Praba, bab ênggone mukul pêrang ing Giri, mungguh kang dadi senapati ing Giri iya iku sawijining bangsa Cina kang wis ngrasuk agama Islam, arane Sêcasena, mangsah mêncak nganggo gêgêman abir, sawadya-balane watara wong têlung atus, padha bisa mêncak kabeh, brêngose capang sirahe gundhul, padha manganggo srêban cara kaji, mangsah pêrang paculat kaya walang kadung, wadya Majapahit ambêdhili, dene wadya-bala ing Giri pating jênkelang ora kêlar nadhahi tibaning mimis. Senapati Sêcasena wis mati, dene bala Cina liyane lang kari padha mlayu salang tunjang, bala ing Giri ngungsi mênyang alas ing gunung, sawêneh ngambang ing sagara, mlayu mênyang Benang têrus diburu dening wadya-bala Majapahit, Sunan Giri lan Sunan Benang banjur nunggal saprau-layar ngambang ing sagara, kinira banjur minggat marang Arab ora bali ngajawa. Sang Prabu banjur dhawuh marang Patih, supaya utusan mênyang Dêmak, andhawuhake yen ngulama ing Giri lan ing Benang padha têka ing Dêmak, didhawuhi nyêkêl, kaaturna bêbandan ing ngarsa Nata, awit dosane santri Benang ngrusak bumi ing Kêrtasana, dene dosane santri Giri ora gêlêm seba marang ngarsa Prabu, tekade sumêdya nglawan pêrang.

Patih samêtune ing paseban jaba, banjur nimbali duta kang arêp diutus mênyang Dêmak, sajrone ana ing paseban jaba, kêsaru têkane utusane Bupati ing Pathi, ngaturake layang marang Patih, layang banjur diwaos kiyai Patih, mungguh surasaning layang. Menak Tunjungpura ing Pathi ngaturi uninga, yen Adipati ing Dêmak, iya iku Babah Patah, wis madêg Ratu ana ing Dêmak, dene kang ngêbang- êbang adêging Nata, iya iku Sunan Benang lan Sunan Giri, para Bupati pasisir lor sawadyane kang wis padha Islam uga padha njurungi, dene jêjuluking Ratu, Senapati Jimbuningrat, utawa Sultan Syah ‘Alam Akbar Siru’llah Kalifatu’rrasul Amiri’lmukminin Tajudi’l’Abdu’lhamid Kak, iya Sultan Adi Surya ‘Alam, ing Bintara. Ing samêngko Babah Patah sawadya-balane wis budhal nglurug marang Majapahit, sêdya mungsuh ingkang rama, Babah Patah abot mênyang gurune, ngenthengake ingkang rama, para Sunan lan para Bupati padha ambiyantu anggone arêp mbêdhah Majapahit. Babah Patah anggone nggawa bala têlung lêksa miranti sapraboting pêrang, mungguh kature Sang Prabu amborongake kiyai Patih. Layang kang saka Pathi mau katitimasan tanggal kaping 3 sasi Mulud taun Jimakir 1303, masa Kasanga Wuku Prangbakat. Kiyai Patih sawise maos layang, njêtung atine, sarta kêrot, gêrêng-gêrêng, gedheg-gedheg, bangêt pangungune, banjur tumênga ing tawang karo nyêbut marang Dewa kang Linuwih, bangêt gumune mênyang wong Islam, dene ora padha ngrêti mênyang kabêcikane Sang Prabu, malah padha gawe ala. Kyai Patih banjur matur Sang Prabu, ngaturake surasane layang mau.

Sang Prabu Brawijaya midhangêt ature Patih kaget bangêt panggalihe, njêgrêg kaya tugu, nganti suwe ora ngandika, jroning panggalih ngungun bangêt marang putrane sarta para Sunan, dene padha duwe sêdya kang mangkono, padha diparingi pangkat, wêkasane malah padha gawe buwana balik, kolu ngrusak Majapahit. Sang Prabu nganti ora bisa manggalih apa mungguh kang dadi sababe, dene putrane lan para ngulama têka arêp ngrusak karaton, digoleki nalar-nalare tansah wudhar, lair batin ora tinêmu ing nalar, dene kok padha duwe pikir ala. Ing wêktu iku panggalihe Sang Prabu pêtêng bangêt, sungkawane ratu Gêdhe kang linuwih, sinêmonan dening Dewa, kaya dene atining kêbo êntek dimangsa ing tumaning kinjir. Sang Prabu banjur andangu marang Patih, apa ta mungguh kang dadi sababe, dene putrane lan para ngulama apa dene para Bupati kolu ngrusak Majapahit, ora padha ngelingi marang kabêcikan.

Ature Patih, mratelakake yen uga ora mangêrti, amarga adoh karo nalare, wong dibêciki kok padha malês ala, lumrahe mêsthi, padha malês bêcik. Ki Patih uga mung gumun, dene wong Islam pikire kok padha ora bêcik, dibêciki walêse kok padha ala.

Sang Prabu banjur ngandika marang patih, bab anane lêlakon kaya mangkono iku amarga saka lêpate sang nata piyambak, dene nggêgampang marang agama kang wis kanggo turun-tumurun, sarta ênggone kêgiwang marang ature Putri Cêmpa, ngideni para ngulama mêncarake agama Islam. Sang Nata saka putêking panggalihe nganti kawêdhar pangandikane ngêsotake marang wong Islam: Sun-suwung marang Dewa Gung, muga winalêsna susah-ingsun, wong Islam iku besuk kuwalika agamanira, manjalma dadi wong kucir, dene tan wruh kabêcikan, sun-bêciki walêse angalani”. “Sabdaning Ratu Agung sajroning kasusahan, katarima dening Bathara, sinêksen ing jagad, katandhan ana swara jumêgur gêtêr patêr sabuwana, iya iku kawitane manuk kuntul ana kang kucir. Sunan, ngulama kabeh ngrangkêp jênêng walikan, katêlah tumêka saprene, ngulama jênênge walian, kuntul kucir githoke. Sang Prabu banjur mundhut pamrayoga marang Patih, prakara têkane mungsuh, santri kang ngrêbut nagara, iku dilawan apa ora? Sang Nata rumaos gêtun lan ngungun, dene Adipati Dêmak kapengin mêngkoni Majapahit bae kok dirêbut sarana pêrang, saupama disuwun kalayan aris bae mêsthi diparingake, amarga Sang Nata wis sêpuh. Ature Patih prayoga nglawan têkaning mungsuh. Sang Prabu ngandika, yen nganti nglawan rumaos lingsêm bangêt, dene mungsuh karo putra, mula dhawuhe Sang Prabu, yen mapag pêrang kang sawatara bae, aja nganti ngrusakake bala. Patih didhawuhi nimbali Adipati Pêngging sarta Adipati Pranaraga, amarga putra kang ana ing Majapahit durung wanci yen mapagake pêrang, sawise paring pangandika mangkono. Sang Prabu banjur lolos arsa têdhak marang Bali, kadherekake abdi kêkasih, Sabdapalon lan Nayagenggong. Sajrone Sang Prabu paring pangandika, wadya-bala Dêmak wis pacak baris ngêpung nagara, mula kasêsa tindake. Wadya Dêmak banjur campuh karo wadya Majapahit, para Sunan banjur ngawaki pêrang, Patih Majapahit ngamuk ana samadyaning papêrangan. Para Bupati Nayaka wolu uga banjur melu ngamuk. Pêrange rame bangêt, bala Dêmak têlung lêksa, balang Majapahit mung têlung ewu, sarehne Majapahit karoban mungsuh, prajurite akeh kang padha mati, mung Patih sarta Bupati Nayaka pangamuke saya nêsêg. Bala Dêmak kang katrajang mêsthi mati. Putrane Sang Prabu aran Raden Lêmbupangarsa ngamuk ana satêngahing papêrangan, tandhing karo Sunan Kudus, lagi rame-ramene têtandhingan pêrang, Patih Mangkurat ing Dêmak nglambung, Putra Nata tiwas, saya bangêt nêpsune, pangamuke kaya bantheng kataton, ora ana kang diwêdeni, Patih ora pasah sakehing gêgaman, kaya dene tugu waja, ora ana braja kang tumama marang sarirane, ing ngêndi kang katrajang bubar ngisis, kang tadhah mati nggêlasah, bangkening wong tumpang tindhih, Patih binendrongan saka kadohan, tibaning mimis kaya udan tiba ing watu. Sunan Ngudhung mapagake banjur mrajaya, nanging ora pasah, Sunan Ngudhung disuduk kêna, barêng Sunan Ngudhung tiwas, Patih dibyuki wadya ing Dêmak, dene wadya Majapahit wis êntek, sapira kuwate wong siji, wêkasan Patih ing Majapahit ngêmasi, nanging kuwandane sirna, tinggal swara: “Eling-eling wong Islam, dibêciki gustiku walêse ngalani, kolu ngrusak nagara Majapahit, ngrêbut nagara gawe pêpati, besuk tak-walês, tak-ajar wêruh nalar bênêr luput, tak-damoni sirahmu, rambutmu tak-cukur rêsik”.

Sapatine Patih, para Sunan banjur mlêbu mênyang kadhaton. nanging sang Prabu wis ora ana, kang ana mung Ratu Mas, iya iku Putri Cêmpa, sang Putri diaturi sumingkir mênyang Benang uga karsa.

Para prajurit Dêmak banjur padha mlêbu mênyang kadhaton, ana ing kono pada njarah rayah nganti rêsik, wong kampung ora ana kang wani nglawan. Raden Gugur isih timur lolos piyambak. Adipati Têrung banjur mlêbu mênyang jêro pura, ngobongi buku-buku bêtuwah Buddha padha diobongi kabeh, wadya sajroning pura padha bubar, beteng ing Bangsal wis dijaga wong Têrung. Wong Majapahit kang ora gêlêm têluk banjur ngungsi mênyang gunung lan alas-alas, dene kang padha gêlêm têluk, banjur dikumpulake karo wong Islam, padha dikon nyêbut asmaning Allah. Layone para putra santana lan nayaka padha kinumpulake, pinêtak ana sakidul-wetan pura. Kuburan mau banjur dijênêngake Bratalaya, jarene iku kubure Raden Lêmbupangarsa.

Barêng wis têlung dina, Sultan Dêmak budhal mênyang Ngampel, dene kang dipatah tunggu ana ing Majapahit, iya iku Patih Mangkurat sarta Adipati Têrung, njaga kaslamêtan mbokmanawa isih ana pakewuh ing wuri, Sunan Kudus njaga ana ing kraton dadi sulihe Sang Prabu, Têrung uga dijaga ngulama têlung atus, sabên bêngi padha salat kajat sarta andêrês Kur’an, wadya-bala kang saparo lan para Sunan padha ndherek Sang Prabu mênyang Ngampelgadhing, Sunan Ngampel wis seda, mung kari garwane kang isih ana ing Ngampel, garwane mau asli saking Tuban, putrane Arya Teja, sasedane Sunan Ngampel, Nyai Agêng kanggo têtuwa wong Ngampel. Sang Prabu Jambuningrat satêkane ing Ngampel, banjur ngabekti Nyai Agung, para Sunan sarta para Bupati gênti-gênti padha ngaturake sêmbah mênyang Nyai Agêng. Prabu Jimbuningrat matur yen mêntas mbêdhah Majapahit, ngaturake lolose ingkang rama sarta Raden Gugur, ngaturake patine Patih ing Majapahit lan matur yen panjênêngane wis madêg Nata mêngku tanah Jawa, dene jêjuluke: Senapati Jimbun, sarta Panêmbahan Palembang, ênggone sowan mênyang Ngampel iku, prêlu nyuwun idi, têtêpa jumênêng Nata nganti run-tumurun aja ana kang nyêlani.

Nyai Agêng Ngampel sawise mirêng ature Prabu Jimbun, banjur muwun sarta ngrangkul Sang Prabu, Nyai Agêng ing batos karaos-raos, mangkene pangudaraosing panggalih: “Putuku, kowe dosa têlung prakara, mungsuh Ratu tur sudarmane, sarta kang aweh kamukten ing dunya, têka dirusak kang tanpa prakara, yen ngelingi kasaeane uwa Prabu Brawijaya, para ngulama padha diparingi panggonan kang wis anggawa pamêtu minangka dadi pangane, sarta padha diuja sakarêpe, wong pancene rak sêmbah nuwun bangêt, wusana banjur diwalês ala, seda utawa sugênge ora ana kang wêruh”.

Nyai Agêng banjur ndangu Sang Prabu, pangandikane: “Êngger! aku arêp takon mênyang kowe, kandhaa satêmêne, bapakmu tênan kuwi sapa? Sapa kang ngangkat kowe dadi Ratu tanah Jawa lan sapa kang ngideni kowe? Apa sababe dene kowe syikara kang tanpa dosa?”

Sang Prabu banjur matur, yen Prabu Brawijaya iku jarene ramane têmênan. Kang ngangkat sarirane dadi Ratu mêngku tanah Jawa iku para Bupati pasisir kabeh. Kang ngideni para Sunan. Mulane nagara Majapahit dirusak, amarga Sang Prabu Brawijaya ora karsa salin agama Islam, isih ngagêm agama kapir kupur, Buddha kawak dhawuk kaya kuwuk.

Nyai Agêng barêng mirêng ature Prabu Jimbun, banjur njêrit ngrangkul Sang Prabu karo ngandika: “Êngger! kowe wêruha, kowe iku dosa têlung prakara, mêsthi kêsiku ing Gusti Allah. Kowe wani mungsuh Ratu tur wong tuwamu dhewe, sarta sing aweh nugraha marang kowe, dene kowe kok wani ngrusak kang tanpa dosa. Anane Islam lan kapir sapa kang gawe, kajaba mung siji Gusti Allah piyambak. Wong ganti agama iku ora kêna dipêksa yen durung mêtu saka karêpe dhewe. Wong kang nyungkêmi agamane nganti mati isih nggoceki tekade iku utama. Yen Gusti Allah wis marêngake, ora susah ngango dikon, wis mêsthi salin dhewe ngrasuk agama Islam. Gusti Allah kang sipat rahman, ora dhawuh lan ora malangi marang wong kang salin agama. Kabeh iki sasênênge dhewe-dhewe. Gusti Allah ora niksa wong kapir kang ora luput, sarta ora paring ganjaran marang wong Islam kang tumindak ora bênêr, mung bênêr karo lupute sing diadili nganggo têtêping adil, lalar-lulurên asalmu, ibumu Putri Cêmpa nyêmbah pikkong, wujud dluwang utawa rêja watu. Kowe ora kêna sêngit mênyang wong kang agama Buddha, tandha mripatmu iku lapisan, mula blero pandêlêngmu, ora ngrêti marang kang bênêr lan kang luput, jarene anake Sang Prabu, têka kolu marang bapa, kêduga ngrusak ora nganggo prakara, beda matane wong Jawa, Jawa Jawi ngrêti matane mung siji, dadi wêruh ing bênêr lan luput, wêruh kang bêcik lan kang ala, mêsthi wêdi mênyang bapa, kapindhone Ratu lan kang aweh nugraha, iku wajib dibêkteni. Eklasing ati bêkti bapa, ora bêkti wong kapir, amarga wis wajibe manusa bêkti marang wong tuwane. Kowe tak-dongengi, wong Agung Kuparman, iku agamane Islam, duwe maratuwa kapir, maratuwane gêthing marang wong Agung amarga seje agama, maratuwane tansah golek sraya bisane mantune mati, ewadene Wong Agung tansah wêdi- asih lang ngaji-aji, amarga iku wong tuwane, dadi ora dielingi kapire, nanging kang dielingi wong tuwane, mula Wong Agung iya ngaji-aji marang maratuwane. Iya iku êngger, kang diarani wong linuwih, ora kaya tekadmu, bapa disiya-siya, dupeh kapir Budha ora gêlêm ganti agama, iku dudu padon. Lan aku arêp takon, apa kowe wis matur marang wong tuwamu, kok-aturi salin agama? nagarane kok nganti kok-rusak iku kapriye?

Prabu Jimbun matur, yen durung ngaturi salin agama, têkane Majapahit banjur ngêpung nagara bae.

Nyai Agêng Ngampel gumujêng karo ngandika: “Tindakmu iku saya luput bangêt, sanadyan para Nadi dhek jaman kuna, ênggone padha wani mungsuh wong tuwane, iku amarga sabên dinane wis ngaturi santun agama, nanging ora karsa, mangka sabên dinane wis diaturi mujijade, kang nandhakake yen kudu wis santun agama Islam, ananging atur mau ora dipanggalih, isih nglêstarekake agamane lawas, mula iya banjur dimungsuh. Lamun mangkono tumindake, sanadyan mungsuh wong tuwa, lair batine ora luput. Barêng wong kang kaya kowe, mujijadmu apa? Yen nyata Khalifatu’llah wênang nyalini agama lah coba wêtokna mujijadmu tak-tontone”.

Prabu Jimbun matur yen ora kagungan mujijad apa-apa, mung manut unine buku, jare yen ngislamake wong kapir iku ing besuk oleh ganjaran swarga.

Nyai Agêng Ngampel gumujêng nanging wêwah dukane. Ujar-jare bae kok disungkêmi, tur dudu bukuning lêluhur, wong ngumbara kok diturut rêmbuge, sing nglakoni rusak ya kowe dhewe, iku tandha yen isih mêntah kawruhmu, durung wani marang wong tuwa, saka kêpenginmu jumênêng Nata, kasusuhane ora dipikir. Kowe kuwi dudu santri ahli budi, mung ngêndêlake ikêt putih, nanging putihe kuntul, sing putih mung ing jaba, ing jêro abang, nalika eyangmu isih sugêng, kowe tau matur yen arêp ngrusak Majapahit, eyangmu ora parêng, malah manti-manti aja nganti mungsuh wong tuwa, saiki eyangmu wis seda, wêwalêre kok-trajang, kowe ora wêdi papacuhe. Yen kowe njaluk idi marang aku, prakara têtêpmu dadi Ratu tanah Jawa, aku ora wênang ngideni, aku bangsa cilik tur wong wadon, mêngko rak buwana balik arane, awit kowe sing mêsthine paring idi marang aku, amarga kowe Khalifatu’llah sajroning tanah Jawa, mung kowe dhewe sing tuwa, saucapmu idu gêni, yen aku tuwa tiwas, yen kowe têtêp tuwa Ratu”.

Banjure pangandikane Nyai Agêng Ngampel: “Putu! kowe tak- dongengi kupiya patang prakara, ing kitab hikayat wis muni, carita tanah Mêsir, panjênêngane Kanjêng Nabi Dhawud, putrane anggege kapraboning rama, Nabi Dhawud nganti kengsêr saka nagara, putrane banjur sumilih jumênêng Nata, ora lawas Nabi Dhawud sagêd wangsul ngrêbut nagarane. Putrane nunggang jaran mlayu mênyang alas, jarane ambandhang kêcanthol-canthol kayu, nganthi pothol gumantung ana ing kayu, iya iku kang diarani kukuming Allah. Ana maneh caritane Sang Prabu Dewata-cêngkar, iku iya anggege kapraboning rama, nanging banjur disotake dening ingkang rama banjur dadi buta, sabên dina mangsa jalma, ora suwe antarane, ana Brahmana saka tanah sabrang angajawa, aran Aji Saka, anggêlarake panguwasa sulap ana ing tanah Jawa. Wong Jawa akeh kang padha asih marang Aji Saka, gêthing marang Dewatacêngkar, Ajisaka diangkat dadi Raja, Dewatacêngkar dipêrangi nganti kêplayu, ambyur ing sagara, dadi bajul, ora antara suwe banjur mati. Ana maneh caritane nagara Lokapala uga mangkono, Sang Prabu Danaraja wani karo ingkang rama, kukume iya isih tumindak kaya kang tak-caritakake mau, kabeh padha nêmu sangsara. Apa maneh kaya kowe, mungsuh bapa kang tanpa prakara, kowe mêsthi cilaka, patimu iya mlêbu mênyang yomani, kang mangkono iku kukume Allah”.

Sang Prabu Jimbun mirêng pangandikane ingkang eyang, panggalihe rumasa kêduwung bangêt, nanging wis ora kêna dibalekake.

Nyai Agêng Ngampel isih nêrusake pangandikane: “Kowe kuwi dilêbokake ing loropan dening para ngulama lan para Bupati, mung kowe kok gêlêm nglakoni, sing nglakoni cilaka rak iya mung kowe dhewe, tur kelangan bapa, salawase urip jênêngmu ala, bisa mênang pêrang nanging mungsuh bapa Aji, iku kowe mrêtobata marang Kang Maha Kuwasa, kiraku ora bakal oleh pangapura, sapisan mungsuh bapa, kapindho murtat ing Ratu, kaping têlune ngrusak kabêcikan apa dene ngrusak prajane tanpa prakara. Adipati Pranaraga lan Adipati Pêngging masa trimaa rusaking Majapahit, mêsthine labuh marang bapa, iku bae wis abot sanggane”. Nyai Agêng akeh-akeh pangandikane marang Prabu Jimbun. Sawise Sang Prabu dipangandikani, banjur didhawuhi kondur mênyang Dêmak, sarta didhawuhi nglari lolose ingkang rama, yen wis kêtêmu diaturana kondur mênyang Majapahit, lan aturana mampir ing Ngampelgadhing, nanging yen ora kêrsa, aja dipêksa, amarga yen nganti duka mangka banjur nyupatani, mêsthi mandi.

Sang Prabu Jimbun sarawuhe ing Dêmak, para wadya padha sênêng-sênêng lan suka-suka nutug, para santri padha trêbangan lan dhêdhikiran, padha angucap sukur lan bungah bangêt dene Sang Prabu wis kondur sarta bisa mênang pêrange.

Sunan Benang mêthukake kondure Sang Prabu Jimbun, Sang Nata banjur matur marang Sunan Benang yen Majapahit wis kêlakon bêdhah, layang-layang Buddha iya wis diobongi kabeh, sarta ngaturake yen ingkang rama lan Raden Gugur lolos, Patih Majapahit mati ana samadyaning papêrangan, Putri Cêmpa wis diaturi ngungsi mênyang Benang, wadya Majapahit sing wis têluk banjur padha dikon Islam.

Sunan Benang mirêngake ature Sang Prabu Jimbun, gumujêng karo manthuk-manthuk, sarta ngandika yen wis cocog karo panawange.

Sang Prabu matur, yen kondure uga mampir ing Ngampeldênta, sowan ingkang eyang Nyai Agêng Ngampel, ngaturake yen mêntas saka Majapahit, sarta nyuwun idi ênggone jumênêng Nata, nanging ana ing Ngampel malah didukani sarta diuman-uman, ênggone ora ngrêti marang kabêcikane Sang Prabu Brawijaya, nanging sawise, banjur didhawuhi ngupaya ingkang rama, apa sapangandikane Nyai Agêng Ngampel diaturake kabeh marang Sunan Benang.

Sunan Benang sawise mirêngake ature Sang Nata ing batos iya kêduwung, rumaos lupute, dene ora ngelingi marang kabêcikane Sang Prabu Brawijaya. Nanging rasa kang mangkono mau banjur dislamur ing pangandika, samudanane nyalahake Sang Prabu Brawijaya lan Patih, ênggone ora karsa salin agama Islam.

Sunan Benang banjur ngandika, yen dhawuhe Nyai Agêng Ngampel ora pêrlu dipanggalih, amarga panimbange wanita iku mêsthi kurang sampurna, luwih bêcik ênggone ngrusak Majapahit dibanjurake, yen Prabu Jimbun mituhu dhawuhe Nyai Ngampeldênta, Sunan Benang arêp kondur mênyang ‘Arab, wusana Prabu Jimbun banjur matur marang Sunan Benang, yen ora nglakoni dhawuhe Nyai Ngampel, mêsthine bakal oleh sabda kang ora bêcik, mula iya wêdi.

Sunan Benang paring dhawuh marang Sang Prabu, yen ingkang rama mêksa kondur mênyang Majapahit, Sang Prabu didhawuhi sowan nyuwun pangapura kabeh kaluputane, dene yen arêp ngaturi jumênêng Nata maneh, aja ana ing tanah Jawa, amarga mêsthi bakal ngribêdi lakune wong kang padha arêp salin agama Islam, supaya dijumênêngake ana seje nagara ing sajabaning tanah Jawa.

Sunan Giri banjur nyambungi pangandika, mungguh prayoganing laku supaya ora ngrusakake bala, Sang Prabu Brawijaya sarta putrane bêcik ditênung bae, awit yen mateni wong kapir ora ana dosane.

Sunan Benang sarta Prabu Jimbun wis nayogyani panêmune Sunan Giri kang mangkono mau.

Gênti kang cinarita, tindake Sunan kalijaga ênggone ngupaya Sang Prabu Brawijaya, mung didherekake sakabat loro lakune kêlunta-lunta, sabên desa diampiri, saka ênggone ngupaya warta. Lampahe Sunan Kalijaga turut pasisir wetan, sing kalangkungan tindake Sang Prabu Brawijaya.

Lampahe Sang Prabu Brawijaya wis têkan ing Blambangan, sarehne wis kraos sayah banjur kendêl ana sapinggiring beji. Ing wêktu iku panggalihe Sang Prabu pêtêng bangêt, dene sing marak ana ngarsane mung kêkasih loro, iya iku Nayagenggong lan Sabdapalon, abdi loro mau tansah gêguyon, lan padha mikir kahaning lêlakon kang mêntas dilakoni, ora antara suwe kêsaru sowanne Sunan Kalijaga, banjur ngabêkti sumungkêm padane Sang Prabu.

Sang Prabu banjur ndangu marang Sunan Kalijaga: “Sahid! kowe têka ana apa? Apa prêlune nututi aku?”

Sunan Kalijaga matur: “Sowan kula punika kautus putra paduka, madosi panjênêngan paduka, kapanggiha wontên ing pundi-pundi, sêmbah sungkêmipun konjuka ing pada paduka Aji, nuwun pangaksama sadaya kasisipanipun, dene ngantos kamipurun ngrêbat kaprabon paduka Nata, awit saking kalimputing manah mudha punggung, botên sumêrêp tata krami, sangêt kapenginipun mêngku praja angreh wadyabala, sineba ing para bupati. Samangke putra paduka rumaos ing kalêpatanipun, dene darbe bapa Ratu Agung ingkang anyêngkakakên saking ngandhap aparing darajat Adipati ing Dêmak, tangeh malêsa ing sih paduka Nata, ing mangke putra paduka emut, bilih panjênêngan paduka linggar saking praja botên kantênan dunungipun, punika putra paduka rumaos yen mêsthi manggih dêdukaning Pangeran. Mila kawula dinuta madosi panjênêngan paduka, kapanggiha wontên ing pundi-pundi ingaturan kondur rawuh ing Majapahit, têtêpa kados ingkang wau-wau, mêngku wadya sineba para punggawa, aweta dados jêjimat pinundhi-pundhi para putra wayah buyut miwah para santana, kinurmatan sinuwunan idi wilujêngipun wontên ing bumi. Manawi paduka kondur, putra paduka pasrah kaprabon paduka Nata, putra paduka nyaosakên pêjah gêsang, yen kaparêng saking karsa paduka, namung nyuwun pangaksama paduka, sadayaning kalêpatanipun, lan nyuwun pangkatipun lami dados Adipati ing Dêmak, têtêpa kados ingkang sampun. Dene yen panjênêngan paduka botên karsa ngasta kaprabon Nata, sinaosan kadhaton wontên ing rêdi, ing pundi sasênênging panggalih paduka, ing rêdi ingkang karsakakên badhe dipundhêpoki, putra paduka nyaosi busana lan dhahar paduka, nanging nyuwun pusaka Karaton ing tanah Jawa, dipunsuwun ingkang rila têrusing panggalih”.

Sang Prabu Brawijaya ngandika: “Ingsun-rungu aturira, Sahid! nanging ora ingsun-gatekake, karana ingsun wis kapok rêmbugan karo santri padha nganggo mata pitu, padha mata lapisan kabeh, mula blero pandulune, mawas ing ngarêp nanging jêbul anjênggung ing buri, rêmbuge mung manis ana ing lambe, batine angandhut pasir kinapyukake ing mata, murih picêka mataku siji. Sakawit ingsun bêciki, walêse kaya kênyung buntut, apa ta salah-ingsun, têka rinusak tanpa prakara, tinggal tata adat caraning manusa, mukul pêrang tanpa panantang, iku apa nganggo tataning babi, dadi dudu tataning manusa kang utama”.

Sunan Kalijaga barêng ngrungu pangandikane Sang Prabu rumasa ing kaluputane ênggone melu mbêdhah karaton Majapahit, ing batin bangêt panalangsane, dene kadudon kang wis kêbanjur, mula banjur ngrêrêpa, ature: “Inggih saduka-duka paduka ingkang dhumawa dhatêng putra wayah, mugi dadosa jimat paripih, kacancang pucuking rema, kapêtêk wontên ing êmbun, mandar amêwahana cahya nurbuwat ingkang wêning, rahayunipun para putra wayah sadaya. Sarehning sampun kalêpatan, punapa malih ingkang sinuwun malih, kajawi namung pangapuntên paduka. wangsul karsa paduka karsa tindak dhatêng pundi?”

Sang Prabu Brawijaya ngandika: “Saiki karsaningsun arsa tindak mênyang Bali, kêtêmu karo yayi Prabu Dewa agung ing Kêlungkung, arsa ingsun-wartani pratingkahe si Patah, sikara wong tuwa kang tanpa dosa, lan arsa ingsun-kon nimbali para Raja kanan kering tanah jawa, samêkta sakapraboning pêrang, lan Adipati Palembang sun-wehi wêruh, yen anake karo pisan satêkane tanah Jawa sun-angkat dadi Bupati, nanging ora wêruh ing dalan, banjur wani mungsuh bapa Ratu, sun-jaluk lilane anake arêp ingsun pateni, sabab murtat wani ing bapa kapindhone Ratu, lan ingsun arsa angsung wikan marang Hongte ing Cina, yen putrane wis patutan karo ingsun mêtu lanang siji, ananging ora wêruh ing dalan, wani mungsuh bapa ratu, iya ingsun-jaluk lilane, yen putune arsa ingsun-pateni, ingsun njaluk biyantu prajurit Cina, samêkta sakapraboning pêrang, njujuga nagari Bali. Yen wis samêkta sawadya prajurit, sarta padha eling marang lêlabêtan kabêcikaningsun, lan duwe wêlas marang wong wungkuk kaki-kaki, yêkti padha têka ing Bali sagêgamaning pêrang, sun-jak marang tanah Jawa angrêbut kapraboningsun, iya sanadyan pêrang gêdhe gêgêmpuran amungsuh anak, ingsun ora isin, awit ingsun ora ngawiti ala, aninggal carane wong agung.”

Sunan Kalijaga ngrungu dhawuhe Sang Prabu kang mangkono iku ing sanalika mung dhêlêg-dhêlêg, ngandika sajroning ati: “Tan cidra karo dhawuhe Nyai Agêng Ngampelgadhing, yen eyang wungkuk isih mbrêgagah nggagahi nagara, ora nyawang wujuding dhiri, kulit kisut gêgêr wungkuk. Lamun iki ngantiya nyabrang marang Bali, ora wurung bakal ana pêrang gêdhe tur wadya ing Dêmak masa mênanga, amarga katindhihan luput, mungsuh ratu pindho bapa, kaping têlune kang mbêciki, wis mêsthi bae wong Jawa kang durung Islam yêkti asih marang Ratu tuwa, angantêp tangkêping jurit, mêsthi asor wong Islam tumpês ing pêpêrangan.”

Wusana Sunan Kalijaga matur alon: “Dhuh pukulun Jêng Sang Prabu! saupami paduka lajêngna rawuh ing bali, nimbali para Raja, saestu badhe pêrang gêgêmpuran, punapa botên ngeman risakipun nagari Jawi, sampun tamtu putra paduka ingkang badhe nêmahi kasoran, panjênêngan paduka jumênêng Nata botên lami lajêng surud, kaprabon Jawi kaliya ing sanes darah paduka Nata, saupami kados dene sêgawon rêbatan bathang, ingkang kêrah tulus kêrah têtumpêsan sami pêjah sadaya daging lan manah kathêda ing sêgawon sanesipun”.

Sang prabu Brawijaya ngandika: “Mungguh kang mangkono iki luwih-luwih karsane Dewa Kang Linuwih, ingsun iki Ratu Binathara, nêtêpi mripat siji, ora nganggo mata loro, mung siji marang bênêr paningalku, kang miturut adat pranatane para lêluhur. Saupama si Patah ngrasa duwe bapa ingsun, kêpengin dadi Ratu, disuwun krananing bêcik, karaton ing tanah Jawa, iya sun-paringake krana bêcik, ingsun wis kaki-kaki, wis warêg jumênêng Ratu, nrima dadi pandhita, pitêkur ana ing gunung. Balik samêngko si Patah siya mring sun, mêsthine-ingsun iya ora lila ing tanah Jawa diratoni, luwih karsaning Jawata Gung, pamintane marang para titah ing wuri.”

Sunan Kalijaga barêng mirêng pangandikane Sang Prabu, rumasa ora kaconggah ngaturi, mula banjur nyungkêmi pada, sarta banjur nyaosake cundrike karo matur, yen Sang Prabu ora karsa nglampahi kaya ature Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga nyuwun supaya dipateni bae, amarga lingsêm manawa mêruhi lêlakon kang saru.

Sang Prabu nguningani patrape Sunan kalijaga kang mangkono mau, panggalihe kanggêg, mula nganti suwe ora ngandika tansah têbah jaja karo nênggak waspa, sêrêt pangandikane: “Sahid! linggiha dhisik, tak-pikire sing bêcik, tak-timbange aturmu, bênêr lan lupute, têmên lan gorohe, amarga aku kuwatir yen aturmu iku goroh kabeh. Sumurupa Sahid! saupama aku kondur marang Majapahit, si Patah seba mênyang aku, gêthinge ora bisa mari, amarga duwe bapa Buddha kawak kapir kupur, liya dina lali, aku banjur dicêkêl dibiri, dikon tunggu lawang pungkuran, esuk sore diprêdi sêmbahyang, yen ora ngrêti banjur diguyang ana ing blumbang dikosoki alang-alang garing.”

Sang Prabu mbanjurake pangandikane marang Sunan Kalijaga: “Mara pikirên, Sahid! saiba susahing atiku, wong wis tuwa, nyêkrukuk, kok dikum ing banyu”.

Sunan Kalijaga gumujêng karo matur: “Mokal manawi makatên, benjing kula ingkang tanggêl, botên-botênipun manawi putra paduka badhe siya-siya dhatêng panjênêngan paduka, dene bab agami namung kasarah sakarsa paduka, namung langkung utami manawi panjênêngan paduka karsa gantos sarak rasul, lajêng nyêbut asmaning Allah, manawi botên karsa punika botên dados punapa, tiyang namung bab agami, pikêkahipun tiyang Islam punika sahadat, sanadyan salat dhingklak-dhingkluk manawi dereng mangrêtos sahadat punika inggih têtêp nama kapir”.

Sang Prabu ngandika: “Sahadat iku kaya apa, aku kok durung ngrêti, coba ucapna tak-rungokne”.

Sunan kalijaga banjur ngucapake sahadat: ashadu ala ilaha ila’llah, wa ashadu anna Mukhammadar-Rasulu’llah, têgêsipun: Ingsung anêkseni, ora ana Pangeran kang sajati, amung Allah, lan anêkseni, Kangjêng Nabi Mukhammad iku utusane Allah”.

Ature Sunan Kalijaga marang Sang Prabu: “Tiyang nêmbah dhatêng arah kemawon, botên sumêrêp wujud têgêsipun, punika têtêp kapiripun, lan malih sintên tiyang ingkang nêmbah puji ingkang sipat wujud warni, punika nêmbah brahala namanipun, mila tiyang punika prêlu mangrêtos dhatêng lair lan batosipun. Tiyang ngucap punika kêdah sumêrêp dhatêng ingkang dipunucapakên, dene têgêsipun Nabi Mukhammad Rasula’llah: Mukhammad punika makam kuburan, dados badanipun tiyang punika kuburipun rasa sakalir, muji badanipun piyambak, botên muji Mukhammad ing ‘Arab, raganipun manusa punika wêwayanganing Dzating Pangeran, wujud makam kubur rasa, Rasul rasa kang nusuli, rasa pangan manjing lesan, Rasule minggah swarga, lu’llah, luluh dados êndhut, kasêbut Rasulu’llah punika rasa ala ganda salah, riningkês dados satunggal Mukhammad Rasula’llah, kang dhingin wêruh badan, kaping kalih wêruh ing têdhi, wajibipun manusa mangeran rasa, rasa lan têdhi dados nyêbut Mukhammad rasulu’llah, mila sêmbahyang mungêl “uzali” punika têgêsipun nyumêrêpi asalipun. Dene raganipun manusa punika asalipun saking roh idlafi, rohipun Mukhammad Rasul, têgêsipun Rasul rasa, wijile rasaning urip, mêdal saking badan kang mênga, lantaran ashadualla, manawi botên mêngrêtos têgêsipun sahadat, botên sumêrêp rukun Islam, botên mangrêtos purwaning dumados”.

Sunan kalijaga ature akeh-akeh, nganti Prabu Brawijaya karsa santun agama Islam, sawise banjur mundhut paras marang Sunan Kalijaga nanging remane ora têdhas digunting, mulane Sunan Kalijaga banjur matur, Sang Prabu diaturi Islam lair batos, amarga yen mung lair bae, remane ora têdhas digunting. Sang Prabu banjur ngandika yen wis lair batos, mulane kêna diparasi.

Sang Prabu sawise paras banjur ngandika marang Sabdapalon lan Nayagenggong: “Kowe karo pisan tak-tuturi, wiwit dina iki aku ninggal agama Buddha, ngrasuk agama Islam, banjur nyêbut asmaning Allah Kang Sajati. Saka karsaku, kowe sakarone tak-ajak salin agama Rasul tinggal agama Buddha”.

Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, kula manawi tilêm ngantos 200 taun, sadangunipun kula tilêm tamtu wontên pêpêrangan sadherek mêngsah sami sadherek, ingkang nakal sami nêdha jalma, sami nêdha bangsanipun piyambak, dumugi sapriki umur-kula sampun 2000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, nêtêpi wiwit sapisan ngestokakên agami Buddha. Sawêg paduka ingkang karsa nilar pikukuh luhur Jawi. Jawi têgêsipun ngrêti, têka narimah nama Jawan, rêmên manut nunut-nunut, pamrihipun damêl kapiran muksa paduka mbenjing.”

Sabdane Wiku tama sinauran gêtêr-patêr.

Sang Prabu Brawijaya sinêmonan dening Jawata, ênggone karsa mlêbêt agama Rasul, iya iku rêrupan kahanan ing dunya ditambahi warna têlu: 1: aran sukêt Jawan, 2: pari Randanunut, lan 3: pari Mriyi.

Sang Prabu andangu maneh: “Kapriye kang padha dadi kêkêncênganmu, apa gêlêm apa ora ninggal agama Buddha, salin agama Rasul, nyêbut Nabi Mukhammad Rasula’llah panutaning para Nabi, lan nyêbut asmaning Allah Kang Sajati?”

Sabdapalon ature sêndhu: “Paduka mlêbêt piyambak, kula botên têgêl ningali watak siya, kados tiyang ‘Arab. Siya punika têgêsipun ngukum, tur siya dhatêng raga, manawi kula santun agami, saestu damêl kapiran kamuksan-kula, ing benjing, dene ingkang mastani mulya punika rak tiyang ‘Arab sarta tiyang Islam sadaya, anggenipun ngalêm badanipun piyambak. Manawi kula, mastani botên urus, ngalêm saening tangga, ngapêsakên badanipun piyambak, kula rêmên agami lami, nyêbut Dewa Ingkang Linangkung.

Jagad punika raganipun Dewa ingkang asipat budi lan hawa, sampun dados wajibipun manusa punika manut dhatêng eling budi karêpan, dados botên ngapirani, manawi nyêbut Nabi Mukhammad Rasulu’llah, têgêse Mukhammad niku makaman kubur, kubure rasa kang salah, namung mangeran rasa wadhag wadhahing êndhut, namung tansah nêdha eca, botên ngengêti bilahinipun ing wingking, mila nami Mukhammad inggih makaman kuburan sakalir, roh idlafi têgêsipun lapisan, manawi sampun risak wangsul dhatêng asalipun malih. Wangsul Prabu Brawijaya lajêng manggen wontên pundi. Adam punika muntêl kaliyan Hyang Brahim, têgêsipun kêbrahen nalika gêsangipun, botên manggih raos ingkang saestu, nanging tangining raos wujud badan, dipunwastani Mukhammadun, makaman kuburing rasa, jasanipun budi, dados sipatipun tiyang lan raos. Manawi dipunpundhut ingkang Mahakuwasa, sarira paduka sipate tiyang wujud dados, punika dadosipun piyambak, lantaranipun ngabên awon, bapa biyung botên damêl, mila dipunwastani anak, wontênipun wujud piyambak, dadosipun saking gaib samar, saking karsaning Latawalhujwa, ingkang nglimputi wujud, wujudipun piyambak, risak-risakipun piyambak, manawi dipunpundhut dening Ingkang Maha Kuwasa, namung kantun rumaos lan pangraos ingkang paduka-bêkta dhatêng pundi kemawon, manawi dados dhêmit ingkang têngga siti, makatên punika ingkang nistha, namung prêlu nênggani daging bacin ingkang sampun luluh dados siti, makatên wau têtêp botên wontên prêlunipun. Ingkang makatên punika amargi namung saking kirang budi kawruhipun, kala gêsangipun dereng nêdha woh wit kawruh lan woh wit budi, nrimah pêjah dados setan, nêdha siti ngajêng-ajêng tiyang ngirim sajen tuwin slamêtanipun, ing têmbe tilar mujijat rakhmat nyukani kiyamat dhatêng anak putunipun ingkang kantun. Tiyang pêjah botên kêbawah pranataning Ratu ing lair, sampun mêsthi sukma pisah kaliyan budi, manawi tekadipun sae inggih nampeni kamulyan, nanging manawi tekadipun awon inggih nampeni siksanipun. Cobi paduka-jawab atur-kula punika”.

Sang Prabu ngandika: “Mulih marang asale, asal Nur bali marang Nur”.

Sabdapalon matur maneh: “Inggih punika kawruhipun tiyang bingung gêsangipun rugi, botên gadhah kawruh kaengêtan, dereng nêdha woh kawruh lan budi, asal siji mantuk satunggal, punika sanes pêjah ingkang utami, dene pêjah ingkang utami punika sewu satus têlung puluh. Têgêsipun satus punika putus, têlu punika tilas, puluh punika pulih, wujud malih, wujudipun risak, nanging ingkang risak namung ingkang asal saking roh idlafi. Uripipun langgêng namung raga pisah kaliyan sukma, inggih punika sahadat ingkang botên mawi ashadu, gantos roh idlafi lapisan: sasi surup mêsthi saking pundi asalipun wiwit dados jalmi. Surup têgêsipun: sumurup purwa madya wasananipun, nêtêpana namane tiyang lumampah, sampun ebah saking prênahipun mlêbêt mbêkta sir cipta lami”.

Sang Prabu ngandika: “Ciptaku nempel wong kang luwih”. Sabdapalon matur: “Punika tiyang kêsasar, kados dene kêmladeyan tumemplek wit-witan agêng, botên bawa piyambak, kamuktenipun namung nêmpil. Punika botên pêjah utami, pêjahipun tiyang nistha, rêmênipun namung nempel, nunut-nunut, botên bawa piyambak, manawi dipuntundhung, lajêng klambrangan, dados brêkasakan, lajêng nempel dhatêng sanesipun malih”.

Sang Prabu ngandika maneh: “Asal suwung aku bali, mênyang suwung, nalika aku durung maujud iya durung ana apa-apa, dadi patiku iya mangkono”.

Sabdapalon: “Punika pêjahipun tiyang kalap nglawong, botên iman ‘ilmi, nalika gêsangipun kados kewan, namung nêdha ngombe lan tilêm, makatên punika namung sagêd lêma sugih daging, dados nama sampun narimah ngombe uyuh kemawon, ical gêsangipun salêbêtipun pêjah”.

Sang Prabu: “Aku nunggoni makaman kubur, yen wis luluh dadi lêbu”.

Sabdapalon: “Inggih punika pêjahipun tiyang cubluk, dados setan kuburan, nênggani daging wontên kuburan, daging ingkang sampun luluh dados siti, botên mangrêtos santun roh hidlafi enggal. Inggih punika tiyang bodho mangrêtosa. Nun!”

Sang Prabu ngandika: “Aku arêp muksa saragaku”.

Sabdapalon gumuyu: “Yen tiyang agami Rasul têrang botên sagêd muksa, botên kuwawi ngringkês nguntal raganipun, lêma kakathahên daging. Tiyang pêjah muksa punika cêlaka, amargi nami pêjah, nanging botên tilar jisim, namanipun botên sahadat, botên pêjah, botên gêsang, botên sagêd dados roh idlafi enggal, namung dados gunungan dhêmit”.

Pangandikane Sang Prabu: “Aku ora duwe cipta apa-apa, ora ikhtiar nampik milih, sakarsane Kang Maha Kuwasa”.

Sabdapalon: “Paduka nilar sipat, botên ngrumaosi yen tinitah linangkung, nilar wajibing manusa, manusa dipun wênangakên nampik milih, manawi sampun narimah dados sela, sampun botên prêlu pados ‘ilmi kamulyaning seda”.

Sang Prabu: “Ciptaku arêp mulih mênyang akhirat, munggah swarga seba Kang maha Kuwasa”.

Sabdapalon matur: “Akhirat, swarga, sampun paduka-bêkta ngaler ngidul, jagadipun manusa punika sampun mêngku ‘alam sahir kabir, nalika tapêl Adam, sampun pêpak: akhirat, swarga, naraka ‘arasy kursi. Paduka badhe tindak dhatêng akhirat pundi, mangke manawi kêsasar lo, mangka ênggene akhirat punika têgêse mlarat, saênggen- ênggen wontên akhirat, manawi kenging kula-singkiri, sampun ngantos kula mantuk dhatêng kamlaratan sarta minggah dhatêng akhirat adil nagari, manawi lêpat jawabipun tamtu dipunukum, dipunbanda, dipunpaksa nyambut damêl awrat tur botên tampa arta. Klêbêt akhirat nusa Srênggi, nusa têgêsipun manusa, Srêng têgêsipun padamêlan ingkang awrat sangêt. Ênggi têgêsipun gawe. Dados têgêsipun jalma pinêksa nyambut damêl dhatêng Ratu Nusa Srênggi namanipun, punapa botên cilaka, tiyang gêsang wontên ing dunya kados makatên wau, sakulawargane mung nadhah bêras sapithi, tanpa ulam, sambêl, jangan punika akhirat ingkang katingal tata lair, manawi akhiratipun tiyang pêjah malah langkung saking punika, paduka sampun ngantos kondur dhatêng akhirat, sampun ngantos minggah dhatêng swarga, mindhak kêsasar, kathah rajakaya ingkang wontên ing ngriku, sadaya sami trima tilêm kêmul siti, gêsangipun nyambut damêl kanthi paksan, botên salah dipunpragat, paduka sampun ngantos sowan Gusti Allah, amargi Gusti Allah punika botên kantha botên warna, wujudipun amung asma, nglimputi wontên ing dunya tuwin ing akhirat, paduka dereng têpang, têpangipun amung têpang kados cahyanipun lintang lan rêmbulan, kapanggihe cahya murub dados satunggal, botên pisah botên kumpul, têbihipun botên mawi wangênan, cêlak botên panggihan, kula botên kuwawi cêlak, punapa malih paduka, Kangjêng Nabi Musa toh botên kuwawi mandêng dhatêng Gusti Allah, mila Allah botên katingal, namung Dzatipun ingkang nglimputi sadaya wujud, paduka wiji rohani, sanes bangsanipun malaekat, manusa raganipun asal saking nutfah, sowan Hyang Latawalhujwa, manawi panggenanipun sampun sêpuh, nyuwun ingkang enggal, dados botên wongsal-wangsul, ingkang dipunwastani pêjah gêsang, ingkang gêsang napasipun taksih lumampah, têgêsipun urip, ingkang têtêp langgêng, botên ewah botên gingsir, ingkang pêjah namung raganipun, botên ngraosakên kanikmatan, pramila tumrap tiyang agami Buddha, manawi raganipun sampun sêpuh, suksmanipun mêdal nyuwun gantos ingkang sae, nglangkungi ingkang sampun sêpuh, nutfah sampun ngantos ebah saking jagadipun, jagadipun manusa punika langgêng, botên ewah gingsir, ingkang ewah punika makaming raos, raga wadhag ingkang asal roh idlafi.

Prabu Brawijaya botên anem botên sêpuh, nanging langgêng manggen wontên satêngahipun jagadipun, lumampah botên ebah saking panggenanipun, wontên salêbêting guwa sir cipta kang êning. Gawanên gêgawanmu, ngGêgawa nêdha raga. Tulis ical, etangan gunggunge: kumpul, plêsatipun wêtaha. Ningali jantung kêtêg kiwa: surut marga sire cipta, jujugipun ingkang cêtha cêthik cêthak. Punika pungkasanipun kawruh, kawruhipun tiyang Buddha. Lêbêtipun roh saking cêthak marginipun, kendêl malih wontên cêthik, mêdal wontên kalamwadi, kentir sagara rahmat lajêng lumêbêt ing guwa indra-kilaning estri, tibaning nikmat ing dhasaring bumi rahmat, wontên ing ngriku ki budi jasa kadhaton baitu’llah ingkang mulya, dadosipun saking sabda kun, dados wontên têngahing jagad swarganing tiyang sêpuh estri, mila jalma keblatipun wontên têngahing jagad, jagading tiyang punika guwa sir cipta namanipun, dipunbêkta dhatêng pundi- pundi botên ewah, umuripun sampun dipunpasthekakên, botên sagêd ewah gingsir, sampun dipunsêrat wontên lokhil-makful, bêgja cilakanipun gumantung wontên ing budi nalar lan kawruhipun, ingkang ical utawi kirang ikhtiaripun inggih badhe ical utawi kirang bêgjanipun. Wiwitanipun keblat sakawan, inggih punika wetan kilen kidul ler : têgêsipun wetan : wiwitan manusa maujud; têgêsipun kulon : bapa kêlonan; têgêsipun kidul : estri didudul wêtênge ing têngah; têgêsipun lor : laire jabang bayi, tanggal sapisan kapurnaman, sênteg sapisan tênunan sampun nigasi. Têgêsipun pur: jumbuh, na; ana wujud, ma; madhêp dhatêng wujud; jumbuh punika têgêsipun pêpak, sarwa wontên, mêngku alam sahir kabir, tanggalipun manusa, lairipun saking tiyang sêpuhipun estri, sarêng tanggalipun kaliyan sadherekipun kakang mbarêp adhi ragil, kakang mbarêp punika kawah, adhi punika ari-ari, sadherek ingkang sarêng tanggal gaibipun, rumêksa gêsangipun elingipun panjanmaning surya, lênggah rupa cahya, kontêning eling sadayanipun, siyang dalu sampun sumêlang dhatêng sadaya rêrupen, ingkang engêt sadayanipun, surup lan tanggalipun sampun samar : kala rumiyin, sapunika lan benjing, punika kawruhipun tiyang Jawi ingkang agami Buddha. Raga punika dipunibaratakên baita, dene suksmanipun inggih punika tiyang ingkang wontên ing baita wau, ingkang nêdahakên pandomipun, manawi baitanipun lumampah mangka salah pandomipun, tamtu manggih cilaka, baita pêcah, tiyangipun rêbah. Pramila kêdah ingkang mapan, mumpung baitanipun taksih lumampah, manawi botên mapan gêsangipun, pêjah malih sagêda mapan, nêtêpi kamanusanipun, manawi baitanipun bibrah, inggih pisah kaliyan tiyangipun; têgêsipun suksma ugi pisah kaliyan budi, punika namanipun sahadat, pisahipun kawula kaliyan Gusti, sah têgêsipun pisah, dat punika Dzating Gusti, manawi sampun pisah raga suksma, budinipun lajêng santun baitu’llah, napas tali, muji dhatêng Gusti, manawi pisaha raga suksma lan budi, mrêtitis ingkang botên-botên, yen tunggal, kabêsaran, tanggalipun botên surup salaminipun, punika kêdah ingkang waspada, ngengêtana dhatêng asaling kawula, kawula ugi wajib utawi wênang matur dhatêng Gusti, nyuwun baitu’llah ingkang enggal, ngungkulana ingkang lami. Raganing manusa punika namanipun baitu’llah, inggih prau gaweyaning Allah, dadosipun saking sabda kun, manawi baitanipun tiyang Jawi sagêd mapan santun baitu’llah malih ingkang sae, baitanipun tiyang Islam gêsangipun kantun pangrasa, praunipun sampun rêmuk, manawi suksma punika pêjah ing ‘alam dunya suwung, botên wontên tiyang, manawi tiyang punika têrus gêsang, ing dunya kêbak manusa, lampahipun saking ênem urut sêpuh, ngantos roh lapisan, sanadyan suksmanipun tiyang, nanging manawi tekadipun nasar, pêjahipun manjalma dados kuwuk, sanadyan suksmanipun kewan, nanging sagêd manjalma dados tiyang (kajêngipun, adiling Kawasa tiyang punika pinasthi ngundhuh wohing panggawene piyambak-piyambak). Nalika panjênênganipun Bathara Wisnu jumênêng Nata wontên ing Mêndhang Kasapta, sato wana tuwin lêlêmbut dipuncipta dados manusa, dados wadya-balanipun Sang Nata. Nalika eyang paduka Prabu Palasara iyasa kadhaton wontên ing Gajahoya, sato wana tuwin lêlêmbut inggih dipuncipta dados tiyang, pramila gandanipun tiyang satunggal-satunggalipun beda-beda, gandanipun kadosdene nalika taksih dados sato kewan. Sêrat tapak Hyang, ingkang dipunwastani Sastrajendrayuningrat, dados saking sabda kun, ingkang dipunwastani jithok têgêsipun namung puji thok. Dewa ingkang damêl cahya murub nyrambahi badan, têgêsipun incêngên aneng cêngêlmu. Jiling punika puji eling marang Gusti. Punuk têgêsipun panakna. Timbangan têgêsipun salang. Pundhak punika panduk, urip wontên ing ‘alam dunya pados kawruh kaliyan woh kuldi, manawi angsal woh kuldi kathah, untungipun sugih daging, yen angsal woh kawruh kathah, kenging kangge sangu gêsang, gêsang langgêng ingkang botên sagêd pêjah. Têpak têgêsipun têpa-tapanira. Walikat: walikane gêsang. Ula-ula: ulatana, lalarên gêgêrmu sing nggligir. Sungsum têgêsipun sungsungên. Lambung: waktu Dewa nyambung umur, alamipun jalma sambungan, lali eling urip mati. Lêmpeng kiwa têngên têgêsipun tekadmu sing lêmpêng lair batin, purwa bênêr lawan luput, bêcik lawan ala. Mata têgêsipun tingalana batin siji, sing bênêr keblatira, keblat lor bênêr siji. Têngên têgêsipun têngênên ingkang têrang, wontên ing dunya amung sadarmi ngangge raga, botên damêl botên tumbas. Kiwa têgêsipun: raga iki isi hawa kêkajêngan, botên wênang ngêkahi pêjah. Makatên punika ungêling sêrat. Manawi paduka maibên, sintên ingkang damêl raga? Sintên ingkang paring nama? inggih namung Latawalhujwa, manawi paduka maibên, paduka têtêp kapir, kapiran seda paduka, botên pitados dhatêng sêratipun Gusti, sarta murtat dhatêng lêluhur Jawi sadaya, nempel tosan, kajêng sela, dados dhêmit têngga siti, manawi paduka botên sagêd maos sastra ingkang wontên ing badanipun manusa, saseda paduka manjalma dhatêng kuwuk, dene manawi sagêd sagêd maos sastra ingkang wontên ing raga wau, saking tiyang inggih dados tiyang, kasêbut ing sêrat Anbiya, Kanjêng Nabi Musa kala rumiyin tiyang ingkang pêjah wontên ing kubur, lajêng tangi malih, gêsangipun gantos roh lapis enggal, gantos makam enggal. Manawi paduka ngrasuk agami Islam, tiyang Jawi tamtu lajêng Islam sadaya. Manawi kula, wadhag alus-kula sampun kula-cakup lan kula-carub, sampun jumbuh dados satunggal, inggih nglêbêt inggih jawi, dados kantun sasêdya-kula kemawon, ngadam utawi wujud sagêd sami sanalika, manawi kula kêpengin badhe wujud, inggih punika wujud-kula, sêdya ngadam, inggih sagêd ical sami sanalika, yen sêdya maujud sagêd katingal sanalika. Raga-kawula punika sipating Dewa, badan-kawula sakojur gadhah nama piyambak-piyambak. Cobi paduka-dumuk: pundi wujudipun Sabdapalon, sampun kalingan pajar, saking pajaripun ngantos sampun botên katingal wujudipun Sabdapalon, kantun asma nglimputi badan, botên ênem botên sêpuh, botên pêjah botên gêsang, gêsangipun nglimputi salêbêting pêjahipun, dene pêjahipun nglimputi salêbêting gêsangipun, langgêng salaminipun”.

Sang Prabu ndangu: “Ana ing ngêndi Pangeran Kang Sajati?”

Sabdapalon matur: “Botên têbih botên cêlak, paduka wayangipun wujud sipating suksma, dipunanggêp sarira tunggal, budi hawa badan, tiga-tiga punika tumindakipun; botên pisah, nanging inggih botên kumpul. Paduka punika sampun Ratu linuhung tamtu botên badhe kêkilapan dhatêng atur-kula punika”.

Sang Prabu ngandika maneh: “Apa kowe ora manut agama?”

Sabdapalon ature sêndhu: “Manut agami lami, dhatêng agami enggal botên manut! Kenging punapa paduka gantos agami têka botên nantun kula, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”

Sang Prabu ngandika: “Kapriye iki, aku wis kêbacut mlêbu agama Islam, wis disêkseni Sahid, aku ora kêna bali agama Buddha maneh, aku wirang yen digêguyu bumi langit.”

Sabdapalon matur maneh: “Inggih sampun, lakar paduka-lampahi piyambak, kula botên tumut-tumut.” Sunan Kalijaga banjur matur marang Sang Prabu, kang surasane ora prêlu manggalih kang akeh-akeh, amarga agama Islam iku mulya bangêt, sarta matur yen arêp nyipta banyu kang ana ing beji, prêlu kanggo tandha yêkti, kapriye mungguh ing gandane. Yen banyu dicipta bisa ngganda wangi, iku tandha yen Sang Prabu wis mantêp marang agama Rasul, nanging yen gandane ora wangi, iku anandhakake: yen Sang Prabu isih panggalih Buddha. Sunan Kalijaga banjur nyipta, padha sanalika banyu sêndhang banjur dadi wangi gandane, ing kono Sunan kalijaga matur marang Sang Prabu, kaya kang wis kathandha, yen Sang Prabu nyata wis mantêp marang agama Rasul, amarga banyu sêndhang gandane wangi. (11)

Ature Sabdapalon marang Sang Prabu: Punika kasêkten punapa? kasêktening uyuh kula wingi sontên, dipunpamerakên dhatêng kula. Manawi kula timbangana nama kapilare, mêngsah uyuh-kula piyambak, ingkang kula rêbat punika? Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. Manawi kula sumêdya ngêdalakên kaprawiran, toya kula-êntut sêpisan kemawon, sampun dados wangi. Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, adi Guru namung ngideni kemawon, ing wêkdal samantên tanah Jawi sitinipun gonjang-ganjing, saking agênging latu ingkang wontên ing ngandhap siti, rêdi-rêdi sami kula êntuti, pucakipun lajêng anjêmblong, latunipun kathah ingkang mêdal, mila tanah Jawi lajêng botên goyang, mila rêdi-rêdi ingkang inggil pucakipun, sami mêdal latunipun sarta lajêng wontên kawahipun, isi wedang lan toya tawa, punika inggih kula ingkang damêl, sadaya wau atas karsanipun Latawalhujwa, ingkang damêl bumi lan langit. Punapa cacadipun agami Buddha, tiyang sagêd matur piyambak dhatêng Ingkang Maha Kuwasa. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.

Cobi paduka-yêktosi, benjing: sasi murub botên tanggal, wiji bungkêr botên thukul, dipuntampik dening Dewa, tinanêma thukul mriyi, namung kangge têdha pêksi, mriyi punika pantun kados kêtos, amargi paduka ingkang lêpat, rêmên nêmbah sela. Paduka-yêktosi, benjing tanah Jawa ewah hawanipun, wêwah bênter awis jawah, suda asilipun siti, kathah tiyang rêmên dora, kêndêl tindak nistha tuwin rêmên supata, jawah salah masa, damêl bingungipun kanca tani. Wiwit dintên punika jawahipun sampun suda, amargi kukuminipun manusa anggenipun sami gantos agami. Benjing yen sampun mrêtobat, sami engêt dhatêng agami Buddha malih, lan sami purun nêdha woh kawruh, Dewa lajêng paring pangapura, sagêd wangsul kados jaman Buddha jawahipun”.

Sang Prabu mirêng ature Sabdapalon, ing batos rumaos kaduwung bangêt dene ngrasuk agama Islam, nilar agama Buddha. Nganti suwe ora ngandika, wasana banjur ngandika, amratelakake yen ênggone mlêbêt agama Islam iku, amarga kêpencut ature putri Cêmpa, kang ngaturake yen wong agama Islam iku, jarene besuk yen mati, antuk swarga kang ngungkuli swargane wong kapir.

Sabdapalon matur, angaturake lêpiyan, yen wiwit jaman kuna mula, yen wong lanang manut wong wadon, mêsthi nêmu sangsara, amarga wong wadon iku utamane kanggo wadhah, ora wênang miwiti karêp, Sabdapalon akeh-akeh ênggone nutuh marang Sang Prabu.

Sang Prabu ngandika: “Kok-tutuha iya tanpa gawe, amarga barang wis kêbacut, saiki mung kowe kang tak-tari, kapriye kang dadi kêkêncênganing tekadmu? Yen aku mono ênggonku mlêbu agama Islam, wis disêkseni dening si Sahid, wis ora bisa bali mênyang Buddha mêneh”.

Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhangSang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.

PRALAMPITA 500 TAUN ING TEMBE

Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang”. Sunan Kalijaga banjur didhawuhi nêngêri banyu sêndhang,yen gandane mari wangi, besuk wong Jawa padha ninggal agama Islam ganti agama Kawruh.

Sunan Kalijaga banjur yasa bumbung loro kang siji diiseni banyu tawa, sijine diiseni banyu sêndhang. Banyu sêndhang mau kanggo tandha, yen gandane mari wangi, wong tanah Jawa padha salin agama kawruh. Bumbung sawise diiseni banyu, banjur disumpêli godhong pandan-sili, sabanjure digawa sakabate loro.

Sang Prabu Brawijaya banjur tindak didherekake Sunan Kalijaga lan sakabate loro.

Dina kaping pisan :

Tindake kawêngen ana ing dalan, nyare ana ing Sumbêrwaru, esuke bumbunge dibukak, banyune diambu isih wangi,

Dina kaping pindo :

Nuli mbanjurake tindake, wayah surup srêngenge, wis têkan ing Panarukan. Sang Prabu nyare ana ing kono, ing wayah esuk, banyu ing bumbung diganda isih wangi, Sang Prabu mbanjurake tindake.

Dina kaping telu :

Barêng wis wayah surup srêngenge, têkan ing Bêsuki, Sang Prabu uga nyare ana ing kono, esuke banyu ing bumbung diganda mundhak wangine,

Dina kaping papat :

Sang Prabu banjur nêrusake tindake nganti wayah surup srêngenge, têkan ing Prabalingga, ana ing kono uga nyare sawêngi, esuke banyune ditiliki, banyune tawa isih enak, nanging munthuk, unthuke gandane arum, nanging mung kari sathithik, amarga kêrêp diunjuk ana ing dalan, dene banyune sêndhang barêng ditiliki gandane dadi bangêr, tumuli dibuwang. Sang Prabu banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Prabalingga ing besuk jênênge loro, Prabalingga karo Bangêrwarih, ing kene besuk dadi panggonan kanggo pakumpulane wong-wong kang padha ngudi kawruh kapintêran lan kabatinan, Prabalingga têgêse prabawane wong Jawa kalingan prabawane tangga”.

 

Sang Prabu mbanjurake tindake, ing pitung dinane, wis têkan ing Ampelgadhing. Nyai Agêng Ampelgadhing tumuli mêthukake banjur ngabêkti marang Sang Prabu karo muwun, sarta akeh-akeh sêsambate.

Sang Prabu banjur ngandika: “Wis aja nangis êngger, mupusa yen kabeh mau wis dadi karsane Kang Maha Kuwasa, kudu mangkene. Aku lan kowe mung sadarma nglakoni, kabeh lêlakon wis ditulis aneng lokhilmakful. Bêgja cilaka ora kêna disinggahi, nanging wajibe wong urip kudu kêpengin mênyang ilmu”.

Nyai Agêng Ampel banjur matur marang Sang Prabu, ngaturake patrape ingkang wayah Prabu Jimbun, kaya kang wis kasêbut ing ngarêp. Sang Prabu banjur dhawuh nimbali Prabu Jimbun. Nyai Ampel nuli utusan mênyang Dêmak nggawa layang, satêkane ing Dêmak, layang wis katur marang Sang Prabu Jimbun, ora antara suwe Prabu Jimbun budhal sowan mênyang Ampel.

Kacarita putra Nata ing Majapahit, kang aran Raden Bondhan Kajawan ing Tarub, mirêng pawarta yen nagara Majapahit dibêdhah Adipati Dêmak, malah Sang Prabu lolos saka jroning pura, ora karuhan mênyang ngêndi tindake, rumasa ora kapenak panggalihe, banjur tindak marang Majapahit, tindake Raden Bondhan Kajawan namur kula, nungsung warta ing ngêndi dununge ingkang rama, satêkane Surabaya, mirêng warta yen ingkang rama Sang Prabu têdhak ing Ampel, nanging banjur gêrah, Raden Bondhan Kajawan nuli sowan ngabêkti.

Sang Prabu ndangu: “Sing ngabêkti iki sapa?”

Raden Bondhan Kajawan matur yen panjênêngane kang ngabêkti.

Sang Prabu banjur ngrangkul ingkang putra, gêrahe Sang Prabu sangsaya mbatêk, ngrumaosi yen wis arêp kondur marang jaman kalanggêngan, pangandikane marang Sunan Kalijaga mangkene: Sahid, nyêdhaka mrene, aku wis arêp mulih marang jaman kalanggêngan, kowe gaweya layang mênyang Pêngging lan Pranaraga, mêngko tak-wenehane tandha asta, wis padha narima rusake Majalêngka, aja padha ngrêbut kapraboningsun, kabeh mau wis karsane Kang Maha Suci, aja padha pêrang, mundhak gawe rudahing jagad, balik padha ngemana rusaking wadya-bala, sebaa marang Dêmak, sapungkurku sing padha rukun, sapa sing miwiti ala, tak-suwun marang Kang maha Kuwasa, yudane apêsa.”

Sunan Kalijaga banjur nyêrat, sawise rampung banjur ditapak-astani dening sang Prabu, sabanjure diparingake marang Pêngging lan Pranaraga.

Sang Prabu banjur ngandika: “Sahid, sapungkurku kowe sing bisa momong marang anak putuku, aku titip bocah iki, saturun-turune êmongên, manawa ana bêgjane, besuk bocah iki kang bisa nurunake lajêre tanah Jawa, lan maneh wêkasku marang kowe, yen aku wis kondur marang jaman kalanggêngan, sarekna ing Majapahit sa-lor-wetane sagaran, dene pasareyaningsun bakal sun-paringi jênêng Sastrawulan, lan suwurna kang sumare ana ing kono yayi Raja Putri Cêmpa, lan maneh wêlingku, besuk anak-putuku aja nganti entuk liya bangsa, aja gawe senapati pêrang wong kang seje bangsa.”

Sunan Kalijaga sawise dipangandikani banjur matur: “Punapa Sang Prabu botên paring idi dhatêng ingkang putra Prabu Jimbun jumênêngipun Nata wontên ing tanah Jawi?”

Sang Prabu ngandika: “Sun-paringi idi, nanging mung mandhêg têlung turunan.”

Sunan Kalijaga nyuwun sumurup mungguh têgêse araning bakal pasareyane Sang Prabu.

Sang Prabu ngandika: “Sastra têgêse tulis, Wulan têgêse damaring jagad, tulise kuburku mung kaya gêbyaring wulan, yen isih ana gêbyaring wulan, ing têmbe buri, wong Jawa padha wêruh yen sedaku wis ngrasuk agama Islam, mula tak-suwurake Putri Cêmpa, amarga aku wis diwadonake si Patah, sarta wis ora dianggêp priya, nganti kaya mangkene siya-siyane marang aku, mulane ênggonku mangêni madêge Ratu mung têlung turunan, amarga si Patah iku wiji têlu, Jawa, Cina lan raksasa, mula kolu marang bapa sarta rusuh tindake, mula wêkasku, anak-putuku aja entuk seje bangsa, amarga sajroning sihsinihan di seje bangsa mau nganggo ngobahake agamane, bisaa ngapêsake urip, mula aku paring piwêling aja gawe senapati pêrang wong kang seje jinis, mundhak ngenthengake Gustine, ing sajroning mangun yuda, banjur mangro tingal, wis Sahid, kabeh pitungkasku, tulisên.”

Sang Prabu sawise paring pangandika mangkono, astane banjur sidhakêp, têrus seda, layone banjur disarekake ana ing astana Sastrawulan ing Majapahit, katêlah nganti saprene kocape kang sumare ana ing kono iku Sang Putri Cêmpa, dene mungguh satêmêne Putri Cêmpa iku sedane ana ing Tuban, dununing pasareyan ana ing Karang Kumuning.

Barêng wis têlung dina saka sedane Sang Prabu Brawijaya, kacarita Sultan Bintara lagi rawuh ing Ampelgadhing sarta kapanggih Nyai Agêng.

Nyai Agêng ngandika: “Wis bêgjane Prabu Jimbun ora nungkuli sedane ingkang rama, dadi ora bisa ngabêkti sarta nyuwun idi ênggone jumênêng Nata, sarta nyuwun pangapura kabeh kaluputane kang wis kêlakon”.

Prabu Jimbun ature marang Nyai Agêng, iya mung mupus pêpêsthen, barang wis kêbacut iya mung kudu dilakoni.

Sultan Dêmak ana ing Ampel têlung dina lagi kondur. Kacarita Adipati Pêngging lan Pranaraga, iya iku Adipati Andayaningrat ing Pêngging lan Bathara katong ing Pranaraga, wis padha mirêng pawarta yen nagara Majapahit dibêdhah Adipati Dêmak, nanging ênggone mbêdhah sinamun sowan riyaya, dene ingkang rama Sang Prabu lan putra Raden Gugur lolos saka praja, ora karuhan jujuge ana ing ngêndi, Adipati Pêngging lan Adipati Pranaraga bangêt dukane, mula banjur dhawuh ngundhangi para wadya sumêdya nglurug pêrang marang Dêmak, labuh bapa ngrêbut praja, para wadya-bala wis rumanti gêgamaning pêrang pupuh, mung kari budhale bae, kasaru têkane utusane Sang Prabu maringake layang. Adipati Pêngging lan Adipati Pranaraga sawise tampa layang lan diwaos, layang banjur disungkêmi kanthi bangêt ing pamuwune lan bangêt anjêntung panggalihe, tansah gedheg-gedheg lan gêrêng-gêrêng, wajane kêrot-kêrot, surya katon abang kaya gêni, lan kawiyos pangandikane sêru, kang surasane nyupatani marang panjênêngane dhewe, muga aja awet urip, mundhak ndêdawa wirang.

Adipati sakarone padha puguh ora karsa sowan marang Dêmak, amarga saka putêking panggalihe banjur padha gêrah, ora antara lawas padha nêmahi seda, dene kaol kang gaib, sedane Adipati Pêngging lan Adipati Pranaraga padha ditênung dening Sunan Giri, pamrihe supaya aja ngribêdi ing têmbe buri. Mula carita bêdhahe Majapahit iku mung dicêkak, ora satimbang karo gêdhene nagara sarta ambane jajahane, amarga aran ambuka wêwadining ratu, putra mungsuh bapa, yen dirasa satêmêne saru bangêt. Mula carita bêdhahe Majapahit sinêmonan dening para pujangga wicaksana, mangkene pasêmone:

  1. Amarga saka kramate para Wali, kêrise Sunan Giri ditarik mêtu tawone ngêntupi wong Majapahit.
  2. Sunan Cirêbon badhonge mêtu tikuse maewu-ewu, padha mangani sangu lan bêkakas jaran, wong Majapahit bubar, amarga wêruh akehing tikus.
  3. Pêthi saka Palembang ana satêngahing paprangan dibukak mêtu dhêmite, wong Majapahit padha kagegeran amarga ditêluh ing dhêmit.
  4. Sang Prabu Brawijaya sedane mekrad.

Banjure pangandikane kiyai Kalamwadi marang muride kang aran Darmagandhul, kaya kang kapratelakake ing ngisor iki: Kabeh mau mung pasêmon, mungguh sanyatane, carita bêdhahing Majapahit iku kaya kang tak-caritakake ing ngarêp. Nagara Majapahit iku rak dudu barang kang gampang rusake, ewadene bisa rusak mung amarga dikritiki tikus. Lumrahe tawon iku bubar amarga saka dipangan ing wong. Alas angkêr akeh dhêmite, bubaring dhêmit yen alase dirusak dening wong, arêp ditanduri. Nanging yen Majapahit rusake amarga saking tikus, tawon lan dhêmit, sapa kang ngandêl yen rusake Majapahit amarga tikus, tawon lan dhêmit, iku pratandha yen wong mau ora landhêp pikire, amarga carita kang mangkono mau kalêbu aneh lan ora mulih ing nalar, ora cocog lair lan batine, mula mung kanggo pasêmon, yen dilugokake jênênge ambukak wadine Majapahit, mula mung dipralambangi pasêmon kang orang mulih karo nalare. Dene têgêse pasêmon mau mangkene:

Tikus iku watake ikras-ikris, suwe-suwe yen diumbar banjur ngrêbda, têgêse: para ‘ulama dhek samana, nalika lagi têkane nyuwun panguripan marang sang Prabu ing Majapahit, barêng wis diparingi, piwalêse ngrusak. Tawon iku nggawa madu kang rasane manis, gêgamane ana ing silit, dene panggonane ana ing gowok utawa tala, têgêse: maune têkane nganggo têmbung manis, wusana ngêntup saka ing buri, dene tala têgêse mêntala ngrusak Majapahit, sapa kang ngrungu padha gawok.

Dene dhêmit diwadhahi pêthi saka Palembang, barêng dibukak muni jumêglug, têgêse: Palembang iku mlembang, iya iku ganti agama, pêthi têgêse wadhah kang brukut kanggo madhahi barang kang samar, dhêmit têgêse samar, rêmit, rungsid, dhêmit iku uga tukang nêluh. Mungguh gênahe mangkene: bêdhahe nagara Majapahit sarana ditêluh kalayan primpên lan samar, nalika arêp pambêdhahe ora ana rêmbag apa-apa, samudanane mung sowan garêbêgan, dadi dikagetake, mula wong Majapahit ora sikêp gêgaman pêrang, wêruh-wêruh Adipati Têrung wis ambantu Adipati Dêmak.

Kuna-kunane ora ana praja gêdhe kaya Majapahit bêdhahe mung saka diêntup ing tawon sarta dikritiki ing tikus bae, apa dene bubare wong sapraja mung saka ditêluh ing dhêmit.

Bêdhahe Majapahit swarane jumêgur, kêprungu saka ing ngêndi-êndi nagara, yen bêdhahe saka binêdhah dening putra, iya iku Wali wolu utawa Sunan wolu kang padha dimêmule wong Jawa, sangane Adipati Dêmak, kabeh mau padha mbalela mbalik.

Banjure maneh pangandikane kiyai Kalamwadi: Kandhane guruku Rahaden Budi Sukardi, sadurunge Majapahit bêdhah, manuk kuntul iku durung ana kang nganggo kucir, barêng nagara wis ngalih marang Dêmak, kahanan ing dunya nuli malih, banjur ana manuk kuntul nganggo kucir.

Prabu Brawijaya sinêmonan ing gaib: kêbo kombang atine êntek dimangsa tuma kinjir, kêbo têgêse ratu sugih, kombang têgêse mênêng swarane kang mbrêngêngêng, iya iku Prabu Brawijaya panggalihe têlas nalika bêdhahe Majapahit, kajaba mung kendêl gêrêng-gêrêng bae, ora karsa nglawan pêrang, dene tuma kijir iku tumane celeng, tuma têgêse tuman, celeng iku iya aran andhapan, iya iku Raden Patah nalika têkane ana ing Majapahit sumungkêm marang ingkang rama Sang Prabu, ing wêktu iku banjur diparingi pangkat, têgêse oleh ati saka Sang Prabu, wusana banjur mukul pêrang ngrêbut nagara, ora ngetung bênêr utawa luput, nganti ngêntekake panggalihe Sang Prabu.

Dene kuntul nganggo kucir iku pasêmone Sultan Dêmak, ênggone nyêri-nyêri marang ingkang rama Sang Prabu, dumeh agamane Buddha kawak kapir kupur, mulane Gusti Allah paring pasêmon, githok kuntul kinuciran, têgêse: tolehên githokmu, ibumu Putri Cina, ora kêna nyêri-nyêri marang wong seje bangsa, Sang Prabu Jimbun iku wiji têlu, purwane Jawa, iya iku Sang Prabu Brawijaya, mula Sang Prabu Jimbun gêdhe panggalihe melik jumênêng Nata, mulane melik ênggal sugih, amarga katarik saka ibune, dene ênggone kêndêl nanging tanpa duga iku saka wijine Sang Arja Damar, amarga Arja Damar iku ibune putri raksasa, sênêng yen ngokop gêtih, pambêkane siya, mula ana kuntul nganggo kucir iku wis karsaning Allah, ora mung Sunan Dêmak dhewe bae kang didhawuhi ngrumasani kaluputane, nanging sanadyan para Wali liyane uga didhawuhi ngrumasani, yen ora padha gêlêm ngrumasani kaluputane, dosane lair batin, mula jênênge Wali ditêgêsi Walikan: dibêciki malês ngalani.

Dene anane bangsa Cina padha nênêka ana ing tanah Jawa iku dêdongengane mangkene: Jare, dhek jaman kuna, nalika santri Jawa durung akeh kawruhe, sawise padha mati, suksmane akeh kang katut angin banjur thukul ana ing tanah China, mula saiki banjur padha bali mulih marang tanah Jawa, dadi suksmane bangsa mau, iku mau-maune iya akeh kang suksma Jawa.

Darmagandhul matur: “kiyai! Kang diarani agama Srani iku kang kaya apa?”

Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake: “Kang diarani agama Srani iku têgêse sranane ngabêkti: têmên-têmên ngabêkti marang Pangeran, ora nganggo nêmbah brahala, mung nêmbah marang Allah, mula sêbutane Gusti Kanjêng Nabi ‘Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang mujudake, mangkono kang kasêbut ing kitab Anbiya”.

Banjure pangandikane kiyai Kalamwadi.

Sultan Dêmak waskitha ing gaib, rumaos kadukan dening Kang Maha Kuwasa, mula banjur ngrumaosi kabeh kaluputane, nuli sowan andêdagan ana ing pasareyane ingkang rama, barêng wis antara têlung dina lawase, kaprênah pusêring kuburan tanpa sangkan thukul wit-witan warna papat, siji warnane irêng sêmu abang dalah godhong sarta kêmbange, loro wit sarta kêmbange putih godhonge sêdhêngan, têlu wit kang godhonge ngrêmbuyut mubêng kaya payung, papat wit kang godhonge lêmbut sarta mawa êri, lan wêktu iku sajroning pasareyane Sang Prabu kêprungu ana swara dumêling, mangkene ujaring swara: “Êntek katrêsnanku marang anak. Den enak mangan turu. Ana gajah digêtak kaya kucing, sanajan matiya ing tata-kalairane, nanging lah eling-elingên ing besuk, yen wis agama kawruh, ing têmbe bakal tak-walês, tak-ajar wêruh ing nalar bênêr lan luput, pranatane mêngku praja, mangan babi kaya dhek jaman Majapahit.”

Sultan Dêmak mirêng swara dumêling kang surasane mangkono iku, ing batos bangêt kaduwung marang apa kang wis dilampahi, mula nganti suwe njêgrêg ora bisa ngandika, ngrumaosi klirune dene nuruti rêmbuge para Sunan kabeh, nganti wani mungsuh ingkang rama sarta ngrusak Majapahit. Iya wiwit titi masa iku anane wit-witan warna papat kang padha thukul ana ing kuburan, dadi pasêmon kabeh, iya iku Tlasih, Sêmboja, Turugajah lan Gêtakkucing. Mula nganti tumêka saprene wit Sêmboja panggonane ana ing kuburan, kêmbang Tlasih kanggo ngirim para lêluhur, godonge Gêtakkucing yen kasenggol banjur obah, godhonge uga banjur mingkup kaya dene godhong Gêtakkucing.

Sawise mangkono, Sultan Dêmak banjur kondur, sakondure saka pasareyane ingkang rama, bangêt panalangsane ing dalêm batos, tansah ngrumaosi ing kalêpatane.

Sunan Kalijaga uga waskitha ing gaib yen sinêmonan dening Kang Maha Kuwasa, mula uga bangêt panalangsane sarta ngrumaosi kaluputane, mula banjur mangagêm sarwa wulung, beda karo para Wali liyane isih padha manganggo sarwa putih. Kabeh mau ora padha ngrumasani kaluputane, mung Sunan Kalijaga piyambak rumaos yen kadukan dening Kang Maha Kuwasa, mula bangêt mrêtobate, wasana banjur pinaringan pangapura dening Allah, sinêmonan wiwit anane orong-orong githoke tumêka ing punuk disêsêli tataling kayu jati, mungguh karêpe: punukmu panakna, sajatining ‘ilmu iku ora susah maguru marang wong ‘Arab, ‘ilmuning Gusti Allah wis ana ing githokmu dhewe-dhewe,wujude puji thok, nanging dudu puji jatining kawruh, kang ngawruhi sajatining urip, urip dadi wayangan Dzating Pangeran, manusa bisa apa, mobah mosik mung sadarma nglakoni, budi kang ngobahake, sabda iku mêtu saka ing karêp, karêp mêtu saka ing budi, budi iku Dzate Kang Maha Agung, agung iku wis samêkta, tanpa kurang tan wuwuh, tanpa luwih sarta ora arah ora ênggon.

Kiyai kalamwadi nutugake caritane: “Kandhane guruku Rahaden Budi Sukardi mangkene: mungguh kang katarima, muji marang Allah iku, iku sindhenan Dharudhêmble. Têmbung dhar iku têgêse wudhar, ru iku têgêse ruwêt sulit lan rungsit, dene dhêmble têgêse dhêmbel dadi siji, yen wis sumurup têpunge sarat sari’at tarekat hakekat lan ma’rifat, iku mau wis muji tanpa ngucap, sarak iku sarate ngaurip, iya iku nampik milih iktiyar lan manggaota, sari’at iku saringane kawruh agal alus, tarekat iku kang nimbang lan nandhing bênêr lan luput, hakekat iku wujud, wujud karsaning Allah, kang ngobahake sarta ngosikake rasane budi, wêruh ora kasamaran ing sawiji-wiji. Yen kowe wis ngrêti marang têgêse Dharudhêmble, mêsthi wis marêm marang kawruhmu dhewe. Mangan woh kawruh lan budi, sêmbahe kaya wêsi kang dilabuh ana ing gêni ilang abange mung rupa siji, kang muji lan kang dipuji wis nunggal dadi sawiji, dhêmble wujud siji. Yen kowe wis bisangawruhi surasane kang tak-kandhakake iki, jênênge munajad. Saupama wong nulup manuk, yen ra wêruh prênahe manuke, masa kênaa, ênggone nulup mung ngawur. Yen kawruhe wong pintêr ora angel yen disawang, mêtune saka ing utêk”.

Darmagandhul matur, nyuwun ditêrangake bab ênggone Nabi Adam lan Babu Kawa padha kêsiku dening Pangeran, sabab saka ênggone padha dhahar wohe kayu Kawruh kang ditandur ana satêngahing taman Pirdus. Ana maneh kitab kang nêrangake, kang didhahar Nabi Adam lan Babu Kawa iku woh Kuldi, kang ditandur ana ing swarga. Mula nyuwun têrange, yen ing kitab Jawa caritane kapriye, kang nyêbutake kok mung kitab ‘Arab lan kitabe wong Srani.

Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake, yen kitabe wong Jawa ora nyêbutake bab mangkono iku, dene Sajarah Jawa iya ana kang nyêbutake turun Adam, iya kitab Manik Maya.

Kiyai Kalamwadi banjur ngandhakake: “Sawise buku-buku pathokan agama Buddha diobongi, amarga mundhak ngrêribêdi agama Rasul, sanadyan buku kang padha disimpêni dening para wadya, iya dipundhut banjur diobongi, nalika sabêdhahe Majapahit, sapa kang durung gêlêm nganggo agama Islam banjur dijarah rajah, mula wong-wong ing kono padha wêdi marang wisesaning Ratu. Dene wong-wong kang wis padha gêlêm salin agama Rasul, banjur padha diganjar pangkat utawa bumi sarta ora padha nyangga pajêg, mulane wong-wong ing Majapahit banjur padha ngrasuk agama Islam, amarga padha melik ganjaran. Ing wêktu iku Sunan Kalijaga, kagungan panggalih, caritane lêluhure supaya aja nganti pêdhot, banjur iyasa wayang, kanggo gantine kitab-kitab kuna kang wis padha diobongi. Ratu Mataram uga mangun carita sajarahe para lêluhur Jawa, buku-buku sakarine, kang isih padha disimpên uga padha dipundhut kabeh, nanging wis padha amoh, Sang Nata ing Mataram andangu para wadya, nanging wis padha ora mênangi, wiwit Kraton Gilingwêsi nganti tumêka Mataram wis ora kasumurupan caritane, buku-buku asli saka ing Dêmak lan Pajang padha dipriksa, nanging tinêmu tulisan ‘Arab, kitab Pêkih lan Taju-salatina apa dene Surya-Alam kang kanggo pikukuh, mula Sang Prabu ing Mataram kewran panggalihe ênggone kagungan karsa iyasa babad carita tanah Jawa. Sang Prabu banjur dhawuh marang para pujangga, andikakake padha gawe layang Babad Tanah Jawa, ananging sarehne kang gawe Babad mau ora ngêmungake wong siji bae, mula ora bisa padha gaweyane, kang diênggo pathokan layang Lokapala, mungguh caritane kaya kang kasêbut ing ngisor iki”.

Wayahe Nabi Adam iya iku putrane Nabi Sis, arane Sayid Anwar. Sayid Anwar didukani ingkang rama lan ingkang eyang, amarga wani- wani mangan wohe wit kayu Budi sêngkêrane Pangeran kang tinandur ana ing swarga. Ciptane Sayid Anwar supaya kuwasane bisa ngiribi kaya dene kuwasane Pangeran, ora narima yen mung mangan who Kawruh lan woh Kuldi bae, nanging wohe kayu Budi kang disuwun. Sayid Anwar miwiti yasa sarengat dhewe, ora karsa ngagêm agamane ingkang rama lan ingkang eyang, dadi murtat sarta nampik agamane lêluhure, mangkono uga karsa ngakoni yen turune Adam sarta Sis, pangraose Sayid Anwar iku dadi saka dadine piyambak, mung waranane bae saka Adam lan Sis, dadine saka budi hawaning Pangeran. Ênggone Kagungan pamanggih mangkono mau diantêpi bangêt, jalaran mangkene: asal suwung mulih marang sêpi, bali marang asale maneh. Sarehne Sayid Anwar banjur lunga nuruti karêping atine, lakune mangetan nganti tumêka ing tanah Dewani, ana ing kono banjur kêtêmu karo ratuning jin arane Prabu Nuradi, Sayid Anwar ditakoni iya banjur ngandharake lêlakone kabeh, wusanane Sayid Anwar diêpek mantu sarta dipasrahi kaprabon, ngratoni para jin, jêjuluk Prabu Nurcahya, wiwit jumênênge Prabu Nurcahya, jênênge nagara banjur diêlih dadi aran nagara Jawa. Misuwure, kang jumênêng Nata, Jawa jawi ngrêti kawruh agal alus. Sawise iku Sang Prabu banjur nganggit sastra mung salikur aksara, saucaping wong Jawa bisa kaucap, dijênêngake Sastra Endra Prawata. Têmbung Jawa, ditêgêsi: nguja hawa, karsane Sang Prabu: bisaa rowa, saturun-turune bisaa jumênêng Nata mêngkoni tanah Jawa. Sang Prabu putrane siji pêparab Sang Hyang Nurrasa, uga dhaup karo putri jin putrane mung siji iya iku Sang Hyang Wênang. Sang Hyang Wênang uga dhaup karo putri jin, dene putrane uga mung siji kakung pêparab Sang Hyang Tunggal, krama oleh putri jin. Sang Hyang Tunggal pêputra Sang Hyang Guru, kabeh mau turune Sang Hyang Nurcahya, kang padha didhahar woh wit kayu Budi. Sang Hyang Guru kagungan pangraos yen kuwasane padha karo Gusti Allah, mula banjur iyasa kadhaton ana pucaking Mahameru, sarta ngakoni yen purwaning dumadi mêtune asal saka budi hawa nêpsu. Aran Dewa ngaku misesani mujudake sipat roh, agamane Buddha budi, mangeran digdayane sarta ngaku Gusti Allah. Sêdya kang mangkono mau iya diideni dening Kang Maha Kuwasa, sarta kalilan nimbangi jasane Kang Maha Kuwasa. Dewa iku wêrdine ana loro têgêse: budi hawa, sarta: wadi dawa, mulane agamane Buddha. Sêbutan Dewi: têgêse: dening wadining wadon iku bisa ngêtokake êndhas bocah.

Darmagandhul didhawuhi nimbang mungguh kang bênêr kang êndi, mangan woh wit kayu Kawruh, apa wit kayu Budi, apa woh wit Kuldi?

Saka panimbange Darmagandhul, kabeh iku iya bênêr, sênêngan salah siji êndi kang disênêngi, diantêpi salah siji aja nganti luput. Yen kang dipangan woh wit kayu Budi, agamane Buddha budi, panyêbute marang Dewa; manawa mangan woh wit kawruh, pênyêbute marang Kangjêng Nabi ‘Isa, agamane srani, yen sênêng mangan woh wit kayu Kuldi, agamane Islam, sambate marang nabi panutan; iya iku Gusti Kangjêng Nabi Rasul; dene yen dhêmên Godhong Kawruh Godhong Budi, panêmbahe marang Pikkong, sarta manut sarake Sisingbing lan Sicim; salah sijine aja nganti luput. Yen bisa woh-wohan warna têlu iku mau iya dipangan kabeh, yen wong ora mangan salah sijine woh mau, mêsthine banjur dadi wong bodho, uripe kaya watu ora duwe kêkarêpan lan ora mangrêti marang ala bêcik. Dene mungguh bêcike wong urip iku mung kudu manut marang apa alame bae, dadi ora aran siya-siya marang uripe, yen Kalifah dhahar woh Budi, iya melu mangan woh Budi, yen Kalifah dhahar woh kawruh, iya melu mangan woh kawruh, yen kalifah dhahar woh Kuldi, iya melu mangan woh Kuldi. Dene prakara bênêr utawa lupute, iku Kalifah kang bakal tanggung. Sarehne diênut wong akeh, dadi Panutan kudu kang bênêr, amarga wong dadi Panutan iku saupama têtuwuhan minangka wit-e. Yen wong ora gêlêm manut marang kang bênêre kudu diênut, iku kaya dene iwak kang mêtu saka ing banyu. Saupama woh ora gêlêm nempel wit, mêsthi dadi glundhungan kang tanpa dunung. Awit saka iku, mulane wong iku kudu ngelingi marang agamane kang nurunake, amarga sanadyan saupama ana salahe, Gusti Allah mêsthi paring pangapura. Darmagandhul matur nyuwun têrange agama Rasul lan liya-liyane, mungguh kang dadi bedane apa?

Kiyai Kalamwadi banjur nêrangake beda-bedane, yen saka dhawuhe kang Maha Kuwasa, manusa didhawuhi muja marang agamane. Nanging banjur akeh kang kliru muja marang barang kang katon, kaya ta buku, kitab, kêris, tumbak, utawa liya-liyane barang. Kang kaya mangkono mau ngrusakake agama, amarga banjur mangeran marang wujud, satêmah lali marang Pangerane, amarga maro tingal marang barang rêrupan. Wong urip iku kudu duwe gondhelan agama, amarga yen ora duwe agama mêsthi duwe dosa, mung bae dosane mau ana kang sathithik lan ana kang akeh. Dene kang bisa nyirnakake (nyudakake) dosa iku, mung banyu suci, iya iku tekad suci lair batin. Kang diarani banyu tekad suci iku kang êning, iya iku minangka aduse manusa, bisa ngrêsiki lair batine. Yen wong luwih, ora ngarêp-arêp munggah swarga, kang digoleki bisaa nikmat mulya punjula saka sapadhane, aja nganti nêmu sangsara, bisaa duwe jênêng kang bêcik, sinêbut kang utama, bisaa nikmat badan lan atine, mulya kaya maune, kaya nalika isih ana ing alam samar, ora duwe susah lan prihatin. Lawang swarga iku prêlu dirêsiki, dirêngga ing tekad kang utama, supaya aja ngrêribêdi ana ing donyane, bisaa slamêt lair batine. Kang diarani lawang swarga lan lawang nêraka iku, pancadan kang tumuju marang kabêgjan utawa kacilakan. Yen bêcik narik raharja, yen ala ngundhuh cilaka, mula pangucap kang ala, mêsthi mlêbu yomani. Yen bêcik, bisa tampa ganjaran.

Darmagandhul matur maneh, nyuwun têrange, manusa ing dunya wujude mung lanang lan wadon, dadine kok banjur warna-warna, ana Jawa, ‘Arab, Walanda lan Cina. Dene sastrane kok uga beda-beda. Iku maune kêpriye, dalah têgêse sarta cacahing aksarane kok uga beda-beda. Geneya kok ora nganggo aksara warna siji bae?

Kyai Kalamwadi banjur nêrangake, yen kabeh-kabeh mau wis dadi karsane Kang Maha Kuwasa. Mula aksarane digawe beda-beda, supaya para kawulane padha mangan woh wit kayu Budi lan woh wit kayu Kawruh, amarga manusa diparingi wahyu kaelingan, bisa mêthik woh Kawruh lan woh Budi, pamêthike sapira sagaduke. Gusti Allah uga iyasa sastra, nanging sastrane nglimputi ing jêro, lan manut wujud, iya iku kang diarani sastra urip, manusa ora bisa anggayuh, sanadyan para Auliya sarta para Nabi ênggone nggayuh iya mung sagaduke. Woh wit Kawruh lan woh wit Budi ditandhani nganggo sipat wujud, dicorek ana ing dluwang, nganggo mangsi supaya wong bisa wêruh, mula jênênge dalwang, têgêse mêtu wangune, mangsi têgêse mangsit, dadi yen dalwang ditrapi mangsi, mêsthi banjur mêtu wangune, mangsit mangan kawruh, mula jênêng kalam, amarga kawruhe anggawa alam. Sastra warna-warna paringe kang Maha-Kuwasa, iku wajib dipangan, supaya sugih pangrêten lan kaelingan, mung wong kang ora ngrêti sastra paringe Gusti Allah, mêsthi ora mangêrti marang wangsit. Auliya Gong Cu kumênthus niru sastra tulisan paringe Gusti allah, nanging panggawene ora bisa, sastrane unine kurang, dadi pelon, para Auliya panggawene sastra dipathoki cacahe, mung aksara Cina kang akeh bangêt cacahe, nanging unine pelo, amarga Auliya kang nganggit kêsusu mangan woh Kawruh, ing mangka iya kudu mangan woh wit kayu Budi. Auliya mau lali yen tinitah dadi manusa. Ewadene mêksa nganggo kuwasane Kang Maha Kuwasa, anggayuh kang dudu wajibe, kêsusu tampa panglulu nganggit sastra kang nganti tanpa etungan cacahe, jênênge sastra godhong. Godhonge wit Budi lan wit Kawruh, dipêthik saka sathithik, ditata dikumpulake, banjur dianggit kanggo sastra, mulane aksarane nganti ewon. Auliya Cina kêsiku, amarga arêp gawe sastra urip kaya yasane Gusti Allah.

Auliya Jawa ênggone mangan woh wit kayu Budi nganti warêg, mula ênggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Auliya Arab ênggone mangan woh wit kayu Kuldi akeh bangêt. Dene ênggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Nanging yen sastra yasane Gusti Allah, dadine saka sabda, wujude dadi dhewe, mulane unine iya cêtha, sastrane ora ana kang padha.

Darmagandhul banjur didhawuhi nimbang, mungguh anggitane para Auliya kabeh mau kang mratandhani asor luhuring budine kang êndi?

Saka panimbange Darmagandhul, kabeh mau iya bênêr, nanging anggêr mêtu saka budi. Dene kang gawe aksara mung sathithik, nanging wis bisa nyukupi, iku mratandhani yen luwih pintêr tinimbang karo liya-liyane. J

Kiyai Kalamwadi ngandika: “Yen manusa arêp wêruh sastrane Gusti Allah, tulisan mau ora kêna ditonton nganggo mripat lair – kudu ditonton nganggo mripat batin. Yen mangkono iya bisa katon, Gusti Allah iku mung sawiji, nanging Dzate nyarambahi sakabehing wujud. Yen ndêlêng kudu nganggo ati kang bêning, ora kêna kacampuran pikiran kang warna-warna, sarta kudu kang mêlêng ênggone mawas, supaya ora bisa kliru karo kanyatane”.

Kiyai Kalamwadi lênggah diadhêp garwane aran Endhang Prêjiwati. Darmagandhul sarta para cantrik iya padha marak. Kiyai Kalamwadi paring piwulang marang garwane, dadi nêtêpi jênênge priya kudu mulang muruk marang rabine. Dene kang diwulangake, bab kawruh kasunyatan sarta kawruh kang kanggo yen wis tumêka ing pati, ing wong sêsomahan iku. Kang wadon diupamakake omah, sanadyan kahanane wis sarwa bêcik. Nanging sabên dinane isih kudu dipiyara lan didandani. Saka pangandikane Kiayi Kalamwadi, wong iku yen dipitakoni, satêmêne ragane wis bisa mangsuli, sabab ing kono wis ana pangandikane Gusti Allah paring piwulang, nanging ora mêtu ing lesan, mung paring sasmita kang wis ditulis ana saranduning badan sakojur.

Pangandikane kiyai Kalamwadi: “Sarehne aku iku wong cubluk, dadi ora bisa aweh piwulang kang endah, aku mung arêp pitakon marang ragamu, amarga ragamu iku wis bisa sumaur dhewe”.

Banjure pangandika kiyai Kalamwadi kaya ing ngisor iki. Tanganmu kiwa iku wis anggawa têgês dhewe, lan wis dadi piwulang kang bêcik lan nyata, kang anuduhake yen ragamu iku wujude kiwa, mung hawa kang katon. Têmbung ki: iku têgêse iki, wa: têgêse wêwadhah, ragamu iku diibaratake prau, prau dadi ‘ibarate wong wadon, wong têgêse ngêlowong, wadon têgêse mung dadi wadhah, dene isine mung têlung prakara, iya iku: “kar-ri-cis”. Yen prau wis isi têlung prakara iku, wong wadon wis kêcukup butuhe, dadi ora goreh atine. Dene têgêse kar-ri-cis iku mangkene.

  1. Kar, têgêse dakar, iya iku yen wong lanang wis bisa nêtêpi lanange, mêsthi wong wadon atine marêm, wusanane dadi nêmu slamêt ênggone jêjêdhowan.
  2. Ri, têgêse pari, iya iku kang minangka pangane wong wadon, yen wong lanang wis bisa nyukupi pangane, mêsthi wong wadon bisa têntrêm ora goreh.
  3. Cis, têgêse picis, utawa dhuwit, ya iku yen wong lanang wis bisa aweh dhuwit kang nyukupi, mêsthi wong wadon bisa têntrêm, tak baleni maneh, cis têgêse bisa goreh atine.

Kosok baline yen wong lanang ora bisa aweh momotan têlung prakara mau, wong wadon bisa goreh atine. Tangan têngên têgêse etungên panggawemu, sabên dina sudiya,

sanggup dadi kongkonan, wong wadon wis dadi wajibe ngrewangi kang lanang anggone golek sandhang pangan.

Bau têgêse kanthi, gênahe wong wadon iku dadi kanthine wong lanang, tumrap nindakake samubarang kang prêlu.

Sikut têgêse singkurên sakehing panggawe kang luput. Ugêl-ugêl têgêse sanadyan tukar padu, nanging yen isih padha trêsnane iya ora bisa pêdhot. Epek-epek têgêse ngêpek-ngêpek jênênge kang lanang, awit wong wadon iku yen wis laki, jênênge banjur melu jênênge kang lanang. Iya iku kang diarani warangka manjing curiga, warangkane wanita, curigane jênênge wong lanang.

Rajah (ing epek-epek) têgêse wong wadon iku panganggêpe marang guru-lakine dikaya dene panganggêpe marang raja.

Driji têgêse drêjêg utawa pagêr, iya iku idêrana jiwamu nganggo pagêr kautaman, wanita iku kudu andarbeni ambêk kang utama, dene driji kabeh mau ana têgêse dhewe-dhewe.

Jêmpol têgêse êmpol, yen wanita dikarsakake dening priyane, iku kang gampang gêtas rênyah kaya dene êmpoling klapa.

Driji panuduh têgêse wanita nglakonana apa sapituduhe kang priya.

Driji panunggul, têgêse wanita wajib ngunggulake marang priyane, supaya nyupangati bêcik.

Driji manis, têgêse wanita kudu duwe pasêmon utawa polatan kang manis, wicarane kudu kang manis lan prasaja.

Jênthik, têgêse wong wadon iku panguwasane mung sapara limane wong lanang, mula kudu sêtya tuhu marang priyane.

Kuku têgêse ênggone rumêksa marang wadi, paribasane aja nganti kêndho tapihe.

Mungguh pikikuhe wong jêjodhowan iku, wanita kudu sêtya marang lakine sarta nglakoni patang prakara, iya iku: pawon, paturon, pangrêksa, apa dene kudu nyingkiri padudon.

Wong jêjodhowan yen wis nêtêpi kaya piwulang iki, mêsthi bisa slamêt sarta akeh têntrême.

Kiyai Kalamwadi banjur paring pangandika maneh, dene kang dipangandikakake bab pikukuhe wong jêjodhowan. Saka pangandikane kiyai Kalamwadi, wong jêjodhowan iku pikukuhe kudu duwe ati eling, aja nganti tumindak kang ora bênêr. Mungguh pikukuhe wong laki-rabi iku, dudu dunya lan dudu rupa, pikukuhe mung ati eling. Wong jêjodhowan, yen gampang luwih gampang, nanging yen angel, angele ngluwihi. Wong jêjodhowan itu luput pisan kêna pisan, yen wis luput, ora kêna tinambak ing rajabrana lan rupa. Wanita kudu tansah eling yen winêngku ing priya, yen nganti ora eling, lupute banjur ngambra-ambra, amargi yen wanita nganti cidra, iku ugi ngilangake Pangerane wong jêjodhowan, dene kang diarani cidra iku ora mung jina bae, nanging samubarang kang ora prasaja iya diarani cidra, mula wanita kudu prasaja lair batine, amarga yen ora mangkono bakal nandhang dosa rong prakara, kang sapisan dosa marang kang lanang, kapindhone dosa marang Gusti Allah, kang mangkono iku mêsthi ora bisa nêmu lêlakon kang kapenak. Mula ati, kudu tansah eling, amarga tumindaking badan mung manut karêping ati, awit ati iku dadi ratuning badan. Wong jêjodhowan di’ibaratake prau kang gêdhe, lakuning prau manut satang lan kêmudhine, sanadyan satange bênêr, yen kêmudhine salah, prau ora bêcik lakune. Wong lanang iku lakuning satang, dene kang wadon ngêmudheni, sanadyan bêcik ênggone ngêmudheni, nanging yen kang nyatang ora bênêr, lakune prau iya ora bisa jêjêg, sarta bisa têkan kang disêdya, amarga kang padha nglakokake padha karêpe, dadi têgêse, wong jêjodhowan, kudu padha karêpe, mula kudu rukun, rukun iku gawe karaharjan sarta mahanani katêntrêman, ora ngêmungake wong jêjodhowan kang rukun bae, kang oleh katêntrêmaning ati, sanadyan tangga têparone iya melu têntrêm, mula wong rukun iku bêcik bangêt.

Kowe tak-pituturi, mungguh dalane kamulyan iku ana patang prakara:

  1. Mulya saka jênêng.
  2. Mulya saka bandha.
  3. Mulya saka sugih ‘ilmu.
  4. Mulya saka kawignyan.

Kang diarani mulya saka jênêng, iku wong kang utama, bisa oleh kabêgjan kang gêdhe, nanging kabêgjane mau ora mung kanggo awake dhewe, kapenake uga kanggo wong akeh liyane. Dene kang mulya saka ing bandha, lan mulya saka ênggone sugih ‘ilmu, lan mulya saka kapintêran, iku ana ngêndi bae, iya akeh rêgane.

Mungguh dalane kasangsaran uga ana patang prakara:

  1. Rusaking ati, manusa iku yen pikire rusak, ragane mêsthi iya melu rusak.
  2. Rusaking raga, iya iku wong lara.
  3. Rusaking jênêng, iya iku wong mlarat.
  4. Rusaking budi, iya iku wong bodho, cupêt budine, wong bodho lumrahe gampang nêpsune.

Kang diarani tampa kanugrahing Gusti Allah, iya iku wong kang sêgêr kawarasan sarta kacukupan, apa dene têntrêm atine.

Wong urip kang kêpengin bisaa dadi wong utama, duweya jênêng kang bêcik, kanggo têtuladhan marang wong kang padha ditinggal ing têmbene”.

Ki Darmagandhul matur lang nyuwun ditêrangake bab anane wong ing jaman kuna karo wong ing jaman saiki, iku satêmêne pintêr kang êndi, amarga wong akeh panêmune warna-warna tumrape bab iku.

Pangandikane kiyai Kalamwadi: “Wong kuna lan wong saiki, iku satêmêne iya padha pintêre, mung bae tumrape wong ing jaman kuna, akeh kang durung bisa mujudake kapintêrane, mula katone banjur kaya dene ora pintêr. Ana dene wong ing jaman saiki ênggone katon luwih pintêr iku amarga bisa mujudake kapintêrane. Wong ing jaman kuna kapintêrane iya wis akeh, dene kang mujudake iya iku wong ing jaman saiki. Saupama ora ana kapintêrane wong ing jaman kuna, mêsthi bae tumrape wong ing jaman saiki ora ana kang kanggo têtuladhan, amarga kahanan saiki iya akeh kang nganggo kupiya kahanan ing jaman kuna. Wong ing jaman saiki ngowahi kahanan kang wis ana, êndi kang kurang bêcik banjur dibêcikake. Wong ing jaman saiki ora ana kang bisa nganggit sastra, yen manusa iku rumasa pintêr, iku têgêse ora rumasa yen kawula, mangka uripe manusa mung sadarma nglakoni, mung sadarma nganggo raga, dene mobah mosik, wis ana kang murba. Yen kowe arêp wêruh wong kang pintêr têmênan, dununge ana wong wadon kang nutu sabên dina, tampahe diiseni gabah banjur diubêngake sadhela, gabah kang ana kabur kabeh, sawise, banjur dadi beda-beda, awujud bêras mênir sarta gabah, nuli mung kari ngupuki bae, sabanjure dipilah-pilah. Têgêse: bêras yen arêp diolah kudu dirêsiki dhisik, miturut kaya karêpe kang arêp olah-olah. Yen kowe bisa mangreh marang manusa, kaya dene wong wadon kang nutu mau, ênggone nyilah-nyilahake bêras aneng tampah, kowe pancen wong linuwih, nanging kang mangkono mau dudu kawadjibanmu, awit iku dadi kawajibane para Raja, kang misesa marang kawulane. Dene kowe, mung wajib mangrêti tataning praja supaya uripmu aja kongsi dikul dening sapadhaning manusa, uripmu dadi bisa slamêt, kowe bakal dadi têtuwa, kêna kanggo pitakonan tumraping para mudha bab pratikêle wong ngawula ing praja. Mula wêlingku marang kowe, kowe aja pisan- pisan ngaku pintêr, amarga kang mangkono mau dudu wajibing manusa, yen ngrumasani pintêr, mundhak kêsiku marang Kang Maha Kuwasa, kaelokane Gusti Allah, ora kêna ginayuh ing manusa, ngrumasanana yen wong urip iku mung sadarma, ana wong pintêr isih kalah pintêr karo wong pintêr liyane, utawa uga ana wong pintêr bisa kasoran karo wong kompra, bodho pintêring manusa iku saka karsane Kang Maha Kuwasa, manusa anduweni apa, bisane apa, mung digadhuhi sadhela dening Kang Maha Kuwasa, yen wis dipundhut, kabeh mau bisa ilang sanalika, saka kalangkungane Gusti Allah, yen kabeh mau kapundhut banjur diparingake marang wong kompra, wong kompra banjur duwe kaluwihan kang ngungkuli kaluwihane wong pintêr. Mula wêlingku marang kowe, ngupayaa kawruh kang nyata, iya iku kawruh kang gandheng karo kamuksan”.

Ki Darmagandhul banjur matur maneh, nyuwun têrange bab tilase kraton Kêdhiri, iya iku kratone Sang Prabu Jayabaya. Kiyai Kalamwadi ngandika: “Sang Prabu Jayabaya ora jumênêng ana ing Kêdhiri, dene kratone ana ing Daha, kaprênah sawetane kali Brantas. Dene yen Kêdhiri prênahe ana sakuloning kali Brantas lan sawetaning gunung Wilis, ana ing desa Klotok, ing kono iku ana bata putih, iya iku patilasane Sri Pujaningrat. Dene yen patilasane Sri Jayabaya ika ana ing daha, saikine jênênge desa Mênang, patilasane kadhaton wis ora katon, amarga kurugan ing lêmah lahar saka gunung Kêlut, patilasan-patilasan mau wis ilang kabeh, pasanggrahan Wanacatur lan taman Bagendhawati uga wis sirna, dene pasanggrahan Sabda, kadhatone Ratu Pagêdhongan uga wis sirna. Kang isih mung rêca yasane Sri Jayabaya, iya iku candhi Prudhung, Têgalwangi, prênahe ing sa-lor-wetane desa Mênang, lan rêca buta wadon, iya iku rêca kang diputung tangane dening Sunan Benang nalika lêlana mênyang Kêdhiri, rêca mau lungguhe madhêp mangulon, ana maneh rêca jaran awak siji êndhase loro, panggonane ana ing desa Bogêm, wêwêngkon dhistrik Sukarêja, mula Sri Jayabaya yasa rêca, mangkene caritane, (kaya kang kapratelakake ing ngisor ini)”.

Ing Lodhaya ana buta wadon ngunggah-unggahi Sang Prabu Jayabaya, nanging durung nganti katur ing ngarsa Prabu, buta wadon wis dirampog dening wadya cilik-cilik, buta wadon banjur ambruk, nanging durung mati, barêng ditakoni, lagi waleh yen sumêdya ngunggah-unggahi Sang Prabu. Sang Prabu banjur mriksani putri buta mau, barêng didangu iya matur kang dadi sêdyane. Sang Prabu banjur paring pangandika mangkene: “Buta! andadekna sumurupmu, karsaning Dewa Kang Linuwih, aku iku dudu jodhomu, kowe dak-tuturi, besuk sapungkurku, kulon kene bakal ana Ratu, nagarane ing Prambanan, iku kang pinasthi dadi jodhomu, nanging kowe aja wujud mangkono, wujuda manusa, aran Rara Jonggrang”.

Sawise dipangandikani mangkono, putri buta banjur mati. Sang Prabu banjur paring pangandika marang para wadya, supaya desa ing ngêndi papan matine putri buta mau dijênêngake desa Gumuruh. (11) Ora antara suwe Sri Jayabaya banjur jasa rêca ana ing desa Bogêm. Rêca mau wujud jaran lagaran awak siji êndhase loro, kiwa têngên dilareni. Patihe Sang Prabu kang aran Buta Locaya sarta Senapatine kang aran Tunggulwulung padha matur marang sang Prabu, kang surasane nyuwun mitêrang kang dadi karsa-Nata, ênggone Sang Prabu yasa rêca mangkono mau, apa mungguh kang dadi karsane. Sang Prabu banjur paring pangandika, yen ênggone yasa rêca kang mangkono itu prêlu kanggo pasêmon ing besuk, sapa kang wêruh marang wujude rêca iku mêsthi banjur padha mangrêti kang dadi tekade wong wadon ing jaman besuk, yen wis jaman Nusa Srênggi. Bogêm têgêse wadhah bangsa rêtna-rêtna kang adi, têgêse wanita iku bangsa wadhah kang winadi. Laren (12) kang ngubêngi jaran têgêse iya sêngkêran. Dene jaran sêngkêran iya iku ngibaratake wong wadon kang disêngkêr. Sirah loro iku dadi pasêmone wong wadon ing jaman besuk, kang akeh padha mangro tingal, sanadyan ora kurang ing panjagane, iya bisa cidra, lagaran, iku têgêse tunggangan kang tanpa piranti. Ing jaman besuk, kang kêlumrah wong arêp laki-rabi, ora nganggo idine wong tuwane, margane saka lagaran dhisik, yen wis mathuk pikire, iya sida diêpek rabi, nanging yen ora cocog, iya ora sida laki-rabi.

Sang Prabu ênggone yasa candhi, prêlu kanggo nyêdhiyani yen ana wadyabala kang mati banjur diobong ana ing kono, supaya bisa sirna mulih marang alam sêpi. Yen pinuju ngobong mayit, Sang Prabu uga karsa rawuh ngurmati.

Kang mangkono iku wis dadi adate para raja ing jaman kuna. Mula kang dadi panyuwunku marang Dewa, muga Sang Prabu karsa yasa candhi kanggo pangobongan mayit, kaya adate Raja ing jaman kuna, amarga aku iki anak dhalang, aja suwe-suwe kaya mêmêdi, duwe rupa tanpa nyawa, bisaa mulih marang asale.

Samuksane Sang Prabu Jayabaya, Patih Buta Locaya sarta Senapati Tunggulwulung, apa dene putrane Sang Prabu kang kêkasih Ni Mas Ratu Pagêdhongan, kabeh banjur padha andherek muksa.

Buta Locaya banjur dadi ratuning dhêdhêmit ing Kêdhiri. Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, dene Ni Mas Ratu Pagêdhongan banjur dadi ratuning dhêdhêmit ana ing sagara kidul, asmane ratu Anginangin.

Ana kêkasihe Sang Prabu Jayabaya, jênênge Kramatruna, nalika Sri Jayabaya durung muksa, Kramatruna didhawuhi ana ing sêndhang Kalasan. Sawise têlung atus taun, putrane Ratu ing Prambanan, kêkasih Lêmumbardadu iya Sang Pujaningrat, jumênêng Nata ana ing Kêdhiri, kadhatone ana sakuloning bangawan (3), kêdhi têgêse wong wadon kang ora anggarap sari, dene dhiri iku têgêse anggêp, kang paring jênêng iku Rêtna Dewi Kilisuci, dicocogake karo adate Sang Rêtna piyambak, amarga Sang Rêtna Dewi Kilisuci iku wadat, sarta ora anggarap sari. Dewi Kilisuci nyawabi nagarane, aja akeh gêtihe wong kang mêtu. Mula Kêdhiri iku diarani nagara wadon, yen nglurug pêrang akeh mênange, nanging yen dilurugi apês. Kang kêlumrah pambêkane wanita ing Kêdhiri iku gêdhe atine, amarga kasawaban pambêkane Sang Rêtna Dewi Kilisuci. Dene Rêtna Dewi Kilisuci iku sadhereke sêpuh Nata ing Jênggala. Sang Rêtna mau tapa ana ing guwa Selamangleng, sukune gunung Wilis.

WUWUHAN KATÊRANGAN.

Kanjeng Susuhunan Ampeldênta pêputra ratu Fatimah, patutan saka Nyai Agêng Bela. Ratu Fatimah krama oleh pangeran Ibrahim, ing Karang Kumuning Satilare Pangeran Karang Kumuning. Ratu Fatimah banjur tapa ana ing manyura, karo Pangeran Ibrahim Ratu Fatimah pêputra putri nama Nyai Agêng Malaka, katêmokake Raden Patah.

Raden Patah (Raden Praba), putrane Prabu Brawijaya patutan saka putri Cêmpa kang katarimakake marang Arya Damar Adipati ing Palembang, barêng Raden Patah wis jumênêng Nata, jêjuluk Sultan Syah ‘Alam Akbar Siru’llah Kalifatu’lRasul Amiri’lMu’minin Rajudi’l’Abdu’l Hamid Kak, iya Sultan Adi Surya ‘Alam ing Bintara (Dêmak).

Putri Cêmpa nama Aranawanti (Ratu Êmas) kagarwa Prabu Brawijaya, pêputra têlu:

  1. Putri nama Rêtna Pambayun, katrimakake marang Adipati Andayaningrat ing Pêngging, nalika jaman pambalelane nagara Bali marang Majapahit.
  2. Raden Arya Lêmbupêtêng Adipati ing Madura.
  3. Isih timur rêmên marang laku tapa, nama Raden Gugur, barêng muksa kasêbut nama Sunan Lawu.

Panênggak Putri Cêmpa nama Pismanhawanti kagarwa putrane Jumadil Kubra I, patutan saka ibu Sitti Fatimah Kamarumi, isih têdhake Kangjêng Nabi Mukammad, asma Maulana Ibrahim, dêdalêm ana ing Jeddah, banjur pindhah ing Cêmpa, dadi Imam ana ing Asmara tanah ing Cêmpa, banjur kasêbut nama Maulana Ibrahim Asmara, iku kang pêputra Susuhunan Ampeldênta Surabaya. Dene putra Cêmpa kang waruju kakung, nama Awastidab, wus manjing Islam, nyakabat marang maulana Ibrahim, jumênêng Raja Pandhita ing Cêmpa anggênteni ingkang rama, pêputra siji kakung kêkasih Raden Rachmat. Kang ibu putri Cêmpa (garwa Maulana Ibrahim), pêputra Sayid ‘Ali Rachmat, ngêjawa nama Susuhunan Katib ing Surabaya, dêdalêm ing Ampeldênta, kasêbut Susuhunan Ampeldênta. Cêmpa iku kutha karajan ing India buri (Indo china). Sawetara iku Sayid Kramat kang kasêbut ing buku iki pêparabe Susuhunan ing Bonang utawi Sunan Benang.

***********

 KATRANGAN

  1. Kulon kutha Majakêrta lêt +/- 10 km.
  2. Pêlabuhane saiki aran: “Haipong”.
  3. Lor Stasiyun: Surabayakota “Sêmut”.
  4. Benang = Bonang ing Karêsidhenan Rêmbang.
  5. Tarik.
  6. Kulon kutha Kêdhiri.
  7. Akire Mênang didêgi pabrik gula arane iya pabrik Mênang,
  8. stasiyune ing Gurah antarane Kêdhiri – Pare +/- 7 km. saka Kêdhiri.
  9. Kidul Majaagung lêt +/- 15-16 km. Saiki dicêluk desa Ngrimbi.
  10. Ing sacêlakipun pabrik Mênang, wontên dhusun nama Guruh.
  11. mbok manawi ewah-ewahan saking Gumêrah-Gumuruh.
  12. Gurah = gusah.
  13. ngrêsiki gorokan.
  14. Laren = kalenan.
  15. Bangawan = Brantas

terjemah serat DARMOGANDUL

Pada suatu hari, Darmogandul bertanya kepada Ki Kalamwadi tentang asal mula
orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti agama Islam.

Lantas, Ki Kalamwadi pun menjawab,
“Aku tidak mengerti.
Tetapi guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa
meninggalkan agama Budha dan berganti memeluk agama Islam.
Ini memang perlu dikatakan, agar orang yang belum tahu menjadi tahu.”

Putri Campa

Pada zaman dulu Majapahit bernama Majalengka.
Majapahit hanyalah kiasan. Bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit
dianggap sebagai nama kerajaan.

Prabu Brawijaya adalah raja terakhir yang berkuasa.
Ia menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam.
Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik Islam.

Ketika sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama
itu.
Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa
kecuali kemuliaan agama Islam.

Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad.
Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka.
Sang Prabu mengabulkan.
Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya.

Banyak ulama dari seberang datang ke Majalengka.
Menghadap sang prabu mohon izin tinggal di wilayah pesisir.
Permohonan itu dikabulkan.
Akhirnya berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.

Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam tinggal di daerah
Bonang, termasuk wilayah Tuban.
Sayid Kramat namanya.
Ia maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah.

Orang-orang Jawa banyak yang tertarik kepadanya.
Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama
Budha dan memeluk agama Islam.
Di wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang
mengikuti ajaran Islam.

Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun.
Menyembah kepada Budi Hawa.
Budi adalah Dzat Tuhan.
Sedangkan Hawa adalah minat hati.

Manusia tidak dapat berbuat apa-apa.
Ia hanya dapat melaksanakan.
Sedang yang menggerakkan semua ialah budi.

Raden Patah

Sang Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah.
Ia lahir di Palembang dari rahim seorang Putri Cina.
Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain
ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden Kusen ( Husein ).

Sang Prabu bingung memberi nama putranya.
Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan raja yang lahir di
pengunungan.
Dari jalur ibu disebut Kaotiang.
Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib.

Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan.
Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu
itu dinamakan Bambang.
Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya
lahir di tempat lain.
Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain.

Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama
Babah Patah.
Sampai saat ini, keturunan pembauran antara Cian dan Jawa disebut Babah.
Meski tidak menyukai nama pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk
menentangnya.

Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak.
Ia memimpin para bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat.
Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel.

Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak.
Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang.
Di Demak ia diminta untuk menyebarkan agama Islam.
Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung, dengan nama baru Raden Arya
Pecattanda.

Ajaran Islam makin berkembang.
Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan.
Sunan artinya budi.
Sumber pengetahuan tentang baik dan buruk.

Orang yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin.
Pada waktu itu para ulama baik budinya.
Belum memiliki kehendak yang jelek.
Banyak yang mengurangi makan dan tidur.

Sang Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut
Sunan.
Mengapa juga masih mengurangi makan dan tidur.

Sunan Bonang

Pada waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya.
Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai
Brantas yang meluap.

Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang.
Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat.
Sudah Islam atau masih beragama Budha.

Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan
Bandung Bondowoso.
Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka.
Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka.
Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria.

Kata Sunan Bonang,
” Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah.
Artinya, tidak hitam, putih pun tidak.
Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah.”

Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.

Perawan Tua

Hari terik.
Waktu sholat dhuhur tiba.

Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu.
Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah
satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk.
Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud.

Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah.
Tak terlihat laki-laki di sini.
Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun.

” Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih,”
kata sahabat itu.

Perawan itu terkejut.
Ia menoleh.
Dilihatnya seorang laki-laki.
Ia salah paham.
Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya.

Ia menjawab kasar :
” Kamu baru saja lewat sungai.
Mengapa minta air simpanan.
Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai
simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya.”

Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit.
Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan.
Tiba di hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.

Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam.
Keluarlah kata-kata keras.
Sunan menyabda tempat itu akan sulit air.

Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua.
Begitu juga dengan kaum jejakanya.
Tidak akan kawin sebelum menjadi jejaka tua.

Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut.
Aliran sungai berbelok arah.
Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun.

Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang.
Dan setelah itu kering seketika.
Sampai kini daerah Gedhah sulit air.

Perempuan-perempuannya menjadi perawan tua.
Begitu juga kaum laki-lakinya.
Mereka terlambat berumah tangga.

Demit

Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri.
Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing.
Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya.

Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum
mahluk halus dan menonjolkan kesaktian.
Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang.
Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka
mengganggu lagi.

Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat
menemui Sunan Bonang.
Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang.
Badannya terasa panas seperti dibakar.

Setan-setan itu berhamburan.
Lari tunggang langgang.
Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya.

Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis.
Buto Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha.
Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri.
Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama
negara.

Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya.
Buta sendiri artinya bodoh.
Lo bermakna kamu.
Dan Caya dapat dipercaya.
Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat
dipercaya.

Sebutan itu hampri menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha dan
Kyai Daka.
Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di sekitarnya.
Kisah soal kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah Kyai Daka.

Sang Prabu dijamu Kyai Daka.
Sang Prabu suka dengan keramahan itu.
Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti Tunggulwulung.
Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.

Ketika Prabu Jayabaya muksa ( mati bersama raganya hilang ) bersama Ni Mas
Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut muksa.
Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa.
Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin.

Semua mahluk halus yang ada di laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni
Mas Ratu Angin-Angin.
Buta Locaya menempati Selabale.
Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar
agar tidak merusak desa sekitar.

Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas
kasur babut dihias bulu merak.
Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan
Panji Sarilaut.
Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.

Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan
ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang.
Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murka.

Tubuhnya bagaikan api.
Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang.
Para setan dan jin itu bersiap berangkat.
Lengkap dengan peralatan perang.

Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum.
Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai
Sumbre.
Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.

Kyai Sumbre berdiri di bawah pohon.
Menghadang perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara.

Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang
menghadang perjalanannya.
Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara api.
Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh.
Tidak tahan menghadapi wibawa Sunan Bonang.

Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan
hawa panas.
Dua sahabatnya pingsan dan demam.

Debat Soal Tuhan dan Kebenaran

Debat sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru.
Sunan Bonang dengan tegas menyatakan bahwa, daerah tersebut dikatakan Gedah
karena tidak jelas agamanya.

” Kusabdakan sulit air karena ketika aku minta air tidak diberi.
Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan mendapatkan air.
Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat jodoh karena yang
kumintai air itu perawan desa.”

Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang.
Salah yang tak seberapa, apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi
penderitaannya dirasakan oleh banyak orang.
Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman berat karena
merusak daerah.

Sunan Bonang menjawab, ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka.

Debat Soal Kebenaran
Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah.
Buta Locaya berkata masygul :
” Ucapan tuan bukan ucapan yang paham aturan negara.
Itu pantas diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah madat, mengandalkan
kesaktian.

Janganlah sombong.

Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat, lalu berbuat
sekehendak hati.
Tidak melihat kesalahan, menganiaya orang lain tanpa sebab.

Meskipun di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat dari pada tuan, tapi
mereka baik budi dan takut kepada laknat dewa.
Tuan akan dijauhi orang-orang baik budi bila tetap berbuat demikian.

Apakah tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil ?
Aji Saka menjadi raja di Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa
seluruh sumber air di Medang.
Ia Hindu.Suka membuat sulit air.

Tuan mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak,
tetapi ternyata tidak demikian.
Tuan layak seperti setan yang menampakkan diri, tidak tahan digoda anak
kecil.
Lekas naik darah.
Sunan apakah itu ?

Jika memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat
kebajikan.
Tuan menyiksa orang tanpa dosa.
Itulah jalan celaka, tanda bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam.
Bila telah jadi lalu tuan tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih.”

Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak selam dengan manusia, tetapi hamba
masih memperhatikan nasib manusia.
Marilah semuanya yang rusak itu tuan kembalikan kepada keadaan semula.
Sungai yang kering dan daerah yang terlanda banjir hamba mohon untuk
mengembalikan.
Semua orang Jawa yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati.
Hamba akan meminta bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut Selatan.”

Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya.
Ia berkata,
” Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku.
Aku hanya bisa membatasi saja.
Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini dapat kembali seperti
semula.”

Buta Locaya mendengar kesediaan Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya.
” Kembalikan sekarang juga.
Bila tidak, tuan akan hamba ikat.”

” Sudah, jangan berbantah lagi.
Aku mohon diri akan berjalan ke timur.

Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil yang
sedang berkelahi.
Setan dan manusia saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di
daerah dan kesedihan manusia dengan setan.

Ku mohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging buahnya
menjadi asam.
Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang masam.

Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini
bernama Desa Sumbre.
Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran.”

Debat Soal Tuhan

Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai.
Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan
Kawanguran.
Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan
akal.

Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang
berkepala dua di bawah pohon Trenggulun.
Banyak buah trenggulun yang berserakan.
Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.

Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin
bertambahlah kemarahannya.

” Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai lambang tekad wanita.
Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan
mengetahui tekat para wanita Jawa.

Sunan Bonang pun berkata,
” Kau ini bangsa hantu.
Jadi kalau berani berdebat dengan manusia, namanya hantu yang sombong.

” Apa bedanya.
Tuan Sunan, saya ratu Hantu,”
kata Buta Locaya

Sunan Bonang berkata,
Trenggulun ini kuberinama Kentos sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua
debat dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.

Ki Kalamwadi berkata :
” Terkenal sampai kini, buah trenggulun bernama kentios karena ucapan Sunan
Bonang.
Semua itu menurut cerita guruku menurut cerita guruku bernama Raden Budi.

Sunan Bonang kemudian berjalan ke utara.
Ketika menjelang salat asar, beliau akan bersiap salat.
Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba.

Sumur itu kemudian digulingkan.
Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci untuk bersalat.
Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling.”

Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan.
Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon
dadap yang berbunga.
Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya.
Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang
berjatuhan.

Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan.
Patung itu berukuran sangat besar.
Arca itu tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki.
Lingkar pinggulnya 10 kaki.
Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat.
Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.

Buta Locaya marah lagi.
” Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih baik dirusak tanpa alasan.
Kini menjadi jelek.
Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya.
Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu ?”

” Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi
sesaji dan diberi kemenyan.
Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin.”

Kata Buta Locaya,
” Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya
dan berkuasa.
Bukan Tuhan, maka mereka layani.
Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati tanah
dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia.

Para hantu mereka tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana ?
Telah lazim setan tinggal di gua, arca, dan makan bau-bauan harum.
Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa nyaman.

Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh.
Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar.
Mereka menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia.”

Sunan Bonang Khilaf

Buta Locaya berkata,
” Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan ?
Mendapat wahyu agar pandai.
Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi.

Sedangkan yang membuat arca Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula,
mendapatkan wahyu mulia.
Dia pun pandai dan kaya ilmu.
Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi.

Tuan perpedoman kitab, orang Jawa pun berpedoman petuah dari para
leluhurnya.
Sama-sama menghargai kabar, lebih baik menghargai kabar dari leluhur sendiri
dengan peninggalan masih bisa disaksikan.

Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup.
Tanah berpasir murah air.
Apa saja ditanam dapat tumbuh.

Pria tampak tampan, wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya.
Bila tuan ingin melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya.
Silakan tuan ukur.
Seandainya tidak benar, pukullah.

Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya.
Dapatkah tuan menebak sesuatu yang belum terjadi ?
Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari sini.

Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud.
Tuan akan kami keroyok.
Dapatkah tuan menang ?

Lalu akan hamba bawa ke dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah ?
Inginkah tuan tinggal di Batu seperti hamba ?
Mari ke Selabale menjadi murid hamba.”

Sunan Bonang :
” Tak sudi mengikuti kata-katamu.
Kau hantu brekasaan.”

Buta Locaya berkata,
” Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja.
Abadi selamanya.
Tuan belum tentu seperti hamba.

Tekat tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya.
Tampak di sini masih sering melakukan kesalahan menentang adat, menentang
agama, merusak kebaikan, mengganggu agama leluhur.
Tuan dapat disiksa dan dibuang ke Menado.”

Sunan Bonang tak menggubris.
Ia berkata :
” Dadap ini bunganya kunamai celung, buahnya bernama kledung, karena aku
kecelung ( sesat ) pemikiran dan salah bicara.
Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan dan
pemikiran.
[ Sampai kini buah dadap bernama kledung, bunganya bernama celung.]
Sudah, aku akan pulang ke Bonang.”

Buta Locaya berkata,
” Ya sudah, silakan tuan pergi.
Di sini tak ayal akan membikin panas.
Bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal air,
dan mengurangi air.”

Tak Setuju Serbu Majapahit, Syech Siti Jenar Dibunuh
Source : Posmo No. 3 – 1 April 1999

Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang Patih tentang adanya
surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi
kerusakan di wilaya itu akibat ulah Sunan Bonang.
Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya.

Setelah tiba, Sang Patih melaporkan semua yang telah terjadi.
Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu
kemana.

Saking murkanya, Prabu Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di
Pulau Jawa pergi.
Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan
meyebarkan agama Islam.
Apabila menolak akan dibunuh.

Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh Patihnya, karena ulama Giripura
telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan
kerajaan sendiri.
Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu.
Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.

Menyadari kekeliruannya karena tidak menghadap Majalengka, Sunan Bonang
mengajak Sunan Giri ke Demak.
Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak dan mengajak menyerbu
ke Majalengka.

Kata Sunan Bonang,
” Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur
103 tahun.
Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja.
Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus.

Jangan sampai ketahuan.
Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata perang.
Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya.”

Provokasi

Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti
saran Sunan Bonang.

” Saya takut merusak negeri Majalengka.
Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan kebahagian
dan kebaikan di dunia.
Kata Kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski
beragama Budha atau pun kafir.”

Mendengan jawaban demikian, Sunan Bonang berkata,
” Meskipun melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya kerena dia kafir.
Merusak kafir tua kamu akan masuk surga.

Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak bernalar.
Seberapakah pengetahuan santri Ngampelgading.
Anak kelahiran Campa tak mungkin menyamaiku Sayid Kramat, Sunan Bonang yang
dipujikan manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam.

Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang.
Tetapi, semua manusia se Jawa masuk Islam.
Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.

Tuhan masih cinta kepadamu.
Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu.
Buktinya, kamu diberi nama Babah.

Babah itu artinya tidak baik.
Hidup hanya untuk mati.
Benih Jawa yang dibawa Putri Cina.

Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, orang keturunan
raksasa.
Itu memutus cinta namanya.
Ayahmu tetap berhati tidak baik.

Karena itu, balaslah dengan halus.
Pokoknya jangan kelihatan.
Dalam hati, isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya.”

Kemudian, Sunan Giri menyambung,
” Aku tidak berdosa, dicari ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku
tidak menghadap ke Majalengka.
Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan
anjing.

Banyak orang Cina yang datang ke Jawa.
Di Giri banyak yang ku-Islamkan.
Sebab, menurut Qur-an, bila meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan
surga.

Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu.
Aku takut kepada patih dan ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka
berzikir.
Katanya, sakit ayan pagi dan sore.
Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini.”

Jawab sang Adipati Demak,
” Ayahanda memburu tuan itu betul.
Karena tuan Sunan mendirikan kraton.
Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja yang lebih
berkuasa.
Maka, sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena Sunan tidak
meyadari makan minum di Pulau Jawa.”

Namun, Sunan Bonang berkata lagi,
“Jika tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi.
Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan
kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua.
Atau kepada menantunya, Ki Andayanigrat di Pengging.

Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja.
Mati melawan kafir mati sabilillah, mati menerima surga.
Sudah biasa bagi orang Islam dalam melawan orang kafir.
Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi raka, merestui kedudukanmu
sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan
menghilangkan agama Budha.”

Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan
mau merusak Majalengka.
Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan orang tuanya karena
kafir.

Syech Siti Jenar Dibunuh

Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara
datang semua ke Demak.
Berkumpul untuk mendirikan masjid.
Kemudian sembahyang bersama di masjid yang beru didirikan.
Usai sembahyang pintu masjid ditutup.

Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati Demak
akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit.
Bila semua setuju akan segera dimulai.
Semua sunsn dan bupati setuju.

Hanya Syech Siti Jenar yang tidak.
Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar.
Yang disuruh membunuh adalah Sunan Giri.
Setelah sepakat, Adipati Demak diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa
bergelar Senapai Jimbuningrat dengan patih dari atas angin bernama Patih
Mangkurat.

Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang
berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati.
Berjalan berarakan seprti Grebeg Maulud.
Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para tumenggung,
para sunan dan para ulama.

Sunan Bonang dan Sunan Giri tidak ikut dengan alasan telah lanjut usia.
Keduanya hanya akan salat di dalam masjid dan merestui perjalanan.
Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.

Terjadi Peperangan

Alkisah, sepulang dari Giri sang Patih melaporkan hasil penaklukan terhadap
Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama Setyasena.
Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang.
Pasukannya berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang
berkepala gundul, berpakaian serba seperti haji.

Dalam berperang mereka lincah seperti belalang.
Sementara pasukan Majapahit menembaki.
Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima
peluru.
Senapati Setyasena menemui ajal.

Pasukan Giri melarikan diri ke hutan dan gunung.
Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus diburu oleh pasukan
Majapahit.
Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri
ke Arab dan tidak kembali ke Majapahit.

Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu
Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah
Kertosono.
Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat
melawan dengan perang.

Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan
dikirim ke Demak.
Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat
terkenal dengan Menak Tanjangpura ) mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah
Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.

Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Para Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam
mendukung.
Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar
Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi
Surya Alam di Bintoro.

Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang, terserah
kepada Patih cara menghadap kepada raja.
Surat dari Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan
wuku Prabangkat.
Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.

Sangat heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja.
Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat
itu.

Mendengan laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut.
Diam membisu, lama tak berkata.
Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan yang memiliki
kemauan seperti itu
Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.

Sang raja tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka.
Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin.
Tidak masuk akal akan perbuatan jelek mereka itu.

Pikiran sang raja sangat gelap.
Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi
hutan.

Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan
para ulama serta bupati tega melawan Majapahit.
Patih pun menjawab tak mengerti.
Ki Patih juga heren, pemikiran orang Islam ternyata tidak baik, diberi
kebaikan membalas dengan kejahatan.

Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya
sendiri.
Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan begitu mudah
terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para ulama menyeberkan
agama Islam.
Dari kebingungan hatinya, ia menyumpahi orang-orang Islam.

” Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah kesedihan hamba.
Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya, menjelma menjadi orang-orang
kucir, karena tak tahu kebaikan.
Kuberi kebaikan membalas dengan kejahatan.”

Sabda sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad.
Terbukti dengan adanya suara menggeletar membelah bumi.
Terkenal sampai sekarang, ulama terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.

Tentang kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan, Sang
Prabu meminta pertimbangan dari Patih.
Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara
peperangan.
Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan karena Raja
telah lanjut usia.

Patih menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja.
Jangan sampai merusak bala pasukan.
Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga karena putra
yang ada di Majapahit belum saatnya maju berperang.

Setelah memerintahkan demikian, sang prabu meloloskan diri pergi ke Bali
diikuti Sabdopalon dan Nayagenggong.
Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana.
Maka Sang Raja segera pergi dengan terburu-buru.

Adipati Pengging dan Ponorogo

Sang Patih diperintahkan untuk memanggil adipati Pengging dan Adipati Ponorogo, karena putranya Raden Gugur di Majapahit masih kecil, belum saatnya maju perang. Setelah memberi perintah demikian, Sang Prabu kemudian pamit hendak mengungsi ke Bali. Ia diiringkan dua abdi terkasih, Sabdapalon dan Nayagenggong.

Ketika Sang Prabu memberi perintah demikian, wadyabala Demak sudah membuat abrisan mengepung negara, maka terburu-buru perjalanannya. Wadya Demak kemudian perang dengan pasukan Majapahit. Para Sunan sendiri yang memimpin peperangan. Patih Majapahit mengamuk di tengah peperangan. Para Bupati Nayaka Majapahit delapan orang juga ikut mengamuk. Perang itu sangat ramai. Pasukan Demak tiga puluh ribu, pasukan Majapahit hanya tiga ribu. Karena Majapahit digulung musuh yang jumlahnya sekian banyak itu, prajuritnya banyak yang tewas berguguran. Hanya Patih dan Bupati Nayaka yang mengamuk semakin maju. Setiap prajurit Demak yang diterjang pasti mati tegelempang. Putra Sang Prabu bernama Raden Lembu Pangarsa mengamuk di tengah peperangan, bertanding dengan Sunan Kudus. Ketika sedang ramai-ramainya perang tanding itu, Patih Mangkurat dari Demak meluncurkan tombaknya. Putra raja terluka dan semakin hebat mengamuk. Ia menerjang bagaikan banteng terluka, tidak ada yang ditakuti.

Patih Majapahit tidak mempan senjata apapun, seperti tugu baja, tidak ada senjata yang bisa menggores tubuhnya, siapa pun yang diterjang bubar berlarian, yang menghadang terjungkal mampus. Bangkai manusia tumpang tindih. Patih diberondong (peluru) dari kejauhan. Jatuhnya peluru seperti hujan jatuh di batu watu. Sunan Ngundung menghadang kemudian memedangnya tetapi tidak mempan. Sunan Ngundung balas ditombak, tewas. Patih lalu dikerubuti prajurit Demak. Pasukan Majapahit lama-lama habis. Seberapa kuat satu orang sendirian, akhirnya Patih Majapahit gugur. Tetapi kuwedane musnah dan meninggalkan suara, “Ingat-ingat orang Islam, kalian diberi kebaikan oleh rajaku tetapi membalas kejahatan, tega merusak negara Majapahit, merebut negara melakukan pembunuhan. Kelak kubalas, kuajari kalian benar salah, kutiup kepala kalian, kucukur rambut kalian bersih-bersih.”

Setewasnya Patih Majapahit, para Sunan kemudian masuk ke istana. Tetapi Sang Prabu sudah tidak ada, yang ada hanya Ratu Mas, yaitu putri Campa, Sang Putri diajak menyingkir ke Bonang. Para prajurit Demak kemudian masuk ke istana. Mereka merampok sampai bersih. Orang kampung tidak ada yang berani melawan. Raden Gugur yang masih kecil melarikan diri. Adipati Terung kemudian masuk ke dalam istana, membakari semua buku-buku ajaran Buddha. Orang-orang di sekeliling istana bubar, beteng dan bangsal dijaga anak buah Adipati Terung. Orang Majapahit yang tidak mau takhluk kemudian mengungsi ke gunung dan hutan-hutan. Adapun yang mau takhluk, kemudian dikumpulkan dengan orang Islam, disuruh bersyahadat. Mayat para keluarga istana dan pamong praja dikumpulkan, dikubur di sebelah tenggara istana. Kuburan tadi dinamakan Bratalaya. Menurut suatu riwayat disitu juga kuburan Raden Lembu Pangrasa.

Pesantren Ampelgading

Kabupaten Terung

Sesudah tiga hari, Sultan Demak berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Mereka diperintahkan menjaga keamanan keadaan dan segala kemungkinan yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Sang Prabu. Di Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus, setiap malam mereka shalat hajat serta tadarus Al Qur’an. Sebagian pasukan dan para Sunan ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat, hanya tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel. Sang Prabu Jambuningrat sesampainya di Ampel, kemudian menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Para Sunan dan para Bupati berganti-ganti menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia juga melaporkan kematian Patih Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh tanah Jawa bergelar Senapati Jimbun. Beliau meminta restu, agar langgeng bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memotong.

Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ageng tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata “Cucuku, kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini mati hidupnya beliau pun tidak ada yang tahu.”

Nyai Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, “Angger ! Aku akan bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya, ayahandamu yang benar itu siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa dan siapa yang mengizinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?”

Raden Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya yang mengangkat dirinya menjadi raja memangku tanah Jawa dan semua bupati pesisir, dan yang mengizinkan para Sunan. Mengapa negara majapahit dirusak, karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama kafir, Buda kawak dawuk seperti kuwuk.

Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu, dengan berkata, “Angger! Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal mestinya kamu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugrah kepada kamu. Kamu beran-beraninya mengganggu orang tanpa dosa. Adanya Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya Gusti Allah sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari keinginan diri sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itu utama. Apabila Gusti Allah sudah mengizinkan, tidak usah disuruh, sudah pasti dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat rahman, tidak memerintahkan dan tidak menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.

Gusti Allah tidak menyiksa orang kafir yang tidak bersalah, serta tidak memberi ganjaran kepada orang Islam yang bertindak tidak benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibu-mu Putri Cempa menyembah Pikkong, berwujud kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Buddha. Matamu itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega menelan kepada ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tata krama. Berbeda matanya orang Jawa. Orang Jawa matanya hanya satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib dijunjung tinggi.

Ikhlasnya hati bakti kepada ayah, tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah kewajiban manusia berbakti kepada orang tuanya. Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi kekafirannya, tetapi posisinya sebagai orangtuanya. Maka Wong Agung selalu menjunjung hormat kepaa mertuanya itu. Itulah angger yang dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan, mentang-mentang kafir Buddha tidak mau berganti agama. Itu bukan patokanmu. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?

Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi di jaman kuno, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mukjizat kepadanya, tetapi tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam, tetapi ajakan tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua, lahir batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mukjizatmu apa? Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mukjizatmu, aku lihat?”

Prabu Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mukjizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya apabila mengislamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. Kata-kata saja koq dipercayai, pun bukan buku dari leluhur. Orang mengembara kok diturut perkataanya, yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu. Berani kepada orang tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan surban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam maerah. Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya? Kini kamu minta izin kepadaku, untuk menjadi raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya perempuan, nanti buwana balik namanya. Karena kamu yang semestinya memberi izin kepadaku, karena kamu Khalifutullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang tahu, seluruh kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedangkan jika kamu nanti tia, akan tetap menjadi tuanya seorang raja.”

Nyai Ageng Ampel

Nyai Ageng Ampel berkata lagi, “Cucu! Kamu aku ceritakan sebuah kisah, dalam Kitab Hikayat diceritakan di tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya menginginkan tahta ayahandanya. Nabi Dawud sampai mengungsi dari negara, putranya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tidak lama kemudian Nabi Dawud bisa kembali merebut negaranya. Putranya naik kuda melarikan diri kehutan, kudanya lepas tersangkut-sangkut pepohonnan, sampa iia tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.

Ada lagi cerita Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu-buru tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmara dari tanah seberang datang ke Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang jawa banyak yang cinta kepada aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Ajisaka diangkat menjadi raja, Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut, dan berubah menjadi buaya, tidak lama kemuian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti yang kuceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apa lagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa tata susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka, yang demikian itu hukum Allah”. Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.

Nyai Ageng Ampel masih meneruskan gejolak amarahnya, “Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu koq mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh pengampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Penging pasti tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu.”

Nyai Ageng tumpah-ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabil tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.

Prabu Jimbun kembali ke Demak

Setelah Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana dan berdzikir, mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah. Sunan Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun. Sang Raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Buddha sudah dibakari semua, serta melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak menugungsi ke Bonang. Pasukan Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam. Suanan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan batinnya.

Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta (pesantren Ampel Gading) untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi dan diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.

Mendengar hal itu Sunan Bonang, dalam batin merasa (sedikit,red) menyesal dan bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. Tetapi (karena gengsi dan sudah kepalang tanggung,red.) rasa yang demikian tadi ditutupi dengan pura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya dan Patih, karena tidak mau pindah agama Islam. Sunan Bonang mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan benar, karena pertimbangan wanita itu pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan.

Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldanta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun berjanji kepada Sunan Bonang untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.

Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang Prabu diperintahkan menghadap dan meminta ampun akan semua kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah agama Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar Jawa.

Sunan Giri kemudian menyambung, agar tidak menganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya lebih baik di tenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri yang demikian tadi.

(Redaksi: Kisah selanjutnya menceritakan mengenai Sunan Kalijaga yang diutus Prabu Jimbun mencari ayahnya dan membujuknya dengan cara baik-baik, mungkin dengan pertimbangan bahwa ayahnya masih memiliki kekuatan, yaitu kedua anak lainnya Adipati Ponorogo dan Adipati Penging masih berkuasa di wilayahnya masing-masing dan kalau sampai Prabu Brawijaya berhasil sampai ke Bali, maka ia dapat meminta bantuan raja Bali untuk menyerang balik. Dari sumber lain, ditemukan Sunan Kalijaga adalah seorang petapa yang sering bertapa di sekitar sungai-sungai, dan mempunyai perangai yang halus. Secara pribadi redaksi berpendapat bahwa Sunan Kalijaga adalah seorang NEGOSIATOR JUARA DUNIA!!!)

Ganti yang diceritakan, perjalanan Sunan Kalijaga dalam mencari Prabu Brawijaya, hanya diiringkan dua sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari informasi. Perjalanan Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan yang dilalui Prabu Brawijaya.

Sunan Kalijaga sang negosiator ulung

Perjalanan Prabu Brawijaya sampailah di Blambangan, Kaena merasa lelah kemudian berhenti di pinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya abdi berdua, yaitu Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil menjumpainya. Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid! Kamu datang ada apa? Apa perlunya mengikuti aku?”

Sunan Kalijaga berkata, “Hamba diutus putra Paduka, untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada Paduka dimanapun bertemu. Beliau memohon ampul atas kekhilafannya, sampai lancang berani merebut tahta Paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintah negeri, disembah para bupati. Sekarang putra Paduka sangat merasa bersalah. Adapun ayahanda Raja Agung yang menaikkan dan memberi derajat Adipati di Demak, tak mungkin bisa membalas kebajikan Paduka, Kini putra Paduka ingat, bahwa Paduka lolos dari istana tidak karuan dimana tinggalnya. Karena itu ptra Paduka merasa pasti akan mendapat kutukan Tuhan. Karena itulah hambah yang lemah ini diutus yntuk mencari dimana Paduka berada. Jika bertemu mohon kembali pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi raja seperti sedia kala, memangku mahligai istana dijunjung para punggawa, menjadi pusaka dan pedoman yang dijunjung tinggi para anak cucu dan para sanak keluarga, dihormati dan dimintai restu keselamatan semua yang di bumi. Jika Paduka berkenan pulang, putra Paduka akan menyerahkan tahta Paduka Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup dan mati. Itu pun jika Paduka berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka atas kekhilafan dan memohon tetap sebagai Adipati Demak saja. Adapun apabila Paduka tidak berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat dimana, menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal, putra Paduka memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon pusaka Kraton d tanah Jawa, diminta dengan tulus.”

Sang Prabu Brawijaya bersabda, “Aku sudah dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi aku tidak gagas! Aku sudah muak bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya seperti kenyng buntut! Apa coba salahku? Mengapa negaraku dirusak tanpa kesalahan? Tanpa adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa tantangan! Apakah mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan manusia yang utama!”

Setelah mendengar bersabda Sag Prabu demikian, Sunan Kalijaga meraasa sangat bersalah karena telah ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Namun yang semua telah terjadi. Maka kemudian ia berkata lembut, “Mudah-mudahan kemarahan Paduka kepada putra Paduka, menjadi jimat yang dipegang erat, diikat dipucuk rambut, dimasukkan dalam ubun-ubun, menambahi cahaya nubuwat yang bening, untuk keselamatan putra cucu Paduka semua. Karena semua ytelah terjadi, apalagi yang dimohon lagi, kecuali hanya ampunan Paduka. Sekarang paduka hendak pergi ke mana?”

Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke Pulau Bali, bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Kelungkung. Aku akan beri tahu tingkah si Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Adipati Palembang akan kuberi tahu bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku angkat menjadi Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan rajanya. Aku akan minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus, sebab pertama durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja. Aku juga hendak memberitahu kepada Hongte di Cina, bahwa putrinya yang menjadi istriku punya anak laki-laki satu, tetapi tidak tahu jalan, berani durhaka kepada ayah raja. Ia juga kuminta kerelaan cucunya hendak aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina untuk perang. Akan kuminta agar datang di negeri Bali. Apabila sudah siap semua prajurit, serta ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih kepada orang tua ini, pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan perang. Aku ajak menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang besar ayah melawan anak. Aku tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan meninggalkan tata cara yang mulia.”

Sunan Kalijaga sangat prihatin. Ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugerah, Sudah pasti orang jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang Islam tertumpas dalam peperangan.”

Akhirnya Sunan Kalijaga berkata pelan, “Aduh Gusti Prabu! Apabila Paduka nanti tiba di Bali, kemudian memanggil para raja, pasti akan terjadi perang bear. Apakah tidak sayang Negeri Jawa rusak. Sudah dapat dipastikan putra Paduka yang akan celaka, kemudian Paduka bertahta kembali menjadi raja, tapi tidak lama kemudian lengser keprabon. Tahta Jawa lalu diambil oleh bukan darah keturunan Paduka. Jika terjadi demikian ibarat serigala berbut bangkai, yang berkelahi terus berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala lainnya.”

“Ini semua kehendak Dewata Yang Maha Lebih. Aku ini raja binatara, menepati sumpah sejati, tidak memakai dua mata, hanya menepati satu kebenaran, menurut Hukum dan Undang-Undang para leluhur. Seumpamanya si Patah menganggap aku sebagai bapaknya, lalu ingin menjadi raja, diminta dengan baik-baik, istana tana Jawa ini akan kuberikan dengan baik-baik pula. Aku sudah tua renta, sudah kenyang menjadi raja, menerima menjadi pendeta bertafakur di gunung. Sedangkan si Patah meng-aniaya kepadaku. Pastilah aku tidak rela tanah Jawa dirajainya. Bagaimana pertanggungjawabanku kepada rakyatku di belakang hari nanti?”

Mendengar kemarahan Sang Prabu yang tak tertahankan lagi, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki Sang Prabu sambil menyerahkan kerisnya dengan berkata, apabila Sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa yang menjijikkan itu.

Sang Prabu melihat tingkah Sunan Kalijaga yang demikian tadi, hatinya tersentuh juga. Sampai lama beliau tidak berkata selalu mengambil nafas dalam-dalam dengan meneteskan air mata. Berat sabdanya, “Sahid! Duduklah dahulu. Kupikirkan baik-baik, kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan buruknya, karena aku khawatir apabila kata-katamu itu bohong saja. Ketahuilah Sahid! Seumpama aku pulang ke Majapahit, si patah menghadap kepadaku, bencinya tidak bisa sembuh karena punya ayah Buda kawak kafir kufur. Lain hari lupa, aku kemudian ditangkap dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang. Pagi sore dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok dengan ilalang kering.”

Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkanlah, Sahid! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan direndam dalam air.” Sunan Kalijaga memendam senyum (kemenangan,red ) dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra Paduka memperlakukan sia-sia kepada Paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak Paduka, namun lebih baik jika Paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.”

PERDEBATAN TEOLOGIS PRABU BRAWIJAYA

Sang Prabu berkata, “Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan “ Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah. “

Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, “Manusia yang menyembah kepada angan-angan saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka ia tetap kafir, dan manusia yang menyembah kepada sesuatu yang kelihatan mata, itu menyembah berhala namanya, maka manusia itu perlu mengerti secara lahir dan batin. Manusia mengucap itu harus paham kepada apa yang diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah itu Muhammad itu makam kuburan. Jadi badan manusia itu tempatnya sekalian rasa yang memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di Arab. Badan manusia itu bayangan Dzat Tuhan. Badan jasmani manusia adalah letak rasa. Rasul adalah rasa kang nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul naik ke surga, lullah, luluh menjadi lembut. Disebut Rasulullah itu rasa ala ganda salah. Diringkas menjadi satu Muhammad Rasulullah. Yang pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban manusia menghayati rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah, maka sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada pun raga manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya Rasul rasa, keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena asyhadu alla, jika tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun Islam maka tidak akan mengerti awal kejadian.”

Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan digunting. Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabil hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.

Perdebatan dengan Sabdapalon dan Nayageggong
Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan Nayagenggong, “Kamu berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha.”

Sabdapalon berkata dengan sedih (shock berat), “Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika ingin tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menempati agama Buddha, Baru Paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Jawa artinya tahu. Mau menerima berarti Jawan. Kalau hanya ikut-ikutan, akan membuat celaka muksa Paduka kelak,” Kata Wikutama yang kemudian disambut halilintar bersahutan.

(Redaksi: Menurut ajaran Buddha mengenal adanya reinkarnasi, jadi Sabdapalon ini telah berkali-kali bereinkarnasi dan selalu menjadi seorang patih di tanah Jawa. Bandingkan dengan reinkarnasi dari para Lama di Tibet)

Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata, karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal: (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi Mriyi.

Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatanmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang Sejati?”

Sabdopalon berkata dengan sedih (putus asa), “Paduka masuklah sendiri. Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu tubuh Dewata yang bersifat budi dan hawa, sudah menjadi kewajiban manusia itu menurut budi kehendaknya, menjadi tuntas dan tidak mengecewakan, jika menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad itu makaman kubur, kubur rasa yang salah, hanya men-Tuhan-kan badan jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat karma dibelakang. Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa. Ruh idafi artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya lagi. Prabu Brawijaya nanti akan pulang kemana. Adam itu sama dengan Hyang Ibrahm, arthinya kebrahen ketika hidupnya, tidak mendapatkan rasa yang benar. Tetapi bangunnya rasa yang berwujud badan dinamai Muhammadun, tempat kurubran rasa. Jasa budi menjadi sifat manusia. Jika diambil Yang Maha Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya. Orang tua tidak membuat, maka dinamai anak, karena adanya dengan sendirinya, jadinya atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata wal Hujwa, yang meliputi wujud, wujudi sendiri, rusak-rusaknya sendiri, jika diambil oleh Yang Maha Kuasa, hanya tinggal rasa dan amal yang Paduka bawa ke mana saja. Jika nista menjadi setan yang menjaga suatu tempat. Hanya menunggui daging basi yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian tadi tidak ada perlunya. Demikian itu karena kurang budi dan pengetahuannya. Ketika hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan buah pohon budi. Pilih mati menjadi setan, menunggu batu mengharap-harap manusia mengirim sajian dan selamatan. Kelak meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan kiamat kepada anak cucunya yang tinggal. Manusia mati tidak dalam aturan raja yang sifatnya lahiriah. Sukma pisah dengan budi, jika tekadnya baik akan menerima kemuliaan. Akan tetapi jika tekadnya buruk akan menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata hamba itu!”

Prabu berkata “Kembali kepada asalnya, asal Nur bali kepada Nur”.

Sabdapalon bertutur “Itu pengetahuan manusia yang bingung, hidupnya merugi, tidak punya pengetahuan ingat, belum menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu mendapat satu. Itu bukan mati yang utama. Mati yang utama itu sewu satus telung puluh. Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu pulih, wujud kembali, wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya yang berasal dari ruh idhafi lapisan, bulan surup pasti dari mana asalnya mulai menjadi manusia. Surup artinya sumurup purwa madya wasana, menepati kedudukan manusia.”

Sang Prabu menjawab, “Ciptaku menempel pada orang yang lebih.”

Sabdopalon berkata, “Itu manusia tersesat,seperti kemladeyan menempel di pepohonan besar, tidak punya kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi matinya manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki sendiri, jika diusir kemudian gentayangan menjadi kuntilanak, kemudian menempel kepada awal mulanya lagi.”

Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan, ketika aku melum mewujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak.”

“Itu matinya manusia tidak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidupnya seperti hewan, hanya makan, minum, dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati.”

Sang Prabu, “Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi debu.”

Sabdopalon menyambung, “Itulah matinya manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui daging di kuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti berganti ruh idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!”

Sang Prabu berkata, “Aku akan muksa dengan ragaku.”

Sabdopalon tersenyum, “Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Tidak bersyahadat, tidak mati dan tidak hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi baru, hanya menjadi gunungan demit.”

Sang Prabu, “Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha Kuasa.”

Sabdopalon, “Paduka meninggalkan sifat tidak merasa sebagai titah yang terpuji, meninggalkan kewajiban sebagai manusia. Manusia diwenangkan untuk menolak atau memilih. Jika sudah menerima akan mati, sudah tidak perlu mencari ilmu kemuliaan mati.”

Sang Prabu, “Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa.”

Sabdopalon berkata, “Akhirat, surga, sudah Paduka kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam bear. Paduka akan pergi ke akhirat mana? Apa tidak tersesat? Padahal akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat. Bila mau hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan seperti dalam pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya anusia sreng artinya berat sekali, enggi artinya kerja.

Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi. Apa tidak celaka, manusia hidup di dunia demikian tadi, sekeluarganya hanya mendapat beras sekojong tanpa daging, sambal, sayur. Itu perumpamaan akhirat yang kelihatan nyata. Jika akhirat manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan sampai pulang ke akhirat, jangan sampai masuk ke surga, malah tersesat, banyak binatang yang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya berkerja dengan paksaan, tidak salah dipaksa.

Paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Bertemunya cahaya menyala menjadi satu, tidak pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan, dekat tidak bertemu. Saya tidak tahan dekat apalagi Paduka, Kanjenga Nabi Musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah. Maka Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya yang meliputi semua makhluk. Paduka bibit ruhani, bukan jenis malaikat. Manusia raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang Lata wal Hujwa. Jika sudah lama, minta yang baru, tidak bolak-balik. Itulah mati hidup. Orang yang hidup adalah jika nafasnya masih berjalan, hidup yang langgeng, tidak berubah tidak bergeser, yang mati hanya raganya, tidak merasakan kenikmatan, maka bagi manusia Buda, jika raganya sudah tua, sukmanya pun keluar minta ganti yang baik, melebihi yang sudah tua.Nutfah jangan sampai berubah dari dunianya. Dunia manusia itu langgeng, tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa dan raga yang berasal dari ruh idhafi.
Prabu Brawijaya itu tidak muda tidak tua, tetapi langgeng berada di tengah dunianya, berjalan tidak berubah dari tempatnya di gua hasrat cipta yang hening. Bawalah bekalmu, bekal untuk makan raga. Apapun milik kita akan hilang, berkumpul dan berpisah. Denyut jantung sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya di langit-langit mulut. Itu akhir pengetahuan. Pengetahuan manusia beragama Buda. Ruh berjalan lewat langit-langit mulut, berhenti di kerongkongan, keluar lewat kemaluan, hanyut dalam lautan rahmat, kemudian masuk ke gua garbha perempuan. Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat. Di situ budi membuat istana baitullah yang mulia, terjadi lewat sabda kun fayakun. Di tengah rahim ibu itu takdir manusia ditentukan, rizkinya digariskan, umurnya juga dipastikan, tidak bisa dirubah, seperti tertulis dalam Lauh Mahfudz. Keberuntungan dan kematiannya tergantung pada nalar dan pengetahuan, yang kurang ikhtiarnya akan kurang beruntung pula.

Awal mula Kiblat empat

Awal mula kiblat empat, yaitu timur (Wetan) barat (Kulon) selatan(Kidul) dan utara (Lor) adalah demikian. Wetan artinya wiwitan asal manusia mewujud; kulon artinya bapa kelonan; kidul artinya wstri didudul di tengah perutnya; lor artinya lahirnya jabang bayi. Tanggal pertama purnama, tarik sekali tenunan sudah selesai. Artinya pur: jumbuh, na: ana wujud; ma: madep kepada wujud. Jumbuh itu artinya lengkap, serba ada, menguasai alam besar kecil, tanggal manusia, lahir dari ibunya, bersama dengan saudaranya kakang mbarep (kakak tertua) adi ragil (adik terkecil). Kakang mbarep itu kawah, adi itu ari-ari. Saudara ghaib yang lahir bersamaan, menjaga hidupnya selama matahari tetap terbit di dunia, berupa cahaya, isinya ingat semuanya. Siang malam jangan khawatir kepada semua rupa, yang ingat semuanya, surup, dan tanggalnya pun sudah jelas, waktu dulu, sekarang atau besok, itu pengetahuan manusia Jawa yang beragama Buddha.
Raga itu diibaratkan perahu, sedangkan sukma adalah orang yang ada di atas perahu tadi, yang menunjukkan tujuannya. Jika perahunya berjalan salah arah, akhirnya perahu pecah, manusia rebah. Maka harus bertujua, senyampang perahu masih berjalan, jika tidak bertujuan hidupnya, dan matinya tidak akan bisa sampai tujuan, menepati kemanusiaannya. Jika perahu rusak maka akan pisah dengan orangnya. Artinya sukma juga pisah dengan budi, itu namanya syahadat, pisahnya kawula dengan Gusti. Sah artinya pisah dengan Dzat Tuhan, jika sudah pisah raga dan sukma, budi kemudian berganti baitullah, nafas memuji kepada Gusti.
Jika pisah sukma dan budi, maka manusia harus yang waspada, ingatlah asal-usul manusia, dan wajib meminta kepada Tuhan baitullah yang baru, yang lebih baik dari yang lama. Raga manusia itu namanya baitullah itu perahu buatan Allah, terjadi dari sabda kun fayakun. Jika perahu manusia Jawa bisa berganti baitullah lagi yang lebih baik, perahu orang Islam hidupnya tinggal rasa, perahunya sudah hancur. Jika suksma itu mati di alam dunia kosong, tidak ada manusia. Manusia hidup di dunia dari muda sampai tua. Meskupun suksma manusia, tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk, meskupun sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.
Ketika Batara Wisnu bertahta di Medang Kasapta, binatang hutan dan makhluk halus dicipta menjadi manusia, menjadi rakyat Sang Raja. Ketika Eyang Paduka Prabu Palasara bertahta di Gajahoya, binatang hutan dan makhluk halus juga dicipta menjadi manusia. Maka bau manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, baunya seperti ketika masih menjadi hewan. Serat Tapak Hyang menyebut Sastrajendra Hayuningrat, terjadi dari sabda kun, dan menyebut jituok artinya hanya puji tok.
Dewa yang membuat cahaya bersinar meliputi badan. Cahya artinya incengan aneng cengelmu. Jiling itu puji eling kepada Gusti. Punuk artinya panakna. Timbangan artinya salang. Pundak itu panduk, hidup di dunia mencari pengetahuan dengan buah kuldi, jika beroleh buah kuldi banyak, beruntungnya kaya daging, apabila beroleh buah pengetahuan banyak, bisa untuk bekal hidup, hidup langgeng yang tidak bisa mati. Tepak artinya tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning urip. Ula-ula, ulatana, laleren gegermu kang nggligir. Sungsum artinya sungsungen. Labung, waktu Dewa menyambung umur, alam manusia itu sampungan, ingat hidup mati.
Lempeng kiwa tengen artinya tekad yang lahir batin, purwa benar dan salah, baik dan buruk. Mata artinya lihatlah batin satu, yang lurus kiblatmu, keblat utara benar satu. Tengen artinya tengenen kang terang, di dunia hanya sekedar memakai raga, tidak membuat tidak memakai. Kiwa artinya, raga iki isi hawa kekajengan, tidak wenang mengukuhi mati. Demikian itu bunyi serat tadi. Jika Paduka mencela, siapa yang membuat raga? Siapa yang memberi nama? Hanya Lata wal Hujwa, jika Paduka mencaci, Paduka tetap kafir, cela mati Paduka, tidak percaya kepada takdirGusti, dan murtad kepada leluhur Jawa semua, menempel pada besi, kayu batu, menjadi iblis menunggu tanah. Jika Paduka tidak bisa membaca sasmita yang ada di badan manusia, mati Paduka tersesat seperti kuwuk. Adapun jika bisa membaca sasmita yang ada pada raga tadi, dari manusia menjadi manusia. Disebut dalam Serat Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang mati di kubur, kemudian bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti tempat baru.

Tuhan yang Sejati

Jika Paduka memeluk agama Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan halus hamba sudah tercakup dan manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi tinggal kehendak hamba saja. Adam atau wujud bisa sama, jika saya ingin mewujud, itulah wujud hamba, kehendak Adam, bisa hilang seketika. Bisa mewujud dan bisa menghilang seketika. Raga hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya punya nama sendiri-sendiri. Coba Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua sudah jelas, jelas sampai tidak kelihatan Sabdopalon, tinggal asma meliputi badan, tidak muda tidak tua, tidak mati tidak hidup. Hidupnya meliputi dalam matinya. Adapun matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng selamanya.”

Sang Prabu bertanya, “Di mana Tuhan yang Sejati?”
Sabdopalon berkata, “ Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud sifat suksma. Sejati tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisah, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tenti tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini.”

“Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?” tanya Prabu
Sabdopalon berkata dengan sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.”

“Bagaimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi langit.”

“Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”

Sunan Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia. Ia akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jika air tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepada agama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu masih berpikir Buddha.
Sunan Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau wangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan, bahwa Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber baunya wangi.
Sabdopalon berkata kepada Sang Prabu, “Itu kesaktian apa? Kesaktian kencing hampa kemarin sore dipamerkan kepada hamba. Seperti anak-anak, jika hamba melawan kencing hamba sendiri. Paduka dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut ikut-ikutan, tanpa guna hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi langit, malu mengasuh manusia tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu mata. Hamba menyesal telah mengasuh Paduka. Jika hamba mau mengeluarkan kesaktian, air kencing hamba, kentut sekali saja, sudah wangi, Jika paduka tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik Maya itu hamba, yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba, Adikku Batara Guru hanya mengizinkan saja. Pada waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah. Gunung-gunung hamba kentuti. Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya banyak yang keluar, maka tanah Jawa keudian tidak bergoyang, maka gunung-gunung tinggi puncaknya, keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air panas dan air tawar. Itu hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal Hujwa, yang membuat bumi dan langit. Apa cacadnya agama Buddha, manusia bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buddha, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain. Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang mengerti.
Coba Paduka saksikan, bulan depan bulan tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh, ditolak oleh Dewa. Walaupun tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi seperti kerikil, karena paduka yang salah, suka menyembah batu. Paduka saksikan besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan. Berkurang hasil bumi, banyak manusia suka menipu. Berani bertindak nista dan suka bersumpah, hujan salah musim, membuat bingung para petani. Sejak hari ini hujan sudah berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti agama. Besok apabila sudah bertaubat, ingat kepada agama Buddha lagi, dan kembali mau makan buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti jaman Buddha.”
Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha, Lama beliau tidak berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.

Sabdapalon berkata sambil meludah, “Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang memulai kehendak.” Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.

“Kamu cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya, masihkah tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa kembali kepada Buddha lagi.”

Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan ke mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.

Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut musnah. (=tiba-tiba menghilang; red: bandingkan pencapaian kedua orang ini dengan kisah para arahat pada jaman Sakyamuni Buddha)

Sang Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga,”Besok Negara Blambangan gantilah nama dengan Negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”

Prabalingga karo Bangerwarih

Sunan Kalijaga kemudian diperintahkan menandai air sumber, jika bau harumnya hilang, besok, orang Jawa akan meninggalkan agama Islam kembali ke agama Kawruh. Sunan Kalijaga kemudian membuat dua buah tabung bambu, yang satu diisi air tawar, satunya diisi air sumber. Air sumber tadi untuk pertanda, jika bau wangi hilang, orang tanah Jawa akan kembali ke agama Kawruh. Tabung setelah diisi air, kemudian ditutup daun pandan dan dibawa dua orang sahabatnya.
Prabu Brawiaya kemudian pergi, diiringkan Sunan Kalijaga dan dua orang sahabatnya. Malam harinya istirahat di Sumberwaru. Esok harinya tabung itu dibuka, airnya dicium masih wangi, kemudian segera melanjutkan perjalanan lagi agar ketika matahari tenggelam sudah sampai di Panarukan. Sang Prabu istirahat di sana. Pagi harinya air dicium masih wangi. Sang Prabu kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Sesudah matahari tenggelam mereka telah sampai di Besuki. Sang Prabu beristirahat di sana. Esok harinya tabung air dicium masih berbau wangi. Sang Prabu kemudian meneruskan perjalanan sampai matahari tenggelam.
Sampai di Prabalingga, disitu juga istirahat semalam. Esok paginya air itu dilihat lagi. Air yang tawar masih enak, tetapi berbusa harum. Tetapi tinggal sedikit, karena kerap diminum di jalan. Sedangkan air sumber setelah dicium baunya menjadi bacin (=busuk), lalu dibuang. Sang Prabu kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Prabalingga di besuk namanya dua, Prabalingga dan Bangerwarih. Di sini besok menjadi tempat untuk perkumpulan orang-orang yang mencari pengetahuan kepintaran dan kebatinan. Prabalingga artinya perbawanya orang Jawa tertutup dengan perbawa tetangga.”

Sang Prabu kemudian segera meneruskan perjalanan, agar dalam waktu tujuh hari sudah sampai di Ampelgading. Nyai Ageng Ambil menyambut kemudian menyembah kepada Sang Prabu sambil menangis bercucuran air mata. Sang Prabu kemudian berkata,” Jangan menangis, sudahlah semuanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Aku dan kamu hanya sekedar menjalani, semua peristiwa ini sudah ditulis dalam Lauh Mahfudz. Baik buruk jangan ditolak. Sudah kewajiban orang hidup sabar dan menerima.”

Nyai Ageng Ampel kemudian berkata kepada Sang Prabu, melaporkan tingkah laku cucunya, Prabu Jimbun, seperti yang sudah diceritakan di depan. Sang Prabu kemudian memerintahkan untuk memanggil Prabu Jimbun. Nyai Ampel mengutus santri ke Demak dengan membawa surat. Sesampai di Demak, surat disampaikan kepada Sang Prabu Jimbun. Tidak lama kemudian Prabu Jimbun berangkat menghadap ke Ampel.
Putra raja Majapahit, yang bernama Raden Bondan Kejawan di Tarub, mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak, malah Sang Prabu meloloskan diri dari istana, tidak jelas ke mana larinya. Merasa tidak enak pikirnya, maka kemudian pergi ke Majapahit. Raden Bondan Kejawan menyamar untuk mencari berita dimana ayahandanya. Sesampai di Surabaya ia mendengar berita bahwa Sang Prabu ada di Ampel, tetapi kemudian sakit. Raden Bondankejawan kemudian menghaturkan sembah bhakti.
Sang Prabu bertanya, “Siapa yang menyembah ini?”
Raden Bondan Kejawan berkata, “Hamba putra Paduka, Bondhan Kejawan.” Sang Prabu kemudian merangkul putranya. Sakitnya Sang Prabu semakin parah. Beliau merasa sudah akan pulang kepada jaman kelanggengan. Kata beliau kepada Sunan Kalijaga demikian, “Sahid, mendekatlah kemari, aku sudah akan kembali ke jaman kelanggengan, buatlah surat ke Penging dan Ponorogo. Nanti kuberi tanda tangan. Aku sudah terima hancurnya Majalengka. Jangan ada perang berebut tahtaku, semua tadi sudah kehendak Yang Maha Suci, jangan ada perang, karena hanya akan membuat kekacauan dunia. Sayangilah rakyat dan kerusakan tanah Jawa. Menghadaplah ke Demak. Jangan ada yang memulai perang setelah aku. Kuminta kepada Yang Maha Kuasa, perangnya akan kalah.”

Kembali ke Alam Kalanggengan

Sunan Kalijaga kemudian menulis surat. Setelah selesai kemudian ditandatangani oleh Sang Prabu. Kemudian diberikan kepada Adipati Pengging dan Ponorogo.
Sang Prabu kemudian berkata, “Sahid, setelah aku tidak ada, pandai-pandalah kamu memelihara anak cucu-ku. Aku titip anak kecil ini. Seketurunannya asuhlah. Bila ada untungnya, besok anak ini yang bisa menurunkan bibit tanah Jawa. Dan lagi pesanku kepada kamu, apabila aku sudah kembali ke alam kalanggengan, kuburkan aku di Majapahit sebelah utara laut buatan. Adapun kuburanku kuberi nama Sastrawulan. Siarkan kabar bahwa yang dikubur di situ Raja Putri Cempa. Dan lagi pesanku, besok anak cucuku jangan sampai kawin dengan lain bangsa. Jangan sampai membuat panglima perang orang bangsa lain.”

Sunan Kalijaga kemudian menjawab, “Apakah Sang Prabu tidak memberi izin kepada putra Paduka Prabu Jimbun untuk menjadi raja di tanah Jawa?”

Sang Prabu berkata, “Ya, kuberi izin, tetapi hanya berhenti tiga keturunan.” Sunan Kalijaga meminta petunjuk apa artinya nama kuburan Sang Prabu.
“Sastra artinya tulisan, wulan artinya cahaya dunia. Artinya kuburanku hanya seperti cahaya rembulan. Apabila masih kemilau cahaya rembulan, nanti orang Jawa ingat Jawa bahwa kematianku sudah memeluk agama Islam. Maka kutinggikan Putri Cempa, karena aku sudah dibetinakan oleh si Patah, serta tidak dianggap laki-laki, sampai aku disia-siakan seperti ini. Maka aku hanya mengizinkan ia menjadi raja hanya dalam tiga keturunan, Karena si Patah itu dari tiga bangsa, Jawa, Cina, dan Raksasa. Maka ia tega kepada ayah serta ngawur caranya. Maka wasiatku, anak cucuku jangan kawin dengan lain bangsa, karena dalam berkasih-kasihan dengan orang lain bangsa tadi bisa merubah keyakinan. Bisa mencelakai hidup, maka aku memberi wasiat jangan mengangkat panglima perang orang yang lain bangsa. Karena akan menginjak Gustinya, dalam berperang mendua hati. Sudah Sahid, semua wasiatku tulislah.”

Sang Prabu setelah bersabda demikian ,tangannya kemudian bersedekap, terus wafat. Jenazahnya kemudian dikuburkan di Astana Sastrawulan Majapahit.
Sampai sekarang terkenal bahwa yang dikubur di situ adalah Sang Putri Cempa. Adapun sebenarnya Putri Cempa itu wafatnya di Tuban. Tepatnya kuburan di Karang Kemuning. Setelah tiga hari wafatnya Prabu Brawijaya, dikisahkan Sultan Bintara(= Raden Patah) baru datang di Ampelgading dan bertemu Nyai Ageng Ampel.
Nyai Ageng berkata, “Celaka kamu Jimbun, tidak melihat wafatnya ayahanda, jadi tidak bisa sungkem serta minta izin olehnya menjadi raja, serta minta ampunan semua kesalahan yang sudah terjadi.”

Prabu Jimbun berkata kepada Nyai Ageng, ia hanya bisa pasrah kepada takdir. Barang yang sudah terlanjur hanya bisa dijalani. Sultan Demak di Ampel tiga hari dan kemudian pulang kembali ke Demak.
Diceritakan Adipati Pengging dan Ponorogo, yaitu Pangeran Handayaningrat di Pengging dan Raden Batara Katong, sudah mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak dengan menyamar menghadap kepada Sang Prabu waktu Hari Raya. Adapun Prabu Brawijaya dan putra Raden Gugur meloloskan diri dari istana dan tidak ketahuan besembunyi dimana. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo sangat marah. Keduanya kemudian menyiapkan sebuah pasukan hendak menyerang Demak, membela ayah merebut tahta. Para prajurit sudah siap senjata untuk menempuh perang hanya tinggal berangkat. Tiba-tiba datang utusan dari Sang Prabu Brawijaya memberikan surat wasiat. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo segera menerima dan membaca surat tersebut. Surat itu kemudian disembah dengan meneteskan air mata berat. Keduanya terhenyak, marah, giginya gemeretuk, wajahnya merah seperti api, dan kata-katanya ketus menyumpah kepada ayahnya sendiri, mudah-mudahan jangan hidup lebih lama lagi, agar tidak memperpanjang rasa malu. Kedua adipati ngotot tidak mau menghadap ke Demak, karena gelap pikirannya kemudian keduanya jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal.

Sekalaning Majapahit

Adapun menurut pendapat yang lain, matinya Adipati Pengging dan Ponorogo karena ditenung oleh Sunan Giri, agar jangan mengganggu di belakang hari. Maka cerita hancurnya negeri Majapahit itu disembunyikan, tidak seimbang dengan kebesaran serta luasnya kekuasaannya. Semua itu untuk menutupi rahasia raja, seorang putra memusuhi ayahandanya. Apabila dipikirkan sangat memalukan. Sejarah hancurnya Majapahit disemukan oleh para pujangga bijaksana menjadi demikian:
“Karena Karomah para wali, keris Sunan Giri ditarik keluar ribuan tawon yang menyengati orang Majapahit. Mahkota Sunan Gunung Jati Cirebon, keluar tikusnya beribu-ribu menggerogoti bekal dan pelana kuda prajurit Majapahit sehingga bubar, karena banyaknya tikus.”
“Peti dari Palembang ada di tengah perang dibuka keluar demit-nya, orang Majapahit geger karena ditenung demit. Sang Prabu Brawijaya wafat mikraj.”

Kemudian Kyai Kalamwadi bertutur kepada murid yang bernama Darmo Gandhul, “Namun semua tadi hanya pasemon(=kiasan). Adapun kenyataannya, cerita hancurnya Majapahit itu seperti yang kuceritakan tadi. Negara Majapahit itu besar dan kokoh. Akan tetapi bisa rusak karena digerogoti tikus? Biasanya tawon itu bubar karena diganggu orang. Hutan angker banyak demitnya. Bubarnya demit apabila hitannya dirusak oleh manusia untuk dibuat sawah. Tetapi apabila Majapahit rusak karena dari tikus, tawon, dan demit, SIAPA YANG PERCAYA?

Apabila orang percaya Majapahit hancur karena tikus, tawon, dan demit, itu artinya orang tadi tidak tajam pikirannya. Cerita yang demikian tadi ANEH DAN TIDAK MASUK AKAL. Tidak cocok lahir batin. Maka hanya untuk pasemon (= kiasan). Apabila diterangkan dengan jelas maka artinya membuka rahasia Majapahit. Maka hanya diberi perlambang agar orang berpikir sendiri. Adapun pasemon tadi artinya demikian:
Tikus itu wataknya remeh, tetapi lama-lama apabila dibiarkan akan berkembang biak. Artinya, para ulama awalnya ketika baru sampai di Jawa meminta perlindungan kepada Prabu Brawijaya di Majapahit. Sesudah diberi, balas merusak.
Tawon itu membawa madu yang rasanya sangat manis, senjatanya berada di anus. Adapun tempat tinggalnya di dalam tala, artinya tadinya ketika dimuka memakai kata-kata yang manis, akhirnya menyengat dari belakang. Adapun tala artinya mentala ‘tega’ meusak Majapahit, siapa yang mendengar pasti marah.
Adapun demit diberi wadahi peti dari Palembang, setelah dibuka berbunyi menggelegar. Artinya Palembang itu mlembang, yaitu ganti agama. Peti artinya wadah yang tertutup untuk mewadahi barang yang samar. Demit artinya samar, remit, rungsid. Demit itu juga TUKANG SANTET.
Adapun jelasnya demikian, Hancurnya Negeri Majapahit disantet dengan cara samar, ketika akan menyerang tidak ada tantangan apa-apa, menyamar hanya untuk menghadap ketika hari raya grebeg. Mereka dikejutkan, Orang Majapahit tidak siap senjata, tahu-tahu Adipati Terung sudah membantu Adipati Demak.
Sejak Jaman Kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogoti tikus saja, bubarnya orang sekerajaan hanya karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancuran tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu Wali Delapan atau Sunan Delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak. Mereka semua memberontak dengan licik.

Keajaiban Alam

Kemudian lagi kata Ki Kalamwadi, “Guruku Raden Budi Sukardi meriwayatkan sebelum Majapahit hancur, burung kuntul itu belum ada yang memakai kuncir. Setelah negara pindah ke Demak, keadaan di Jawa juga berubah. Lantas ada burung kuntul memakai kuncir. Prabu Brawijaya disindir, Kebo kombang atine entek dimangsa tuma kinjir.
Kebo artinya kerbau, yakni raja kaya, Kombang artinya diam tapi suaranya riuh, yaitu Prabu Brawijaya tak habis pikir ketika Majapahit hancur. Maksudnya diam marah saja, tidak berkenan melawan dengan perang. Adapun tuma kinjir itu kutu babi hutan. Tuma artinya tuman ‘terbiasa’, babi hutan itu juga bernama andapan, yaitu Raden Patah ketika sampai di Majapahit bersujud kepada ayahanda Sang Prabu. Waktu itu diberi pangkat, artinya mendapat simpati dari Sang Prabu. Tapi akhirnya memerangi dan merebut tahta. Tidak berpikir benar dan salah, sampai Sang Prabu tidak habis pikir.

Adapun kuntul memakai kuncir itu pasemon Sultan Demak. Ia mengejek-ejek kepada Sang Prabu, karena agamanya Buddha kawak kafir kufur. Makanya Gusti Allah memberi pasemon gitok kuntul kunciran. Artinya lihatlah tengkukmu, ibumu putri Cina, tidak boleh menghina kepada orang lain beragama. Sang Prabu Jimbun itu berasal dari tiga benih. Asalnya Jawa, maka Sang Prabu Jimbun besar hati menginginkan tahta raja, ingin cepat kaya sesuai sifat ibunya. Adapun berani tanpa pikir itu dari sifat Sang Arya Damar, karena Arya Damar itu ibunya putri raksasa, senang minum darah, sifatnya sia-sia. Maka ada kuntul memakai kuncir itu sudah kehendak Allah, tidak hanya Sunan Demak sendiri saja yang diperingati mengakui kesalahannya, tetapi juga para wali lainnya. Apabila tidak mau mengakui kesalahannya, dosanya lahir batin. Maka namanya wali diartikan walikan dibaiki membalas kejahatan.
Adapun adanya orang Cina datang di tanah Jawa itu dongengnya demikian, Pada jaman kuno, ketika santri Jawa belum banyak pengetahuannya, setelah mati sukmanya terbawa angin kemudian tumbuh di tanah Cina, maka sekarang kembali ke tanah Jawa menjadi sukmanya orang Cina tadi. Jadi mereka itu tadinya banyak yang sukma Jawa.

( …. isi serat selanjutnya (wejangan Ki Kalamwadi untuk perumah tangga, penjelasan kitab manik Maya, sedikit kisah kediri ) sudah tidak ada hubungannya dengan kisah majapahit.

 

serat sanasunu

“”” PUPUH 01 “””
DHANDHANGGULA

Awignam astu namasidhi, sinidaa déra sang murbèngrat, kang anglimputi saraté, déné ulun mangayun, makirtya ring kanang palupi, lepiyan kang supadya, dumadya wuwuruk, ing suta wayah priyawak, sinengkalan Sapta Catur Swarèng Janmi, janma nis kumadama.

Kumadama memeksa mawardi, sanggyaning kang atmaja wus werda, widadaa sawadiné, mardi mardayèng sadu, sadarganing darsanèng urip, ngarep-ngarepa harja, harjaning tumuwuh, tuwuh tarlèn sekarira, ya marmanta mandaya mardamèng wangsit, wasita winatara.

Watara ring tutur amartani, martotama temen tinumana, ketamana ing tulatèn, tula-tula tumulun, tétélaa temah katali, talika winenangna, monang kang amangun, Yasadipura mangaran, wektyaning ngling hèh sanggya nak putu mami, yèki leksanakena.

Muhung kinarya pengéling-éling, laku lalakonirèng ngagesang, sun karya rolas warnané, warna ingkang rumuhun, élinga yèn tinitah janmi, kapindho ingkang warna, élinga sutèngsun, yèn sinung sandhang lan pangan, warna ingkang kaping tri sira dèn éling, yèn kinèn angupaya.

Ing wetuning sandhang lan rejeki, akasaba saking tapak tangan, kaping sakawan warnané, paréntahé Hyang Agung, kinèn Islam manut Jeng Nabi, rasul nayakaningrat, warna kang limèku, busana lan pakaremen, warna kaping nenem slira dèna éling, lakuning pawong mitra.

Akakancan sasamining janmi, déné warna ingkang kaping sapta, yèn abukti nèng wismané, yèn turu yèn lumaku, késah saking wimanirèki, warna kang kaping astha, kurmat ing tatamu, kaping sanga rikang warna, wektuning ngling myang wektuning barang rusti, salamining ngagesang.

Warna kaping sadasa tinulis, yèn tumitah sira mring Hyang Suksma, gedhé kalawan ciliké, kaping sawelasipun, dèna éling titahing Widhi, sudaning kang darajat, gingsiring kang wahyu, apa ingkang dadya sebab, warna ingkang kaping rolas dipun éling, obah osiking jagad.

Jangkep kalihwelas ingkang warni, nahan warna kapisan kocapa, dèna éling salaminé, yèn tinitah sirèku, saking ora maring dumadi, dinadekken manungsa, metu saking henur, rira Jeng Nabi Mukhammad, katujuné nora tinitah sireku, dumadi sato kéwan.

Dèn agedhé sokurirèng Widhi, haywa lupa sirèng sanalika, dèn rumeksa ing nguripé, dèn madhep ing Hyang Agung, dèn apasrah haywa sakserik, manawa ana karsa, uripta pinundhut, ngaurip wasana léna, tan tartamtu cendhak dawaning ngaurip, haywa acipta dawa.

Haywa cipta cekaking ngaurip, yeku dudu ciptaning kawula, dawa cendhak wus papancèn, mung ciptaa sutengsun, mati ana sajroning urip, mangkono pan winenang, cipta kang saèstu, madhep kamawuleng suksma, tan sumelang ananira saking Widhi, widagdeng cipta maya.

Gantya warna ingkang kaping kalih, linahirken sira anèng dunya, sinung sandhang lan pangané, yèku sira dèn émut, tuwa sandhang kalawan bukti, lahiring kang manugsa, saking garbing ibu, jabang tan banjur dinulang, sayektine sandhang popok kang rumiyin, ya sandhang ya bok dunya.

Hiya pangan hiya bok rijeki, karo iku apan ta tariman, saking Hyang kang amurbèng rèh, bok dunya bojo sepuh, bok rijeki bojo taruni, dèn bisa momong sira, bariman ro iku, bok dunya garwanta tuwa, yèku ingkang milu urip milu mati, dé garwanta taruna.

Bok rijeki iku apan dadi, kuwat panganti-anti ngagesang, lire dèn bisa momonge, haywana kongsi  mutung, yèna purik tariman kalih, lungané luwih rikat, lir kilat sumemprung, tan bisa nututi sira, nungsang-nungsang dhuh rusak badanirèki, nistha brangta mangarang.

Rangu-rangu rongèh muring-muring, ringringané asalah grahita, yèn sisip-sisip sembiré, nir kamanungsanipun, sarupa lan kéwan wanadri, anyandhak-nyandhak tuna, gayuh-gayuh luput, saking tan betah tinilar, ing garwa ro temah ngrebut dèn lakoni, ing garwaning wong liyan.

Ngutil methet anyolong mamaling, yèn konangan atombok umurnya, kaèsi-èsi patiné, lir sato gumalundhung, marma kabèh dipuna éling, pamomonging tariman, dèn watarèng kayun, sihana inga sawatara, among haywa karo kongsi lunga purik, yen abanget sihira.

Mring kakasih tansah amangun sih, papasihan sumungku satata, mong wiraga karagané, nutug nutugken kayun, lali marang kang narimani, katungkul ambaruwah, sumungkem sumungku, yèn mangkono nora kuwat, badanira apes ingkang sira panggih, tan bisa lumaksana.

Migeng-migeg kawaregen kalih, yèn lumaku banjur kajungkélang, tiba galundhung jurangé, kebentus watu ajur, kojur tibèng nisthaning nisthip, papa tanpa pantaran, kapiran kapatuh, yèkuta haywa mangkana, dèna sedheng haywa kabangeten ing sih, mring rejeki lan dunya.

Nahan warna ingkang kaping katri, parentahing Hyang kinonta sira, angupaya ing wetuné, sandhang panganirèku, akasaba metua saking, ing tapak tanganira, pan utaminipun, wetuning karingetira, nora kurang penggawéyan ing dunyèki, wetuning sandhang pangan.

Wawatesaning ngupaya bukti, yèn wong lanang amikul ing salang, wong wadon géndhong seniké, barang upaminipun, géndhong mikul jalu lan èstri, yèn lagya pesing badan, bédané kalamun, sinung kasdéra Hyang Suksma, amgupaya sandhang pangan teka gampil, yèn gampang den waspada.

Sangkaning arta yèn tan prayogi, haywa arsa sanadyan akathah, yèn during sah haywa pinèt, sathithik yèn panuju, dèn pakolih amburu kasil, liring pakolih ingkang, sah terang ing kukum, tuwin ta wewekasingwang, yèna kasab mrih upajiwa ngaurip, haywa nganakken arta.

Nora arus nadyan énggal sugih, ing wasana sira nemu papa, kapapan nora warisé, saking para leluhur, kasab iku ingkang utami, amongtani sesawah, gaga ananandur, akèh warnaning akasab, lakonana dèn taberi dèn nastiti, abot wong golèk pangan.

Haywa ngenthengken wong golek bukti, paé sato kéwan tanpa ngakal, golèk pangan mung cangkemé, mara banjur barakud, suket godhong kang dèn gayemi, béda lawan manungsa, saking ngakal metu, yèn tan olih kang mangkana, kang mangkéné yèn kang mangkéné tan olih, kang mangkono antuka.

Lamun antuk angupaya kasil, dipun ageng panarimanira, sukura ing Hyang nikmaté, haywa dupèh sirantuk, among kedhik kasabirèki, pan iku paparingan, nugraha Hyang Agung, pinaringan pira-pira, luhung endi kang tan bisa olih kasil, kasabé papariman.

Yèku satengah tan den paring, rahmating Hyang pinunggel ngamalnya, tan dinawakken ngamalé, kasabé wus pinulung, pan kepalang-palang tan olih, labet wahyu kinebat, ngakalé binawur, duk bocahé kurang ajar, tuwa0tuwa katula dhinadhung ngéblis, lapak tan amicara.

Lamun amicaraa sayekti, nora bisa agaga sasawah, dadiya tukang lan pandhé, saying sasaminipun, yèn tan bisa manjaka dingin, abot ènthèng pan kathah, pakaryaning manus, utama yèn angawula, angapedhak dèn pethel angering-iring sarta, jujuring manah.

Marma éling-éling dèn pakéling, anak putu padha rumangsaa, yèn kawula sru apesé, haywa dupèh tinunggu, bapa-biyung misih ngaurip, angabdi ing naréndra, sapatuté cukup, yèn mangkono ciptanira, budi rupak gopok tan micarèng ngèlmi, ngegungaken taruna.

“”” PUPUH 02 “””
S I N O M

Nahan kaping pat kawarna, sagung anak putu mami, kinon sirèku Islama, anuting rèh Kangjeng Nabi, Mukhammad kang sinelir, ing saréngat kangjeng rasul, haywa sira atilar, cegah pakon dèn kaliling, sunat perlu wajib wenang lawan mokal.

Batal karam lawan kalal, musabiyat dèn kaèsthi, pikukuh Islam lilima, iku aja lali-lali, utawa yèn nglakoni, ing rukun lilima iku, lamun ora kuwasa, mring bètollah munggah kaji, ingkang patang prakara bahe ywa lupa.

Saréngat lakuning badan, tarékat lakuning ati, kakékat lakuning nyawa, makripat ing lakunèki, ing rasa dèn pakeling, kawruhana lakunipun, nanging aja atilar, ing saréngat lakunèki, yèn tilara nora kuwat badanira.

Pan hiya mangsa bisaa, ngepleki saréngat nabi, ywa mangkana nora kena, yen kinarsakken ing Widhi, dadya mukmin sajati, mung ta haywa kongsi kupur, kang dèn kupurken sarak, haywa pasèk haywa musrik, rèhning langip mung bisaa ing maksiyat.

Yèn maksih tiba maksiyat, manawa-manawa kai, katarima tobatira, ing rina kalawan wengi, yèn wus tumibèng musrik, angel pupulihanipun, yèn nora katarima, tobatira ing Hyang Widhi, nora wurung katempuhing pancabaya.

Saréngat iku wawadhah, lawan hiya tatakrami, marma tan kena tinilar, wong atilar tatakrami, enggoning laknat sétan, tan wurung ikut amanggih, ing bebendunira Kangjeng Rasullollah.

Bebenduning Rasullollah, ya bebenduning Hyang Widhi, ya Allah ya Rasullollah, mangka tahali sayekti, marma dipun pakéling, haywa maido sutèngsun, sawirasaning kitab, yèn tan bisa anglakoni, among haywa mamaoni ananacad.

Anata ingkang satengah, anggeguyu wong ngabekti, yèku panjanmaning sétan, dhèwèké wus tan nglakoni, ana kang anglakoni, dadak sembrana guguyu, kaya wong nginum arak, kang sembrana sarwi angling, nora kharam kerem arak yekti khalal.

Wong ingkang ngucap mangkana, olèh duraka ping kalih, dhingin ngalalaken arak, kapindho anginum awis, marma dèn ngati-ati, haywa sembrana ing wuwus, lan wawaler manira, haywa ngagengaken awis, dhingin karam kapindhoné tanpa guna.

Sepélé among kinarya, bébéngkrakan sukak ati, tan timbang lan durakanya, wus pasthi wong nginum awis, yèn awon endemnèki, mring badan nora pikantuk, batiné lunjak-lunjak, kaduga angepel bumi, ing wéwéka subasitané wus ilang.

Yèn becik demé wong ika, ngalumpruk badaniréki, ginggang madhepé mring suksma, bawur tyasé dadya lali, paran margining becik, wong lali marang Hyang Agung, amedhotaken ngamal, tuna nora oleh bathi, siya-siya nganiaya badanira.

Endem iku kawruhana, limang prakara dèn éling kang dhingin endem inuman, pan wus cinatur ing ngarsi, sadiné nora becik, déné kaping kalihipun, endemé wong nonoman, tur abagus ingkang warni, ing busana hiya nora kekurangan.

Pangrasané nora nana, wong abagus malih-malih mung dhéwékè kang jelarat, mung dhéwékè kang jelanthir, katungkul miling-miling, ngaliling saliranipun, Harjuna dèn lalarak, Panji sinèrèt babar ji, demang genter demang pater dadi lemah.

Kang aran bagus pan hiya, jejeré kalih prakawis, kang dhingin bagusing rupa, ping kalih bagusing ati, nadyan rupané becik, lamun ala atinipun, yekti dadi wong ala, rusuh sebarang pakarti, tyasé harda andarung tanpa ukara.

Yèku demé wong taruna, rosa kuwat barang kardi, pandhuking saday-daya, tan ngarah-arah rih–irih, yèku karam sayekti, déné kaping tiganipun, endem ing kawiryawan, lire kamuktèné luwih, rina wengi angrasakken ing kamuktyan.

Mangan énak turu énak, kamuktèn salin-sumalin, apanjang yèn winuwusa, murkaning wong ngolah mukti, kaping pat kang winardi, endem saking hawa napsu, napsune ngambra-ambra, tan kena sisip sakedhik, maring rabi maring batur mring wong liyan.

Tarocoh amara tangan, during karuwan yèn sisip, napsuné pinasang-pasang, tan pamarta tanpa titi, titi kadurung enting, kasusu sru masra-masru, déné kang kaping lima, endeming suka sukanting, barang suka kang angliwati saking kat.

Endem kang papat punika, sayekti karamé sami, lawan karamé kang arak, banget lali mring Hyang Widhi, kalamun manungsa wis, kanggonan dem lilimèngku, kagem dadya satunggal, tan wurung anemu nisthip, aben-aben katekan bilahi dunya.

Nora nganggo ing ngakirat, ing dunya bahé pinanggih dennya sru karam makaram, tegesing karam dèn éling, pan hiya aling-aling, kalingan tyasé kalim put, tegesé ingkang kalal, sutèngsun haywana lali, kalal iku pan kalebu tegesira.

Manjing barang kang becikan, tyasé suci nora lali,  mring Hyang pan ora kalingan, kalamun bisa nglakoni, kawulaning Hyang Widhi, sabarang karam tan ayun, sayekti katarima, barang pandonganirèki, haywa kadi pangucaping wong kang liwar.

Linging wong ahlul kakekat, wuwulangé gurunèki, tan ana karam subaat, kabèh-kabèh kalal ugi, iku wong kenèng pidhir, tan wurung kenèng bebendu, wus kadhadhung ing sétan, déné laku kang sayekti, kang ngabontos ing ngèlmu praptèng kakékat.

Sirna marang ing makripat, kang wus antuk sihing Widhi, karam maning yèn arepa, ingkang kalak datan apti, yèn bisa anglakoni, sarta wahyuning Hyang Agung, kang mangkono pan dadya, martabating para wali, wali kutub kang rumeksèng pramudita.

Sabakdaning Rasullollah, yèku kang minangkan dadi, cacagaking langit dunya, sèwu kutub para wali, babo déné amencit, yèn atélada kang iku, pan hiya sèwu mokal, sarehning kawula langip, among haywa dadi réréwangan sétan.

Lawan haywa mangan madat, peretu iku tan becik, apa beciké wong mangan, ing kukus tur angendemi, yèn wus nyakot sayekti, dudu wong kang mangan apyun, apyun kang mangan janma, yèn wus dadi dlinding mati, nora nana wong nyeret umure dawa.

Iku kalebu golongan, nganiaya badanèki, dhasaré sarak cinegah, ingkang karam endemnèki, barang kang angemdemi, cinegahing sarakipun, panjang yèn winarnaa, nisthaning mangan cekakik, pan wus padha kalampahan kasat mata.

Nanging ana kang mamarah, kalaling apyun sakedhik, yèn kinarya ing woworan, obat anget iku ugi, marmané iku kénging, dènnya obat anget iku, andhanganken sarira, kitab Sarahbayan nenggih, kang ngalalken kedhik winor obat panas.

Lan malih wawaler ingwang, nak putu ywa anglakoni, ing panggawé ngabotohan, kalebu nisthaning ngurip, dhasaring saraknèki, kinaramaken satuhu, lahiré luwih nistha, dadya lip-alip panèki, wong durjana saking madat ngabotohan.

Waler malih haywa ana, sagung anak putu mami, alul wuku tigang dasa, kang trus sapadéwanèki, pan iku nora becik, ing saraké dadi kupur, sasat ngroro pangéran, yen sira arsa udani, mring lakuning wuku dipun sawatara.

Satengah saking kacaryan, ing wuku kluwihanèki, mèh wruh sadurung winarah, kadadiyaning babayi, ya salawasé urip, begja lan cilakanipun, ing wuku wus dèn enas, sidik Tanana kang sisip, kang mangkono sira padha mangertiya.

Haywa banjur kagawokan, pan ana pralambangnèki, wawangsalan sembunggilang, ing  Palémbang dipangga lit, singa-singa sayekti, yèn kagugu pan kadulu, aja sipara déwa, ing wité tinitah luwih, iku maning yèn ora mikatonana.

Nadyan séla lawan wreksa, lamun sira puji-puji, pinuja mantrèng dudupa, binorèhan wangi-wangi, sayekti mikatoni, brekating pangrasanipun, marma dèn éling sira, tarècètaning agami, yèn sira yun uninga ing ngèlmu kasab.

Kang winenang ing agama, nanging iku kaol langip, lamun kaol ingkang ngekas, kinaramaken sayekti, sagung ngèlmu laduni, palak palkiyah myang nujum, iku ngèlmu pambuka, sagung ingkang gaib-gaib, saking Arab tan lyan saking Nabi Duta.

Wewaler malih kocapa, sing wong tuwa nguni-uni, yèn kuwat mamantu sira, ganggo gamelan tan keni, dhasar sarak sinirik, unining gamelan iku, mung sawiji kéwala, kang winalerken ing nguni, mung mamantu aningkahken sutanira.

Yèn tetakan titingkeban, hiya nora dèn waleri, gegedhèn nganggo gamelan, ya mangkana sarèhnèki, kalumrahaning ngurip, wong dèn abdèkaken ngratu, kudu ta kalumrahan, narajang waler sakedhik, wakilana haywa ekak saking sira.

In unining kang gamelan, dodongaa ing Hyang Widhi, mugi ta winenangena, lan mintaa rilanèki, luluhur nguni-uni, kang duwé wawaler iku, sira kirima donga, iku supayané kalis, pon-ponané adoha ing pancabaya.

Let sepasar nenem dina, gamelan durunging muni, dèn mesu panedhanira, ing wengi gon kang asepi, lamun kepareng ugi, anaha samitanipun, katingal ing sumpena, réhning ngapes medal saking, ing supena barang tingkahing kawula.

Paé kang uwis mukminkas, tuwin pra wali pra nabi, akèh kang sinungan ayat, saking swara kang dumeling, wa mangkono prandéning, ana kang nyertani iku, ingkang para ambiya, wahyu ingkang saking ngimpi, Nabi Brahim lan Nabi yusuf ing kuna.

Nanging iku ta trekadhang, among hiya anyitani, tan uwis déning supena, ing wengkoning Jabarail, dinuta ing Hyang Widhi, wahya amaringken wahyu, lamun ing jaman mangkya, sabakdaning Kangjeng Nabi, wus rinacut karsaning Hyang kang mangkana.

Sangsayardaning kang mangsa, mantun awas lawan éling, tan ana wahyu kang nyata, akeh wahyuning ibelis, tan kena dèn sayuti, murka angkara tumanduk, durjana sangkin dadra, sujana sarjana kontit, katatangi katali kasilir ring rat.

Rak karaket tan antara, papantaraning ngabecik, apan nora kukurangan, kaoling para ngulami, myang sujana bèrbudi, para wicaksanèng laku, jro kitab pira-pira, kang marah panggawé becik, miwah jroning srat wawacan don asmara.

“”” PUPUH 03 “””
ASMARADANA

Den kerep gugulang ngèlmi, gugurua pra ngulama, lawan dèn kerep tatakon, minta warah ing sujana, sok bisa anoraga, haywa kuminter kumingsung, nadyan silih wusa bisa.

Api-apiya tan bangkit, angarah wuruking liyan, Manawa liya muradé, kabecikan lan kamulyan, awit saking tumitah, praptèng wasananing maut, kamulyaning sangkan paran.

Ywa pijer ngiling-ngilingi, ing kitab nora rinasa, wewaleré arang kanggo, miwah yèn sira mamaca, ing Surti Nitipraja, Séwaka sasaminipun, wulangrèh Panitisastra.

Asthabrata Ramakawi, aja pijer tetembangan, cécéngkokan tanpa gawé, wong anom ing jaman mangkya, aremen cécéngkokan, melang-melung eluk wolu, naglingi lalandheping tyas.

Tanna karyané sakedhik, yèn wong wolu alul cécéngkokan, anesekken pamacané, amrih haywa kongsi kemba, nanging aja katunan, kang winaca dèna émut, catheten ing wardayanta.

Kuneng kaping catur warni, gantya warna kaping lima, ing busana wewaleré, miwah ta ing pakareman, déné ta kang busana, sinjang-sinjang dena émut, haywa nganggo bathik tambal.

Tambal Sukaduka nenggih, déné tatambal Kanoman, tambal Miring sasukané, lan haywa anganggo sinjang, ing lurik Tuluhséla, haywa nganggo sira sabuk, bathik iku winaleran.

Yen tan duwé ijo kuning, wungu dadu kekembangan, angangowa putih bahé, sinjang wulung nora kena, yèn apes sariranta, jaran ireng hywa ngingu lamun sira nora ekas.

Lawan haywa nganggo bathik, anggité wong jaman mangkya, anganggo Baron Sekèndhèr, nganggo gambaring wong-wongan, yèku satengah karam, myang rerupaning nyawèku, hiya iku padha karam.

Mangsa ta kuranga bathik, kang lunglungan kang ceplokan, gogodhongan sasaminé, haywa sira kumawawa, atélad ingkang ngekas, jenenging kawula iku, apes ajur bosok rusak.

Ngaral basaniyah nenggih, kang sinandhangken ing sira, lire papalanganing wong, owah gingsiring manungsa, pan among jenenging dat, iku kang wajibul wujud, langgeng nora kena rusak.

Wawaler kang gedhé malih, yèn ora kelambèn sira, haywa kalung saptangané, tinalèkaken ing jangga, tansah ginawé salat, sampirena kéwalèku, ing pundhak sakarsanira.

Ing kanan miwah ing kéring, yèn anganggo-anggo sira, sawatara sasedhengé, bebed myang iket-iketan, dèn nganggo masakala, haywa saban sore ésuk, siyang nganggo jijingkengan.

Wong besus kapati-pati,wataké sok malaratan, suda-suda rijekiné, sarta anunungkul ing tyas, kang mring kawicaksanan, bok rejeki gila dulu, wong jelarat mèmèrètan.

Rèhning nganom sawatawis, baréya-baréyo aja, iku bangsat penganggoné, lan dèn nganggo masakala, lulungan pasamuwan, jingkengan sawatarèku, pepenyon apa mondholan.

Lire kapusus katawis, iku besusing sujana, kang wus mangerti barang rèh, kagunané wus akathah, bisa nambung ambéngkas, bisa amis dadi arum, arum sangsaya angambar.

Peteng dadya padhang bangkit, besusé tan tekèng manah, mung kinarya sasab bahé, naglingi kasujananta, wus ambeking sujana, painter ngaku balilu, saking wus ambek sagara.

Yèn ngulama para mupti, besusé manuting lapal, jayin napsaka uniné, bilmaksiyati tegesnya, amaès-maèsana, ya ing sariranirèku, lawan panganggo maksiyat.

Among besus aling-aling, nora tumeka ing manah, yèn dinawakna murade, lapaling jayin napsaka, lan bilmaksiyat ika, adawa lamun winuwus, cukup lakuning ngagesang.

Marma anak putu mami, barang tingkah dèn waspada, dena mikir pakolihé, haywa ngawag ruwag-ruwag, besus tanpa karana, dèn abesus aja besusu, dèn pinter aja bisa.

Lire dèn abesus kaki, dèn abesus sawatara, tan kebanjur tan kelalen, mung besusé wong resikan, anrus resiking manah, tumusing budi rahayu, kang aja besus lir sira.

Kang besus anrusing batin, lali apesing sarira, anrik marang tya lonyok, anutupi, lawang begja, ambuka lawang tuna, ngedohken sagung rahayu, merakken sagung kiyanat.

Angedohken pangabekti, amerakken ing maksiyat, ngedohken panarimané, amerakken ati murka, ngedohken ati sabar, merakken kerenging kalbu, lamun nora kasembadan.

Panjang winarna ing tulis, wong besusu kainanira, gumantya kang pinarnèng rèh, pakaremaning ngagesang, tunggal warna kalmia, dèna émut anak putu, haywa karem marang dunya.

Liring karem dunya kaki, lali panggawé ngakirat, rina wengi ésuk sore, mung mikir panggawé dunya, tan étung siya-siya, harda kahardan sagunung, nora étung batal karam.

Kang gumremet kang kumrincing, pas sosotya nawa retna, myang arta-arta sakèhé, kang gumebyar kang kumenyar, iku pan among dadya, dum-duman aran dunyèku, tegesé among golongan.

Golonganaran dunyèki, déning kakékating dunya, hiya panggawé kanga won, adoh panggawé ngakirat, dunya iku naraka, akirat suwarga iku, lah ing kono rasakena.

Dèn bisa merdi picis, lire bisa merdi arta, dèn weruh batal karamé, kang sarèh wetuning arta, yèn wus dadi khakira, ywa siranggojibar-jibur, resikan haywa katara.

Ing Panitisastra angling, wong ambebeg arta kathah, lir ambebeg toya gedhé, bendungan datan sinungan, ilèn-ilèning toya, tan kinarya dedanèku, nora nganggo jinakatan.

Kabebeg katempuh banjir, dhadhal larut alorodan, gegadhang bilahi gedhé, kang mengkono wus sanyata, nadyan gedhé cilika, pira-pira ingkang muwus, kelakon dadya ngibarat.

Ana ta ngibarat cilik, kéwala kang ingsun karya, pangéling-éling lakune, kaum désa ing Cabeyan, Ki Nurngali namanya, wadat saking apesipun, tanpa bojo tanpa rowang.

Wismané kebak sega king, yèn olèh brekat kondangan, jinalukan mring tanggané, kentheng-kentheng nora suka, lampu dèn pé dèn tarang, akeket kumet kalangkung, njalukan ora wèwèhan.

Menthel sakedhuk pan sugih, saboboting kaum désa, mung kumet tan lumrahing wong, anuju sawiji dina, wektu subuh pan arsa, mring sendhang mèt toya wulu, pinenthung cengelé pejah.

Ilang kandhutané dhuwit, selawé anggris kathahnya, nèng ngusus-usus sabuké, iku nora pisah-pisah, déné kang anèng wisma, kang arupa dhuwit sampun, lan jajarik binalènan.

Mring durjana wus barindhil, kang wau menthung nèng sendhang, mung kari sega akingé, lah iku rupané janma, ingkang karem ing arta, nora ngandel mring Hyang Agung, ngalor-ngidul ngandhut réyal.

Pan ora anedya kardi, ngamal ing sakwasanira, ing nguripé nèng dunyané, mung ngandelken ngibadahnya, pan wus wajibing gesang, asembahyang limang waktu, béda ngamal kabecikan.

Tegesé pan ngamal salih, kang katur marang Hyang Suksma, liyaning pangabektiné, gawé becik ing sesama, kang tan buru aleman, yèn amal amrih ginunggung, tan dadi kanthining gesang.

“”” PUPUH 04 “””
KINANTHI

Sun cendhak pitutur ingsun, ing lakuning ngamal solih, wus gumelar anèng kitab, lan pituturing ngulami, yen during mangerti sira, takokena kang utami.

Elingen iku pitutur, sagung anak putu mami, sanalika haywa lupa, ing lakuning wong ngaurip, haywa tiba pakreman, ingkang ananarik sisip.

Ati-atinen dèn matuh, mematah karep pribadi, dèn abanget lomanira, dèn banget kumetirèki, lire dèn abanget loma, sedyakna siyang lan ratri.

Kinuwasakna sirèku, wèwèh samining dumadi, kang tan lawan siya-siya, kang éklas tumekèng batin, tegesé wèwèh kang éklas, sira nora duwé pamrih.

Wawales marang sirèku, lire dèn akumet kaki, haywata buru aleman, wèwèh sak-sok tanpa kasil, lamun sira during kuwat, nadhahi nepsunirèki.

Liring anadhahi nepsu, lamun karep sira maksih, nyandhang becik manganénak, haywa umbag kumalingking, nadyanta wèwèh akathah, mangsa ta kurangan mami.

Apan ananing Hyang Agung, nora akon nunulungi, marang awaking wong liyan, lamun awake pribadi, during luwih during cekap, haywa tiru Katintahyi.

Katintahyi iku pan wus, tinitah janma linuwih, mèh satengah Auliya, tiningalan saking batin, nrus abontos barang tékad, kinarilaning Hyang Widhi.

Ngrasaa apes sirèku, dipun anganggo mubadir, lire mubadir angéman, kamurahaning Hyang Widhi, kang pinaringken ing sirasira, yèn tan ngemana sirèki.

Dadya sira kurang sukur, ing nikmatira pribadi, kahananing ujubriya, sanadyan panggawé becik, yèn tanwruh kadadiyannya, angawag kaworan éblis.

Sabrang ing tindak-tanduk, ing duduga myang prayogi, wiwitana saking madya, yèn mantep ing tyas sirèki, ing supayané bisaa, mirip tindak kang utami.

Yèn utama lekasipun, lamun tan mantep sirèki, Manawa hiya Manawa, kepalang kepaluh nuli, gumalundhung sira tiba, ing papa nistha pinanggih.

Yèn mantep tetep tinemu, kautamaning ngaurip, nanging iku ngarang ngagal, gogolonganing utami, kang akèh ing jaman mangkya, gogolonganing wong nisthip.

Marma ywa nedya sirèku, ing lekas nistha kariyin, sira yèn tumindak nistha, ingkang nora kedhah-kedhih, yèn tumiba ing utama, pinasthi papan pinanggih.

Nistha rusak temahipun, madya kembanging ngutami, utama kembanging mulya, dèn weruh sira siji-siji, nistha madya lan utama, kèh kaliru kang mastani.

Nistha ingaran madyèku, madya ingaran utami, saking kèhing kahardan, wimbuh ing dunya nglimputi, iya sapa ingkang bisa, nadhahi rosining budi.

Kuneng malihé sirèku, haywata karem mring èstri, yèn tan kabeneran padha, lawan kareming hartèki, pangrusaké ing sarira, bèn-abèn leteng artèki.

Yèn abener kiyasipun, aguna sarana sakti, dadya panggeyeting swarga, arta kang lumaku sukci, yèn wong dahat kareming dyah, tan wun geng pancabayèki.

Tansun panjangkaen pitutur, ring janma karem pawèstri, haywana kang salah tampa, panwus gumelar sakalir, panjang yèn dèn ucapena, begja kang bisa nglakoni.

Lan maningé anak putu, haywana karem sirèki, ing swara miwah ing rasa, liring karem ing swarèki, gelathik anèng jro pikat, narithik unine thik-thik.

Ana kancané angrungu, kasmaran swara dumeling, tumarancag tan wéwéka, tanwruh kalebu piranti, déné wong kareming rasa, kadya ngganing wong mamancing.

Mina kang anèng jro kedhung, andulu mamangsanèki, tan wéwéka gya sinarap, tanwruh yèn kenèng piranti, sinendhal tibèng dharatan, si mina tekèng bilahi.

Marma dèn awas dèn émut, pikiren ingkang prayogi, barang tingkah haywa gita, yèn during uningèng gati, liring gita haywa rikat, gati temen tegesnèki.

Ywa kagètan ywa kasusu, yèn during wruh temenèki, manawa kadi si mina, patiné kena ing pancing, during wruh ing komandaka, mung lobané dèn turuti.

Lan haywa karem sirèku, barang kalangenan adi, ing swara miwah ing rupa, kadya kang kocap rumiyin, yèn kabanjur menèk kadya, Sastradiwangsa pangukir.

Kareming peksi brekutut, rinungokken sarwi ngukir, seger sarirané sumyah, myarsakken swara dumeling, mempeng memet pangukirnya, ing landheyan tunggak semi.

Ing sawiji sina nuju, brekututé nora muni, ingaban kinèn muniya, meksa meneng nora muni, krodha sira Sastradiwangsa, sinèlèhken dènnya ngukir.

Cinandhak kurunganipun, peksi rinogoh mring jawi, sarwi sru wuwusira, sebab apa sira peksi, teka ora adol swara, pan ingsung ingkang ngingoni.

Peksiné dèn elus-elus, kalimpé marucut nuli, miber nanging ora kebat, tinututan peksi kénging, makanjar Sastradiwangsa, peksi binanting babarji.

Sarwi susumbar kumruwuk, payo sirarsa ngayoni, yaiki Sastradiwangsa, jinejegan ingkang peksi, den iles awor lan kisma, aja mangkono wong ngurip.

Lah ing ngendi ana manuk, ingkang bisa tata janmi, garejegan sinumbaran, labeté wong kurang pikir, iku wong karem rupanya, sibabawur pilastuti.

Lan aja karem sirèku, ing turangga ora becik, lah hiya ing ngendi ana, pinenging karem turanggi, dèn anganggo sawatara, rèhning lumrah wong angabdi.

Mung bisaa ukur-ukur, dèn guguyu haywa isin, ora bisa nunggang jaran, ing pacak nora prayogi, ya narimaa kéwala, pira-pira dèn waoni.

Wongé karem turanggèku, rong prakara siriknèki, ngrérégoni wong ngawula, ing sakarat ngrérégoni, béda lan Rahadèn Sura,- nagara radèn Tohpati.

Yèn ora karema luputm pan uwis pakaryanèki, tinuduh ing Sang Naréndra, pan minangka kasabnèki, nistha lamun tan bisaa, kalebu wong tanpa kardi.

Karana ta ing tumuwuh, sengsema barang pakarti, kang minangka kasabira, sem lan karep iku sami, yèn wong nemen nambut karya, padha lan wong angabekti.

Ya ing salat limang waktu, sabarang kasabirèki, kitab Bustam kang amarah, kayata lamun sirèki, tinitah lumakyèng karya, sengsema gonira ngabdi.

Ywa sira watak malincur, dadya duraka ping kalih, dhingin marang gustinira, mring kancanira ping kalih, apata beciké uga, wong balithuk maring gusti.

Gusti pan kalipah tuhu, sasat balithuk Hyang Widhi, lan balithuk para kanca, wuwuh durakanirèki, kang utama potangena, taberi gawe mamanis.

“”” PUPUH 05 “””
DHANDHANGGULA

Haywa karem asabèng wanadri, haywa kerm asabèng samodra, kali-kali sasaminé, akèh bencananipun, pira-pira ngadat kang uwis, wong karem las-alasan, ing wasananipun, asring amanggih tan harja, myang ing kali-kali akathah tan becik, dèn émut haywa lupa.

Lawan haywa karem ing kasektin, ngèlmu kanuragan kadigdayan, kateguhan sasaminé, tan anguwisi iku, ngèlmu lahir kakèhan kibir, yèn katèrècèt dadya, singkir ngèlmu iku, dudu mangunah keramt, lawan dudu mukjijat marma tan apti, kang wus utamèng cipta.

Kandel kumandel marang Hyang Widhi, teteg teguh ing tyas tan anedya, kira-kira sasmitané, mung anedya rahayu, kira-kira haywana prapti, ajagang pasrah ing Hyang, baluwartinipun, kumandel marang Hyang Suksma, ineb-inebing pintuy kuthanirèki, tetep madhep ing Suksma.

Wismanira jro pintu kuthèki, yèku panunggalira Hyang Suksma, kang minangka bojonané, tatandhon jro kuthèku, pan panembahira Hyang Widhi, yékang minangka obat, mimis jro kuthèku, tanawut napinakirah, yèn wus mantep tetep adhep tanpa kelir, kenepung kuthanira.

Dèn selamet kang angepung sami, sanjatané sinipatan rahman, pun sipat rakim mimisé, tiba pating talebuk, kamurahanira Hyang Widhi, lan sihira Hyang Suksma, metabar rahayu, rahayu ngayuh kamulyan, tan maluya-laya tetep kita linggih mungsuhing balébaka.

Bakal bakuh akukuh tan kongkih, kahanané ing kana kinenan, kaonang-ngonang kanang rèh, sarèh sarékaning hyun, ing ngagnyana manda sinandi, sining wong sadu dibya, kanthi sabar maklum, mula-mula tan tinilar, tataleré tinatal tulèning budi, dumadi tan sangsara.

Karana pambancananing ngéblis, jroning kitab Ki Sangsulambiya, pinencar anak putuné, ngriridhu ambabawur, tan ngoberi manugsa urip, duk lahir maring dunya, binéka binédhung, pamrihé sang belis laknat, akarana ring babayi aja kongsi, nadyan kongsiya tuwa.

Belasara manut ing ibelis, wurunga kuda belo sadaya, jro kitab Insankamilé, kocap pakartinipun, dadya sangang dasa bab nenggih, lawan punjul sasanga, sang ibelis wau, pan satus kirang satunggal, pangsawané anggodha ngrecana janmi, mrih katarik mring sasar.

Dèn prayitna lawan dèna éling, barang panggawé barang pangucap, miwah barang sakarepé, sétan amor ing ngriku, nora kena lamun winilis, pam bencananing sétan, nenggih pencaripun, angèbeki sabuwana, nadyan namaning Hyang Suksma ingkang adi, tiniru karya kala.

Marma kadya apa wong ngaurip, yèn kenaa lali jroning cipta, ya ing sanalika bahé, saking panumbasipun, sumarambah amaratani, pakartinirèng sétan, kang tugur mor nepsu, angen-angen ingkang harda. Loba murka maring sahwat maring bukti, maring papaès dunya.

Panjawiling sétan kang mrih olih, yèn tinuruta olih sangsara, kaserakat ing temahé, kasengsem kapiayun, mérang yèn mundura ing kapti, dadya kèrem wong ika, ing wawatakipun, mring pepeteng sabangsanya, nétra wuta karnanira dadya tuli, tanwun tibèng naraka.

Nahan warna kaping nem winarni, lamun sira mrih apa wong sanak, akakancan sasaminé, pikiren jroning kalbu, umpamané sira ningali, panganan lan minuman, sira pan kapéncut, pikiren jroning wardaya, hiya déné karo iku manpangati, marang sariranira.

Lan tan ana wong kang nedya sakit, pan mangkono ing apa wong sanak, ing kakancan pamilihé, upama sira watuk, sru kapéngin marang lelegi, nginum kélang katekan, sakareping napsu, luamah maring sangsara, ora wurung dadi mengi mengkrik-mengkrik, tuna tan olih karya.

Ana satengahing manungsèki, olih bilahi saking kakancan, myang saking pawong sanaké, iku sira dèn émut, singgahana saking bilahi, aja apa wong sanak, lan wong tan rahayu, tanwun katularan sira, upamané wong lara weteng kapéngin, rujak kecut pinangan.

Hiya nora wurung andilinding, bilahèni mring sariranira, nora ana mupangaté, lawan haywa sirèku, pawong mitra wong tanpa budi, ya wong bodho tyas mudha, tanwun anunungkul, katularan bodho sira, pan wong bodho during wruh ing ala becik, ing wawadi tan wikan.

Lawan haywa pawong sanak malih, lan wong ingkang tan bisa ing sastra, wong kang mangkana wateké, karepé sok amberung, pangrasané bener sayrkti, kuranging pamicara, nadyan dhawul-dhawul, jalebut sok tumindaka, ngiris-iris nyebit ing ngatata-titi, tangèh manggih raharja.

Lawan haywa pawong sanak kaki, lan wong pasèk pan wong pasèk ika, nora wedi ing siksané, ing Hyang kang maha Agung, murang sarak angorak-arik, atékad calawenthah, lawan haywa ayun, lan wong drengki pawong sanak, sring karyala ing sasami tyasé jahil, dèn wruh sirèng tengeran.

Karana wong mukmin iku kaki, hiya padha mukmin papaèsan dènya ngapèk panengrané, ala becik tinemu, ing pracara dulunen dhingin, ping ro semu winawas, kaping tiganipun, katandha ing tapsilanya, kaping paté ing tatakrama pinanggih, ping lima ing pirembag.

Yèku pancawada nora gingsir, wong kang dhustha lan wong kamandaka, sujana myang bèrbudiné, akathat warnanipun, tyasing janma sawiji-wiji, ana kadya reksasa, murka ambeg rusuh, ana kang ambek dipangga, kathat yèn winarna èmperé kang janmi waspadakna priyangga.

Apawong sanak sira ta kaki, lan wong kang bèrbudi wicaksana, wruh ing ajar lan ijiré, sarunging para putus, kulanana mintaa dhisik, nadyan sira wutahna, wawadinirèku, sayekti bisa rumeksaa, lamun ana catur kang sikara budi, marang ing sariranta.

Bisa mangartekken marang becik, ing ngagesang akathah wicara, kang dadya salang surupé, hiya ingkang andulu, ingkang dudu ngaranan yekti, yèn kang wus wicaksana, wruh mring hiya dudu, sumimpang ing dora cara, yèn apawong mitra nedya males becik binecikan.

Lamun sira nuju darbé becik, gedhé maklumé wong wicaksanan, lumayèng pangapurané, parah-parah yèn muwus, pamawasé waskitheng titi, titika tan tinilar, nalirah rinuruh, ruruh amembing wicara. Locananya liyep tan angas ingaksi, ngaksama para marta.

Lawan apawonga mitra kaki, sujanma kang gedhé ngamalira, hiya ingkang ngamal solèh, kang anamuring laku, kalakuwan kang marang becik, yaiku janma ingkang, tan umbag tan sengung, yèn tutulung tan katara, mring kiyané aniyat sadhekah pikir, tumamèng kautaman.

Yèn apawong sanak sira kaki, akakancan lan manungsa kathat, kulanana sasedhengé, dèn prayitna ing kéwuh, haywa dumèh ngagungken sami, anggunggung marang sira, ngalembanèng wuwus, akèh tan tumekèng manah, yèn wus antuk pitutur ingkang sayekti, ing mangkya manawana.

Karubédanira ing ngaurip, nora pisan silih tutulunga, malah muwuhi ribedé, agawé aru biru, karya tandha dénnya mrih kodhil, pawong mitra satengah, temah dadya satru, nanging yèn mangkono ana, sira myarsa aja niyat males kaki, srahna maring Hyang Suksma.

Muga binalèkna marang becik, lawan haywa nguneg-uneg sira, haywa ngowahi tatané, panitraniréng dangu, dèn ateguh sira ing galih, haywa sira nanacad, ya dupèh wong ngiku, kang ngalani marang sira, yèn wadining wong liya kang angalani, sira pasrahna ing Hyang.

Tinutupan wawadinirèki, dèn amantep sira among mitra, akakancan sasaminé, kawulaning Hyang Agung, yèn sira tan bisa sumingkir, tan amor ing ngakathah, ing kono sirèku, bibisiking pancabaya, ning wong kathah marma dèn abisa kaki, amomot mengku misah.

“”” PUPUH 06 “””
MEGATRUH

Nahan warna kaping sapta kang winuwus, kalamun sira abukti, pribadi nèng wismanipun, nganggoa lakuning ngèlmi, manut Jeng Rasul kinaot.

Pendhak tengah ari yèn dhahar Jeng Rasul, pan ing sadina sawengi, mung sapisan dhaharipun, sarwi jegang yèn abukti, tumungkul tan amiraos.

Duk amuluk ing sekul sarwi anebut, ing asmanira Hyang Widhi, bismilah salajengipun, mawi dungan pan utami, lajeng dhaharé ing kono.

Yèn wus dhahar tumenga lajeng anginum, tigang cegukan tan luwih, kang sacegukan anebut alkhamdulillah hirabil, ngalamin sukur ing Mnon.

Ingkang kalih cegukan dènira nebut, subekkannallah ping kalih, maha sucekken Hyang Agung, déné yen sira abukti, lan tatamu sabarang wong.

Anganggoa yudanagara mrih patut, asilaa ingkang becik, dèn mepes sarwi tumungkul, haywata saduwa kaki, lawan haywa amiraos.

Mung nyarakna pasuguhira mring tamu, wusing mengkono sirèki, hiya haywa muwus-muwus, mung yèn tamunira angling, ngajaka selang wiraos.

Tandukana prihen sukané ing kalbu, akèha denira bukti, dèn sumeh netyanireku, sira haywa uwis dhingin, angèrènana ing kono.

Wus lakuné sanadyan sira wus tuwuk, iriden denira bukti, nagntènana ing tatamu, tuwin lamun sira bukti, lan janma kèh hya mengkono.

Saenggoné miwah sira yèn martamu, pan hiya mengkono ugi, haywa sembrana ing kalbu, momoyok sajroning galih, sega iwak kurang kaot.

Den asengkud kurmat paringan Hyang Agung, yèn sira nanacad batin, tan apik segané wuluh, myang iwaké nora becik, kasiku sirèng Hyang Manon.

Dèna émut duk Nabi Musa ngalurug, kaluwèn umaté, sami, nèng ara-ara duk bingung, andodonga Kangjeng Nabi, minta sihira Hyang Manon.

Pinaringan saking ngawiyat tumurun, umaté wus dèn janjèni, yèn pinaringan sirèku, haywana nacad sirèki, sagah sandika sakèh wong.

Nulya samya nadhah ngrasa nikmatipun, sawenèh ana kang angling, mung sawiji cacadipun, pepak wak-iwakanèki, mung lalaban tan sumaos.

Durung tutug pamangané gya sumemprung, rarampadan wangsul malih, mring ngawiyat tan kadulu, yèku labaning wong pinging, sembrana nora rumaos.

Bok rejeki mutung nora bisa nusul, marma éling dèn pakéling, lamun abukti sirèku, anèng wisma dèn ladèni, mring rabinira dèn alon.

Haywa grusa-grusu amuluking sekul, yèn tan kabeneran nenggih, barang kang dèn olah iku, kurang gurih kurang asin, teka panganen kémawon.

Mengko yèn wus gonira bukti wus tuwuk, calathuwa dèn aririh, jangan iku kurang anu, miwah wak-iwanèki, apa kurangé ing kono.

Bésuk manèh doyanaku iwak anu, sapisan kéwala uwis, kanggowa ing sajegipun, yèn tan kabeneran malih, teka menenga kèmawon.

Nora becik wong mangan kamoran nepsu, dhingini pan aranèki, mungguh ing Hyang Maha Agung, pingro suda wahnanèki, ping tri rijekiné kalong.

Haywa anggagampang ing bukti tan arus, nora ta lamun pinikir, wong amangan apan iku, nora kena kedhah-kedhih, iku ta aja mangkono.

Wonga mangan uger-uger dadi baku, yekti panancanging urip, nanging dèn sawetarèku, hiya haywa anjurungi, ing nepsu luamah kang wong.

Yèn anjurungana ing luamah nepsu, tanwun gelis  angemasi, janma mati murka iku, sabarang-barang binukti, wataké nepsu katongton.

Amangana kéwala tatamba lesu, yèn banget lesunirèki, ngedhihken ihtiyaripun, nora rosa angabekti, kedhik ngamalé ponang wong.

Yèku madya sakedhik sedya ing kalbu, tapa salamining ngurip, akathah paédahipun, gampangken saliring kapti, amadhangken tyas sumrowong.

Haywa watak sasarapan ésuk-ésuk, yèku memetengi ati, baliyur pikolehipun, tan apik sabarang pikir, ngaloproh aréyah-réyoh.

Yèn akenceng kudu druweng gathak-gathuk, yèn kendho muntir-malintir, tan kenang kinarya baku, wateké wong wareg bukti, kudu turu anggeloso.

Barang karya yèn dèn lalantèh amatuh, yèn wong angubungi bukti, sinuda landheping kalbu, pan kethul kang amareki, mung bangsa badan kang condhong.

Pondhong pikul rosa kuwat garu mluku, lamun sutaning priyayi, priyayi sawanganipun, kudu nganggo bagsa ati, pikiré ingkang mirantos.

Yèn nganggowa pikiring pikul kalebut, lapak kuwaregen bukti, pan dudu bubuhanipun, bangsa ati wruh ing pikir, bubuhanira wong anom.

“”” PUPUH 07 “””
S I N O M

Tunggal warna kaping sapta, anyatakkaken aguling, élinga lan kawruhana, iang sadina lan sawengi, patlikur sangat nenggih, mangka turuwa sirèku, sawengi lan sadina, sapratelon sangat nenggih, dadya wolu sangat sawengi sadina.

Semono yèn sira kuwat, ageng pahalanirèki, dadya kalebu wong ngekas, nora kekathahen guling, jro kitab Insankamil, mungguh ing Hyang Maha Agung, saben ratri tumedhak, lenggah mring langit dunyèki, saprateloning wengi kang ngakir ika.

Haywa sira salah tampa, ing kitab ammaoni, lah ta endi ana Allah, maujud ngenggon sawiji, muradé iku kaki, hiya kang langit donyèku, ana ing sariranta, gambaring kang buwanèki, datting suksma sumrambah mimbuhi ingrat.

Yèn nuju sapratigannya, ing wengi-wengi kang ngakir, satengah ro pukul tiga, iku wengi ingkang ngakir, yèn bisa sira kaki, tangiya ing wektu iku, nenedhaa Pangéran, pangapuraning Hyang Widhi, ing sakèhing dosanira anèng dunya.

Myang wektuning salat kajat, pan hiya ing lingsir wengi, wengining malem Jemuwah, prapta wengining kang ngakir, barang kajatirèki, yèn nemen yekti tinemu, yèn sukci raganira, katri matobatirèki, hiya Allah tangala kang sipat rahmat.

Yèn turu ing wengi sira, wektu subuh sira nuli, tangiya asusuciya, haywakabanjur yèn guling, srengéngé wusa inggil, maksih ngénak-énak turu, belubuh namanira, ngrandhataken barang kapti, ngadohaken rahmat ngrupakaken nalar.

Lamun turu ing rahina, sauwisé tengah ari, ing wektu ngasar tangiya, karana wong aguling, lamun kasorèn kongsi, jam pat jam lima nem iku, yèn tangi tyasé growah, sapratelon sudanèki, murin-muring lir wong nginglung kanganglangan.

Aprasaksat wong kélangan, ngedohken nalar kang becik, nyepakken nalar kang ngala, bawur sabarang pakarti, nyuda rahmating Widhi, dhanganing sabarang kayun, kalebu wong wéwéka, kajabané sirakaki, kala-kala yèn nuju abanget sayah.

Yèn abanget arip sira, tengadur narajang kedhik, rumeksa lungkrahing badan, yèn tan mangkana tan becik, lan yèn néndra ing wengi, yèn mengalor ujuripun, miringa ngulon sira, madheping kéblat sayekti, kadya ujuring wong mati nèng kaluwat.

Karan ta wong anéndra, pan iku sanaking mati, manawa hiya manawa, ana karsaning Hyang Widhi, mundhut ajalirèki, dèn apasrah ing Hyang Agung, haywa ta salah tampa, sapa betah turu miring, mandhep kéblat tan nganggo alih-alihan.

Tan mangkono ing pratingkah, mung angkatira aguling, miring madhep ing kéblat, yèn uwis suwé aguling, sapa wruh wong aguling, panwus sasat janma lampus, yèn mangalor ujurnya, watak mintir kang rijeki, yèn mangetan watak medhotaken rahmat.

Ilang sihing pawong sanak, yèn mangidul ulonèki, dumadak rupak atinya, yèn mangulon ulonèki, wataké iku kaki, pan apanjang umuripun, lan haywa amrih sira, hiya kapénaking guling, sabilana tyas kang ngarda maring nendra.

Wataking wong cegah néndra, kasinungan lepas budi, wataking wong cegah saga, teguh pikantukirèki, wataking cegah warih, tawa ing wisa wong iku, yèku yèn sira sedya, mangkono pahalanèki, pan wong tapa tinemu sabarang sedya.

Wong gunalan wong digdaya, miwah wong dadi priyayi, padha awit saking tapa, barang pakarti kang luwih, saking tapa ingkang wit, kang sarta lan begjanipun, nadyan silih gunaa, sugiha dadi priyayi, yèn tan saking tapa pangluluning sétan.

Gunaa gunaning sétan, muktiya muktining éblis, sektiya sektining setan, watak sekti saking ngéblis, sakedhap angébati, tan lawas nuli ngalumpruk, jinem paringing cipta, ciptaning wong kang wus sidik, déné mukti kamuktèn kan saking setan.

Gawokkaken sanalika, nutugken kamuktèn adi, tan lawas annuli rusak, pothar-pathir nguwir-uwir, yèn sujana bèerbudi, ingkang mangkono tan ayun, pandhak sadaya-daya, dadi guguyoning pitik, tanggung-tanguung angur anggebyur samodra.

Ywa kaya Setropramukya, nguni duk dadi bupati, tumenggung ing Ngèksiganda, mung rong tahun mocot nuli, tan kabdèkaken malih, ing jengira Sanga Prabu, mubeng-mubeng karyanya, saba wismaning priyayi, jajaruman golèk warta adol warta.

Tanwruh lamun dadi sétan, ingkang mangkono pakarti, yèn budiya kasujanan, ingkang mangkono tan apti, yèn tan kabdèkken malih, myang tan katengeran iku, ing lire katengeran, maksih kaparingan bukti, lamun ora mangkono yekti ngibadah,

Ana ing wisma kéwala, anatepi pangabekti, madhep ing Hyang kang misésa, sukur anarimeng Widhi, tan bisa mangan ya wis, mati tan buti gih sampun, trusna ing takdirollah, haywa nistha ing ngaurip, ing lahiré tan ngucemaken nagara.

Déné wau wong ngaguna,aguna saka ing ngéblis, sabarang kang kapinteran, hiya lamun saking éblis, dhemen ngungkul-ungkuli, parabantah parapadu, padudon rebut basa, ngegungken kawignyanèki mrih tinuta tekabur buru alemen.

Bandhané mung patang uwang, anyulap nganyang sembagi, kang arega limang réyal, sinungken panganyangnéki, dhuwit dèn semayani, praptanèng don ora éntuk, ngupaya limang réyal mubeng kalamun tinagih, lami-lami kawadaka yèn wong ala.

Mangkono ingkang ngupaya, kapinteran saking éblis, pagrasané wus utama, olih wahyuning Hyang Widhi, tanwruh wahyuning éblis, nora taberiguguru, tatakon ing sujana, tatakon angrasa isin, kumandeling sétan kurang anoraga.

Tunggal warna kaping sapta, anyatakken yèn lumaris, yèn lumaku saking wisma, aja tanpa seja kaki, karepé maring ngendi, ing kono pelengen kalbu, lamun wiwit lumampah, amacaa bismillahi, yèn tan ngucap haywa lali batinira.

Dèn kapara tumungkula, hiya kalamun lumaris, reksanenta nétranira, hiya aja niningali, lan aja nolah-nolih, lamun sira andudulu, mandhega lakunira, wong lumaku nolah-nolih, niningali ajur tyasé ting sarempal.

Lan ywa ngangen-angen sira, ing pikir kang ora becik, ing sajroning lakunira, muhung pasraha ing Widhi, yèn lali ing lumaris, apesé sira kasandhung, lamun ora mangkana, lakunira tan pakolih, praptèng paran tan kacukup sedyanira.

Lamun sira anèng wisma, haywa ngadeg tengah kori, sarwi agandhulan lawang, iku siriken tan becik, alané maratani, mring tatangga rong panyeluk, watek kerep kélangan, lan haywa amalangkerik, anèng tengah lawang ngadohaken begja.

Yèn alungguh anèng wisma, haywa sangga uwang kaki, tan becik watak sedhihan, lawan haywa èdhèg sikil, tuman iku tan becik, ngilangken jatmikèng kalbu, wong ngilangken jatmika, nyuda adheping Hyang Widhi, wong anyuda andhepé maring Pangéran.

Sinuda kanyuwanannya, wong nyuda yuwananèki, siya-siya maring badan, kabudayan datan dadi, kabèh iku dèn éling, wawaler kang ora patut amatuh kapitayan, manungsa akerep lali, léléwané kalawun-lawun kaluwak.

“”” PUPUH 08 “””
P O C U N G

Gantya wau, wuwusen warna ping wolu, dèn akurmat sira, mring tatamu ingkang prapti, ingkang aran tatamu dipun waspada.

Anak putu, kanca miwah tatanggamu, iku pan satengah, hiya tamu dudu trami, ora ewuh kurmatira pan wus ngadat.

Susuguhmu, yèn ana suguhen iku, lamun ora ana, aja ngenakaken kaki, mung dèn becik kurmat lan pitembungira.

Haywa asung, sungkawa tyasing tatamu, nanging iya haywa, kadurus ambek sudarmi, mring tatamu wataranen sariranta.

Ywa katungkul, kurmat beciking tatamu, myang ing pawong mitra, yèn sira lumakyèng kardi, ngrérégoni pakaryaning suwita.

Akèh tamu, pawong mitra kang tan maklum, mung karepé dhawak, katekan amrih pakolih, sayahing wong suwita nora dèn étang.

Marma dipun, bisa amatarèng kayun, tinemon lan ora, apa pantes durakani, ana pantes tan duraka yèn tinulak.

Nanging lamun, ana asaling tatamu, saking katebihan, mancapat lan liyan nagri, yèku perlokena lawan kurmatana.

Sungga tamu, ywa kurang mring tamu iku, yèn tan darbé, utang selanga tumuli, nadyan gadhèkaké wedhung lakonana.

Ingkang iku, pan wus ngadat wus kalaku, sagunging wong Jawa kang micara pra priyayi, nanging kemba lamun ora winuwusa.

Supayémut, kinarya pangémut-émut, wataké wong mudha, sugih lali tuna budi, andaléya sungkanan sok ngarah apa.

Basa iku hiya ana kalnipun, pantes lawan ora, yèn nuju pantes mangsèki, ngarah apa iku perlu yèn kanggowa.

Buru cukup, wong ahli nasnasing kalbu, yèn tan nganggo ngenas, kaloréyan barang kardi, dèn antèni wong kaluwèn nora kena.

Tegesipun, basa ngarah apa iku, pan atinggal sunat, perlu, kéwala ginati, amrih gita gagat paguting pratingkah.

Yèn anuju, wong gedhé kang maratamu, angungkuli sira, dèn becik kurmatirèki, pamapagmu kiranen lawan duduga.

Yèn wus lungguh, lungguhira dèn anekung, tangan ngapurancang, temnbungira dèn aririh, dèn angarah-arah haywa sumambrana.

Konduripun, ngaterna kadya duk rawuh, ing pamapagira, lamun tamuwun sirèki, pra ngulama myang janma kang luwih tuwa.

Tuwa kang wus, wicaksana ambek sadu, gungena ing kurmat, kaya kang wus kocap dhingin, yèn tamuwan wong tuwa kang tan micara.

Hiya among, tuwa-tuwa umuripun, wataranen uga, kurmatira dèn nastiti, haywa sira padha lan para sujana.

Tuwa iku, rong prakara hywa limut, ana tuwa ingkang, tuwa majaji : makiki, tuwa majat mung tuwa umur kéwala.

Tuwa ngumur, kakikiné anom tuhu, sanadyan anoma, yèn ngulama myang bèrbudi, myang sujana kakikiné iku tuwa.

Yen tatamu, sanak pekir kang jajaluk, énakana ing tyas, nuli wèhana tumuli, yèn tan duwé dèn amanis tembungira.

Lilanipun, jaluken dèn tekèng kalbu, pan samayana, lamun duwé bésuk maning, ing samangsa-mangsane konen baliya.

Dadinipun, tan megatken rahmatipun, rahmating Hyang Suksma, yèn rumangsaa sirèki, darbèkira pribadi dadi wong angas.

Lan tekabur, satemah sira kasiku, siku kabatinan, hiya dudu siku lahir, padha uga lahir lawan kebatinan.

Yèn sirèku, tamuwan kongkonanipun, sanak pawong sanak, myangkanca miwah priyayi, myang wong gedhé-gedhé myang para bandara.

Dèna émut, ing caraka urmatipun, dutèku pan padh, lan kang anduta upami, duga-duga gedhé ciliking caraka.

Dèn atanduk, anggepen sajroning kalbu, padha lan kang duta, lire mangkana ta kaki, dèn angati-ati dènira angucap.

Kang saèestu, lir ngucap lawan kang ngutus, manawa ing mangkya, aturé lan kang anuding, kukurangan miwah gèsèhing wicara.

Selang surup, marma dèn awas dèn ému, ing wewekasira, sorana ing wuwus kwdhik, dimèn tyasé resep ing wewekaisra.

Dèn angugung, mring caraka haywa nepsu, sanadyan dinuta, mring sira kang tan prayogi, duta darma nora milu paran-paran.

Yèn arengu, sira marangcarakèku, bok wawadul marang, kang angutus akèh kedhik, karya rengat amecahken pawong mitra.

Haywa umung, amemekas mring dutèku, manawa akathah, pangrunguné selang titih, kanan kéring yèn angucap kawruhana.

“”” PUPUH 09 “””
DHANDANGGULA

Nahan kaping astha kang gumanti, warna kaping sanga kang pangucap, haywa sok metuwa bahé, myang metuning kang rembug, ririmbagan sabarang pikir, kang dhingin singgahana, pangucap takabur, ujubriya lan sumungah, padha bahé ana lawananirèki, lawan ngucap priyangga.

Liring kibir gumedhé ing dhiri, pangrasané ngungkuli ngakathah, sarwa kaduga barangrèh, sumugih gumunénu, sapa sira lan sapa mami, edak ledak kumethak, kethaha mring sanggup, gedhèkaken kawibawan, salin-salin sumalin tingkahing mukti, mrih rowa abirawa.

Liring liya lumaku tinuting, dèn alema samining tumitah, ing sabarang pratingkahé, datan simpen asamun, medhèng-medhèng, datan simpen asamun, medhèng-medhèng mrih dèn tingali, ingkang tumingal samya, ngalema ing kalbu, ingkang ngujub tagesira, pan malaku ginawokan barang kardi, tingkah rèh kalewihan.

Ingkang sumungah tegesé singgih, lumaku rinunguwa ing liyan, ing sabarang pratingkahé, mrih entar ngantarèku, maluyaa swara dumeling, myang kang swara ing polah, wipala pinulung, mring papasang karya semang, samangsané atiba tebané tebih, tambaha kasubingngrat.

Wong kang asring-asring ngucap kibir, ujubriya sumungah adhangah, lah hiya apa japané tan nemua bebendu, renguning Hyang Kang Maha Sukci, yèn kabanjur kadawan, ambabar tekabur, ora tinututan tobat, ing Hyang Suksma supayané iku olih, ngapura sawatara.

Haywa mangkana sira ngauarip, ngarep arepa rèh kautaman, katamana waluyané, lumayana ring ayu, ngayumana yumanéng janmi, janma pan sama-sama, sumimpanga mrih dur, durnimingta durtaningrat, durlaksana anir leksangatèng ngaksi, ngaksama semuning ngrat.

Kaping kalih haywa sira angling, luwih ing katawengis sru angas, yèn tan lawan prayogané, pangucap wengis iku, ngumbar nepsu kaworan éblis, ping tri sira reksaa, ing lésanireku, saking pangucap druaka, endi lire pangucap kang durakani, ngrasani alning liyan.

Alané dhewé nora udani, wong kang ngrasani alaning sasama, pan ginéndhongan dosané, apa paédahipun, géndhong dosanira pribadi, embuh kelar embuh ora, dadak jaluk imbuh, kaping pat sira reksaa, lésanira angucap dora sakalir, tuman bok dadi watak.

Watak dora memetengi ati, nora kena sira andelena, doranira pakolihé, wong peteng atinipun, upama jro wismanirèki, peteng kapatèng diyan, apa becikipun, sabarang kang sira alap, jroning wisma kagagap pan nora odhil, dhadhal rijekinira.

Mesat darajatira sumingkir, ana kèri amung kèkrèwèkan, drajating wong céréméndhé, dudu derajat luhung, ing lahir wus dèn orak-arik, dumadya calawenthah, sring mothah anguthuh, angathahaken paékan, angangkani ora ana pinangkaning, kaonang nir apraya.

Kaping lima reksanen ta kaki, lésanira saking ing pangucapan, ananacad ing liyané, amamaoni wuwus, tan wa-uwas pitayèng ngati, wong maoni nanacad, yèn ta during putus, tatas sandining wihastha, haywa agè ananacad mamaoni, tanwun sira sinungan.

Ing pamelèh dènira Hyang Widhi, kaping nemé reksananen lésanta, angucap kang tanpa gawé, geguyon amimisuh, acarita kang tanpa asil, kang adoh lan ngibarat, muwus tanpa usul, émanen kagunanira, ing pangucap yèn mungguh wong ahli ngèlmi, angedohken panembah.

Yèn wong ahlul alumakyèng kardi, tuna luhung micarèng pakaryan, supaya na paédahé, ping pitu hayma muwus, reksanenta lésanirèki, pangucap sesembranan, wong sembranèng wuwus, ngilangaken kajatmikan, lan angrusak ing tapa bratanirèki, yèn ilang jatmikanya.

Suda ajinira ing ngaurip, lamun rusak tapabratanira, cinupet barang sedyané, yèn cinupet wong iku, ing sabarang sedyanirèki, tiningggal mring ki begja, ki cilaka maju, mrepeki ing sariranta, dadya nora kena ing pépéka kaki, wéya léna tan kena.

Ki cilaka ing rahina wengi, anuguri ing sariranira, hiya pira betahané, manungsèku satuhu, goning lali léna tan titi, yèn wis kalimpé sira, ki cilaka nempuh, rumasuk ing sariranta, nora kuwat sariranta anyabili, ing kono pirabara.

Anemua basukining urip, marma kaki haywa sumambrana, ngaurip akèh ewuhé, gumantya ing pirembug, wetuningling dènira gusthi, yèn sira rerembugan, lan sanak sadulur, endi kang kaprenah tuwa, hiya aja sira wani andhingini, wetuning pikirira.

Sumanggakna segalaning pikir, mangkya yèn wus kang kèwuhan, anuduh marang kang anèm, kinon samya arembug, lah pikiren ingkang prayogi, yèn katemu tyasira, haywa sira pugut, amantesi pikirira, iku mslih sumanggakna dèn aririh, mring kadangira tuwa.

Yèn wus sarèh endi kang kang pinilih, ngèstokena mangayu bagyaa, yèn wus patitis beneré, sèndhekna ing Hyang Agung, tumindhaké mau kang pikir, haywa ta kaberangas, angas mamor nepsu, ing kono pan pembègalan, angas nepsu tinuntunan marang éblis, murungken kabecikan.

Becik iku nugrahaning widhi, wus kayané nepsu lawan sétan, murungken kabecikané, kalangkung déning lembut, pengarahé risang iblis, mulet ing nepsu nira, ing upamanipun, ana pikir wus prayoga, bener bening tan atilar dalil, kadis, ijemak lawan kiyas.

Trus tatané ing yuda nagari, suprandéné wurung tan kalakyan, hiya iku pembegalé, tyas kérut temah lemut, angubungi nepsu tan yukti, marma sabarang tindak, yèn uwis panuju, dèn énggal laksanakena, yèn wus lumaksana haywa sira gipih, ing kono sabarena.

Dadya bening sira angèngèhi, mau pasrahira ing Hyang Suksma, kang supaya ing dadiné dadiya iribipun, golongané kang wahyu jati, wahyu kapikawuntat, yèn uwis ketemu, tumindhak lan kadadiyan, pikirira wus nikmat sira lakoni, kono sira tobatta.

Ing Hyang Suksma lan sukura malih, détanandhang ing nikmat manpangat, pan mangkoné pratikelé, yèku gonira nutup, lawang kutha katur ing widhi, widagdèng padandanan, jro kutha barukut, lawan malih lamun sira, birembugan lan wong liya kang ngungkuli, marang ing jenengira.

Ing tuwané myang lungguhirèki, dèn prayitna sira kawruhana, pikir liyanta wetuné, apa ta hiya iku, saking nepsu myang saking éblis, apa ta saking kawa, apa wetunipun, hiya saking Nabi Adam, apa metu saking malékat kang pikir, wawasen dèn waskitha.

Lamun saking nepsu saking éblis, saking kawa iku padha ala, angel dadiya beciké, haywa ta sira anut, pikiring lyan kang ala katri, béda kalawang kadang, tuwa sugih maklum, pantes lamun linabuhan, pan wong liya yèn kapengkok dadi mukir, tan makam ing kaharjan.

Béda kang wus sampurna ing budi, wicaksana apara martèngrat, sanadyan silih neptuné, saking ala tetelu, kawa nepsu kalawan éblis, bisa dadeken harja, beciké tinemu, nanging ta kang boya-boya, jaman mangkya arang kang mangkana kaki, marma mémut ywa lupa.

Lamun saking Adam lawan saking, malaékat wetunè kang rembag, karo pan padha beciké, anuta sirèng rembug, mau ing lyan dipun nastiti, wetokna pikirira, kang bener panuju, dèn prapta sampékandaya, prajangjian habipraya sabayanting, temahing sama-sama.

Miwah lamun pikiran sirèki, pakumpulan lan janma akathah, ywa andhingini wuwusé, antinen ta sawegung, siji-siji wetuning pikir, haywa mancah medhot wikalpa, haywa ngendhak wuwus, haywa mancah pintering lyan, wong pikiran ala becik, yekti mijil, bener luput gumelar.

Kadyanggané iwak kang sumaji, rarampadan sedaya sarwana, pilihane saanané, iwak ingkang kadulu, endi ingkang énak binukti, sambelan lan lalaban, kang munggèng ing ngayun, ana ta iwak kang énak, kinyih-kinyih nanging bakal malarati, haywa kepéncut sira.

Padha-padha sega kang awarni, sega liwet lan kebuli sega, sanadyan padha énake, kari manpangatinipun, yekti pédah sega kebuli, anggi-anggi winoran, sanadyan keladuk, pamangané tan ngapaa, pan mangkono nalirahé ngamèk kasil, salsilahing wacana.

Haywa ngumpet ing pikir tan mosik, liring ngumpet yèn ing pasanuwan, wus rembug saniskarané, yèn wus bubaran iku, metokaken pikir pribadi, kumedhèp mrih tinuta, iku ora arus, duraka tan olih harja, lan maningé yèn sira tinari pikir, marang ing gustinira.

Umatura sakawruhirèki, sapanemunira dèn anelas, nganti miwah ondhé-ondhé, yèku kajawinipun, hiya saking karsaning gusti, yèn gusti nira arsa, pikir ingkang nempuh, sanadyan tumibèng nistha, tumurunga milya anut anglabuhi, haywa mèngèng ing cipta.

Yèku dudu pasuwitan kaki, pan sayektining wong asuwita, ingkang mengkono pikiré, pikir suwitan iku, wetuné ta ngéman ing gusti, among buru aleman, anjurung kumlungkung, déné kang tuhu suwita, sarananing driya kang dadiya kuwatir, katur sumanggèng karsa.

Lamun sira amikir pribadi, liring pribadi nora, kawedal, hiya marang ing liyané, muhunga ming Hyang Agung, miwah marang jengira Nabi, duta sumarahena, lawan haywa limut, penengeran kang lilima, ingkang uwis hiya kawuwusa wuri, warananing paningal.

Yèn wus dadi pikirira ngati, kang awening wenang lumaksana, tumindaka lawan sarèh, anunuju ing kayun, pamrih sela-selaning kapti, myang ananing sasmita, ing Hyang lir pituduh, dèn kumambang ing wisésa, haywa éwuh tanpa wahananing wangsit, wasitaning taruna.

“”” PUPUH 10 “””
S I N O M

Ningena warna ping sanga, kaping sadasa gumanti, hèh sanggyaning suta wayah, lamun tinitah sirèki, gedhé kalawan cilik, ing tata haywa kaliru, haywa sira nresula, yèn tinitah dadiya cilik, bekel desa saguna satata gena.

Satuhu kang kaping tiga, liring sagunaning tani, apa kang dadi busana, peraboting among tani, garu, waluku, nenggih, arit, pécok lawan pacul, myang wangkil pamatunan, wadung pethèl lawan kudhi, kebo sapi kabèh iku perlokna.

Yèn pepak dandananira, dadya saregep sasabin, ananandur sasaminya haywa kesèd dèn taberi, rina kalawan wengi, mikira nggonmu nanandur, pala gumantung miwh, kasimpar kapendhem sami, yèn kameton sagung tatandurannira.

Sira aséba marang, yèn ana ingkang prayogi, turna mring bendaranira, rumangsaa brekatnèki, yèn mungguh wong ngabekti, yèku mangka sunatipun, pajegira kang mangka, perluning wong angabekti, yèn wus mangsa pajeg haywa awéwéka.

Haywa watak kathèthèran, apa ingkang dadi jangji, ing patiné taker tedhak, miwah yèn ginawé urip, lamun urip ta kaki, yèn pinundhutan sirèku, hiya ing taker tedhak, aja sira mamadoni, yén tan kuwat luhung sumanggakna sawah.

Aja serik aja esak, yèn kapundhut ponang sabin, yèn kongsiya wawan-wawan, anglawan mogok ngukuhi dadya dudu wong becik, wong ala bajingan gendhu, ing tembé hiya dadya, tatampikaning priyayi, dadya nora welas ing sariranira.

Tegesé ingkang satata, satataning wong kang tani, wong kang dadya bekel désa dèn barukut dèn sira gawéa masjid, sandingena toyanipun, santriné pancènana, ing sawah sapantsnèki, jakat pitrah srahna ywa milu nglaap.

Lawan karyaa kabayan, kang rosa kang aja nyerit, lamun sira tatamuwan, priyayi dèn rikat yekti, pasugatanirèki, dibecik remeksanipun, marma parlu akarya, ing kabayan kang abecik, supayané rumat barang karyanira.

Akaryaa pagerjaba, kelakah dhadhapuran pring, haywa sok angrusak karang, nyarengken padésan kaki, pager wismanirèki sapaturé dèn akukuh, ya menawa tamuwan, kandheg kampiran sirèki, ing sadina sawengi wajib rumeksa.

Ing satuhu ya tegesnya, ing wong papadésan ugi, apa adat kang kalampah, mancapat mancalimèki, papagerané sami, myang arahaning gugunung, dèn lastari tumindak, ywa karya adat pribadi, yèn wus lumrahing wong mancapat lilima.

Anggone haywa anyjelag, lawan aja sira apti, ing klempakaning durjana, pakaranganira kaki, angrèhaken wong cilik, prihen aja na laku dur, kawruhana lakunya, titiken dèn apratitis, yèn culika énggal sira tobatena.

Yèn tan marèni karyanya, saksèkna mancapat nuli, tundhungen saking ing désa, haywa kongsi nglèlèpeti, marma dèn wanti-wanti, mrih becik lakuning batur, lan malih lamun sira, kuwat ngadegaken mesjid, jumungahé iku sira adegana.

Atagen saben jumungah, padha salata mring masjid, lamun akèh kang ngibadah, kedhik kang panggawé juti, botohan nyerèt sami dèn banget walerirèku, rong prakara iku ya, cacaloning dadya maling, ing wong cilik mèh kena dèn pasthèkena.

Wité dadi kemlaratan, banjuré dadya mamaling kayangapa yèn kembaha, enggonira kang angawruhi, pakartining wong cilik, myang kang dadi kasabipun, nemené anggaota, kang dadi wektuning bukti, kang ngedohken marang ati kadurjanan.

Kalamun tinitah sira, angabdi jroning nagari, dèn taberi aséwaka, yèn durung pinaring sabin, haywa sira angincih, mrih balendhunging kang wadhuk, pandhak sadaya-daya yèn tan durung potang kardi, tékadena awisma nèng paséwakan.

Asorena kula nira, mring sasaminira ngabdi, mèten wuwulangen samya, kang becik anggonen ugi, karana wong angabdi, kadulu ing tindak-tanduk, dèn bisaa suwita, mring kang angrèhken sirèki, lurah bekel miwah mring wadananira.

Haywa ing lahir kéwala, dèn terus tumkèng batin, yèn nora terusa ing tyas, mukir titahing Hyang Widhi, dèn kumandel ing Widhi, gusti iku pan satuhu, gustining wong ngakathah, kinarya badaling Widhi, kang amesthi adil paramartèg wadya.

Liring adil para marta, bener angapurèng dasih, anglèbèri pamengkunya, marma sagung wong andasih, satata dèn taberi, mèt tyasing kanca denatul, sedyakna apuranta, ingkang durung lan kang uwis, lamunana kaluputané mring sira.

Bésuk dadya sira potang, motangken panggawé becik, winales déra Hyang Suksma, lawan haywa sira amrih, pepelèsèdan angling, sring anyatur alanipun, kanca ingkang sunganan, sring towong pakaryanèki, haywa irèn ing karya anasabana.

Yèn kancanira amanggya, hiya dudukaning gusti, miluwah angungun sira, sakedhik dène mrihatin, ingkang mangkono uwis, karuwan ing takdiripun, balik kang durung hiya, durung karuwan sayekti, anganggowa ing tékad tepa selira.

Dadya ora ala sira, ing sama-samaning abdi, ya pan reksa-rumeksa, ing lahir tumekèng batin, kanca iku sayekti, pan wus prasasat sadulur, ingkang kaprenah tuwa, kurmatira dipun kadi, kurmat marang sanak wongtuwa priyangga.

Dhasar tuwa dhasar dadya, lurah wadananirèki, iku wenang sinembaha, wajibing sinembah kaki, ingkang dhingin narpati, kapindhoné bapa-biyung, kaping tri maratuwa, maratuwa jalu èstri, ping sakawan guru pan wajib sinembah.

Kaping lima kadang tuwa, déné ingkang pradipati, marmané wenang sinembah, déné wakiling narpati, sagunging para mantra, wenang nembah mring santanèng nata.

Para pandhita sinembah, saking guru dènnya ngirib, sadaya amawa pangkat, gogolanganing nagbekti, terus saking ing dalil, pangandikaning Hyang Agung, kabèh padha nembaha, hiya marang ing Hyang Widhi, lan menbaha marang utsaning Allah.

Lan menbaha sira padha, hiya mring kang anduwèni, paréntah saking ing sira, tegesé iku narpati, papatih pra dipati, yèku mired saking ratu, wakil nyekel paréntah, marma haywa shak ing galih, ing panembah terus saking dalil pisan.

Yèn wus amriyayi sira, nganggowa kawan prakawis, bubudèn haywa tinilar, kang dhingin budi priyayi, ping kalih budi santri, budi sudagar ping telu, budi tani kaping pat, liring kang budi priyayi, tata karma ungguh-ungguhing wicara.

Tan nganggo sawiyah-wiyah, busana sapantesnèki, kapara murah ing boga, prawira wéwéka titi, tanduk ngénaki ati, bisa mrih rèh sabayantur, nora wedi kélangan, amiguna ing berbudi, kabudayan ing tanduk paramacipta.

Budining santri winarna, kudu resik, kudu suci, ngakèhken karane Alloh, sukuran pratingkahnèki, mangkono bahé ya wis, mangkono bahé ya sukur, ngendhiken kalorèyan déné ta budining tani, temen wekwl abot ènthèng wus karyanya.

Irèn dahwèn nora watak, tan methingkrak tan methingkrik, mantep temen linabuhan, tingkah kang wus dèn lakoni, membat –mentul tan bangkit, kamandaka nora putus, déné budi sudagar, pétung sabarang pakarti, agemi tur nastiti, ngéman ing lampah.

Riningkes catur prakara, bubudèn dadi sawidji, tatanira aja tilar, hiya tataning priyayi, resikira dèn kadi, santri sukuran tyasipun, temenira dèn kadya, hiya temaning wong tani, pétungira dèn kadi pétung sudagar.

Ngétunga sabarang karya, hiya kang datanpa kasil, haywa tuna barang karya, yèn tuna sabarang kardi, tan welas sarirèki, kang mangkono yèn kabanjur, golongan nganiyaya, marang awake pribadi, ing mangkono ngresula akudhandhangan.

“”” PUPUH 11 “””
DHANDANGGULA

Barang karya dèn waspadèng nguwit, lan wewekas iku kang kinarya, anengahi prayogané, kadyanta sira dulu, ing sosotyo mawa retnadi, awit kapéngin sira, ing tyas kudu-kudu, tengahana ing prayoga, wekasané yèn tan kadugi ing regi, temah karya malarat.

Yèku haywa nuruti saking wit, haywa kongsi tumekèng wekasan, tulaken tan prayogoné, nadyan remen kalangkung, kang warna di tur rajapèni, pinrayogèng wekasan, kalamun ta durung, sampé samipaning karsa, kasangsara anggagawa wuwuh pinging, ginggangken pasuwitan.

Wiwit iku akathah kang becik, sabarang kang saking karsanira, saking hawa panarikké, nanging arang kang èmut, wekasané nora pinikir, ana kang wiwit ala, becik temahipun, wit becik atemah ala, awit nistha atemah dadi utami, utama dadi nistha.

Awit becik wekasan tan becik, karsa mirungga atilar ngadat, kang wus kalakon beciké, saking pangrasanipun, amuwuhi ing dat kang becik, kasor kaworan harda, kudu wuwuh-wuwuh, yèn harda binanjurena, wekasané tan wurung ala pinanggih, balasak dadi rusak.

Wiwit nistha awekasan becik, nguni jenengira Seh Malaya, saking ing ala puwané mèt karya-karyanipun, ing sawiji dina marengi, ingkang dèn ambil karya, nuju Jeng Sinuwun, ing Benang dadya waspada, yèn kang ngambil karya ing trah wong ngabecik, pinurih rahayuwa.

Anut kang pangandikanirèki, Sunan Bonang wau kang ambégal, dadya umanjing sabaté, miturut ing satuduh, nadyan silih temekèng pati, lami-lami dumadya, kangmèt karya wau, sawusira jinatènan, sarta banter tapané tan uwis-uwis, dumadi Auliya.

Anama Seh Malaya linuwih, ya Seh Malaya iku suhunan, ing Kalijaga wastané, marmanta dèna émut, yèn purwaning tingkah tan becik, tobaté ing Hyang Suksma, sarta tapanipun, dèn sru tapa matiraga, kaya ana pangapuraning Hyang Widhi, pan Allah sipat rahman.

Anuruti panuwaning dasih, asih marang manungsa kang tobat yèn dèrèng tutup lawangé, lawangé tobat iku, hiya lamun durung ngemasi, pan masih kena menga, tobaté umangsuk, kang satengah ana ngucap, pengucapé wong wis ala hiya uwis, aja tanggung alanya.

Begja kana kang anemu becik, begja kéné kang anemu harja, ingkang mangkono yektiné, pan wus kena dhinadhung, ing ngarahanira sang éblis, kaworan nepsu hawa, binawur linantur, mangah-mangah amrangangah, pangrasané isin mundura sanyari, ing sujanma utama.

Tan narima ing asor myang inggil, nora nana jenengé kawula, ingkang unggul salawasé, amesthi asor unggul, kalampahan jamaning ngurip, wit saking Nabi adam, unggulé tan banjur, nganggo asor ing tengahan, lajeng tobat analangsa siyang ratri, subatra matiraga.

Lami-lami anulya antuk sih, pangapuranira Hyang Wisésa, pan mangkono sabanjuré para nabi para ratu, para wali myang para mukmin, yèn maksih muring kathah, maksih badhog sekul, asor unggul kalampahan, awit luhur yèna tengah andhapnèki, yèn narima sru tobat.

Winangsulken marang luhur malih, kang setengah abanget ngresula, nguneg-uneg ing driyané yatalah Hyang Kang Agung, gawe titah kaya wakmami, banget temen binéda, lan kaé si anu, satengah anèng ratunya, kang setengah lulurah bekelirèki, setengah wongtuwanya.

Kang dèn uneg-uneg jroning ngati, malah ana satengah kawedal, muring-muring pangucapé, nora wruh awakipun, pribadi kang akarya nisthip, mring kang akarya harja, kurang tapanipun, lan kurang panedhanira, ring Hyang Suksma panedhèku kudu mawi, ngresiki badanira.

Resiké lan tobat ing Hyang Widhi, dapak-dapak ing mengko katrimah, hiya mau panedhané, yèn wus motangken wau, Ing Hayang Suksma déné ing lahir, yèn wus motangken karya, marang ing ratumu, myang ing lurah bekelira, ataberi nyakubaken barang kardi, karya agal lan lembat.

Yèn wus antuk nugrahaning widhi, kang amarga saking ratunira, awit saking sih mulané, ing kono dèna émut, dèn anganggo boboting sabin, pira pametunira, anganggoa pétung, gemèni nugrahaning Hyang, lan gemèning hya paparinging gusti, supaya mrih panjanga.

Ciptanen sangunira angabdi, kacagaka sabarang pakaryan, busana marasébané sumedyaa ing tuwuh, angurangi sajegé urip, haywa ngegunggken raga, kerep jibar-jibur, kamangkono dadya watak, angètèrken gonira lumakyèng kardi, kadadak adol ladak.

Yèn tinitah sira dadi mantri, mapan ana adat kalampahan, para mantri pakaryané basa mantra liripun, linuwih ing tigang prakawis, nistha madya utama, ya pangiwanipun, Janaloka, Ngendraloka, Gururloka tinggang nggon iku yèn mantra sayektiné waskitha.

Janaloka ya madya panèki, nggon manungsa ya ing Ngéndraloka, Bathara Endra kratoné, ing Guruloka iku, kadhatoné Sang Hyang Pramèsthi, ing tri iku uninga, tata kramanipun, pakaryané ing manungsa, siji-siji kang ala lawan kang becik, nistha lawan utama.

Wruh ing Ngèndraloka tegesnéki, wruh kataning panembah ing déwa, ing sawiji-wijiné, barang ing lakunipun, Ngéndraloka mantri udani, kaping tri Guruloka, mantri yekti weruh, sembah mring Hyang Girinata, salakuné sapratingkah pan udani, déné panengenira.

Lamun tinitah mantri bupati, pan bupati sipating naréndra, ing praja wus bubuhane, bener kalawan luput, nistha madya lawan utami, lamun ana prakara, kang tiba nisthéku, bupati mèh kawajiban, ngambengana suker gampanging nagari, punggawa kang angrembat.

Nora gampang wong dadya bupati, lahir batin ing boté katempah, asor ungguling prajané, haywa pijer katungkul, kawibawan kasukan tuwin, jaga-jaga ing yitna haywa énak turu, ingkang dhingin samektaa, acacadhang ing karsa sri narapati, ping kalih samektaa.

Jagayitna aliya negari, pikir lepas amrih karahajan, barang kang dadya sababé, ing wéwéka dèn putus, tatasena sandining wèsthi, yèn ana pasuwalan, ing rèh kag rinembug, haywa konsi tibèng nistha, yén wus rembug kenceng sabayantu pikir, énggal laksanakena.

Yèn arandhat ngendhé-ngendhé pikir, mbok kaselak méda manggih baya, nglentar kspiran ngethèthèr tumpa-tumpa katumpuk, kawaledan gunggunging pikir, jroning sumur upama, lawas tan tinawu, baleder waled mèh kebak, yèn dhinudhah rinesikan angel ugi, larahan wus akathah.

Ana eduk sujèn lawan beling, angel kangèlan yèn pinarusa, manawa kena ing sujèn, kathah drigamanipun, yèn tan lawan nugrahèng Widhi, kang ngeningken istiyar, mung kang ngayu-ayun, wahyu kang saking Hyang Suksma, angèn tuduhing kedhap kilat manawi, bisa nitih anumpang.

Nadyan silih bisaa anitih, ing prakara budhaling waledan, maksih kaworan panggawé, awit mirungga iku, nora kadya kalaning nguni, umpama beras wutah, saking wadhahipun, winangsulken kinukuban, arang ingkang mulih takeré ing nguni, ngungun angunandika.

Ènget kaènget tanduking nguni, paran marga muliha mangkana, saking paran pinangkané, yèn mangkono ing kalbu, antuk rengatira Hyang Widhi, kuranging pangarima, tindak wus kalantur samonèku pira-pira, pirang bara ubaya osiking ngati, atingkah kadaya kuna.

Kina ana kinènan samangkin, mangkin harja yèn leksanakena, lumaksana saanané, surasa sabayantu, pratiwa tan gèsèh pikir, pakarananing dadya, gingganging pangangkuh, saking datan habipraya, prayanira tan nelaya nguciwani, wenèh panjangkanira.

Mantep iku busananing ngèlmi, ing ngagesang apa kang sinedya, yèn tan sarta lan ngèlmuné, apa ta abubruwun, among amrih kamukèn adi, yèn namaning pratiwa, nistha tan mituhu, rèhing praja kang mulyèndah, béda lawan nangkoda kang sugih-sugih, tan milu ngrembag praja.

Karya kamuktèn sakapti-kapti, sapantesé ya ingkang winenang, tanana rinasakaké mung indhaking hartèku, padagangé dadining bathi, béda lan asuwita, dadya punggawa gung, yèn tan putus pamicara, kèh kapéngin dadya punggawèng narpati, pakéwuh tan rinasan.

Yèn tinitah ing mantri papatih, yèku warangkanira sang nata, sangsaya geng pakéwuhé, yèn tan saé kang kalbu, lawan ingkang dèn warangkani, dadya warangka datan, umanjing ing dhuwung, dhuwung tan manjing warangka, paran marga lamun gampanga pinurih, ngruruh rèh karaharjan.

Nadyan silih saéka akapti, mantri muka lan sang narèswara, yèn tan wicaksana mangrèh, sanggyaning pratiwanung lénté kanang mantri lit-alit, tanwun sira kataman, ing nistha salugut, legetaning janma kathah, kenthaha tyas sanityasa amatistis, panatasing tyas harda.

Hardaya mring pamicarèng nagri, nagaranjah wetuning pratingkah, ing kono pangadilané, bener kalawan luput, wus gumelar tataning negri, kang ngalaya ing ngadat tuwin ingkang nganut, laku ingkang kuna-kuna, lan samangkya pinèt saking ing prayogi, anggoning jaman mangkya.

Lamun mantri alit nora bangkit, angambila panganggé mangkana, mung papatih panganggoné sira ywa selang surup, ngendi ana mantri tan bangkit, anganggo kang mengkono, miwah pra tumenggung, sanadyan pratinggi désa, hiya bisa ing prayoga handar bèni, nanging tan dadi guna.

Nora dadi lajering kuthèki, ineb-inebing lawang saya trang, dèn konsi sipat beneré, dènya mrayogèng laku, yèn binubrah marang papatih, sayekti kenèng bubrah, patih kang amengku, barang paréntahing nata, wujud tunggal lan patih ya sri bupati, satru munggèng rimbangan.

Yèn wus manjing warangka ing keris, lan keris wus manjing ing warangka, dumadya doh sangsayané, prajaharja barukut, den warangka kandel nasabi, curiga datan mantra, mingis landhepipun, dènnya kandeling warana, yèn mengkono yèku papatih utami, atebih saking nistha.

Ing kukummah wilayan pan uwis, pinanci-panci ingkang bubuhan, papatih ngantuki bahé, nanging haywa katungkul, adombani rahina wengi, wangening pangkat-pangkat, ingangkat lan patuh kamituwa kapitayan, supayané haywa nalimpang ngawengi, mèngeti haywa lupa.

Tan sun panjang wasitaning patih, ngunu-uni pan sampun akathah, ing ngupama saanané, pakartining amengku, ing paréntah kang tibèng, sisip, ana kang tibèng, madya, ana utamèku, kang utama iku tanlyan, babkuné kang sampun kocap ing winhking, anggep pangawakingrat.

Pira-pira titahing Hyang Widhi, mring manungsa saking kodrating Hyang, kang mijil saking retune, saking sor dadi unggul saking luhur asor dumadi, yèku dadya ngibarat, panyatheting kalbu, kang lunjak-lunjak ngalanjak, ngajak-ajak temporat amalarati, tan étung kanthinira.

“”” PUPUH 12 “””
KINANTHI

Kaping sawelan winiwus, maskithaa dèn nastiti, ing sudaning kang darajat, gingsiring wahyunirèki, tanlyan saking kamélikan, anununtun maring lali.

Tan linawan rèh rahayu, kadyata sira amélik, pangané wong cilik ingkang, sathithik gawéné iklik, kang uwis wajib linakyan, si raksasa angelongi.

Tanpa karana pan among, nuruti hawaning ati, yèku nyudakken darajat, nora ta dumèh sathithik, wulu kalong binubudan, alembut datan katawis.

Anunuman hawa napsu, nanarik panggawé sisip, ngakèhken panggawé wenang, momori panggawé wajib, yèn atiwas wajibira, sudaning darajat pasthi.

Sagung pakarti kadulu, kang sumimpang saking wajib, ngakèhken mokal lan wenang, dhasar ya sasami-sami, tanwun sudaning darajat, yèn banget wahyuné gingsir.

Kadyata sirarsa tuku, barang karemenirèki, ing kuda miwah curiga, mas sosotya sinjang adi, myang sabarang rerèmèhan, ingkang arega sathithik.

Déwus sira nyang keladuk, ing panganyanira dadi, mandheg mangu karsanira, pan wurung sok-sokan picis, pangrasanirèku menang, sira wurungaken nuli.

Pan akèh sababing wurung, kaduwung saka ing regi, kang mankono iku dadya, darajatira ginempil, peksanira ngéman arta, panwus jamaking priyayi.

Yèn tuku rada keladuk, sawatara yèn wus janji, yèn wurunga karya esak, ing sama-samèng dumadi, émanen sudaning drajat, haywa kongsi gempil lirip.

Myang sira remen ing dhuwung, dapur becik tangguh becik, kepalangé mung wasiyat, éwuh dènira ngakali, saking sruning remenira, kang duwé kepalang ajrih.

Dadya sinungken kang dhuwung, karoban saking ing regi, kang mangkono pan pepeksan, yèn wasiyat nora becik, tan awèt sira anggowa, temah wahyunira gingsir.

Yèn wasiyat iku lamun, saking kang duwé pribadi, kang adol saking abetah, yèn dhemen tukunen ugi, salumrahé ing reregan, utama sira ngerobi.

Lan jaluken wuwusipun, lilakna wasiyatnèki, mangkono iku kang esah, tetepa ngnggonirèki, wasiyat iku pan wenang, yen kabutuh nora bukti.

Dèn edol supayanipun, tulak kamlaratanèki, kang setengah ana ngucap, lamun ingsun maksih urip, mangsa ingsun gadhèkena, hiya saking lambung mami.

Bener iku kang amuwus, lamun mantep anetepi, yèn ora mantep pan hiya, dadya brahala sayekti, keris ingkang dèn pangéran, pinindha wong tuwanèki.

Misih urip idhepipun, lire kang mangkono kaki, aboté wong nora nyandhang, lawan wong nora abukti, yèn tidha kurang ngelmunya, kena binedhung ing éblis.

Tyasé tinarik ing kupur, metu akalé tan becik, kelantur dadi durjana, wasiyat ginawé maling, kebak sunduké wong ika, konangan dènnya mamling.

Pinenthung guluné putung, gulinting mati babarji, wasiyaté wus dèn alap, mring kang menthung wau maling, tinitiran sawusira, mupakat binontot nuli.

Binuncal bontotan pandung, kadya adating nagari, tobat anaa kang gugat, yaiku wong tuna budi, rupak nalar nir istiyar, tugel bet wahyu malencing.

Wesi dipun anggep wahyu, yèn dèn dola iku nguni, dhuwit kinarya pawitan, pinangan teka sathithik, panulak ati makasiyat, yèn akathah punang regi.

Kinarya prabéyanipun, yèn dhemen lumakwèng kardi, pan kakékating wasiyat, hiya dudu tumbak keris, wuruk kang becik punika, wasiyat ingkang sejati.

Wasuyat lahir puniku, tan bisa becikken ati, puluh duwéa wasiyat, Pajajaran tangguhnèki, gaweyan Siyungwanara, yèn atine nora becik.

Sang éblis kang ambedhung, kadhungsangan pothar-pathir, hiya wahyuning wong ika, wasiyat tan anglabeti, ing kuna sang resi putra, wasiyaté angluwihi.

Paparing déwa agung, hiya panah Cundhamanik, pangrusaking kalamurka, Swatama kang andharbèni, ginawa mamaling marang, Pandhawa pakuwonèki.

Cendhaké bahé cinatur, déwa warna kang nuruni, pinundhut saking Swatama, pinaringken Pandhawèki, Swatama datan suwala, dinukan akelip-kelip.

Minta tobat tan tinutur, Sang Kresna tan anglilani, sirna wahyuné Swatama, tugel bet labté ngenthir, yèn penengen tinemaha, nguni Jeng Suhunan Giri.

Tan séba mring Majalangu, wong saGiri dèn ratoni, sang prabu ing Majalengka, anuduh gempur ingGiri, pira-pira kang prawira, gagaman geng kang dhatengi.

Praptèng Giri rèh gumuruh, dadya samya tur upaksi, maring sira Jeng Suhunan, ing Giri éca nunulis, kang tinulis surat Islam mengsah geng saya angrampit.

Garwa putra jrit gumuruh, saksana Jeng Sunan Giri, kalamira kang binuwang, dadya keris ngamuk nuli, Jeng Sunan éca alenggah, mung kalam ngamuk pribadi.

Pira-pira ingkang gempur, mati déning kalam keris, kang kari giris lumajar, mulih marang Majapahit, kalam munyeng wangsul nulya, ing ngarsa Jeng Sunan Giri.

Angandika Jeng Sinuhun, hèh kalam munyeng sirèki, salira teka ing kalam, balia mring kalam malih, ki kalam munyeng wus dadya, kalam penyeretan malih.

Yèku utama linuhung, wasiyat ati lunuwih, haywa ta aslah tampa, nanacad kang karya tamsil, waliyullah kang kinarya, sapa bisa anglakoni.

Kang mangkono wong amugut, medhot wikalpa ing tamsil, sanadyan sikep upama, wenang nganuting prawali, sapangkat-pangkaté uga, mangsa ta tiruwa wali.

Kéwala ngirib tiniru, ing tyas pakrti kang becik, oleha saparatusan, saparakenthening wali, kabèh wong ing tanah jawa, kang Islam nut para wali.

Luhung endi Kangjeng Rosul, wus sah paréntah Hyang Widhi, dadya panutan sajagad, kang manut ing Kangjeng Nabi, marma ran Nabi Panutan, wenang tinutbarang kardi.

Gedhé ndi lan Kangjeng Rosul, lawang ingkang para wali, ya marmèngsun kongsi panjang, anjejèrèng ing pangirib, sapa ta kang guguyuwa, dadya awakingsung iki.

Wong kumrisik tanpa bayu, pan ora mengkono ugi, watak wong anom ing mangkya, akèh pinter ramakawi, wong anom atiné sura, mbok kasusu mamaoni.

Durung linimbang ginilut, sokur yèn uwis mangerti, awak manira priyangga, kang sun karya tepanguni, duk nedheng maksih taruna, marajak sring mamaoni.

Pangrsaningsun linuhung, ana ta pujangga prapti, saking praja ngèksiganda, saben ari sun waoni, pinapasan ing aksara, myang basa paramakawi.

Akri-kari ingsun dulu, dudu pujangga sayekti, lire ta dudu pujangga, pawitan durung darbèni, maksih utang anyenyelang, murad ngawur ting saluwir.

Dadya banget ngong angungun, ing mengko wus tuwa mami, ladak ingsun duk taruna, yen banjura tanpa kardi, nanging sanadya ladaka, sathithik wus mratandani.

“”” PUPUH 13 “””
DHANDANGGULA

Amangsuli sekar gula milir, maksih pakarti kang dadya suda, ing darajat pangèthèré, haywa karya sirèku, ing wisma geng kang angluwihi, geng luhuré myang pélag, memet ting pamatug, luwih boboting wangenan, kang mangkono wus pasthi tan kena gingsir, kèthèré kang darajat.

Ing pangiwa panengené sami, awit Nabi Adam kongsi prapta,, ya ing jaman taun kiyé, Alip kang sirah pitu, tenggak papat tusan saptèki, geng alit tan abéda, tanah Ngarab dangu, para nata kang akarya, ing para di kang angirib suwarga di, tanana kang widada.

Jaman pangiwa samono malih, para ratu kang arosa-rosa, danawa myang manungsané, kang angirib swarga gung, pira-pira prapta kang samangkin, wong alit-alit kathah, jro prja myang dhusun, kang wus kacihna katandha, myang wong agung liyaning para narpati, wus kanas ngèlmu ngadat.

Apa japané yen nora keni, kang mangkono kèthèring darajat, ulun wani totohané, pedhoting jangganingsun, sakarepé dènnya bayari, yèn maksih langit dunnya, lan bumi dunnyèku, surya candra myang kartika, kang mangkono wus pasthi retuning pasthi, tan kena gumingsira.

Tobat ingsun ing Hyang Maha Luwih, déné ulun lonyo ing pangucap, wani akarya pepesthèn, saking kakuning kalbu, amumulang tan winigati, pribadi maring suta, wong saputu-putu, saking berkahing Hyang Suksma, ngalap saking ngelmu ngadat nguni-uni, kiniyas dadya kena.

Kang sawenèh ana ingkang angling, becik ambeciki popomahan, kang angluwihi bagusé, ingkang supaya antuk, ing pangalem kalih prakawis, dhingin pangalemira, sagung wong kang dulu, becik resik ngresepi tyas, kaping kalih pakolih aleming gusti, ngatokken brekat nata.

Kang mangkono ya bener dènnya ngling, nanging dipun nganggo sawatara, aja ngluwihi ing katté, déné pangalem iku, mau ingkang kalih prakawis, tan pakolihing badan, lahir batinipun, muhung alem bébéngkrakan, déné ngalem kang pakolih lahir batin, kang rumiyin dèn ucap.

Ya kang saking ing gustinirèki, lamun kabeneran karyanira, ing gusti dadi alemé, iku alem satuhu, anrus lahir tumekèng batin, nyegeri badanira, sanadayan sirèku, duwé wisma byur paradan, lamun karyanira kèthèr miwah sisip, tanwun amanggih duka.

Déné alem metu ingkang saking, wong ngkathah alem bébéngkrakan, yèn kawetu ganjel ambèn, mangka kang ngalem iku, amertamu maring sirèki, sira tan anyugata, ing saananipun, ngelokro alemé ilang, hiya dènnya mulih pan kongsi angelih, déné alem kang nyata.

Nadyan wismanira tan linuwih, among sedheng-sedheng sawatara, mangka kacanta pamané, kang padha amertamu, yèn amulih arang kang ngelih, iku alem utama, manpangat satuhu, wisma mapan nora kena, ginawa mring paséban séba ing gusti, myang kinarya ampilan.

Kathah lamun winarna ing tulis, ing pratingkah sudaning darajat, miwah ing wahyu gingsiré, ing sami-saminipun, mamèt misil kang wus winarni, ing rèh katibèng nistha, yen uga linantur, pinalangan nora kena, kudu berot yaiku pratandha dadi, gingsiré wahyunira.

Lawan hiya sabarang pakarti, amidosa nganiaya ing lyan, dupèh tan kacihnèng ngakèh, mung sanak tuwa kang wruh, pinalangan sru datan keni, yaiku tandha besat, gingsiré kang wahyu, pan wahyu iku nyawanya, lewih resik yèn katon pan luwih bening, mancorong kadya wulan.

Wahyu ulit lir lintang awening, yèn dèn ajak panggawé tan harja, suker agedhé nepsuné, tinon abingus-bingus, yekti minggat lumayu ngenthir, mangsa kuranga unggwan, ing paméncokipun ngupaya kang bening ing tyas, wicaksana tyas raharja sadu budi, iku bisa rumaksa.

Rumeksané ing wahyu sejati, dahat éwuh gampang yèn linakyan panyegahé, karsa awas lan émut, sanalika tan kena lali, risang amurweng tingkah, suméndhé sumaguh, agagah nora agahan, legawèng tyas sanityasa anastiti, mahambek harjaningrat.

Sarat sarwi rinaketan ing sih, dèna esah lan agamanira, angagema praknyana rèh, sumarah ing Hyang Agung, ngegungena pudya semèdi, sumedya apranawa, pranawa liripun, amadhangken ing tyasira, anyudaa dhahar néndra iku kaki, pandhangiring darajat.

Winantu ing panarimèng ngati, rinesikan ing sastra jawa Rab, bisa basa basukiné, wruh lelèjeming kukum, campuré lan yudanagari, yen wus resik mangkana, siramen ing kalbu, ati mandhep tan kumedhap, akèh kedhap tan dhinadhap mung ngadhepi, idhepé saking tedah.

Tedahing guru ingkang kaliling, lanlangana ing tyas palamarta, amartani pamintané, janma kang mindha punggung, asung boga ing pekir miskin, kenanen ing wacana, ywa ngrasani wuwus, wawasen tekèng wacana, sasananing utama tinaki-taki, takeren atinira.

Dèn abisa rumeksa mageri, maring wahyu liré dèn abisa, among tyasira ugeré, karsa bakuh akukuh, haywa kenèng ginonjing éblis, amring leson sungkanan, iku umurung maring laku kebecikan, laku becik dumdumaning wahyu jali, tuduh sihing Hyang Suksma.

Akèh lali lelakoning dadi, saking tidha dhinendhèng Hyang Suksma, samun sirna panemené, ing pakarti rahayu, kayungyuné pakarti juti, juwet abawur sila, selaman salumun, sulaya anyela-nyela, lalawora angawur awira-wiri warananira sirna.

Dhinedhering sarana mawarni, winursitèng manis minanisan, ing manungsa kang anènès, lejeming tyas pan ayun, ngina-ina mrih angenani, mrih ange-angenira, ngéram-éram arum, lir pangungruming ngasmara, sumarmane mari-mari yèn wus keni, kinenan kalatadha.

Yèn tan kena kenananing kéring, mring pangiwa kang ngawohken harja, yèn wus awas pamawasé, tan was-was ing panuwus, waskitha ring riwuning ngati, watara anamara, amoring pandulu, dadalané nora samar, ing sarana yèn mangkono anartibi, papagering nugraha.

Nahan kaping rolas kan winarni, nyatakaken obah osking ngrat, nalika masa kalané, ing Kalisingarèku, myang ming Kaliyoga ayun wrin, lamun anuju jaman, Kalisengarèku, kèh dalajat katingalan, keh pawarta dora mosik ting kalesik, seg tan kena tinulak.

Gara-gara rèh kagiri-giri, mega pratala mangambak-ambak, anggraning kang arga gègrèg, warna-warna kadulu, cihna retu ingkang nagari, ing kono den prayitna, den rumangsa ngaub, ing prajaning ratunira, turta sira winisudha sinung bukti, paran tan prihatina.

Nenedhaa mring Hyang Maha Suci, dèn banter cegah dhahar néndra, wurunga ing dudkané, yèn kena datan wurung, mung abera teka sathithik, dudukaning Pangéran, Kang Amaha Luhur, karana wajib sadaya, wong jro praja gedhé silik jalu èstri, padha andodongaa.

Sidhekaha tutulaking nagri, ing sakajat kawruhta priyangga, yèn tan ana barikané, parentahing Sang Ulun, lamun ana peréntah nuli, dikebat lakonana, sarta dèn asengkud, matuta panedhanira, kang satengahing janma ana kang angling, angekèhaken tingkah.

Mundhak susah agrurusak pikr, nadyan gègèr-gègèré wong kathah, reja-rejané wong ngakèh, tur kang mangkono muwus, sesembranan tan praptèng ngati, nenging yèn kabanjura, kang mangkono wuwus, naempuh rusaking praja, peperangan gègèr lir gabah tininting, dhèwèké pan kaponthal.

Kalèwèran bakakrakan ngili, pothar-pathir nginthar kuthèthèran, dharedhet entèk tobaté, tan angrasa wong iku, ngambah prajanira narpati, ngaub salaminira, upama wisma gung, ingauban wong akathah, payon rusak bocor apa énak-ènik, tan mèlu amayuwa.

Ing sakuwasanta ageng-alit rumaganga mrih jejeging praja, supaya ing waluyané, wong kathah kang angaub, dadya olih martabat becik, kalumrahaning janma, mau kang lungayu, dadya martabat babasat, sukur gègèr lumayu bari angutil, tanwruh lamun kaponthal.

Haywa ana kang salah mangerti, yèku ambeking janma kang rucah, nora kalebu cacahé, tanpa gawé winuwus, nora kena mangkono kaki, geng ngalit dadya tepa, ing lepiyanipun, ing setya lawan ngucira, sasaraning kang carita kurang titi, lapak wong kurang warah.

Waranané sebit rontang-ranting, ratas anaratas marang ing tyas, sarira pan wus ukuré, saking tambuh pitambuh, mung kahardan kang dèn ideri, andeder tanwruh kadar, kadar lingsem ambyuk, ing jujurang sirna gempang, anggagampang nganggo karepé pribadi, kang tan patut tan sastra.

Lamun ana obah liya nagri, iku kaki sira diprayitna, kuna ana lepiyané, ing Jakarta prajagung, purwaning prang kalawan sinis, lawas-lawas mangétan, banjuré dahuru, bedhah prajèng Kartasura, banjur sadayané praja pothar-pathir, wit tan rampeking karsa.

Wong ngagungé ana nalayani, wong cilike mawur asarsaran, pating salebar tan sarèh, pan uwis adatipun, wadya Jawa lire ram dami, kalawan tambak merang, katempuh ing banyu, banter gedhé alorodan, dhadhal larut tan ana tolih ing gusti, kadya sasapu wudhar.

Panjang lamun winarna ing tulis, nguni-uni akathah kang obah, saking ing liyan prajané, tumular analetuh, padha dipun prayitnèng wèsthi, dèn waskithèng pinangka, paran purwanipun, kang dadya obahing liyan, supaya ywa analetuh nunulari, den lembut nalarira.

Nalar kasep iku tan pakolih, yèn pakolih kaworan luamah, bawah pedhang golongané, sanadyan pedhang iku, lamun kasap kéwala gelis, punggel pucuking pedhang, yèn winoran lembut, awuled pucuking pedhang, lamun lembut kéwala ponang prajurit, mélot pedhang kang tedhas.

Bédané lan bawah kasap kaki, yèn anganggo kasap kaputungan, temah pepering kalamé, wus kathah kang kadulu, ing palupi lepiyanèki, duk sang narendra kresna, nuduh Bima sunu, panunduhé kurang lembut, wong wus campuh ing yuda akèh papati, anganggo kalamangsa.

Kurang lembuté Sangt Bima siwi, dadya kaputungan analangsa, mung sajugèku luputé, wus jamaké prang pupuh, asor unggul kalakon sami, sapissan maring kasap, Sri Kresna kaluputannya, duk patining Resi Druna den wékani, paékan kamandaka.

Ing wuriné Swatama malesi, adhustha mring pakuwon Pandhawa, olih titiga patiné, lah iku dèna émut, lepiyan kang ing nguni-uni, haywa sok amacaa, seru melang-melung, ing sastra Jawa myang Ngarab, rasakena ing logaté dipun prapti, muradé dèn tétéla.

Ana obah-osik tunggal nagri, nguni nagara ing Ngaksiganda, duk nedheng jaman kartané, obah-osik sakuthu, lajeng dadya pecahing nagri, katula kataletah, wong cilice sumyur, kang dadya wayang andadra, angengkoki tan wruh kamulaning cilik, Trunajaya cilaka.

Ing wong cilik haywa anyelaki, lamun ana obah-osiking ngrat, myang dèn awas lan sarèhné, nedhaa mring Hyang Agung, mrih wurunga ywa kongsi dadi, kadya ingkang wus ngucap, panedha ing ngayun, ing temahé yèn linakyan, dahuruné wong cilik ingkang nglakoni, lakon Kalisangara.

Wong agungé hiya padha kontit, nanging lamun jaman Kaliyoga, wong agung olèh kamuktèn, pan uwis lakunipun, ing ngadating nagari Jawi, marma ingkang tinitih, wong cilik dèn weruh, haywa kongsi kalarahan, dèn amantep anut osiking nagari, haywa angraras driya.

“”” PUPUH 14 “””
M I J I L

Lamun ana osik ting kalesik, saking sawiyanh wong, lire saking sawiyah uwongé, wong cilik tan jaman makam nenggih, sarta kincih-kincih, angaku yèn weruh.

Nalika reg-oreganing nagri, mengkoné mengkono, akèh-akèh rékaning wartané, rungokena nanging ywa ginati, iku warta saking, bangsat mrih dahuru.

Anging haywa angendhak sira angling, ing wong kang mangkono, prayoganen lawan watarané, sasaurira bayaran angling, ing rèh dèn kaliling, haywa selang sambut.

Mung haywa sak ingkang angsung warti, sira dèn waspaos, ing wong-wongan apa panengrané, hiya ingkang wus kocap rumiyin, pancawalèng janmi, dora lan satuhu.

Jaman mangkya akathah kalesik, sok dora angrandon, pira warta tan ana jebulé, nadyan wus mijil saking priyayi, prandéné tan dadi, lire nora jebul.

Lagya anitah mungguh Hyang Widhi, ing pawarta goroh, sétan nginjen-injen pakaryané, akrya pawitan dèn wuwuhi, den anggit pinurih, dadiya dahuru.

Yèn dahuru wong ala pakolih, akrya pirantos, ambabangus wigena tan sarèh, ngadhu-adhul dènira mrih olih, ngadhadha kinardi, pawitaning dhadhu.

Dhadhakané mindha mindhik-mindhik, medhak-medhak dhodhok, yèn wus antuk salah panyiptané, tan panyipta pakéwuh pakéring, dosa dènsasabi, nuru kang sinuru.

Nadyan sinurang-surung ing wuri, anerang wirangrong, nora rangu-rangu panggawéné, wus anékad dèn tékadi dadi, arahaning éblis, ambles ambalusuk.

Yen wus mangkono ananing janmi, dahat sru pakéwoh, gone marékakè pratingkahé, atiné wus kabuntel ing gajih, tan kamlamar isih, pinurih sareju.

Aja juwet alawan angling, lan janma mangkono, ngiris-iris angaras gegèrèd, haywa pangling ing panglimputing ngling, haywa ta kalilin, alingana alun.

Samunen ing nétya ywa katawis, mawas dèn waspaos, pahékang wus panalun-aluné, nora élan yèn sira kalilin, tan ana nglangi, lumelanèng kayun.

Yuwanané kahanan ngenani, ing pétung katongton, tinenana titika dèn ngntèk, osiking ngrat angraketi dadi, ilapat sayekti, kadyata ing dangu.

Samya rare alit ingkang angling, dodolan ngacemong, wuwus iku hya satemené, pinèting kira-kira pan saking, wongtuwa kang angling, rare kang snurut.

Lawas-lawas kalakon sayekti, wuwus kang mangkono, yèku kalebu obah-osiké, ing buwana wus amratandhani, yèn awas lan éling, barang rèh kadulu.

Kedhap sasmita kang dèn ulati, satata nrusingdon, yèn tumekèng wekas pan tingalé, wangsulena tingalira nguni, pènget duking nguwit, tinimbang lan tanduk.

Tanduk dadak sira sandikani, ing rèh wus waspaos, kèh karaos nguni sasmitané, titnen wus amangsakalani, dèn angati-ati, tatanireng laku.

Mapan ana titirah-tirah ning, ngantara rinaos, ing cihna kang yumana dadiné, nora weca haywa wancak ati, dèn samun samining, sila-susilayu.

Sayogyané awisma nagari, ngabdi ing sang katong, katongtona ingrate saosiké, yèn wus dadi pandumirèng budi, sawiyah ing ngati, kadya kang ing ngayun.

Ngayun-ayun asihing Hyan Widhi, pamurung rèh kéron, ana sedya haywa tumekané, ana teka haywa ana kapti, kodrating Hyang Widhi, kang akarya wurung.

Ing rèh Kalingasara tan dadi, karsaning Hyang Manon, jaman Kaliyoga liliruné, asukura sèwu sukur kaki, sinetya-setyaning, tingkah haywa surud.

Saradaning jagad kèh kaèksi, tan kasatmatèngwong, ya wong ingkang tan nalurèkaké, nalirahing nalar datan apti, senenganipun urip, ngarep-arep laku.

Lalakoné kang ala sinarik, yèn harja rinojong, pan mengkono laku kalumrahé, moh ing ngala akarep mring becik, madya lakunèki durung utameku.

Abot lakuning janma utami, angel yèn ginayoh, para pandhita wali lakuné, tyasira wus pindha jalanindhi, tan akagyat osik, ing jagad kadulu.

Daluraning tyas nagkeni kapti, syuh brangta Hyang Manon, raga pinrih sirna, winoraké, lan raganira Hyang Maha Sukci, wus tanpa sak-serik, doh saking sakuthu.

Wus akutha wesi purasani, basané tekèng ros, rasikaring raras kang asarèh, sosorah sumarah ing sakalir, saliring ngulami, kang kataman tuwuh.

Tuwuh haywa tan atuwas kaki, pamawasirèng don, dèn prayitna ingering panggawé, sopanané sumepa sinami, sinamar-samaring, sarananing wuwus.

Haywata was-uwas yèn wus angling, lilingen ing raos, raosena sasana senengé, sanalika ywa kongsi kasilip, pilih kaselaning, polah kyèh tan arus.

Ngaras-aras sasaran widik, tan dina dèn adon, ywa adan yèn wus tan kana-kené, dumunguning sopana kang radin, rinadining kapti, ywa mingering kayun.

Kayungyuna pangayun-ayuning, yuwana pangayom, angayemi tyas mudha-mudhané, pindha pandhita sung wasita di, ring siswa saèsthi, isthané ambangun.

Bangun mabanguna ring tyas titis, tatané wawangson, wasanané hening pamanguné, ninditaning tata nityasani, sasananing ngening, sumengka sumengku.

Sumengkaning dirya tan driyani, sasiki saenggon, unggyaning kang ngerah rejuning rèh, marawarsa ya mamarta adi, ingkang sidi-sidi, weweraning kalbu.

Kalabaning loba kang ngalabi, labaning kalangon, ngalang-alang ala langenané, ing liana ywa ngangen-angeni, ngungun moneng maring, riringa rèh arum.

Arum-arum pangruruming ragi, ragan-ragan angron, ngraraketi rikat pangruketé, yèn wus kagem agemen kang gemi, gumun nibèng sari, sarira sarimur.

Haywa wahya wiyar angaweri, warana tan andon, anungnungku nukar karanané, nanakera karaning olih, ngulah angalulu, lukita kaluluh.

Tan apanjang wasitanira nis rinugut pan anggop, panggagating gita wasanané, Surakarta wedharing palupi, serat sun arani, pan Sasana Sunu.

 

Terjemahan Teks Serat Sana Sunu

DHANDHANGGULA 

1. Dengan disertai doa agar dijauhkan dari bahaya dan disucikan oleh Sang Mahakuasa, hendaknya berhasil baik dalam menyusun rangkaian nasehat atau petuah ini, supaya dapat dijadikan pelajaran bagi anak cucu di kemudian hari. Pembuatan buku ini ditandai dengan sangkalan tahun, Sapta Catur Swareng Janmi atau tahun 1747 Jawa (tahun 1819 M). Penggubah memaksa diri untuk memberi nasehat kepada anak-anak yang telah berumur supaya mereka selamat dari segalanya. Sang Pujangga berusaha berbuat demikian karena bermaksud, agar petuahnya dapat menjadi teladan bagi kita yang hidup ini. Bukankah kita selalu berharap, agar hidup kita selamat. Maka kita diminta supaya dapat menerima petunjuk yang berupa nasehat-nasehat ini. Adapun nasehat-nasehat tersebut dibuat dengan didasari kesabaran dan kejujuran, agar dapat menimbulkan gairah serta ketekunan. Lama-kelamaan hasil itu dapat menjadi neraca dan dapat mengikatnya seperti tali. Penggubah atau penulis petuah ini, tiada lain ialah Kyai Yasadipura, dengan diiringi ucapan wahai seluruh anak cucu kami laksanakanlah hal-hal seperti terurai di bawah ini. Bagaimanakah seharusnya tindakan orang hidup itu, maka untuk dapat dikenang, nasehat-nasehat tersebut dibagi dalam 12 macam : 

2. Pertama : Mengingatkan kita bahwa kita ini adalah umat. 

Kedua : Kita harus ingat bahwa kita telah mendapatkan sandang dan pangan. 

Ketiga : Kita wajib berusaha, terutama sandang dan rejeki yang harus keluar dari jerih payah sendiri. 

Keempat : Atas perintah Tuhan kita diseyogyakan masuk Islam mengikuti jejak Nabi Muhammad. 

Kelima : Pakaian dan kegemaran. 

Keenam : Menyangkut cara bergaul dengan sesama umat. 

Ketujuh : Bagaimana jika makan di rumah, tidur, berjalan dan berpakaian, jika pergi dari rumah. 

Kedelapan : Mengenai penyambutan tamu. 

Kesembilan : Bagaimana orang bertutur kata dan mengeluarkan pendapat. 

Kesepuluh : Besar kecilnya martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. 

Kesebelas : Sebab-musabab adanya makhluk Tuhan, turunnya derajat, dan berubahnya wahyu. 

Keduabelas : Perubahan dunia. 

Untuk jelasnya, tiap-tiap macam atau bab itu diterangkan satu demi satu. 

I. Pertama 

Diingatkan bahwa kita dijadikan oleh Tuhan dari semula tidak ada, kemudian dijadikan manusia berasal dari sinar Kangjeng Nabi Muhammad. Untunglah 

3. bahwa kita ini tak dijadikan oleh Allah menjadi hewan. Oleh sebab itu kita wajib mengucap syukur, kepada Yang Mahakuasa, dan harus selalu menjaga hidup kita. Hati bulat pasrah terhadap Nya, dan tak boleh mendendam sebab bila ada kehendak Tuhan sewaktu-waktu mengambil nyawa kita, kita tentu akan menghadapnya. 

Memang hidup manusia ini mengenai usia panjang pendeknya tak dapat ditentukan. Oleh karena itu janganlah mengira bahwa kita ini akan hidup lama, dan pula jangan mengira bahwa kita hidup hanya sebentar saja. Ini bukan urusan kita, tentang usia panjang dan pendek itu memang sudah takdir. Hanya kita diminta memikirkan tentang mati dalam hidup. Artinya mematikan hawa nafsu. Karena kita ini dijadikan oleh Tuhan, maka tak usah khawatir. Kita diberi kemampuan, oleh sebab itu asal dengan keinginan yang betul-betul, maka kita pasti dapat melaksanakannya. 

II. Kedua 

Manusia (kita) dilahirkan di dunia dengan diberi sandang dan pangan harus diingat bahwa sandang lebih dahulu (tua) daripada pangan. Seperti halnya manusia yang lahir dari rahim ibu, masih bayi bukannya terus disuapi, melainkan disiapkan lebih dahulu lampin-lampinnya. Itulah sandang, pangan, kekayaan dan rejeki, semua tadi adalah pemberian 
Tuhan. 

Disini dapat diibaratkan bahwa kekayaan adalah sebagai istri tua, sedang rejeki sebagai istri muda, dan kita harus dapat mengasuh keduanya. Kekayaan atau keduniawian yang diumpamakan sebagai istri tua tadi, akan ikut serta selama kita hidup sampai mati. Sedangkan rejeki yang seakan-akan menjadi istri muda akan menjadi kekuatan hidup kita. Manusia harus dapat mengasuhnya, dan jangan sampai keduanya itu patah hati. 

4. Apabila kedua pemberian tadi pergi (lepas), maka hilangnya akan cepat sekali, bagaikan kilat menyambar saja, dan kita tak mungkin dapat mengejarnya. Badan kita akan terseret, rusak, dan akhirnya menjadi hina. Selanjutnya manusia akan selalu ragu-ragu dan gelisah, selalu salah pengertian. Apa saja yang diinginkannyaluput, menggapai-gapai tak sampai. Itulah akibat tak tahan ditinggalkan oleh kedua istri tersebut. Sehingga menyebabkan hilangnya rasa kemanusiaan, suka mengambil istri orang lain, tak ubahnya seperti binatang yang berada di hutan saja. 

Apa yang dikerjakan kemudian; tiada lain menjambret, menggunting, mencuri. Padahal kalau itu diketahui, umur kitalah yang menjadi ganti. Jasad kita akan tersia-sia terkapar seperti hewan. Oleh sebab itu, penulis mengingatkan kita, supaya melaksanakan cara mengasuh pemberian tersebut dengan baik, yaitu secara mengasihi keduanya. Tetapi harus diingat, bahwa kedua istri itu jangan sampai pergi, karena terlalu kita kasihi. Orang tak boleh selalu berkasih mesra, memanjakan kekasih, mengabulkan semua kehendaknya, sehingga lupa kepada yang memberi (Tuhan). Tindakan yang demikian, yang mengutamakan kemewahan dan seolah-olah itulah yang disembah, dapat menyebabkan kelemahan diri, dan orang akan menemui sial. Dia tak dapat berjalan karena kegemukan, serta kekenyangan, sehingga apabila berjalan akan terjungkal menggelundung masuk ke dalam jurang. Disana terbentur batu, hancur, dan celakalah dia tak berharga sama sekali. Badan sengsara tak ada yang memperhatikan. 

5. Oleh karena itu kita tidak boleh berbuat demikian, sedang-sedang sajalah. Rejeki dan kekayaan itu jangan terlalu kita cintai. 

III. Ketiga 

Allah memerintahkan supaya manusia mencari sandang pangan dari hasil jerih payah sendiri. Di dunia ini banyak sekali pekerjaan untuk mencukupi sandang pangan. Sedang yang terbaik, sekali lagi adalah hasil yang keluar dari cucuran peluh sendiri. 

Mengenai orang mencari nafkah mempunyai batas-batas tersendiri, yaitu orang laki-laki memikul kayu, dan yang perempuan menggendong tenggok (bakul). 

Demikianlah ibarat jika badan sedang sial, maka laki-perempuan masing-masing menggendong dan memikul. Lain halnya, bila baru diistimewakan oleh Tuhan, maka mencari sandang pangan pun sangat mudah. Tetapi andaikata mudah, orang harus waspada. Sebab uang yang tidak halah, biar banyak, tetapi belum sah jangan mau, dan jangan diambil. Lebih baik uang itu sedikit, tetapi diperoleh dari penghasilan sendiri, artinya pendapatan yang sah menurut hukum. 

Penulis berpesan, bila orang mencari nafkah, janganlah dengan cara meminjamkan uang dengan berbunnga. Sebab biarpun itu cepat kaya tetapi cara tadi tidak layak dilakukan. Hal itu dapat menyebabkan sengsara, karena cara tersebut bukan peninggalan nenek moyang. Dikatakan disini, bahwa pekerjaan yang baik itu bersawah, bertanam padi, pokoknya menjadi petani. Bersawah memang rangkaian pekerjaannya, banyak yang perlu dilaksanakan dengan rajin dan tekun. Ya, memang berat orang mencari penghasilan itu. 

6. Orang mencari nafkah tidak boleh dianggap ringan, sebab manusia itu berakal. Jika tak berhasil dengan cara begini atau begitu, coba dengan cara lain sehingga berhasil. Lain halnya dengan hewan yang tak berakal, mencari makan hanya dengan mulutnya saja. Dating di tempat, terus makan daun ataupun rumput. 

Sesudah berhasil, orang harus menerimanya dengan besar hati dan mengucap syukur kepada Tuhan. Biar hasil itu hanya sedikit tetapi itu adalah pemberian Allah. Masih untung diberi, daripada tidak. Seperti halnya mereka yang tak dapat mencari rejeki, yang penghasilannya hanya dari meminta-minta saja. Itu sebenarnya diberi, tetapi rahmat Tuhan yang baik itu putus tidak diteruskan. Hasilnya sudah diambil, tentu saja terhalang tak dapat diperoleh, hal ini karena anugerah Allah telah dilepaskannya. 

Akal orang tersebut sudah keruh, sebab ketika masih anak-anak memang kurang ajar. Setelah tua terikat iblis, dengan demikian ia tak mampu berbuat apapun. Andaikata dia itu mau berbuat sesuatu, jika memang tidak dapat bersawah, ya menjadi tukang pandai besi, ataupun membuat barang-barang dari tembaga, dan lain-lain. Sebenarnya kalau dia belum dapat seharusnya belajar lebih dahulu. Pekerjaan bagi manusia itu banyak, baik yang ringan maupun berat. Misalnya mengabdi, ya harus mau mendekat, rajin mengawal serta berhati jujur. Manusia diingatkan, bahwa mereka harus sadar bahwa orang itu mudah sekali sial. 

Tidak boleh membanggakan, bahwa bapak ibu 

7. masih hidup, masih ditunggui, dan cukup mengabdi majikan dengan baik. Bila demikian keinginan manusia, budinya akan sempit, kosong, tak berilmu, karena hanya membanggakan bahwa masih muda. 

SINOM 

IV. Keempat 

Hal yang keempat menyangkut : bahwa karena titah Tuhanlah maka orang harus masuk Islam, mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w. Tidak boleh meninggalkan sarengat maupun perintah Nabi baik yang tergolong sunah, wajib, wenang, dan mokal. Harus berusaha dapat melakukan mana yang batal, haram, halal, musabiyah, dan jangan lupa akan kelima rukun Islam itu. Jika tak dapat menunaikan rukun Islam yang kelima, berarti tak dapat ke Baitullah (kabah) naik haji, maka keempat rukun Islam yang lain itu sajalah jangan sampai diabaikan. 

Sarengat merupakan tindakan badaniah, tarekat tindakan batiniah, sedang hakekat adalah ulah nyawa dan makripat ulah rasa, semua tadi harus diketahui cara-cara melakukannya. Sarengat tak boleh ditinggalkan, karena dapat menyebabkan dirinya lemah. Tentu saja tidak akan mungkin menyamai sarengat Nabi, itu dilarang dan juga tak akan mampu. Kecuali kalau orang itu memang dikehendaki Allah menjadi mukmin sejati, atau orang yang benar-benar percaya pada Allah. Orang harus beragama, tidak boleh menyembah berhala. Lagi pula tak boleh kafir, dan tidak boleh melanggar peraturan agama. Karena dasar manusia itu memang lemah, ya paling tidak tentu berbuat maksiat atau tindakan yang berdosa. Kalau hanya berbuat maksiat saja, mungkin penyesalan yang dilakukan siang malam atas dosa-dosanya yang telah dilakukannya akan diampuni Tuhan. 

8. Tetapi jika orang kafir, menyembah berhala, sukarlah mendapatkan ampun. Padahal kalau penyesalan atas dosanya itu tak diterima Tuhan, maka bencanalah yang akan ditemuinya. 

Sarengat merupakan wadah sopan santun, sekali lagi tak boleh ditinggalkan. Orang meninggalkan sopan-santun, tidak mustahil menjadi tempat setan, tempat dosa yang besar. Kangjeng Rasul akan marah kepada orang itu. 

Kemurkaan Rasullollah berarti pula kemurkaan Tuhan ; ya allah ya Rasullollah. Sebab itu orang harus ingat dan percaya aka nisi kitab, dan siapa yang tak dapat melakukan hal itu, jangan mencela dan menegurnya. 

Memang ada sementara orang yang menertawakan orang bersembahyang. Dia itu kerasukan setan, justru dia sendiri tidak menjalankannya. Ada juga yang menjalankan sembahyang, tetapi suku berolok-olok, menertawai orang lain. Ini seperti halnya orang minum arak (minuman keras), yang berolok-olok sambil mengatakan bahwa minum arak itu tidak haram, melainkan halal. 

Orang yang menyatakan demikian tadi berbuat dosa dua kali. Pertama menghalalkan minumam keras, kedua ia sendiri justru minum arak yang merupakan minumam larangan. Sebab itulah orang harus berhati-hati, tidak seenaknya berbicara dan melanggar larangan-larangan. Barang terlarang tak boleh dilakukan, pertama haram, kedua tidak berguna. 

Hal yang tak penting hanya dibuat porak poranda, sesuka hati, yang sebenarnya tidak seimbang 

9. dengan dosanya. Sudah jelas bahwa orang minum arak itu pasti mabuk. Jika mabuknya tidak baik, maka badan menjadi rusak, hati bergejolak seperti akan menelan bumi, sopan-santun dan kehati-hatiannya sudah hilang. 

Jika mabuknya orang itu baik, maka badannya hanya lemas saja tak berdaya. Kekhusukannya terhadap Tuhan berkurang, hatinya menjadi bingung, lupa bagaimana cara mencari tindakan yang betul. Orang yang lupa kepada Tuhan berarti menghilangkan perbuatan baik, dia akan rugi tak mendapat untung, tidak kasihan serta mempersakit diri sendiri. 

Dituturkan bahawa mabuk itu ada lima macam : 

Pertama, mabuk pada minuman keras. Telah diuraikan di depan bahwa akibatnya tidak baik. 

Kedua, mabuknya orang muda dan lagi berwajah tampan, bahkan dalam berpakaian pun tidak kekurangan. Pada perasaannya tak ada orang lain yang tampan selain dirinya. Hanya dia sendirilah yang rupawan. Itulah dia orang yang mabuk, yang selalu memperhatikan diri sendiri saja. Sebenarnya yang disebut bagus itu ada dua hal : (1) Kebagusan wajah ; (2) Kebagusan hati. Walaupun wajahnya tampan tetapi berhati jahat, tentu menjadi orang jahat pula. Semua tindakannya rusuh, hatinya penuh angkara murka. Itulah mabuknya orang muda, apa yang dikerjakan serba kuat dan tanpa perhitungan. Sungguh semua hal 

10. tadi jelas terhalang. 

Ketiga, ialah mabuk akan kemewahan. Artinya senang akan mewah yang berlebih-lebihan.siang malam ingin menikmati kemewahan itu, makan enak, tidur enak. Tak aka nada habisnya bila orang yang mabuk kemewahan tersebut dibicarakan. 

Keempat, yaitu mabuk yang timbul dari hawa nafsu. Nafsu yang berlarut-larut yang tak dikendalikan sedikitpun, baik terhadap istri, pembantu, maupun orang lain. Kepada mereka dia berbicara keras dan kasar serta ringan tangan. Belum tentu mereka itu salah, tanpa kesabaran, tanpa diteliti lebih dahulu, belum selesai memeriksanya, sudah tergesa-gesa marah. 

Kelima, ialah mabuk kesenangan, kesenangan apa saja yang melampaui batas. 

Sebenarnya kelima macam mabuk tersebut, sama haramnya dengan mabuk arak. Semua tindakan yang menyebabkan lupa terhadap Tuhan, tak boleh dilakukan. Apabila manusia telah terbelenggu oleh kelima mabuk tadi, maka tak urung akan menjadi hina-dina, dan menderita sengsara dunia. Tak usah menanti di akhirat, di duniapun sudah terjadi kesengsaraan yang timbul karena melanggar larangan itu. 

Penggubah mengingatkan bahwa haram itu bagaikan “aling-aling” atau penutup, jadi menutup hati manusia sehingga lupa kepada Tuhan. Sedang halal itu termasuk baik, hati suci tiada tertutup, tidak lupa kepada Tuhan. 

11. Demikian bila orang dapat menjadi hamba Tuhan yang baik, maka dia akan menolak semua barang yang terlarang jangan seperti ucapan orang sinting, yang mengatakan bahwa dengan ucapan pun pasti diterima oleh Allah. Dikatakan oleh orang ahli hakekat (ilmu kenyataan) yang menerima nasehat dari gurunya, bahwa haram suba’at itu tidak ada, semuanya dianggap halal. 

Ucapan orang itu sungguh gila, ucapan orang yang telah terbelenggu setan, pasti nanti mendapat murka dari Tuhan. Adapun tindakan yang baik ialah tindakan yang sungguh-sungguh mampu sampai ke hakekat yang benar. Beralih ke ilmu makrifat (pandangan terhadap sifat-sifat Allah), yang hanya dapat dikuasai oleh orang yang telah memperoleh kasih Tuhan. 

Orang seperti itu, tindakan yang dianggap halal pun belum tentu mau melaksanakannya, lebih-lebih tindakan yang haram. Bila orang dapat bertindak seperti tersebut, dan mendapatkan wahyu Allah, maka orang itu sama derajatnya dengan wali. Wali suci yang menjaga semuanya. Sesudah Rasullollah maka para wali suci itulah yang menjadi tiang langit dan dunia. Hal itu terlalu muluk kalau ditiru, dan mustahil sekali dapat menirunya. Sebab manusia itu ringkih (lemah), hanya saja jangan sampai memulai bersahabat dengan setan. 

Kita tidak boleh minum candu. Memang “madad” itu tidak baik. Dan tak ada tempat baik bagi mereka yang suka merokok yang memabukkan. Sebab bila orang sudah “menyandu”, bukannya orang yang makan candu, melainkan candulah yang memakan orang. Jika sudah demikian maka maut smerenggut, dan memang tak ada orang yang minum candu dapat memiliki umur panjang. Hal seperti itu sama dengan menyiksa badan sendiri, serta di dalam peraturan agama termasuk larangan. 

Yang jelas “terlarang” adalah “mabuk” itu 

12. sendiri, maka barang-barang yang memabukkan ikut pula dilarang. Membicarakan hinanya orang makan candu tak aka nada habisnya, dan kita mengetahui akibat-akibat dari semua yang pernah terjadi. Tetapi ada juga yang memberi tahu, bahwa candu itu sedikit halal, yaitu unutk mencampuri obat anget. Candu dicampurkan sedikit saja ke dalam obat panas, dan memang kemudian dapat menyembuhkan badan. Untuk itulah candu tadi boleh dipakai. Keterangan yang menerangkan tentang halalnya candu itu termuat dalam kitab Sarahbayan. 

Selanjutnya penggubah, menasehatkan agar kita (anak cucu) tidak melakukan judi, ini juga termasuk kehidupan yang hina. Di dalam peraturan agama, judi memang benar-benar dilarang, sebab kenyataannya orang jahat itu akibat dari minum candu dan berjudi ini. 

Orang dilarang pula mendalami wuku tiga puluh, beserta dewa-dewa yang dipujanya itu. Dalam sarak (peraturan agama) dianggap tidak baik, hal itu disebut kafir ; sebab seolah-olah mendua dalam kepercayaan terrhadap Tuhan. Memang setengahnya orang dapat tertarik akan kelebihan wuku, yang mengetengahkan semua peristiwa yang belum terjadi, misalnya kejadian bayi, keadaan selama hidupnya, untung dan celakanya. Semua telah diungkapkan dalam wuku tadi dan nyata tak ada yang salah. 

Walaupun demikian orang tak perlu heran. Sebab 

13. sudah ditandai dan termuat dalam wangsalan “Sembung gilang ing Palembang dipanggalit” (sembung gilang adalah daun sigugu, dalam teks jatuh pada kagugu atau “dipercaya”. Dipanggalit maksudnya “raja hutan kecil”,yaitu “singa”, dalam teks jatuh pada singa-singa atau apa saja). Jadi semua berarti bahwa “apa saja yang benar-benar dipercaya tentu akan terlihat”. Jangankan para dewa yang diciptakan lebih dari yang lain, sedangkan bebatuan, pepohonan jika dipuja-puja dengan disertai setanggi serta diolesi wangi-wangian, tentu akan terbayang dalam angan-angan. Demikian tadi menurut ucapan orang yang lemah. Sebenarnya semua itu karena pengaruh perasaannya sendiri, dan itulah penyebab sering terjadinya penyimpangan agama, justru semacam tradisi tadi. 

Tetapi menurut ucapan orang ahli, ilmu semacam tersebut diatas, tidak diperbolehkan. Demikian pula semua ilmu iladuni (membicarakan peristiwa yang belum terjadi). Ilmu perhitungan dalam ilmu nujum yang merupakan ilmu awal pembuka segala yang serba gaib, yang tak lain berasal dari Arab dari Nabi utusan kita itu. 

Nenek moyang melarang akan pemakaian gamelan, terutama dalam hajat kerja perkawinan. Meskipun orang yang mempunyai hajat itu mampu, tetapi dalam mengawinkan anknya, tak boleh memakai gamelan. Hal ini merupakan larangan, yang tersurat, dalam kebiasaan hidup bagi orang yang mengabdi raja. Orang boleh mempergunakan gamelan, bila dia mengadakan hajat hanya khitanan atau selamatan menujuh bulan (orang hamil) saja. 

Mempergunakan gamelan dianggap terlalu besar. Tetapi untuk mengikuti kebiasaan umum, melanggar sedikit tak apalah, dengan cara mewakilkan. Hajat itu diwakilkan, supaya tidak kentara semata-mata dari yang bersangkutan. Sementara gamelan berbunyi, 

14. orang yang mempunyai hajat tadi, supaya berdoa kepada Tuhan mohon agar semua diperkenankan. Selain itu juga mengirim doa pada para leluhur yang mempunyai pantangan itu, dengan maksud agar terhindar dari bahaya. Cara itu dilaksanakan lima atau enam hari sebelum gamelan dibunyikan, dan dengan sikap khidmad dilakukannya pada malam hari di tempat yang sunyi. 

Bagi orang awam, bila diperkenankan, maka disitu akan mendapatkan petunjuk/tanda yang terlihat dalam mimpi. Mengenai tanda ini, bagi orang yang benar-benar beriman, para wali dan para nabi, maka tentang ayat-ayat yang dianugerahkan kepada mereka, kebanyakan berujud suara. Itu saja masih ada yang mengatakan bahwa wahyu, Nabi Ibrahim dan Nabi Yusup dahulu itu diterimanya lewat mimpi juga. 

Memang kadang-kadang demikianlah, yaitu ketika Malaikat Jabarail diperintahkan Allah untuk memberikan wahyu. Tetapi sekarang setelah Nabi Muhammad, atas kehendak Tuhan cara itu telah hilang. 

Nafsu manusia ternyata makin besar, hingga menyebabkan hilangnya kewaspadaan dan ingatan. Dia tak dapat mengetahui akan adanya wahyu berasal dari setan yang tak dapat dipercaya itu. 

Angkara murka makin berkuasa, pencuri makin banyak, dan orang cerdik pandai makin terdesak, hal ini ternyata tidak kekurangan, para ulama dan orang pandai serta bijaksana, mengatakan bahwa banyak 

15. sekali buku-buku yang memuat pelajaran tentang tindakan baik, tidak terkecuali dimuat juga dalam bacaan tentang asmara. 

ASMARADANA 

Kyai Yasadipura menasehatkan agar orang rajin mempelajari ilmu, berguru kepada para ahli, dan harus banyak bertanya, disertai sikap hormat dan tidak memperlihatkan bahwa dirinya sebenarnya tahu juga. Dengan berlagak seperti orang bodoh, demikianlah sikap untuk mendapatkan pelajaran dari orang lain. 

Maksud selanjutnya ialah menyadarkan bahwa kebaikan dan kemuliaan orang dimulai dari lahir di dunia sampai meninggal dan kemuliaan asal mula penciptaan manusia. Tidak cukup hanya mengamati kitab saja, jika maknanya tidak dirasakan bahkan larangan-larangan di dalamnya jarang dipatuhi juga. 

Lagi pula bila kamu membaca dengan hati-hati kitab Nitisruti, Nitipraja, Sewaka, Wulangreh, Panitisastra, Asthabrata dan kitab lama bahasa Jawa Kuna, tidak perlu selalu dilagukan dengan berbagai gaya yang tidak berguna. 

Orang muda jaman sekarang, memang senang bergaya dengan suara mengalun, mengombak, hingga menutupi ketajaman rasa. Orang bergaya memang ada gunanya sedikit, ialah untuk mempercepat pembacaan itu dan agar tidak hambar. Tetapi tidak boleh luput, apa yang dibaca harus ingat dan tertanam dalam hati. 

V. Kelima 

Disini dikemukakan mengenai pakaian dengan larangan-larangannya, serta kegemaran-kegemaran orang. Dalam berpakaian (berkain), orang dilarang memakai kain batik bercorak Tambal. Misalnya : Tambal Sukaduka, Tambal Kanoman, Tambal Miring. 

16. Kemudian kain lurik Tuluhsela, ikat pinggang batik (juga dilarang). Kalau tak mempunyai yang berwarna hijau, kuning, ungu, atau berbunga, baik memakai yang putih saja. Kain “wulung” (hitam agak kebiru-biruan) juga tak boleh dipakai, supaya orang itu tidak sial. Jangan memelihara kuda hitam jika kamu memang tidak tangkas. 

Jika mampu, kamu dapat mengenakn ikat pinggang cindhe dari negeri luar, hanya saja dilarang memakai solok (sejenis ikat pinggang) Limar gedhog. Apa saja yang disukai boleh dipakai, selain yang termasuk larangan tadi. Semua larangan raja, jangan sampai orange berani memakainya. 

Dilarang pula memakai batik garapan orang (jaman) sekarang, baju batik Baron Sekender, yaitu gambar orang-orangan. Pokonya gambar dari semua bentuk yang bernyawa itu haram (terlarang). 

Mustahil kalau kekurangan macam batik, disini ada corak lung-lungan, ceplokan dedaunan dan lain-lain. Orang dilarang bersikeras meniru, yang berhak (raja), sebab mereka itu hanya abdi, yang mudah celaka, busuk, dan rusak. 

Rintangan yang sedang kita alami, berarti pula rintangan manusia. Keadaan yang tak menentu bagi manusia itu sebenarnya hanyalah dat (sifat keadaan) saja, yang abadi tak akan rusak. Sedang tugasnya adalah mewujudkan adanya sifat tersebut. 

Larangan besar lagi ialah, bagi orang yang sedang tak mengenakan baju. Dia tak diperbolehkan memakai 

17. saputangan yang dikalungkan di leher. Sebab bila untuk bersembahyang selalu mengganggu, lebih baik diletakkan di pundak kiri atau kanan, semaunya. 

Jika berpakaian, seyogyanya yang sedang-sedang saja, baik kain maupun ikat kepalanya. Tidak baik orang bersolek tiap pagi sore dan siang, seyogyanya hanya pada waktu tertentu saja. Orang yang senang berhias diri berlebih-lebihan, sifatnya mendatangkan miskin, mengurangi rejeki. Kecuali itu melemahkan hati yang ingin bertindak bijaksana. Rejeki itu akan lari bila melihat orang genit bersolek. 

Sementara bagi yang masih muda memang tidak boleh berdandan awut-awutan saja, itu seperti dandanan orang jahat. Jika pada suatu waktu pergi ke perjamuan atau bepergian, baik berhias dengan desthar yang bagus dan rapi seperti bersisir penyu pula. 

Bila dikaji, ternyata bahwa cara berhias seperti tersebut di atas, adalah cara berhias orang pandai yang serba tahu. Kepandaiannya banyak, dapat mempertemukan dan menyelesaikan sesuatu, dapat membuat yang berbau tak sedap menjadi harum. Sedang yang sudah harum menjadi semakin harum, karena yang gelap menjadi terang. Dia berhias itu tidak sungguh-sungguh, tidak sampai di hati, hanya untuk penutup saja, menutupi kepandaiannya. Sudah biasa sifat orang cendekiawan itu demikian. 

Sebenarnya dia itu pandai tetapi mengaku bodoh, karena hatinya sudah luas seperti lautan, artinya banyak memaafkan. Bagi para ulama dan penasehat (dalam perkara agam) cara berhiasnya menurut lafal (kata0kata dalam doa) yaitu Jayinapsaka bilamaksiyati. Artinya mereka harus berhias dengan pakaian (yang dianggap) maksiat. 

Yang dimaksud ialah berhias hanya sebagai perisai saja, tidak benar sampai di hati. Arti lafal 

18. jayinapsaka bilmaksiyati jika dibicarakan tidak akan cukup cara dan tidak ada habisnya. Dari itu anak cucu diseyogyakan supaya berhati-hati dalam segala tindakan. Bagaimana hasilnya nanti harus dipikirkan lebih dahulu, tidak boleh hanya asal saja, lebih-lebih bersolek yang tak berguna. Dituturkan bahwa orang harus suka berdandan tetapi jangan pesolek, harus pandai tetapi tidak boleh sombong. 

Suka berdandan artinya boleh berhias diri tetapi sedang-sedang sajalah, jangan sampai terlanjur lupa diri. Hanya bersoleknya orang yang rajin akan kebersihan sajalah yang benar-benar berdandan sampai di hati, dan kemudian dapat menimbulkan sifat yang baik, janganlah bersolek seperti anda. 

Adapun orang yang benar-benar suka bersolek, itu mengakibatkan lupa akan kelemahan dirinya. Hatinya mudah tergiur, pintu keberuntungan terhalang yang terbuka hanyalah pintu kejahatan. Segala yang baik menjauh, sedang yang jahat mendekat. Sifat itu menjauhkan rasa senag (terima kasih) kepada pemberian Tuhan berupa apa saja. 

Menjauhkan hati sabar, mendekatkan ketamakan, serta rasa marah bila tak terpenuhi kehendaknya. Tidak akan selesai-selesai bila membicarakan keadaan orang yang suka bersolek ini. Sekarang ganti soal mengenai kesenangan atau kegemaran orang hidup yang terdiri dari 5 macam. 

Satu ; Orang tidak boleh senang akan kekayaan sebab orang itu dapat lupa akan tugas akhirat. Sepanjang siang dan malam hanya memikirkan 

19. kekayaan. Tindakannya kejam, nafsunya sebesar gunung, tak mempedulikan batal haram. Sebenarnya, emas permata yang berkilauan serta uang yang berlebihan itu, hanyalah pembagian untuk manusia yang disebut kekayaan. 

Kekayaan itu sendiri dalam kenyataan, sebenarnya tergolong sesuatu yang tidak baik, sebab menjauhkan diri dari hal-hal akhirat. Kekayaan ini ibarat neraka, sedang akhirat adalah sorga. Renungkanlah hal itu. 

Orang harus pandai memegang uang. Artinya dapat menggunakan uang sesuai dengan penggunaannya, batal atau haram, kesemuanya perlu diketahui lebih dahulu. Pengeluaran uang tidak boleh terus-menerus, walau itu sudah menjadi haknya, harus diusahakan yang rapi tidak boleh kentara. 

Dalam kitab Panitisastra disebutkan bahwa orang yang menumpuk banyak uang, dapat disamakan dengan orang membendung air. Bendungan yang tak diberi jalan untuk alur air keluar, sama halnya dengan uang yang tak dikeluarkan untuk dana ataupun zakat. Bendungan tadi tersumbat, lalu jebol seperti terlanda banjir, larut tak kuat bertahan. Jelas hal seperti ini mengandung bahaya besar, dan kenyataan sudah banyak terjadi biar kecil atau besar yang dapat dipakai sebagai contoh. 

Sebuah contoh kecil sebagai peringatan yaitu tentang kaum di desa Cabeyan, bernama Ki Nurngali. Orang itu wadat (tidak kawin) sendirian tanpa istri dan kawan. Dia mempunyai banyak nasi kering, semula 

20. berasal dari nasi kenduri. Nasi tadi diminta tetangganya tetapi bersikeras tak diberikan. Olehnya lebih baik dijemur, lalu disimpan. Demikian kikirnya tak layak seperti manusia pada umunya. Dia hanya minta saja, kalau memberi tidak mau. 

Ki Nurngali sedikit berada, di desanya dia dapat digolongkan orang yang kaya. Hanya kikirnya luar biasa. Pada suatu pagi buta, ia hendak subuhan dan pergi ke sendang untuk mengambil air wudu. Tiba-tiba seseorang memukul tengkuknya dengan pentung sehingga dia meninggal. 

Simpanan uang yang dibawa sebanyak 25 anggris, yang ditaruh dalam ikat pinggangnya hilang. Sedang yang tersimpan di rumah berupa uang dan kain sudah diambil pula oleh pencuri yang memukulnya di sendang tadi, dan kini tinggal nasi keringnya saja. 

Itulah contoh orang yang senang uang, tidak percaya akan Allah, kesana kemari uangnya dibawa terus. Dia tak mau berbuat amal, hanya mengandalkan rajin sembahyang saja, yang memang itu sudah menjadi kewajiban manusia untuk bersembahyang 5 waktu. Lain halnya dengan berbuat amal dan kebaikan. Artinya berbuat amal saleh yang ditujukan kepada yang Maha Kuasa. Selain khusuk berbakti, juga berbuat baik kepada sesame. Tetapi tidak mencari pujian, itu tak akan menjadi sahabat. 

KINANTHI 

Mengenai amal saleh oleh penggubah tidak perlu diperpanjang, sebab sudah banyak tertera dalam kitab. 

21. Kecuali petuah para ulama, jika orang belum mengerti, lebih baik bertanya saja. Nasehat tadi harus dicatat di dalam hati, supaya jangan lupa bahwa tindakan orang hidup itu dilarang tertarik kepada kegemaran yang menimbulkan kea rah penyelewengan. 

Orang harus patuh mengendalikan kehendaknya sendiri. Agar gemar memberi, jangan kikir, dan itu baik dilaksanakan siang malam. Gemar memberi berarti, orang dapat memberi kepada sesame umat, dengan baik dan ikhlas sampai di hati. Memberi dengan ikhlas berarti memberi tanpa ada maksud akan mendapat balasan. Sedang yang dimaksud kikir ialah dilarang memberi secara berlebih-lebihan tanpa ada gunanya, disebabkan hanya akan mencari pujian saja. Padahal dia sendiri belum kuat menahan hawa nafsunya, menahan kehendak untuk berpakaian bagus dan makan enak. 

Orang tidak boleh sombong walaupun dia tidak akan kekurangan meski banyak berdana. Sebab Tuhan tidak menitahkan dia untuk menolong orang lain, bila badan sendiri belum cukup. Tidak boleh meniru Katintahyi, sebab dia itu telah menjadi orang terpilih, hamper setengah aulia (wali). Sudah putus segala ilmu dan sudah diijinkan oleh Allah. 

22. Kita harus merasa sebagai orang yang lemah, jadi harus menyayangi kemurahan Tuhan yang diberikan kepada kita. Bila kita tidak menyayangi berarti kita ini sombong kurang berterima kasih akan kenikmatan yang kita terima. Meskipun bertindak sesuatu yang baik, tetapi tak tahu asal mulanya itu berarti ngawur dan tercampuri setan. 

1) Segala tindakan harus disertai pertimbangan yang betul. Baiklah dimulai dari madya, (baik atau sedang) lebih dahulu, bila hati telah mantap, maka diusahakan agar dapat mendekati tindakan yang utama (terbaik). Jika tindakan itu dimulai dari yang utama lebih dahulu, maka bila hati tidak mantap dan kalau mendapat rintangan, akibatnya orang akan jatuh sengasara. Andaikata hati telah mantap betul-betul, di situ ia akan menemukan keutamaan hidup. Tetapi hal tersebut jarang sekali, orang yang termasuk utama itu. 

Kebanyakan orang jaman sekarang ini tergolong orang tercela. Sebab orang tercela tadi jika bertindak yang hina tidak akan malu-malu. Dari itulah maka orang akan tetap menemui hina walaupun bertindak baik, dan tindakan tercela itu akhirnya akan rusak. Tindakan yang baik merupakan bunga keutamaan, sedang keutamaan merupakan bunga kemuliaan. Satu demi satu harus diketahui bagaimana sebenarnya tindakan nista, madya dan utama tadi, sebab banyak orang yang keliru menyebutkannya. 

23. Nista disebut madya, madya dikira utama karena kebanyakan nafsu menyelebungi dunia ini. Memang siapa gerangan yang kuat menerima dan menahan kehendak hati yang menggelora itu. 

2) Kemudian orang dilarang gemar akan perempuan. Sebab bila gagal, berakibat rusaknya badan, dan rusaknya sama dengan orang yang gemar akan uang. Masih lumayan orang yang gemar uang, sebab bila dapat menggunakannya dengan betul, maka uang yang digunakan dengan suci itu menjadi sarana untuk menarik ke sorga. Tetapi orang yang gemar perempuan tak urung bahaya besar yang meghadangnya. Oleh penggubah dinasehatkan bagi orang yang gemar perempuan itu, disikat saja. Tidak perlu salah paham, sebab semua telah dapat dibuktikan, dan bila diceritakan, hal ini akan berkepanjangan. Untunglah bagi orang yang dapat melaksanakannya (menahan nafsu perempuan). 

3) Selanjutnya dinasehatkan agar orang tidak gemar akan suara dan rasa. Gemar suara itu seperti seekor burung gelatik yang terkena pasangan oleh umpan temannya sendiri. Gelatik temannya itu bersuara tik, tik, tik suaranya sangat menarik, sehingga burung yang seekor tadi mendengar, dan tertarik akan suaranya. Tanpa curiga dia datang mendekat tahu-tahu burung tadi masuk perangkap.

Sedangkan gemar rasa itu dapat disamakan seperti ikan dipancing orang dalam kedung (telaga). Ikan di dalam telaga itu melihat makanan, tanpa hati-hati terus disambar saja, tidak disadari bahwa dirinya kena perangkap. Ikan ditarik, kemudian jatuh di tanah dan matilah ikan itu. Karena itu kita harus ingat dan waspada, segala tindakan tidak boleh tergesa-gesa “gita” dilakukan, sebelum dipikir sungguh-sungguh dan tahu kepentingannya “gati”. Tidak perlu terkejut dan terburu-buru akan sesuatu hal 

24. jika belum tahu kebenarannya. 

Tidak pantas bila seseorang seperti ikan yang kena pancing tadi, mati karena hanya menuruti nafsunya saja, tak mengetahui adanya tipu muslihat. 

4) Orang dilarang senang pada sesuatu yang indah yang dijadikan kesayangan. Sebab sudah pernah terjadi, dan ini jangan sampai terlanjur seperti pengukir Sastradiwangsa. Dia senang sekali burung perkutut dengan mengukir didengarkannya suara burung itu. Rasanya segar dan gembira mendengar suara yang merdu tadi, mengukirnya hulu keris lebih giat dan lebih tekun. 

Pada suatu hari burung perkutu itu tak mau berbunyi ; disuruhnya berbunyi, tetapi si burung tetap bungkam saja. Pak Sastradiwangsa marah, pekerjaannya dihentikan. Dia mendekati sangkar, sangkar dipegang dan burung itu diambil keluar. Dengan keras berkatalah ia : 

“Hai burung mengapa kau tak memperdengarkan suaramu, aku ini kan memeliharamu”. 

Burung lalu dibelaiannya, dia terlena, si burung lepas, terbang, namun tidak gesit. Yang empunya mengejar dan tertangkaplah burung itu. Sastradiwangsa marah bukan main, burung dibanting, tentu saja mati seketika. Dengan lantang dia menantang. 

“Ayo kalau kamu berani, inilah Sastradiwangsa”. 

Burung lalu diinjak, digilas lumat bercampur tanah. Orang hidup dilarang bertindak seperti itu. Dimana pun juga takkan ada burung yang dapat berbicara, apa lagi ditantang dan diajak bertengkar. 

25. Orang itu benar-benar kurang pikir. 

Dia merupakan seorang yang senang akan ujud (binatang) kesayangan tetapi ngawur saja. 

5) Selanjutnya orang dilarang senang akan kuda, karena hal itu tidak baik. Memang di manapun juga orang tak akan mau bila dilarang menggemari kuda. Karen demikianlah umumnya orang mengabdi, jadi baik dipertimbangkan lebih dahulu, dan sebaiknya dapat memperkirakannya sendiri. Andaikata ada orang menertawakan dirinya, karena tidak dapat naik kuda dia tidak perlu malu. Harus diterima saja, untunglah masih ada yang mau mencelanya. 

Menggemari kuda sebenarnya ada 2 hal yang menghalangi yaitu : merintangi orang mengabdi dan merintangi orang sewaktu menghadapi maut. Lain halnya dengan Raden Suranagara dan Raden Tohpati yang gemar kuda. Kuda bagi mereka bukan lagi kegemaran, tetapi memang sudah pekerjaan mereka. Atas perintah raja mereka diserahi memelihara kuda, dan itu sebagai mata pencaharian hidup mereka. Jadi aiblah bila mereka tidak mapu menguasai kuda, sebab akan tergolong orang yang tak berguna. 

Selagi masih hidup orang harus mencintai pekerjaan yang menjadi tiang hidupnya. Cinta dan kehendak adalah sama bila orang itu sungguh-sungguh bekerja. Hal itu sama saja dengan menyembah Allah secara sembahyang lima waktu, ya seperti apa yang telah menjadi kewajibannya. Kitab Bustam menguraikan tentang hal tadi. Bila seseorang diperintah melaksanakan sesuatu, maka ia harus senang dalam pengabdiannya itu. 

Anak cucu dilarang mempunyai watak suka menyeleweng, itu berdosa dua kali. Pertama dosa kepada majikannya, kedua kepada temannya. Mengibuli (membohongi) “gusti” tidak baik. Gusti adalah wakil nabi, jadi sam halnya mengibuli Allah. 

26. Menipu kawan-kawan, menambah dosa juga. Seyogyanya berbuat lebih baik serta rajin berlaku manis. 

DHANDHANGGULA 

Kita dilarang kerap kali berada di hutan, pergi ke laut, ke sungai dan sebagainya, sebab banyak mengandung bencana. Dahulu orang senang pergi ke hutan dan biasanya menemui celaka, demikian pula ke sungai-sungai, itu tak baik juga. Tidak boleh senang akan kesaktian, ilmu kebal, ilmu jagoan, ilmu kekuatan dan lain-lain, karena semuanya tadi tak akan memenuhi syarat untuk mendekati Allah. Ilmu yang lahiriah isinya banyak takabur, salah-salah dapat menjadi ilmu sihir, sebab semua ilmu tersebut bukan “mangunah”,(mempunyai kelebihan karena imannya), bukan keluhuran dan bukan pula “mukjikat” (keajaiban). Oleh sebab itu orang yang telah tinggi daya ciptanya tak mau mempelajari ilmu tadi. Kepercayaan terhadap Tuhan telah tebal, hatinya teguh tak akan ragu-ragu lagi. Bila hanya menginginkan selamat, jangan sampai ada bala menimpa, dengan persiapan, sebagai berikut : 

Paritnya ialah penyerahan diri pada Allah. Betengnya, yaitu tetap percaya terhadap yang Maha Kuasa. Sedang pintu kotanya ialah tetap mantap terhadap Hyang Suksma. Adapun rumahnya berada dalam kota tadi, demikian itulah makna kesatuan manusia dengan Allah. Sebagai perbekalan pangan di dalam kota itu ialah penyembahan manusia terhadap Tuhan, sedang pelurunya yaitu tanawut napi nakirah (dengan teliti tanpa pengingkaran). 

Apabila manusia telah berhal demikian, hati teguh mantap terhadap Tuhan tanpa tabir, maka biar 

27. kota itu dikepung (bahaya) manusia, semua yang mengepung tetap selamat. Sebab senjata yang ditujukan kepada mereka adalah kasih Tuhan, sedang pelurunya yang berjatuhan bersifat belas kasih. Demikianlah atas kemurahan Tuhan dan kasih Allah, maka semuanya selamat. Selamat mencapai kemuliaan, tetap utuh manusia, tetap berada pada tempatnya untuk menghadapi musuh abadi. 

Keadaan di situ tetap kokoh, kuat tak tergoyahkan disertai peraturannya yang tersohor, yaitu semua kehendak harus serba sabar. Dalam memerintahpun dengan cara serba tidak kentara, sebab disitu adalah tempat orang suci dan sakti. Mereka dengan sabar dan penuh pengertian, dan tidak pernah meninggalkan kebersihan hatinya, sehingga hidup itu tidak sengsara bagi mereka. Semua tadi untuk mempertahankan diri dari pembicaraan iblis yang telah memancarkan anak cucunya, demikianlah isi kitab Sangsul Ambiya. Setan-setan tadi menggoda, membuat kacau, dan tak member kesempatan hidup pada manusia. Maka ketika manusia itu lahir di dunia, sewaktu bayi dia dibedung, agar setan tak dapat membencanai bayi tersebut sampai tua nanti. 

Diharapkan agar si bayi kelak tidak mengikuti iblis, jangan sampai terjadi kuda itu tetap menjadi “belo” saja. Dikatakan dalam kitab Insankamil bahwa kelakuan iblis tadi berjumlah Sembilan puluh Sembilan macam, yang merupakan kekuatan setan untuk mencelakai manusia yaitu supaya manusia tertarik kepada laku yang sesat. 

Orang harus berhati-hati dan ingat bahwa tindakan apa saja, selalu diintip oleh setan yang banyak 

28. sekali jumlahnya. Itulah bencana setan yang menyebar memenuhi dunia. Meski nama Tuhan itu tanpa cela namun tetap ditirunya untuk berbuat jahat. Sebenarnya harus bagaimanakah orang hidup ini. Andaikata boleh lupa dalam hati, ya hanya seketika itu sajalah, karena hal tersebut memang ulah setan yang dapat menembus rata menyeluruh terhadap manusia. 

Itu dapat terlihat pada diri orang yang cepat marah, pada orang yang mempunyai angan-angan penuh nafsu, serta tamak akan makan dan sahwat, juga kepada hiasan dunia. Sentuhan setan yang ingin berhasil, bila dituruti akan menimbulkan sengsara dan akhirnya orang akan hidup miskin. Sebab orang yang sangat menginginkan sesuatu, malu bila mengurungkan niatnya, jadi orang itu akan tenggelam oleh sifat-sifat setan yang suka pada kegelapan, mata buta telinga tuli, dan akhirnya orang akan masuk neraka. 

VI. Keenam 

Pada bagian keenam ini, penggubah memberi nasihat tentang orang bersahabat, berkawan dan lain-lain. Orang bersahabat sebaiknya, (dalam hati) dipikir lebih dahulu. Ibarat orang yang melihat makanan dan minuman, pasti tertarik sekali. Dalam hati harus berpikir, baik dan berfaedahnya itu bagi badan kita. Sebab sebenarnyalah di dunia ini tak ada orang yang senang sakit. Demikian pula orang bersahabat dalam memilih temannya. 

Andaikata seseorang batuk, ingin sekali rasa yang serba manis, maka minumlah ia nira. Disini ternyata semua keinginannya terpenuhi, semua nafsu makan yang membawa sengsara. Nah tidak urung orang itu akan batuk terus-menerus, badan kurus kering, jelas orang itu merugi, tidak akan mendapat hasil. 

29. Harus diingat bahwa ditengah masyarakat dapat terjadi orang mendapat celaka yang berasal dari teman atau sahabat karibnya. Hal-hal semacam itu harus dihindari. Kita dilarang bersahabat dengan orang yang berkelakuan jahat, sebab kita dapat terseret seperti sahabat kita itu. Seperti orang sakit perut tetapi ingin makan rujak kecut. Tentu saja akhirnya berak terus, itu menyengsarakan badan serta tak berguna pula. 

Dilarang juga berkawan dengan orang yang tak berakal, orang bodoh yang kurang ilmu, sebab tak urung akan menarik menjadi bodoh pula. Dikarenakan orang bodoh itu tidak mengerti akan baik dan buruk, pun pula tentang rahasia. 

Tidak boleh berkawan dengan orang yang tak mengerti sastra. Orang demikian tentu sering nekad, merasa benar sendiri, dalam pembicaraan justru tidak pandai. Malahan secara kasar, tetap gegabah bertindak. Ini jelas merusak sopan santun, dan mustahil akan selamat. 

Dilarang pula senang berkawan dengan orang yang tak beragama, sebab orang itu tentu tidak takut akan siksa Tuhan. Berarti memporak-porandakan peraturan agama, dan bertekad ugal-ugalan. Orang berhati dengki dilarang pula untuk dijadikan teman. Dia itu suka menyalahi orang lain dan juga senang memfitnah. Jadi orang harus mengetahui tanda-tanda orang semacam itu. 

Sebenarnya pada orang mukmin (yang betul-betul percaya pada Tuhan) itu sendiri, ada yang 

30. mukmin hanya sebagai hiasan saja. Untuk mengetahui/membedakannya agar orang dapat menemukan hal yang baik dan buruk, pertama, harus dilihat lebih dahulu tingkah lakunya. Kedua, supaya diteliti, ketiga, dilihat dari cara bertindak. Keempat, yaitu sopan santunnya, kelima dari pembicaraannya. 

Mengenai pembicaraan ini sebetulnya berdasarkan pancawada, yaitu pembicaraan mengenai orang berdusta, orang pandai, orang berbudi, dan masih banyak lagi yang lain. Baru mengenai hati tiap-tiap orang saja sudah berlainan, misalnya ada yang seperti raksasa, tamak dan rusuh. Ada yang bersifat seperti gajah, dan lain-lain, banyaklah bila diceriterakan tentang orang semacam itu. 

Sebaiknya orang berkawan dengan mereka yang berwatak suka memberi dan bijaksana, pula dengan orang yang tahu ilmu pelajaran atau yang telah putus dalam ilmu. Kepadanyalah orang harus meminta lebih dahulu untuk berguru. 

Walaupun seseorang telah mengeluarkan semua rahasia kepadanya, dia akan dapat menjaganya, sebab dia dapat menilai mana yang baik, demikian pulalah bilaman ada pembicaraan yang menyalahi orang tersebut. Memang orang hidup ini banyak yang dibicarakan, dan bahakan menjadikan simpang siur. 

Seumpama orang melihat sesuatu, biasanya barang yang salah dikatakan betul. Bagi orang yang bijaksana, dia tahu bahwa barang itu salah, dan dia akan menjauhinya secara tak kentara. Orang tadi bila berkawan, ingin membalas kebaikan kawannya, sebab orang itu tahu bahwa dirinya diperlakukan dengan baik, maka ia akan membalas baik pula. 

Bila seseorang berbuat baik, maka orang yang bijaksana akan memakluminya, sebab dia banyak memaafkan. Kalau berkata disertai perkiraan, bahkan perkiraan itu tentu tidak meleset, orang tadi penuh ketelitian, selalu mencari bagaimana duduknya suatu perkara. 

Kata-katanya terucap halus, dengan mata redup 

31. tak kelihatan beringas, bermaksud memaafkan kepada sesama. Kita disuruh berkawan dengan orang baik budi yang suka beramal, dan perbuatan baik yang tak diperlihatkan itu sesuatu tindakan yang menuju keutamaan. 

Itulah dia orang yang tak tinggi hati dan tak sombong. Bila member pertolongan tak perlu diketahui orang lain, sebab perbuatan itu dimaksud sebagai sedekah piker dan untuk kebaikan. Bila kita berkawan dengan banyak orang, kita disuruh menganggap mereka itu saudara. Kita supaya berhati-hati, tidak boleh membanggakan diri. Sebab biasanya orang memuji itu hanya dalam kata-kata saja, tidak terus di hati. 

Jika kita sudah memperoleh nasehat yang benar-betul, maka bilamana kita mendapat kesukaran dalam hidup tidak perlu khawatir. Sebab, biasanya tak aka nada orang yang mau menolong kita, malahan menambah susah, dan membuat onar saja. Orang semacam itu menandakan orang yang mencari enaknya snediri saja. Berkawan denga orang yang setengah-setengah, akhirnya menjadi musuh. Tetapi bila ada kawan yang demikian tadi, kita tidak boleh membalasnya, dan semua ini seyogyanya diserahkan kepada Allah, agar semua kembali menjadi baik. 

Kecuali itu kita tidak boleh berkecil hati, dan merubah kebiasaan seperti ketika berkawan dahulu. Hati harus kuat dan tidak boleh mencela bahwa orang itu pernah menjelekkan kita. Tetapi bila rahasia orang lain yang dicelanya, maka itu diserahkan saja kepada Tuhan. Dinasehatkan agar orang dapat menutup rahasia dirinya, dan baik-baik dalam bersahabat dengan kawan sesama abdi Tuhan. 

32. Jika seseorang tak dapat menghindar dari hal itu dan, tak dapat bergaul dengan orang banyak, disitu ia akan mendapatkan bahaya dari orang-orang tadi. Oleh sebab itulah orang harus dapat menyimpan rahasia, serta bertindak bijaksana. 

MEGATRUH 

VII. Ketujuh 

Adapun hal pertama yang dibicarakan penggubah ialah tentang orang makan. Seseorang yang makan di rumah sendiri, sebaiknya mengikuti cara Nabi Muhammad, yaitu sehari semalam makan sekali, makannya tiap tengah hari saja. Beliau makan dengan duduk jegang (salah satu kainya ditekuk ke atas), kepala menunduk tanpa berbicara. Ketika akan memasukkan nasi ke mulut disertai menyebut nama Allah, demikian seterusnya disertai doa, justru itu lebih baik, dan barulah mulai makan. Sesudah makan lalu tengadah seraya minum tiga kali telan. Sekali telan mengucap syukur kepada Allah, yang kedua kali telan, mengucapkan kesucian Tuhan. 

Demikianlah cara orang makan meski ada tamu siapa saja. Sopan-santun harus dipakai supaya pantas, dengan duduk bersila yang baik, kepala menunduk, tidak berbicara dan tangan tidak boleh diluruskan. 

Kemudian tamu tadi dipersilahkan makan, setelah itu pemilik rumah tidak boleh berbicara kecuali bila tamu tersebut mengajak berbicara. Pemilik rumah 

33. harus menanggapi agar tamu tadi senang. Kemudian dia harus berpura-pura makan banyak, dengan muka yang cerah, tidak boleh menyelesaikan makan lebih dahulu. Biarpun perut sudah kenyang, ya makannya sedikit-sedikit saja, karena memang sudah caranya, tamu itu harus dinanti selesai makan. 

Demikian pula jika seseorang bersama-sama makan dengan banyak orang, dan apabila ia sedang bertamu. Dalam hati ia tidak boleh bersambalewa dan mencela akan adanya nasi dan ikan yang tak baik. Pemberian Tuhan itu harus dihormati, bila dia mencela nasi yang tidak putih dan ikan yang tidak baik, dia akan kena murka Allah. 

Perlu diingat, dahulu sewaktu Nabi Musa pergi berperang, semua prajuritnya lapar di sebuah padang. Nabi Musa menjadi bingung, kemudian berdoa mohon belas kasih Tuhan. Dari angkasa turun, diberi apa yang dimintanya. Tetapi sebelumnya para umat diberi janji, bila pemberian itu sudah diterima tidak boleh mencelanya. Para umat menyanggupinya, lalu orang-orang itu makan dengan rasa nikmat sekali. Tiba-tiba ada seseorang yang berkata bahwa ada satu kekurangannya, ya memang ikan-ikan itu lengkap, hanya “lalaban” (daun-daun mentah) sajalah yang tak tersedia. Belum habis mereka makan, nasi beserta lauk-pauk itu kembali ke angkasa dan tak terlihat lagi. Itulah hasil orang bodoh yang bersambalewa serta tak menginsafinya. 

34. Pangan itu patah hati, orang-orang tak dapat menyusulnya. Oleh sebab itu harus ingat, bila sedang makan di rumah dilayani oleh istrinya supaya makannya perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa. Bila masakan itu kurang berkenan di hati, misalnya kurang gurih, kurang asin, sebaiknya dimakan saja. Nanti apabila sudah selesai makan, dapat berkata perlahan-lahan, sayur tadi kurang apa, dan ikannya, ya apa kekurangan tadi baik dikatakan. Kemudian dilanjutkan bahwa dia itu senang ikan apa, cukup sekali saja dikatakan untuk seterusnya. Bila sekali waktu tak berkenan lagi, sebaiknya diam saja, sebab orang makan disertai hati marah itu tidak baik. Pertama dia dianggap hilang oleh Tuhan, kedua, arti sebagai manusia berkurang, ketiga mengurangi rejeki. 

Dilarang menganggap enteng orang makan, anggapan demikian itu tidak baik. Kalau tentang makan tadi tidak diperhatikan, dan orang makan tidak memakai aturan, itupun tidak betul pula. Orang makan memang menjadi tiang pengikat hidup tetapi ya dengan ukuran, tidak asal menuruti nafsu makan saja. Bila hanya menuruti nafsu makan, tak urung dia akan lekas meninggal, ia dapat disebut meninggal karena nafsu makannya. Ya karena dia makan apa saja, disini justru terlihat ketamakannya. 

35. Boleh makan hanya untuk megobati kelemahan badan saja, sebab jika badan terlalu lemah, usahanya akan berkurang. Senbahyang kurang bergairah. Jadi amalannya hanya sedikit juga. 

Sebuah usaha kecil dari kehendak hati, untuk bertapa selamanya, namun ternyata besar faedahnya. Usaha tadi mempermudah segala tujuan, dan membuat hati terang benderang. 

Tidak baik makan pagi-pagi, menjadikan hati pepat, pendapat tidak tegas, jalan pikiran tidak baik, lemah tidak berdaya. Jika orang ingin kuat ya harus tegas, sebab apabila kendor tentu membelok, tak dapat dipakai sebagai dasar. Pada umumnya orang yang banyak makan biasanya terus ingin tidur. Sebenarnya semua pekerjaan bila dilatih tentu akan terlatih, demikian pula halnya orang yang suka makan, menyebabkan ketajaman hati berkurang maka Pak Tumpullah yang mendekat. Di sini ternyata pekerjaan jasmaniah sesuai dipakai untuk memondong, memikul, menggaru, membajak semua yang serba memakai kekuatan. 

Sedangkan anak “priyayi”, kiranya harus banyak mempergunakan hati, dan pikirannya. Bila yang dipergunakan pikiran, tetapi menggunakan orang untuk memikul, tentu tak berhasil, karena orang itu terlalu banyak makan, jelas memang bukan tugasnya. Penggunaan hati dan pikiran memang tugas orang muda. 

SINOM 

36. Masih dalam bagian ketujuh, di sini diuraikan mengenai orang tidur. Perlu diketahui bahwa sehari-semalam selama 24 jam itu, mempergunakan waktu tidur hanya sepertiganya saja, yaitu 8 jam. Bila orang dapat melaksanakan cara tadi, akan memperoleh pahala yang besar. Orang itu termasuk istimewa, karena tidak terlalu banyak tidur. Menurut kitab Insankamil, Tuhan turun ke langit-dunia, setiap malam menjelang akhir sepertiga malam tadi. Kita tak boleh membantah, mengapa Tuhan hanya berada di satu tempat saja. Yang dimaksud langit, sebenarnya ialah badan kita sendiri, sedang dunia adalah dat Allah yang meliputi jagad. 

Pada malam hari kira-kira pukul setengah dua atau pukul tiga di ujung malam, sebaiknya kita bangun berdoa, mohon ampun kepada Tuhan atas segala dosa kita di dunia ini. Untuk bersholat khajad, pada malam Jum’at juga di waktu malam hari seperti tersebut di atas. Semua kehendak kita, bila betul-betul kita memohon, tentu akan dikabulkanNya. Bahkan jika badan kita ini suci benar-benar, maka penyesalan kita akan diterima Tuhan yang Maha Pengasih itu. 

37. Di waktu subuh sesudah bangun, baik segera membersihkan diri, agar tidak terus tidur lagi. Matahri sudah tinggi, tetapi masih enak tidur, orang malas namanya itu. Mengakibatkan segala kehendak menjadi terlambat, menjauhkan rahmat, dan menyempitkan pikiran. 

Di waktu tidur siang hari, sebaiknya waktu ashar segera bangun. Sebab orang tidur sampai jam 4,5 atau 6 sore, bila bangun hati menjadi gusar, marah-marah seperti orang gila, seperti orang kehilangan nalar saja. Hati demikian itu menjauhkan pikiran baik, yang dekat hanyalah pikiran jelek. Segala pekerjaan menjadi kabur, rahmat Tuhan menjadi berkurang pula. Jika semua petuah tadi dilaksanakan maka dia akan termasuk orang yang berhati-hati. Kecuali bila seseorang merasa lelah sekali, dan mengantuk, ya melanggar sedikit taka pa untuk menjaga kelemahan badan. 

Selanjutnya apabila seseorang tidur di malam hari, baik membujur ke arah utara, badan miring menghadap kiblat, seperti letak orang yang meninggal di dalam kalwat (liang kubur). Sebab orang tidur itu, sebenarnya hampir seperti orang meninggal. Mungkinh juga sewaktu-waktu Tuhan menghendaki ajal seseorang, maka sebaiknyalah menyerahkan diri kepada Allah. 

Di sini orang tak boleh salah paham, sebab jarang orang yang tahan tidur miring ke kiblat terus-menerus, tanpa berpindah tempat. Sesungguhnya 

38. tidaklah demikian, hanya sewaktu orang mulai tidur, itulah menghadap ke kiblat. Sesudah lama tidur, tentu tak merasa bagaimana letak dirinya, karena sekali lagi orang tidur itu seperti orang meninggal saja. Orang yang tidur membujur ke utara, mempunyai sifat melangsungkan adanya rejeki. Bila membujur ke timur, memutuskan rahmat Tuhan dan menghilangkan rasa kasih dari kawan-kawannya. Kalau tidur ke selatan menyebabkan hati pepat, jika membujur ke arah barat akan mempunyai umur panjang. 

Orang dilarang menikmati tidur, dia harus dapat menahan kantuk yang mendorong rasa ingin tidur saja. Orang yang tahan berjaga, mempunyai pandangan luhur, sedang orang yang tahan lapar, mempunyai hati teguh. Orang yang tahan tidak minum, dia kebal akan bisa binatang. Semua hal tadi jika dilakukan sungguh-sungguh akan mendapat pahala. Memang demikianlah sifat orang bertapa yang kelak akan memperoleh apa yang akan dikehendakinya. 

Orang pandai, orang luar biasa (sakti) dan menjadi priyayi, banyak diperolehnya dari berlaku tapa ini. Segala yang baik, hasil dari bertapa akan membawa keberuntungan, dan itu memang sudah tepat. Meski menjadi orang pandai, kaya, dan menjadi priyayi, tetapi bukan karena bertapa, itu adalah pemberian setan. Orang yang sakti oleh setan, sifat kesaktiannya hanya sebentar saja. Dipanah dengan daya cipta orang yang bijaksana, kesaktian tadi akan lumpuh tidak berdaya. 

39. Sedang orang yang hidupnya senang karena setan, memang seketika menakjubkan, dia dapat menikmati kemewahan tiu, tetapi tak lama kemudian rusaklah, dan dia menjadi miskin sekali. Bagi orang yang bijaksana tak mau dia berbuat demikian, karena seolah-olah dirinya hanya menjadi bahan tertawaan ayam saja, lebih baik menerjunkan diri ke laut. 

Orang tidak boleh berhal seperti Setrapramukya yang dahulu pernah menjadi Tumenggung Ngeksiganda. Hanya dua tahun saja dia menjadi Tumenggung, lalu diberhentikan oleh raja. Kemudian pekerjaannya hanya berkeliling ke rumah para priyayi, nernincang-bincang mencari kabar dan menjual kabar. 

Tidak disadarinya bahwa tindakan itu serupa tindakan setan, dan orang yang baik budi tak mau bertindak demikian. Jika raja sudah tak berkenan pada orang itu dan sudah tak diberi pangan, maka sebaiknya dia di rumah melakukan ibadah saja. Sembahyang khusuk terhadap Tuhan dan mengucap syukur atas segala pemberian Allah kepadanya. Tak ada yang dimakan, yah biarlah. Takdir Allah demikian itu diterima terus saja, asal hidupnya tidak menjadi hina, dan tidak menjelekkan nama negaranya. 

Adapun kepandaian yang berasal dari setan itu, sifatnya ingin menang sendiri, juga senang bertengkar. Dalam berbatah ingin memperlihatkan kemampuannya, sombong, minta dituruti, yang jelas 

40. dia mencari pujian. Seumpama orang hanya mempunyai uang sedikit tetapi menawar bahan yang harganya mahal. Setelah penawaran itu jadi, diberikan, namun uangnya tak ada, dia minta tangguh. Akhirnya tak dapat membayar, kalu ditagih tak pernah member, lama-kelamaan terbukti kejelekannya. Demikianlah perumpamaan bagi orang yang berkepandaian karena setan. Dia berpendapat bahwa hal itu baik, mendapat berkat Tuhan, tak tahunya didapat dari berkat setan. 

Orang tadi tentu malas berguru, malas bertanya kepada orang pandai-pandai. Dia merasa malu untuk bertanya, akhirnya percaya pada setan. Masih dalam bab ketujuh, disini dibicarakan tentang orang berjalan. Jika orang pergi dari rumah, harus tahu kemana tempat yang ditujunya. Ke tempat itulah dia harus memusatkan perhatian, dan bila mulai berjalan baik disertai ucapan Bismillah. Kalau berjalan supaya kepala agak ditundukkan, mata dijaga jangan melihat kesana-kemari. Bila ingin melihat sesuatu, lebih baik berhenti dahulu, orang yang berjalan dengan menoleh kesana kemari, hatinya akan bercabang-cabang. 

Di samping itu orang berjalan tak boleh berangan-angan jelek, baik berserah diri saja kepada Tuhan. Sebab adakalanya orang itu tersandung (mendapat halangan), menjadi gagallah kehendaknya. Bila berada di rumah, orang dilarang berdiri di tengah pintu seraya menggelantungkan tangannya. 

41. Hal ini dapat membawa dia dan tetangganya kerap kali kehilangan. Berdiri dengan bertolak pinggang di tengah pintu juga tidak boleh, sebab dapat menjauhkan keberuntungan. Di rumah, orang duduk dilarang menumpangkan kakinya sebelah, karena dapat menyebabkan kerap kali sedih. Demikian pula dilarang menggerakkan kakinya sebelah terus-menerus, sikap ini menghilangkan kesopanan dan mengurangi kekhusukan terhadap Tuhan. Keselamatannya berkurang berarti menyia-nyiakan diri sendiri. Semua pantangan yang tiada pantas harus selalu diingat, dan harus membiasakan diri percaya kepada hal itu, sebab manusia memang kerap kali lupa. 

POCUNG 

VIII. Kedelapan 

Bila ada tamu datang , wajib dihormati. Tamu yang terdiri dari anak cucu, teman atau tetangga, itu dapat disebut setengah tamu. Untuk menghormatinya tidak sukar, karena telah biasa. Bila ada sesuatu yang disuguhkan, lebih baik tamu tadi disuguhi. Tetapi jika tidak, cukup dengan penyambutan yang pantas, dan kata-kata yang hormat. Tidak baik menyusahkan hati seorang tetamu, tetapi juga tidak baik bila terlalu memanjakannya, sebaiknya yang seimbang dengan 

42. kemampuan diri sendiri. Tidak seyogyanya menyambut tam uterus-menerus, sebab bila dirinya sedang menjalankan tugas, tentu akan merepotkan. Memang banyak tamu atau kawan-kawan yang datang berkunjung dengan tujuan tertentu. Tetapi tidak memperhatikan bahwa orang yang dikunjungi tadi sudah letih. Jadi orang yang empunya rumah harus mengetahui lebih dahulu, tamu itu seyogyanya ditemui atau tidak. 

Tetapi apabila tamu itu dari luar lingkungan, wajib disambut secara hormat. Sepantasnya tamu tadi disuguhi, biarpun tidak mempunyai sesuatu di rumah, harus diusahakan dengan cara bagaimana. Sebab itu sudah umum berlaku bagi orang Jawa, lebih-lebih bagi priyayi. Tetapi bagi orang muda yang mempunyai sifat senang lalai, memang kurang memperhatikan, lebih-lebih dalam hal bahasa. 

Bahasa itu ada kalanya dipergunakan dengan baik bahasa karma dan sebaliknya yaitu ngoko. Kalau memang sudah seharusnya dipergunakan dengan baik, maka seharusnyalah dipergunakan pada waktunya pula. Untuk dapat terpenuhi, maka oleh orang yang ahli, ajaran bahasa tadi dibagi-bagi, sebab bila tidak diperinci, ibarat semua pekerjaan akan terbengkalai, seperti menantikan orang kelaparan yang tak terurus saja. 

Mereka mengartikan bahwa bahasa yang baik itu untuk apa, itu hanya suatu “sunah”, kalau perlu saja mereka mempergunakan, agar sikapnya terlihat 

43. bersopan-santun. Apabila ada seorang tamu besar, yang derajatnya melebihi yang empunya rumah, perlu disambut dengan hormat dan baik. Sesudah duduk, pemilik rumah harus duduk dengan “ngapurancang” (kedua telapak tangan diketemukan). Kata-kata diucapkan dengan perlahan, tidak boleh bersambalewa, dan pada waktu tamu itu pulang, harus diantar seperti menyambut pada waktu ia datang. Jika ada tamu seorang ulama, dan orang yang lebih tua, tua dalam arti lebih bijaksana, harus dihormati dengan baik seperti telah pernah disebutkan. Bilamana orang tua tadi hanya tua umurnya saja, pemilik rumah supaya dapat mengira-ira bagaimana harus menyambutnya, tentunya tak sama dengan tamu para cendekiawan. 

Harus diketahui bahwa yang disebut tua itu ada dua macam, tua “majaji” dan tua “makiki”. Tua “majaji” ialah tua dalam umur tapi kenyataannya masih muda dalam ilmu. Sedang tua “makiki” yaitu tua dalam ilmu berarti dia itu pandai. Walaupun umurnya masih muda, seperti halnya ulama (muda) yang berpikiran luhur. 

Apabila tamu itu seorang fakir miskin yang meminta-minta, maka sebaiknyalah jangan diberi. Jika pemilik rumah itu sedang tak mempunyai uang dengan kata-kata manis, maka sebaiknya diminta kerelaannya 

untuk pergi, dan disanggupi akan diberi di kali lain. Jadi pemilik rumah itu tidak memutus rahmat Tuhan, jangan sampai dia merasa bahwa hak milik itu hanya kepunyaannya sendiri. Bila orang berpendapat demikian maka dia itu akan berani dan takabur, akhirnya mendapat murka Tuhan, baik lahiriah maupun batiniah. 

44. Bila seorang kedatangan tamu utusan dari saudara, kawan, priyayi ataupun orang besar, harus diketahui bagaimana cara menyambutnya. Sebab harus diingat bahwa menghormati utsan itu sama dengan menghormati yang mengutus. Oleh sebab itu, cara mneyambutnya harus sama seperti kepada yang mengutus. Dalam bertutur kata harus berhati-hati, seperti berkata kepada yang mengutus pula. Selama berbicara tidak perlu keras-keras, supaya utsan itu senang. Kepadanya tidak boleh marah, walaupun sikapnya kepada pemilik rumah kurang pantas, sebab utusan tadi tidak tahu apa-apa. Andaikata pemilik rumah marah kepada utusan, salah-salah orang tadi menyampaikannya kepada orang yang mengutus. Entah bagaimana yang disampaikan, hal itu akan memecahkan persahabatan. Lagi pula dilarang berpesan kepada utusan, jangan-jangan dia salah dengar. Dalam berbicara harus melihat kanan-kiri, tidak boleh meremehkan kata-kata dan harus dapat bijaksana. Kepada utusan itu tidak boleh berkata mengenai seseatu rahasia. Sebab jika utusan tadi kurang pikir dan senang berbohong, bisa jadi pesan itu ditambah, yang dapat mengakibatkan adanya salah paham. 

DHANDANGGULA 

IX. Kesembilan 

45. Dalam buku ini penggubah menasehatkan mengenai cara orang bertutur kata. Orang bertutur kata sebaiknya tidak asal mengeluarkan kata-kata, semua harus dipikir lebih dahulu. Pertama, supaya menghindari ucapan yang takabur, sombong dan congkak. Sebab orang takabur itu orang yang merasa dirinya lebih daripada orang lain, seolah-olah mampu menyelesaikan segala pekerjaan. Banyak bicara dan sering menyakitkan hati, dia ingin memperlihatkan kewibawaannya. Semua tingkah lakunya serba diperlihatkan, tak ada yang ditutupi agar semua orang melihat dan memujinya. 

Orang sombong adalah orang yang segala tindakannya dan kata-katanya minta perhatian. Sebenarnya hal ini mengkhawatirkan, sebab kalau suatu ketika orang itu jatuh martabatnya, maka kejelekannya akan tersohor kemana-mana. Bagi mereka yang suka takabur, sombong, dan congkak, bila kena murka Allah tak akan ada obatnya. Jika mereka berlarut-larut bersikap demikian, dan tidak segera bertobat, maka mustahillah mereka mendapat ampun. Orang hidup dilarang bertindak demikian, justru mengharapkan segala hal yang baik, supaya selamat, terhidar dari tindakan yang jahat. 

Kedua, orang dilarang berbicara bengis dan kasar. Merbicar bengis berarti mengobral marah dan itu berarti pula kemasukan setan. 

Ketiga, orang akan mendapat kesukaran karena suka membicarakan kejelekan orang lain, sedang kejelekan diri sendiri tak disadarinya. Membicarakan kejelekan orang lain berarti menggendong dosa orang itu. Padahal menggendong dosanya sendiri saja belum tentu kuat, masih menggendong dosa orang lain, ini tak ada gunanya sama sekali. 

(47) 

Keempat, orang tidak boleh berkata bohong, sebab jangan-jangan ini menjadi kebiasaan. Orang yang suka bohong tak dapat dipercaya, dan sifat itu dapat menjadikan hati gelap. Ibarat rumah yang lampunya padam, semua barang yang ada didalam, tak dapat terlihat. Sewaktu akan mengambil barang, barang itu telah hilang, dan habislah harta bendanya. Maka turunlah tingkat derajat orang itu, ya memang masih mempunyai harta sedikit, tetapi itu hanya setingkat orang kecil saja, bukan untuk orang tinggi. 

Kelima, orang diharap menjaga ucapan-ucapannya, jangan sampai mencela orang lain walaupun hanya dalam kata-kata. Sebab orang yang suka mencela itu, bila diri sendiri belum mampu, oleh Tuhan akn dihadapkan kepada kenyataan yang sebenarnya. Keenam, mulut dijaga agar tidak mengeluarkan kata-kat yang tak berguna, misalnya berseloroh, mengumpat, membual dan lain-lain, sebab hal ini dapat menjauhkan diri dari Tuhan. Bagi orang yang senang bekerja, berbicara dihitung untung ruginya, agar waktu itu untuk berbicara itu berfaedah baginya. 

(48) 

Ketujuh, ucapan harus dijaga jangan sampai suka bersambalewa, sebab bersambalewa dapat menghilangkan kesopanan dan keprihatinan. Orang yang kehilangan sopan-santun akan berkurang kehormatannya, sedang orang yang hilang keprihatinannya segala kehendaknya tak akan tercapai. Ki Beja (lambang keberuntungan) meninggalkannnya yang mendekat Ki Cilaka (lambang kesengsaraan). Oleh sebab itu orang harus berhati-hati dan jangan sampai lengah, sebab Ki Cilaka ini siang malam terus menunggu, menanti waktu bila seesorang sedang lalai. Padahal manusia itu lalainya bukan main, lengah dan tak teliti. Jadi apabila orang sudah lengah, Ki Cilaka akan datang menyerbu, dan biasanya manusia tak kuat bertahan terhadapnya. 

Bila orang mengadakan musyawarah dengan sanak saudaranya, orang yang lebih mudah jangan sampai mendahului mengeluarkan pendapat, lebih baik segalanya diserahkan yang tua saja. Jika yang tua itu telah kehabisan akal, dan menyerahkan kepada yang muda, itulah baru diucapkan. Dalam memutuskan sesuatu hal, tidak boleh diputus (menurut pikiran) sendiri, harus dirundingkan dengan saudara tua. Sesudah terang mana yang dipilih oleh yang tua, yang muda harus menyetujui, kalau memang itu sudah betul. Dalam berfikir orang harus ingat kepada Tuhan, jangan sampai dengan hati panas dan marah. Sebab kemarahan itu pernagkap setan, yang menghalangi maksud menuju kebaikan. 

Kebaikan itu adalah anugerah tuhan, sedang amarah dan setan itu pekerjaannya mengurungkan kebaikan. Bekerjanya sangat halus tidak kentara selalu menyusup kedalam amarah orang. Seperti halnya bagi sesuatu yang sudah baik, sudah betul tidak meninggalkan dalil dan kadis, ijema maupun kias. Dan telah sesuai dengan peraturan negara namun gagal juga, karena perbuatan setan tadi. Hati manusia terhanyut melampiaskan napsu yang tidak benar. 

Oleh sebab itu, segala tindakan yang dirasa telah mantap, maka segeralah dilaksanakan, bila sudah terlaksana, maka jangan tergesa-gesa, dalam hal ini harus sabar. Jadi hati dapat ”pasrah” kepada Allah, agar usaha itu berhasil. Hal ini dapat dipersamakan dengan anugerah tuhan yang sejati, bila anugerah itu telah diperoleh, sikap dan pikiran dapat merasakannya, dan disinilah manusia hanya dapat bertobat kepada Allah. 

(50) 

Kecuali itu, juga supaya mengucap syukur kepadaNya, karena telah diijinkan menikmati hasil jerih-payahnya itu. Selanjutnya apabila seseorang bertutur kata dengan orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya harus selalu waspada. Supaya diperhatikan apakah buah pikiran orang tadi hasil dari pengaruh amarah, iblis, khawa ataukah dari nabi adam ataupun dari malaikat, itu harus diperhatikan sungguh-sungguh. Bila buah pikiran tersebut hasi dari amarah, iblis, dan khawa, akibatnya tentu akan jelek, dan itu tidak boleh diikuti. Lain halnya bila saudara tua itu memang penuh pengertian, maka dia pantas dibela. 

Kalau orang lain tentu tak mau mengakui kekurangannya, dan hanya mau mencari selamat diri sendiri saja. Berbeda dengan orang yang telah berbudi sempurna walaupun pikiran itu berasal dari khawa, amarah dan setan, tetapi hasilnya tetap baik. Pada zaman sekarang jarang orang yang dapat berhal sedenikian tadi. 

(51) 

Sedangkan pikiran yang berasal dari adam dan malaikat memang keduanya baik, jadi pikiran itu dapat diikuti. Kemudian apabila seseorang berkumpul dengan banyak orang tidak baik jika mendahului dalam pembicaraan. Lebih baik menanti pendapat mereka yang dikeluarkan satu persatu. Tidak perlu menegur dan mencela kepandaian orang lain. Dipertemuan itu akan keluar pikiran baik buruk, betul dan salah, semua pasti terlihat. Ini ibarat ikan yang tersedia dalam lauk-pauk yang bermacam-macam. Diditu harus dilihat, lalu dipilih, ikan atau sambal dan ”lalab” manakah yang enak dimakan. Biarpun di situ terdapat ikan yang menggiurkan, tetapi dapat menyebabkan miskin maka tidak perlu dipilih. 

Baik dipilih saja yang tidak menimbulkan penyakit, mengenai ikan-ikan, sambal maupun lalab atau gundhangan seperti tersebut di atas. Sesama gundhangan namun bila gundhangan rebung (bakalan bambu) itu enak, tetapi tidak berfaedah. Lain halnya dengan gundhangan kunci yang sudah enak lagi berfaedah, diperut terasa hangat. Misalnya lagi, nasi liwet dan nasi kebuli, masih bermanfaat nasi kebuli, karena rangkaian lauknya berfaedah. 

(52) 

Dalam pertemuan supaya mengeluarkan segala isi hatinya. Bukannya setelah bubar, baru dibelakang mengeluarkan pendapatnya supaya disetujui. Hal itu tidak pantas, berdosa dan tidak akan selamat. Lain halnya jika seseorang dimintai pendapat majikannya, segala isi pikirannya supaya diutarakan. Bila disetujui oleh majikannya, dia harus dapat mempertanggungjawabkan, walaupun pada akhirnya mungkin gagal, namun dia bersedia membelanya dengan hati yang mantap. Lain dengan cara mengabdi majikan yang pada dasarnya hanyaq pulasan saja. Disini dikatakan menyayang majikannya, tetapi sebenarnya hanya mencari pujian dan menyetujui sikap yang congkak. Adapun sikap oarang mengabdi majikan yang benar-benar, ialah serba terbuka, apa kekhawatiran hatinya diutarakan, dan nanti diserahkan kepada majikan itu sendiri. 

Jika ada orang hanya memikirkan diri sendiri maka berarti kata hatinya tak dikatakan kepada orang lain kecuali kepada Tuhan dan Kanjeng Nabi. Yang jelas harus diingat bagi kita, ialah mengenai kelima ciri-ciri yang dapat menutupi penglihatan hati seperti telah terurai. Kalau memang telah menjadi ketetapan hati untuk mencapai kehendak itu, baik segera dilaksanakan dengan sareh dan disesuaikan dengan petunjuk Tuhan. Seyogyanya pula tidak perlu ragu-ragu akan petunjukNya, dan menyerah saja kepada kekuasaan Allah. 

SINOM 

X. Kesepuluh 

Untuk bagian kesepuluh ini, pengarang memberi nasihat kepada nak cucu bagaimana jika seseorang diciptakan Tuhan menjadi orang kecil (derajatnya) ataupun orang besar. Bila manusia diciptakan Allah menjadi orang kecil tidak boleh menyesal, biarpun menjadi bekel desa misalnya, itu sudah mempunyai kegunaan dan peraturan sendiri. 

Umpama lagi, orang yang menjadi petani, segala apa yang tergolong alat kerjanya, bajak, garu, arit, cangkul, pecok, wangkil (alat untuk membersihkan tanaman), kerbau, sapi dan lain-lain, harus dipentingkan, harus dilengkapi. Jadi orang itu dengan sendirinya akan rajin ke sawah, rajin menanami sawahnya. Siang malam yang dipikirkan hanya tanamannya saja, pala gumantung, kesimpar, kependhem (buah-buahan yang bergantungan, yang terletak di atas tanah, dan yang terpendam). 

Jika hasil tanaman itu baik, seyogyanya sebagian hasil tanaman itu dihaturkan kepada majikannya. Sebagai tanda bakti, atau serupa pajak demikianlah, dan ini baik dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Tidak baik segala pekerjaan serba lamban, apa yang telah menjadi kesanggupan untuk menghaturkan pajak kepada raja supaya dipenuhi. Karena telah dijamin hidupnya, maka jika diminta tanda bukti, tidak perlu banyak dalil, baik segera dihaturkan. Bila memang tidak kuat, lebih baik sawah itu dikembalikannya saja. 

(54) 

Jika sawah itu benar diminta tidak perlu sakit hati. Sebab bila tanah tadi dipertahankan, menandakan bahwa orang itu tidak baik, dia akan menjadi ”tampikan” para priyayi, berarti pula tidak kasihan pada diri sendiri. Kemudian arti peraturan dalam kalangan tani, misalnya orang menjadi bekel desa, dia harus tertib. Masjid yang dibangunnya didekatnya harus selalu dilengkapi air. Para santri diberi bagian sawah sepantasnya, dan zakat fitrah baik diserahkan pula kepada mereka. 

Selanjutnya mencari orang yang bertugas sebagai kebayan (bagian keamanan). Harus dipilih yang kuat dan tidak minum candu. Sebab bial ada tamu priyayi, dia dapat cepat menyambut dan menjamunya. Oleh karena itulah harus dicari kebayan yang baik, yang dapat memelihara barang-barang. Membuat pagar pekarangan dari bambu, tetapi tidak boleh merusak pekarangan. Pagar rumah harus pantas dan kokoh, supaya bila ada tamu singgah, merasa aman. Mengenai arti berpengalaman ialah tahu akan kebiasaan yang berlaku bagi daerah ”manca-pat” ”manca-lima”, dimana batas-batasnya dan dimana arah gunung-gunungnya. 

Kebiasaan mengenai wilayah itu baik teru dilakukan, dan seperti pada umumnya, orang dilarang membuat kebiasaan sendiri yang menyimpang dari kebiasaan masyarakat setempat. Lagi pula dia (kebayan) itu tidak boleh bergaul dengan pencuri, biarpun orang tadi hanya membawai rakyat kecil, tetapi supaya mengusahakan tidak ada laku jahat di tempat itu. Bila mengetahui orang yang suka mencuri, baik segera diinsyafkan. Bila dia tidak mau insyaf, maka baik dikeluarkan dari wilayah tadi supaya tidak membawa nama jelek. Selain itu apabila seseorang dapat mendirikan masjid, maka orang-orang disitu diminta supaya bersembahyang di masjid. Bila banyak orang yang melakukan sholat lima waktu, berarti pula mengurangi tindakan-tindakan jahat yang ada misalnya main kartu, dan menyeret (minum candu) dua hal itu harus dilarang betu-betul. Sebab dari kedua hal itulah menyebabkan rakyat kecil miskin, serta adanya pencurian-pencurian. Memang sukar untuk mengetahui berapa besar nafkah orang itu satu persatu, supaya hasil nafkahnya tadi tidak menimbulkan kejahatan. 

(56) 

Apabila seseorang mengabdi raja, dia harus rajin menghadap, biarpun belum mendapat sawah (sebagai gajinya), dan tidak boleh terburu-buru ingin memilikinya. Sebab harus disadari bahwa dirinya belum berjasa. Karenanya dia harus rajin betul-betul untuk menghadap raja di balairung. Dengan teman abdi yang lain supaya merendahkan diri, dan minta pelajaran kepada mereka. Orang mengabdi dapat dilihat dari sikap dan tindakannya yang jelas kepada atasannya (bekel, wedana), harus dapat melayani dengan baik lahir maupun batin. Jika tidak sampai batin, sama saja dengan tak percaya pada Tuhan. 

Gusti itu sebagai atasan orang banyak, dan sebagai wakil Allah, yang adil para marta dan kepadanyalah mereka harus percaya pula. Adil para marta berarti banyak memanfaatkan, dengan demikian orang mengabdi harus rajin dan teratur dan dapat mengambil hati kawan, sebaliknya dirinya harus juga senang memaafkan kesalahan orang lain. Dengan demikian orang itu telah mendatangkan budi baik, dan kelak akan dibalas Tuhan. Selanjutnya orang dilarang berbicara yang bukan-bukan, membicarakan kejelekan kawan, serta iren (menghindari tugas) dalam pekerjaannya.

(57) 

Bila ada kawan yang sedang dimarahi gusti, setidak-tidaknya dia ikut merasa susah pula, lebih-lebih kalau kawan itu memang salah, kasihan, oleh sebab itulah orang harus tepa-selira. Jadi dia tidak akan jelek dimata sesama abdi, kerna saling dapat menjaga, baik lahir maupun batin. Teman yang baik itu bagaikan saudara, palagi bila dia itu lebih tua, maka rasa hormat kepadanya sama halnya hormat kepada orang tua sendiri. 

Kebetulan justru orang tadi lebih tua dan malahan menjadi atasannya pula, maka orang itu jelas wajib disembah. Adapun orang yang wajib disembah itu, pertama ialah raja, kedua orang tua, ketiga mertua pria-wanita, keempat guru kemudian kelima adalah saudara tua. 

Sedang para adipati itu disembah karena mereka merupakan para wakil raja. Kemudian para ”mantri” menyembah ”tumenggung”. Sedang ”tumenggung” wajib menyembah ”patih”, patih itu sendiri menyembah kepada saudara-saudara raja. Para pendeta ikut disembah pula, karena ia sebagai guru. Semua sembah tadi teratur sesuai dengan golongan dan pangkat, dimulai dari Tuhan Allah. Jadi semua makhluk harus menyembah Tuhan, serta utusan-Nya. 

(58) 

Kemudian sekali lagi diwajibkan menyembah raja lalu patih, adipati, keduanya sebagai wakil pemegang tampuk pemerintah, berdasarkan adanya kebenaran atau kenyataan belaka. Jika ada orang yang menjadi ”priyayi” dia harus mengetrapkan empat sifat: pertama sifat priyayi, kedua sifat santri, ketiga sifat saudagar, lalu keempat sifat (orang) tani. Sifat priyayi berarti orang harus mengtrapkan sopan-santun dan berbicara secara teratur. Tidak semena-mena, berpakaian pantas, senang memberi makan. Berani dan berhati-hati, selalu membuat enak hati orang lain. Dia tidak enggan menolong , dan rela memberikan apa saja tanpa pamrih. 

Srlanjutnya sifat santri, pada dasarnya bersih dan harus suci, semuanya diserahkan kepada kerahiman Tuhan, segalanya diterima dengan syukur, tidak banyak bicara. Sedang sifat orang tani ialah sifat yang senang pada kejujuran, rajin dalam pekerjaan, ringan maupun berat tidak menjadi soal, karenna itu sudah kewajibanya. Tidak senang mencela orang lain, tidak pula iri hati, sikap sederhana, setia dan jauh dari sifat bohong. Sedangkan sifat saudagar, ialah sifat yang penuh perhitungan. Dalam pekerjaan serba menanti, hemat dan selalu berhati-hati. Segala tindakannya selalu diperhitungkan. Demikianlah keempat sifat tadi yang layak dipersatukan. Jadi dalam sopan-santun agar mengetrapkan sifat priyayi, sucinya seperti santri, sedang kejujurannya seperti sifat orang tani. Kemudian dalam soal hitung-menghitung, pantas memakai sifat pedagang (saudagar). Jadi semua tindakan harus ditimbang benar-benar, dapat mendatangkan hasil atau tidak. Kalau memang merugikan, agar jangan sampai berlarut-larut, harus dihentikan. Sebab kalau tidak, sama saja dengan menyengsarakan diri sendiri. 

DHANDANGGULA 

Dalam mengerjakan sesuatu, orang harus waspada akan asal-mula apa yang akan dikerjakan. Misalnya sesorang melihat permata yang indah, karena tertarik sekali, dia ingin memilikinya. Dalam hal ini orang harus mengingat kemampuannya, dan ini merupakan suatu jalan tengah. Sebab kalau diteruskan padahal tidak tercapai harga itu, tentu akan menyebabkan miskin saja. Itulah arti dilarang menurut asal-mula, jangan sampai asal-mula tadi dilanjutkan berakhir jelek, kalau demikian harus ditolak. Misalnya seperti tadi walau hati tertarik sekali, tapi harus ditahan agar tidak membawa kesengsaraan. Memang asal-mula yang timbul dari kehendak diri itu banyak yang baik, tetapi karena pengaruh nafsu, dan orang jarang ingat hal ini, maka akhirnya semuanya serba tak terpikirkan lagi. Namun ada pula yang asal mulanya jelek, tetapi akhirnya baik, selanjutnya ada juga pada mulanya baik tetapi akhirnya menjadi jelek. 

(60) 

Asla mula yang baik tetapi jelek itu, sebenarnya karena orang meninggalkan adat kebiasaan yang dahulu sudah berhasi baik. Pada perasaannya hyal itu akan menambah sifat-sifat baik, dan terus-menerus dilakukan. Tetapi karena secara penuh nafsu, maka tak tahunya justru akhirnya menjadi rusak. Permulaan yang jelek namun berakhir baik, itu seperti halnya Seh Malaya yang senang mengambil barang-barang milik orang lain. Pada suatu ketika kebetulan barang yang diambil itu milik Sunan Bonang, yang telah mengetahui bahwa orang yang mengambil barangnya itu sebenarnya orang baik. Sunan bermaksud unutk memperbaiki orang tersebut. Seh Malaya mematuhi akan semua nasehatnya, kemudian dia dijadikan sahabat Sunan Bonang dan patuh pada semua perintahnya. Lama kelamaan karena sangat keras bertapa, maka akhirnya menjadi aulia hebat, bernama Seh Malaya atau Sunan Kalijaga. Oleh karena itu orang harus ingat, apabila sesuatu bermula diawali dengan tindakan jelek, supaya bertobat kepada Allah dan keras bertapa, supaya kelak mendapat ampun dari Tuhan yang bersifat belas kasih akan umat-Nya itu. Dia selalu meluluskan permintaan umat-Nya, lebih-lebih bagi orang yang bertobat masih terbuka bagi siapa saja. Sebetulnya tidak pantas mengenai ucapan seseorang yang merasa dirinya jelek, kemudian membiarkan dirinya menjadi jelek terus (tidak perlu tanggung-tanggung). Biar saja orang mendapatkan keberuntungan demikian pikirnya. Pikiran semacam itu sudah terjerat setan dan nafsu amarah yang berkobar-kobar. Dia malu untuk mundur biar hanya sejengkalpun untuk menjadi orang yang baik. Tidak mau dia mengakui adanya martabat rendah dan tinggi, tidak mau mengakui adanya abdi, yang diakui hanya martabat yang tinggi saja. Itu tentu tidak mungkin. Hidup di dunia ini sejak Nabi Adam, martabat rendah dan tinggi itu memang sudah ada. Setelah mengalami martabat yang rendah, dengan teru-menerus bertapa, maka dia akan mendapat ampun dari Tuhan. 

Demikian pula bagi para nabi, ratu, wali, dan mukmin, ya pada orang-orang yang masih makan nasi, akan mengalami hina dan mulia seperti itu. 

Sementara ada juga orang yang menyesali dirinya, mengapa dirinya oleh Tuhan diciptakan beda dengan yang lain. Dalam hati dia mengumpati raja, juga lurah atau bekel (atasannya), malahan ada pula yang mengumpati orang tuanya. 

(62) 

Umpatan dalam hati tadi sering keluar dalam ucapannya, yang tidak disadari bahwa sebenarnya dirinyalah yang bertindak hina, kurang rasa terima kasih dan tobat kepada Tuhan. Padahal orang memohon kebaikan itu, harus disertai dengan laku ”laku” yang bersih. Syukurlah apabila permohonannya diterima. Kecuali bagi orang yang telah berbuat baik (menghutangkan) kepada raja, lurah dan bekel, karena telah menyalesaikan semua tugas yang terlihat maupun yang tak terlihat, jelas permohonannya diterima secara lahiriah. 

Apabila sudah mendapat anugrah dari Allah, dengan perantara raja (karena kasih raja kepadanya), seharusnya orang itu tahu, berapa luas sawah pemberian raja, berapa hasilnya. Semua tadi dihemat dan diperhitungkan, ini merupakan tindakan yang terpuji untuk memelihara anugerah Tuhan, dan pemberian raja. Sebagai bekal orang mengabdi, harus memperhatikan semua tugas antara lain, pakaian untuk menghadap, dan tindakan tadi diusahakan supaya dapat bertahan. 

Tidak perlu sombong, membanggakan dirinya, sifat seperti itu menghambat orang dalam melakukan tugas. 

(63) 

Jika seseorang ditakdirkan mempunyai kedudukan mantri, dia harus memakai adat kebiasaan sebagai mantri, yaitu harus memperhatikan 3 hal, ialah: ”nistha”, ”madya”, dan ”utama”. Atau dengan kata (dari pandangan sudut) lain (kiri) yaitu tiga tempat : Janaloka, Endraloka dan Guruloka. Janaloka tempat manusia pada umumnya, ya di bumi ini, sedang Endraloka dalah istana Dewa Endra. Kemudian Gurloka ialah istana Bathara Guru. Dalam ketiga hal tersebut berarti orang harus tahu akan sopan-santun, tahu akan tugas masing-masing, yang baik maupun yang jelek, serta tindakan yang hina maupun mulia. 

Mengetahui Endraloka berarti tahu akan cara menyembah dewa satu-persatu. Kemudian Guruloka, seorang mantri harus tahu cara menyembah Guru ini. Adapun cara tadi dapat dilakukan asal orang itu dapat mengetahui sarengat (peraturan agama Islam), tarekat (pengetahuan mengenai kewajiban dalam agama Islam), serta hakekat atau kenyataan yang ada. Denag kata lain dia harus tahu pula akan ”nistha, madya, utama” sopan santun, dan undang-undang negara. Demikianlah sarana kesempurnaan bagi orang hidup yang tercantum dalam ketiga macam cara tadi. 

Apabila seseorang ditakdirkan menjadi bupati, bupati itu sama dengan raja, oleh karenanya dia mempunya tugas mengatur daerah. Kecuali itu mempunyai pula tugas mengatur perkara yang mungkin memalukan juga, dia harus dapat bertindak supaya perkara tadi tidak tersiar. 

(64) 

Orang menjadi bupati tidak mudah, sebab lahir batin bertanggungjawab atas daerahnya.tidak boleh hanya menikmati kewibawaan serta kemuliaan itu saja, tetapi harus selalu siap sedia. Pertama, adalah menanti perintah raja. Kedua selalu waspada terhadap daerah di luar wilayahnya,untuk menjaga jangan sampai ada persoalan. Bilamana terjadi persoalan, supaya dirunding dengan baik, dan jika sudah sepakat supaya cepat dilaksakan, tidak perlu ditunda-tunda lagi. 

Sebab ini menjadikan beban pikiran saja, jangan-jangan malah dapat menimbulkan bahaya. Ibarat sumur yang lama tidak diambil airnya, maka didalamnya tentu penuh tanah kotoran, beserta ijuk, beling, dan bambu-bambu kecil. Kalau dibersihkan (diambil), sukar dan sangat berbahaya. Hal ini dapat terlaksana bila mendapat bantuan atau anugerah dar Allah. Tetapi bukannya hanya menanti-nanti saja akan datangnya anugerah tersebut, namun harus disertai dengan usaha pula. Biarpun nanti usaha itu berhasil dan tanah kotoran tadi dapat terangkat, tetapi kesukaran lain masih banyak. Sama saja seperti beras yang tumpah, bila diambil dan ditimbang (ditakar) lagi, tak mungkin kembali seperti semula. Sebenarnya hal itu harus disadari sebab-musababnya, ternyata tiada lain karena dia mendapat murka dari Tuhan, atas tindakannya yang suka berlarut-larut itu. Sebab andaikata sesuatu yang menjadi putusan tersebut cepat dikerjakan, tentu selamat. Tidak perlu berbeda pendapat semua sepakat menjadi keputusan. Bila tak ada kesepakatan maka hasilnya mengecewakan. Sebagai seorang bupati harus menjaga nama, harus memegang teguh pendapatnya, jika sudah menjadi putusan, dengan tekat mantap harus dilaksanakan biarpun itu penuh bahaya. 

Mantap adalah sari ilmu. Di dalam hidup, agar segala kehendak orang dapat berhasil, maka tindakannya harus disertai ilmu. Bukan hanya secara menghabiskan kekayaan orang lain saja untuk mencapai kesenangannya. 

(66) 

Sebagai seorang abdi, cara seperti itu sangat hina dan melanggar peraturan negara yang baik. Berbeda dengan nahkoda yang kaya, yang tugasnya memang tak ikut merembug tentang wilayah. Dia hanya memikirkan kesenangan hidupnya saja, bagaimana mendapatkan laba, bagaimana supaya uangnya semakin bertambah, demikianlah yang dipikirkannya. Lain hal dengan orang yang menjadi patih yang merupakan wakil raja, bila hatinya jahat terhadap yang diwakili, itu lebih berbahaya lagi. Jadi seumpama keris (raja) dengan sarungnya (patih). Bila keris itu tak dapat masuk ke dalam sarungnya bagaimana keadaan seperti itu dapat menjadi baik. Andaikata kedudukannya dapat bersatu (patih dan raja), tetapi patih tadi tak dapat memerintah para senopati dan mantri, maka kesalahan kecil dari mereka akan ditimpakan kepadanya. 

Memikirkan tentang negara. Negara yang penuh persoalan, sebenarnya didalam telah ada pengadilan yang diatur, untuk mengadili hal yang benar dan yang salah, yang melanggar adat dan yang menganut adat kuna. Selanjutnya hal-hal yang baik diambil untuk diterapkan dan disesuaikan dengan zaman sekarang. Mantri sendiri tak dapat mengetrapkan hal-hal seperti itu, sebab hanya patihlah yang berkuasa. Disini berarti bahwa sebenarnya baik mantri, tumenggung, maupun ketua desa, dapt juga mengetrapkannya, tetapi mereka tak berhak dan tak berguna. Kalau orang-orang tadi diberi kuasa pula, berarti merusak peraturan itu sendiri. Jadi jelaslah siapa yang menjadi patokan, siapa yang mentukan sikap, patihlah yang betu-betul berkuasa, melakukan segala perintah raja. Keduanya merupakan dwi tunggal bersenyawa seperti keris masuk dalam sarung, atau sarung masuk ke dalam keris, bersatu padu, menjadikan negara bertambah kuat. 

Di dalam hukum, setiap wilayah sudah mempunyai bagian (tugas) sendiri-sendiri, patih tinggal memeriksa saja. Disini patih harus dapat memilih orang-orang pandai sebagai perabot desa yang sesuai dengan jabatannya. Oleh pengubah nasehat yang diutarakan bagi orang yang menjadi patih tidak perlu diperpanjang lagi. Sebab dahulu kala sudah banyak contoh bagaimana cara melaksanakan tugas yang dapat berakhir baik, sedang, dan jelek. Seyogyanya orang mengucap syukur kepada Tuhan karena dari kodrat Allah, dengan perantaraan raja, seseorang dapat menjadi orang besar atau orang luhur. Kecuali itu dapat pula seseorang bermula sebagai orang luhur, tetapi kemudian menjadi orang hina. Semuanya tadi dimaksud untuk contoh agar dicatat dalam hati sebagai teladan anak cucu. 

KINANTHI 

XI. Kesebelas 

Di dalam bab sebelas ini kyai Yasadipura membicarakan antara lain tentang turunnya derajat dan berubahnya wahyu (anugerah Tuhan). Nasehat kepada generasi mendatang, berupa pesan, supaya mereka itu mengetahui dengan seksama bahwa berkurangnya derajat atau martabat dan berubahnya wahyu itu, disebabkan oelh rasa melik (ingin memiliki), yang membawa ke sifat lupa. Misalnya seseorang yang melik dengan cara mengurangi pangan orang kecil yang berpanghasilan kecil pula, itu keterlaluan. Sebenarnya hal itu hanya karena menuruti hawqa nafsu saja. Inilah yang menyebabkan berkurangnya martabat. Bukan karena jumlahnya sedikit yang tak kentara, seperti halnya bulu badan yang lembut dicabuti tak terasa sakit, tetapi jelas dari perbuatan itu dapat nenuman (ingin melakukan terus) nafsu jahat tersebut. Selanjutnya justru terlihat bahwa semua tindakannya menyimpang dari peraturan. Apabila tindakan itu kemudian terlalu menyimpang, maka wahyu tadi dengan sendirinya akan beralih. Hal ini dapat diumpamakan seperti orang yang hendak membeli barang kesenangannya : kuda, keris, emas, permata atau kain yang bagus, ataupun barang barang sepele yang berharga murah. Dia menawar baraang itu dengan harga tinggi, kemudian barang diberikan atas penawarannya tadi. Tetapi orang tersebut ragu-ragu, kemudian pembelian itu dibatalkan. 

Kegagalan tadi dikarenakan oleh bermacam-macam sebab, antara lain harga barang terlalu tinggi, jadi ia saying akan uang yang terbuang. Dengan demikian martabat dia akhirnya berkurang, memang sudah wajar bahwa priyayi itu kalau membeli, uang pembayarannya malahan agak lebih dari semestinya. Lebih-lebih bila sudah berjanji, maka bila gagal, hal itu dapat menyakitkan hati. Oleh sebab itu tindakannya harus dijaga baik-baik sayang kalau martabatnya menjadi rusak. Sebuah perumpamaan lagi, seandainya seseorang senang keris yang baik bentuk maupun tangguhnya (sifat keris menurut jeman empu yang membuatnya. Sayang bahwa keris tadi sebuah wasiat, jadi agak sukar untuk memilikinya. Tetapi karena sangat senang dan ingin memilikinya, maka dicarinya akal keris tadi dibayar dengan harga tinggi. Yang empunya keris takut, keris diberikan, jadi keris tersebut cara memilikinya dengan paksa. Sebenarnya bila barang itu wasiat, cara demikian tadi tidak baik. Orang itu tak akan dapat lama meiliki barang tadi, akhirnya wahyu itu beralih juga dari dirinya. Lain halnya apabila yang mempunyai keris wasiat itu sendirilah yang menjual, karena dia butuh uang. Sebaiknya keris itu dibeli saja dengan harga umum ataukah dibayar lebih tinggi dari permintaannya. Dalam jual beli tadi, seyogyanya pembeli mengatakan bahwa wasiat tadi diminta kerelaannya, supaya sah dan tetap menjadi miliknya. Memang wasiat itu dapat dijual karena butuh uang dengan dalih untuk menolak kemiskinan. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa selama dirinya masih hidup, keris itu takkan lepas dari lambungnya. 

Orang yang berkata demikian tadi memang betul, selagi dia benar-benar mantap dan dapat menetapi (memegang teguh) ucapannya. Tetapi jika ingkar, sungguh berbahaya sekali terhadap keris yang dimuliakan dan dianggap sama seperti orang tuanya sendiri itu. Hal ini berarti bahwa betapa berat rasanya bial orang tak mempunyai pakaina dan tidak makan, serta tak berkepandaian pula. Bila ragu-ragu keran kurang ilmu, maka dia akan mudah dipengaruhi iblis. Hati diarahkan ke perbuatan sesat, lalu keluarlah pikiran yang jahat, lama –kelamaan ia menjadi penjahat. 

Dia memperguanakan barang pusaka untuk mencuri, karena banyak perbuatan jahat yang telah dilakukan, maka pada suatu saat dia tertangkap. Lehernya dipukul patah, dan meninggallah dia. Mayatnya terkapar, barang pusaka sudah dirampas oleh yang memukul. Selanjutnya kentongan dipukul bertalu-talu, mayatnya diikat “dibongkok”, lalu dibuang, seperti kebiasaan yang terjadi pada peristiwa seperti itu. Di sini tak ada orang yang menggugat, demikianlah hasilorang yang kruang berpikir, tak berpengetahuan, dan tak mau berusaha. Setelah dipukul ternyata nyawanya melayang juga. Dan ternyata khasiat yang diandalkan dari pusaka itu telah hilang tuahnya. Besi dianggap bertuah, kalau dahulu dijual, maka uang hasil penjualan itu dapat dipergunakan untuk modal. Hasilnya dapat dinikmati sedikit demi sedikit untuk penangkal sifat tamak dan sombong. Jika laku dengan harga tinggi,itu sebagai upah jerih payahnya. 

Sebenarnya tuah yang benar, bagi manusia hidup, bukannya tuah dari tombak-keris tetapi berasal dari petunjuk-petunjuk atau nasehat-nasehat yang baik. Kepercayaan pada barang lahiriah tak dapat membentuk hati baik. Biarpun dia membunyai wasiat buatan Pejajaran, yang terkenal baik, juga buatan Siyung Wanara, tak akan dapat merubah sifat dan hati pemiliknya menjadi baik, kalau hatinya memang jahat. Di sini si setan menggoda, wahyu orang tadi dan tuah dari wasiat yang diandalkannya lari terbirit-birit, ternyata wasiat itu tak berguna lagi. 

Seperti kisah di jaman dahulu yaitu putrra sang Resi Drona. Aswatama mempunyai pusaka yang sangat diandalkan. Pusaka tadi hadiah dari Dewa, berupa sebuah panah bernama Cundhamanik. Panah milik Aswatama itu untuk menumpas kedurhakaan, tetapi digunakannya utnuk mencuri di daerah (pakuwon) perkemahan Pandawa. 

Kita ringkas saja cerita ini, Aswatama mendapat murka dari Dewa, Dewa Warna turun, dan pusaka Chundamanik dimintanya. Kemudian pusaka itu diberikan pada keluarga Pandhawa, Aswatama tinggal “melongoh” tak bekutik. Dia mohon ampun tetapi tidak dikabulkan oleh sang Kresna, maka hilanglah wahyu Aswatama dan hukuman pancunglah yang diterimanya. 

Kisah dari sudut lain ialah sewaktu Sunan Giri, tidak menghadap ke Majapahit, rakyat seluruh daerah Giri dapat dikuasanya. Sang Prabu Majapahit memberi perintah pada para perwira untuk menggempur Giri, dengan perlengkapan perang yang besar. Setiba di Giri pasukan tersebut menyerang, rakyat berlarian mengabarkan kepada Sunan Giri kalau ada musuh besar dating menyerang. Pada waktu itu Sunan Giri sedang asyik menulis atau membuat buku, yang ditulisnya itu buku mengenai islam. Anak isterinya menangis bersama, dengan cepat suan Giri membuang alat tulisnya yang segera berubah menjadi keris. Keris tersebut lalu mengamuk menghadapi musuh. Kangjeng Sunan enak-enak duduk, hanya alat tulisnya saja yang lmengamuk. Beberapa orang meninggal terbunuh oleh keris tadi, sedang yang lain melarikan diri pulang ke Majapahit. Kalammunyeng demikian nama keris itu, lalu kembali menghadap Sunan Giri. Kangjeng Sunan bersabda. “ Hai kalammunyeng, karena kau terjadi dari kalam, maka kembalillah kau menjadi kalam lagi”. Kalammunyeng segera berubah menjadi alat tulis kembali. Demikianlah hasil tindak utama dan hati sempurna, dari sikap dan perbuatan seorang wali. Oleh sebab itu janganlah slah tafsir, mencela orang yang membutat perumpamaan itni, sebab belum tentu setiap orang dapat menirunya. Orang yang salah tafsir berarti mengaburkan maksud perumpamaan tersebut. Meskipun seseorang dapat bersikap baik dan menganut para wali, tetapi mustahil jika dia dapat meniru sikap dan tindakan seorang wali dalam hal perbuatan dan budi pekerti yang baik. Misalnya dapat meniru, ya hanya seperseratus saja bahkan hanya sepersepuluh ribunya dari sikap dan perbuatan wali. Sedang seluruh orang Tanah Jawa yang beragama islam, semua mencontoh para wali tersebut. 

Di sini penggubah minta kepada kita supaya membandingkan kebesaran Nabi Muhammad dengan para wali. Lebih mulia dan luhur siapakah sebenarnya, Sali atau kangjeng Nabi. Kangjeng Nabi yang jelas sah mengemban perintah Allah, menjdi cotnoh di dunia bagi mereka yang menganut beliau. 

Oleh sebab itulah beliau ini mendapat sebutan Nabi Panutan yang berarti dapat ditiru semua perbuatan beliau. 

(73) 

Dengan demikian penggubah tak perlu memperpanjang perumpamaan-perumpamaan, walaupun ada diantaranya yang menertawakan penggubah. Sebab orang muda jaman sekarang ini banyak yang pandai memakai cerita Rama bahasa Jawa Kuna (Kawi) dan biarpun pandai tetapi hatinya penasaran, tergesa-gesa mencela orang lain. Padahal belum dipertimbangkan masak-masak, apalagi mengerit persoalan tersebut. Maklumlah, sewaktu penulis sendiri masih muda, kerap kali juga suka mencela orang lain, karena merasa dirinya lebih pintar. 

Ada seorang pujangga berasal dari Ngeksiganda, pendapatnya oleh penggubah tiap hari selalu di sanggah, baik mengenai tulisan maulpun bahasanya. Ternyata orang tadi memang bukan pujangga betul-betul. Artinya orang tersebut tidak memiliki kepandaian benar-benar, masih meminjam kesana-kemari, berserabutan tak karuan. Penggubah sendiri heran, dan kini setelah merasa berumur, menyesal juga, jangan-jangan sifat keras hatinya ketika masih muda akan berlarut-larut sehingga hal itu tentu berakibat tidak baik. 

DHANDHANGGULA 

Dalam bagian ini penggubah masih membicarakan tentang sikap atau tindakan yang menyebabkan turunnya derajat. Dikatakan bahwa anak cucu dilarang membuat rumah yang berlebih-lebihan besar, bagus dan indahnya hiasan, dalam arti tak boleh melebihi ukuran. Hal ini pasti tidak dapat diubah akan turunnya derajat, sementara ada perubahan martabat, dalam jaman pangiwa maupun panengen. Hal tersebut sejak Nabi Adam hingga jaman sekarang, tahun Alip (1747), bagi orang besar maupun kecil ternyata tak ada bedanya. Dahulu di tanah Arab, para raja membuat istana yang menyerupai surga, ternyata bahwa mereka itu tak ada yang selamat. Jaman pangiwa demikian pula. Para raja yang kuat baik berupa raksasa maupun manusia, yang membuat istana seperti surga juga tak ada yang selamat. Sedang sekarang rakyat kecil di desa-desa maupun di kota, serta para orang besar yang lain, tak diperkenankan membuat rumah besar seperti tersebut di atas. Demikian pula bagi raja-raja, karena itu sudah umum termasuk dalam adat. Adakah benda pengangkal agar orang tak mengalami kemerosotan derajat karena hal tersebut. Penggubahnya berani memastikan dengan taruhan potong leher atau bayaran berapa saja, asal langit dan dunia ini masih ada, demikain pula bulan, bintang dan matahari masih bersinar, jelas hal itu tak dapat dirubah. 

Penggubah merasa tobat terhadap Tuhan, karena telah terlanjur dalam ucapannya, yang berani menentukan sesuatu. Hal ini disebabkan oleh hati yang mendongkol, karena memberi nasehat kepada anak cucu sendiri, tetapi tak diperhatikannya. Nasehat yang diambil dari ilmu adat jaman dahulu, Karena berkat Tuhan, maka semua tadi dapat dipetik sebagai contoh. Ada segolongan yang menyatakan, bahwa lebih baik mengurus pekarangan (halaman), dengan sebaik-baiknya saja, supaya mendapat dua macam pujian. Pujian pertama, ialah setiap orang yang melihat, mengatakan pekarangan itu bagus dan bersih, mengenakkan hati. Pujian kedua, yaitu pujian dari tuannya, yang menandakan bahwa dia mendapat berkat dari raja. Ucapan itu memang betul, juga, tetapi sebaiknya tak berguna bagi jiwa dan raga, itu hanya pujian basa-basi saja. Sedang pujian yang betul-betul berguna lahir batin ialah yang berasal dari “gusti” (majikan). Pujian tadi pujian yang tulus keluar dari hati sanubarinya, dapat menyegarkan badan. Biarpun seseorang mempunyai rumah bagus, namun dalam tugasnya selalu sealh dan tak cekatan, tak urung akan dimarahinya juga. 

Sedangkan pujian yang berasal dari banyak orang, itu merupakan pujian kosong, hanya dapat dibuat penopang balai-balai saja. Ada orang menyanjung, kebetulan orang yang menyanjung tadi, bertamu ke rumah seseorang. Karena tidak dijamu, maka sanjungannya tidak berkobar-kobar lagi, akhirnya hilangm dan disertai perut kosong dia kembali pulang. 

Kemudian pujian yang benar-benar tulus, itu terjadi apabila seseorang memiliki rumah yang sedang-sedang saja besarnya, tetapi kawan atau siapa saja yang bertandang ke rumahnya pasti dijamu, mereka pulang tentu denga perut kenyang. Nah pujian mereka itu memang tulus dan sungguh-sungguh bermanfaat. Yang jelas tak perlu diperlihatkan, karena rumah tempat tinggal itu memang tak dapat dibawa ke balairung menghadap “gusti”, ataupun untuk ampilan (barang bawaan). Apabila semua cara yang menyebabkan menurunnya (anugerah Tuhan) derajat, demikian pula tentang bergesernya wahyu, kalu ditulis akan penuhlah halaman ini. Kecuali itu masih ada lagi contoh-contoh seperti yang telah dibicarakan, misalnya tentang hal yang menyebabkan hina. Apabila hal itu berlarut-larut tak dapat dikekang, suatu tanda bahwa anugerah Allah akan menjauhi diri orang tersebut. 

Demikian pula semua perbuatan yang menaniaya dan mengakibatkan dosa orang lain. Semua perbuatan itu karena tak diketahui banyak orang, hanya disaksikan oleh saudaranya yang tua saja, bahkan dicegahpun dia tidak mau, maka ini menandakan pula akan bergesernya wahyu. Sebab wahyu itu akan terlihat lebih jernih, bersinar seperti bulan. Wahyu kecil bersinar seperti bintang terang, kalau orang itu berbuat jahat, marah sekali dia, cahayanya kelihatan pudar. Dia pasti menghindar dan melarikan diri. Bagi dia tempat bukan masalah untuk dirasukinya. Dia dapat mencari tempat ke tubuh orang yang berhati suci, bijaksana serta berbudi, dan berbahagialah mereka yang dapat menjaganya. Menjaga wahyu sejati memang sulit, namun mudah juga kalau betul-betul mau mengerjakan. Utnuk menjaganya yaitu dengan cara, harus ingat dan selalu waspada. Tidak boleh melupakan Tuhan, menyerah dan siap sedia, gagah dan tidak terburu nafsu. Berhati lapang dan selalu tertib, tujuannya hanyalah membuat selamat. Dengan sarana cinta kasih, sesuai dengan ajaran agamanya, maka segala sikap hanya “pasrah” kepada Allah saja. Seyogyanya memperbesar doa syukur, dan doa untuk mencari keheningan. Hening dalam arti menerangi hati untuk mengurangi makan dan mengurangi tidur. Itulah suatu usaha atau cara untuk memelihara derajat atau martabat. Disertai rasa terima kasih dalam hati, dan dibersihkan lewat sastra Jawa Arab, tahu akan arti, kemudian tahu pula akan segala hokum dan sopan santun. Kesemuanya tadi harus dicamkan dalam hati sanubari dengan mantap. Demikian tadi dapat menjadikan hati teguh tak tergoyahkan menghadapi segala bahaya dengan bersenjatakan nasehat. 

Nasehat dari guru yang bersifat adil, yang selalu memberi apa yang diminta orang muda dan bodoh, dialah yang selalu memberi makan orang fakir-miskin, maka kepadanyalah kita harus berlaku ramah. Jangan sampai membicarakan yang bukan-bukan, sebelum diteliti betul-betul, agar hati terlatih memikirkan keutamaan. 

Usahakan agar dapat menjada dan memelihara anugerah Allah, cara itu terdpat dalam sikap hati kita sendiri. Kita harus kuat dan bertahan dari godaan setan, jangan malas bertindak. Sikap itu dapat menghalangi kehendak untuk bertindak berbuat baik. Perbuatan baik adalah pencerminan anugerah Tuhan yang menandakan adanya kasih Allah. 

(78) 

Banyak sudah kelalaian-kalalaian yang terjadi, karena sikap yang ragu-ragu terhadap Tuhan. Sikap jujur yang mengarah kabaikan telah hilang, hanya tertarik akan perbuatan jahat. Berxifat kikir dan dengki, hanya perselisihan sajalah yang diutamakan. Pagar hatinya telah hilang, maka yang lallu-lalang hanya hal-hal yang ngawur dan mustahil. 

Disertai bermacam-macam sarana, ternyata pada hakekatnya manusia selalu mencari hal-hal yang baik. Rasa hati selalu menginginkan segala yang serba harum, bagaikan orang merayu saja, kalau belum memperoleh takkan dihentikan. 

Demikian tadi tindakan yang diusahakan dengan segala cara. Apabila dirasa melalui pandangan hati dan penglihatan tepat, sudah mengenai sasaran, maka jalan untuk menuju ke anugerah Tuhan yang serba terbatas itu, makin jelas untuk dilakukannya dengan tertib. 

XII. keduabelas 

Dalam bab keduabelas ini KYai Yasadipura, menguraikan tentang perubahan dalam alam semesta sesuai dengan jamnnya, yaitu jaman kalisengara dan Kaliyoga. Pada jaman Kalisengara itu dapat diketahui dengan banyaknya (tanda-tanda) kecelakaan, berita-berita bohong dan kasak-kusuk, kecuali itu banyak terjadi huru-hara, bencana alam, dan lain-lain yang menjadikan rusaknya Negara. Pada waktu inilah orang harus berhati-hati, dan mereka harus sadar bahwa mereka berlindung pada Negara dan raja. Lagi pula mendapatkan pangkat dan pangan darinya, mustahil bahwa orang-orang itu tidak ikut berprihatin. 

(79) 

Mereka harus selalu mohon keselamatan kepada Tuhan, mengurangi makan dan tidur, jangan sampai membuat murka raja. Jika hal itu sampai terjadi, diusahakan supaya kemarahan yang Maha luhur itu menjadi tawar sedikti demi sedikit. Hal ini sebenarnya telah menjadi kewajiban orang-orang di Negara itu sendiri baik laki-laki maupun perempuan, besar maupun kecil untuk selalu berdoa kepada Allah. 

Di samping itu dianjurkan pula supaya mereka membuat sedekah (selamatan) sebagai penangkal bala, walau tak ada perintah dari raja. Lebih-lebih bila raja memerintahkannya, maka perintah itu harus segera dilaksanakan dengan cepat dan semangat. Tetapi ada pula setengah orang yang mengatakan bahwa carea itu sebenarnya merepotkan. Huru-hara ataupun ketenteraman itu jelas dialami bersama-sama orang banyak, jadi tak perlu dipikir, hanya menambah susah dan merusak pikiran saja. Kata-kat demikian tadi biarpun sifatnya hanya kelakar dan tidak sungguh-sunguh, tetapi bila hal itu nanti (terlanjur) benar-benar terjadim maka dia sendiri akan pontang-panting lari mengungsi tak teruruskan. 

Dia akan menyesal kelak, bahkan dia itu tak sadar bahwa hirup di negera seorang raja, dan selamanya ia akan berlindung ditempat itu. Andaikata Negara tadi sebuah rumah besar, didiami oelh orng banyakm, disitu ada sesuatu yang rusak, atap bocor misalnya. Apakah orang-oarang tadi enak-enak tak ikut memikirkannya, tentu tidak. Ya semampu mereka, biar kecil atau besar, mereka berusaha agar (rumah) Negara itu kkuat, dan orang banyak yang berlindung itu juga selamat. Jadi mereka itu memperoeh martabat baik, seperti apa yang berlaku kpada manusia umumnya. Bukan seperti dia yang bermartabat rendahm ada huru-hara malahan senang. Dia melarikan diri sambil mencopet, tak tahunya justru dia sendiri yang tertinggal. Jangan sampai ada orang salah paham, demikian tadi adalah sifat orang yang rendah budi, tak usah dimasukkan dalam hitungan, dan tak berguna diceritakan berkepanjangan. 

Sebenarnya tidak boleh demikian hai anakku sesuatu hal yang besar maupun kecil, yang setia dan yang tidak, smua kelakuan tadi dapat dijadikan teladan. Hanya sayang bahwa uraian ini diikatakn oleh Kyai Yasadipura sendiri mungkin kurang teliti, disebabkan katanya dia itu masih kurang pengetahuan. Dikatakan bahwa dirinya bodoh, memang demikianlah adanya. Karena terdorong oleh kemauan yang keras utnuk memberiknasihat. Ya biarpun bodoh tidak perlu malu. Malu tadi dengan sendirinya hilang, maka dengan modal caranya sendiri yang katanya tanpa pengetahuan sastra itu, penggubah melaksanakan maksudnya. 

Kemudian penggubah mengatakan bahwa apabila terjadi perubahan (kegoncangan) di daerah lain, anak cucu supaya waspada. Sebagi contoh pada waktu dahulu, ketika Jakarta pada mulanya berperang melawan Cinam ternyata lama-kelamaan merambat ket timur, dan terjadilah huru-hara di Kartasura. Negara Kartasura kalah, keadaan menjadi prak-poranda, disebabkan tak adanya kesatuan tekad. 

Para pembesar saling tak bertanggung jawab, rakyat kecil bubar gugup mengungsi kemana-mana. Sudah biasa adapt prajurit Jawa itu seumpama tumpukan batang rangaki padi yang dibuat sebagai bendungan. Maka pabila ada air bah yang deras melandanya, nixcaya jegol hberantakan. Seperti halnya sapu lidi lepas dari ikatan saja, tersebar kesemua penjuru, dan orang-oran tadi lupa akan raja mereka. 

(81) 

Perubahan-perubahan di luar daerah yang dahulu pernah terjadi, akan memakan banyak temapt jika ditulis, yang jelas anak cucu harus berhati-hati, harus waspada. Harus dicari apakan asal mula yang menyebabkan Negara (lain) itu bergolak. Kita harus berpikir dengan lembut, bagaimana supaya pergolakan itu tidak berkembang dan merembet ke daerah kita. 

Pandangan yang kurang lembut (teliti) jelas tak berfaedah. Jika pendangan itu berfaedah tetapi tercampur ketamakan, maka hal litu sama halnya denga pedang yang murahan. Jika pedang itu dipergunakan dengan kasr, mata pedang tadi akan cepat putus. Tetapi jika depergunakan dangan halus, mata pedang akan kuat tak lekas putus. Apabila para prajurit itu sepak terjangnya halus, maka pedang yang ditujuka kepada mereka akan meleot (melengkung), mereka menjadi kebal terhadapnya. Tetapi jika mereka tadi bersikap keras maka pedang akan putus mengenainya dan mereka akan kalah. Contoh sperti ini pada jaman dahulu sudah banyak terjadi, misalnya ketika Kresna mengutus Gathotkaca, disini petunjuknya kurah halus (mengena), karena tidak mengingat tempat dan suasanayna. Ksatria yang diutus tadi sduah berada di medan perang, sedangkan di tempat ini sudah banyak korban berjatuhan. Menyaksikan suasan tadi Gathotkaca merasa menyesal dan putus asa, nah inilah kesalahannya. 

Sudah pada tempatnya bahwa orang berperang itu tentu kalah atau menang, ya kalau tidak membunuh ya dibunuh. Sedang Kresna sendiripun juga bersalah, yaiut karena kematian Resi Drona dahulu, disebabkan oleh tipu muslihatnya yang diujudkan dalam kata-kata sebatgai jebakan. Di kemudian hari aswatama (putera Drona) membalas dendam. Dia berlaku jahat di pakuwon Pandhawa; di tempat itu ia membalas dendam dengan membunuh sebanyak tiga orang. 

(82) 

Demikianlah kejadian-kejadian yang dapat menjadi suri tauladan, dan semaua tadi supaya selalu diingat. Dengan demikian tidak perlu membaca sastra Jawa dan Arab denga suara keras dan bergaya, yang penting maksud dan isisnya dapat dimengerti, misalnya perubahan dalam negeri tetangga sendiri. 

Jaman dahulu di Negeri Ngeksiganda (Mataram) sewaktu jayanya, terdapat pula kericuhan di dalamnya. Kericuhan tadi menyebabkn pecahnya negeri tersebut dan menyababkan rakyat kecil kalang kabut. Sedang yang mendjadi peraga keadan tadi ialah Trunajaya si celaka yang semakin berani, dia tak menyadari akan asal mula dirinya. 

Sebenarnya bila ada pergolakan (perubahan) dunia, rakyat kecil tidak boleh dilupakan. Mereka harus waspada dan sabar, baiklah selalu memohon kepada Tuhan, agar pergolakan tadi gagal, seperti apa yang telah terurai di depan. Sebab andaikata hal itu terjadi, akibatnya rakyat kecillah yang menderita, dan demikianlah dalam jaman Kalinsengara itu. 

Dalam jaman tersebut orang-orang besar semua tedesak, tetapi setelah jaman Kaliyoga, orang-orang besar tadi banyak memperolah kebahagiaan. Itulah adapt Jawa, oleh karenanya siapa yang diciptakan sebagai orang kecil, mereka harus insaf, suapaya mereka itu jangan sampai terbengkelai. Baiklah mengikuti perubahan negeri dengan mantap, tidak boleh hanya enak-enak saja. 

MIJIL 

Bila ada orang ya siapa saja yang mnyatakan secara berbisik-bisik bahwa dia serba mengetahui (mengalami) waktu daerah itu bergolak, padahal ternyata orang tdi masih muda, tak sesuai dengan jaman yang diceritakannya, maka ucapan tadi cukup didengarkan saja. Sebab kalau diperhatikan betul-betul, kpembicaraan itu merupakan setan yang membuat tidak tenteram. Orang demikian tadi tak perlu ditegur, cukup disambut dengan kata setuju saja, asal dalam diri sendiri dapat menimbang mana yang benar dan yang buruk, agar tidak keliru kelak. 

Sebenarnya bukan hanya terhadap orang itu saja dia harus waspada, bahkan terhadap orang lain pun harus demikain juga, lebih-llibih terhadap orang yang dahulu tersohor sering berdusta. Sebab sekarang ini banyak kabar angina, kabar bohong, banyak berita yang tak ada kenyataannya, walaupun kabar itu berasal dari pruyayi (orang yang dapat dipercaya). 

Andaikata Tuhan menitahkan sesuati yang tak nyata, ini selalu diintip oleh setan. Hal-hal tersebut makin ditambah-tambah, dibuat sedemikian rupa sehingga menjadikan geger. Jikasudah geger (huru-hara), orang dapat memgpergunakan kesempatan tadi untuk memperolah sesuatu. Membuat cara dengan mengajak berbuat jahat, membuat susah dan amarah orang lain. Ya pokoknya dengan cara apa saja asal terpenuhi kehendaknya. Dia tidak malu berbuat hina, berbuat dosa, memang ia sudah nekat dan sengaja mengikuti setan (berlaku jahat). Apabila seseorang telah bertekad demikian, suka auntik diajak berlaku baik. Orang yang bercicaraseperit itu, tak pelak lagi sikapnya tentu menjengkelakn. Bila berbicara dengannya haus pandai berpura-pura, sebab sebenarnya orang lain sudah tahu bagaimana sifat dia, dan tidak sepantasnya apabila dia mngajak berbicara tetapi tidak dilayaninya. Dengan cara demikian maka semuanya akan selamat, yang seorang tidak tersinggung, yang seorang lagi takkan terbawa-bawa. Seperti halnya anak kecil sedang bermain-main menirukan orang berbelaja. Sebenarnya apa yang dikatkaannyaitu terbawa dari kata-kata orang tua bila sedang bercakap-cakpa, kemudian anak kecil yang mendengar tadi meniurkannya. Lama-kelamaan apa yang diomongkan tadi , ternyata terlaksana benar-benar. Demikianlah salah sebuah hal yang termasuk perubahan dunia, dan yang sebelumnya sudah diberi tanda-tnda lebih dahulu. Oleh sebab itu orang harus waspada dan ingat terhadpa apa saja yang terlihat. 

Sekilas apa yang terlihat harus segera dicari, dikembalikan kepad kebiasaan yang dahulu pernah ada. Oleh karena itu orang harus teliti melihat tanda-tanda, agar sikap yang diambil berakhir biak. Seyogyanya orang tinggal di kota dan mengabdi raja, agar dapat mengetahui kajadian-kejadian di dunia (Negara) ini. Lebih-lebih kalau memang sudah menjadi tugasnya, seperti apa yang talah diutarakan. Ua atas semuanya tentu mengharap kasih Tuhan agar kehendaknya dapat terlaksana, dan hanya Karen kodrat Allah-lah yang dapat menggagalkannya. Oleh karena dialam jamn Kalisengara itu belu dapat terlaksana, maka pada jaman Kalitoga kinilah gantinya. Orang harus mengucap syukur pada Allah, dan seterusnya suapya manusia tetap setia akan sikap yang baik itu. Sebab dalam duani ini banyak maksud yang hanya ingin seenaknya saja. Hal-hal yang mengakibatkan buruk harus disisihkan, dan yang mendatangkan selamat jelas didukung. Memang demikian sikap yang umum atau wajar, hal yang jelak tidak mau, hal yang baik senang sekali, itu saja masih tergolong sikap madya, belum yang utama. Untuk menjadi orang utama ini memang berat, sukar dicapai, kecuali para pendeta atau wali, yang memang tugas mereka. Hatinya sudah seluas lautan tak akan terkejut melihat perubahan keadaan duani ini. Tujaun hatinya hanya ingin dekat dengan Tuhan. Ingin raganya hilang dikumpulkan denga Allah. Demikianlah para ulama tadi, hati dan tindakannya telah serasi untuk menjalani hidup ini. 

Di dalam hidup seseorang tak boleh salah lihat, apa yang dituju, harus mampu mengetrapkan tindakannya. Untuk ini jalan (cara) yang termudah ialah dengan perantaraan tutur kata. Sesuatu yang sudah dikatakan harus selalu diingat, menyenangkan atau tidak, jangan sampai kata itu salah, dan tertuangkan dalam sikap yang tak terpuji. Meraba-raba di angkasa, setiap hari selalu berjumpa dengan sikap seperti itu. Maka seseoarang seyogyanya jangan memulai apabila tak mempunyai pendirian. Berjalan diatas jalan yang lurus. Lurus dari kehendak hati. Apabila sudah demikian maka kehendak itu harus dipegang teguh. Hendaknya orang itu mencari keselamatan, ya keselamatan utnuk melindungi dan membuat tenteram anak cucu, seperti yang memberi petuah baik pada siswanya. 

(87) 

Dengan maksud membentuk hatu yang teruh jernih terpusat ke satu tujuan ialah Hyang Maha Suci. Merubah segala sifat lba yang ada ada dirinya, agar tidak menghalangi makdsud baik itu. Dengan berhati-hati serta sikap yang luwes, orang supaya berusaha memiliki sifat-sifat kesemuanya tadi. Apabila sudah dapat tercakup, maka seyogyanya sifat itu diterapkan denga caermat. Tidak perlu menonjolkan sifat tersebut yang sebenarnya justur dapat melaksanakan denga sungguh-sungguh sehinga dapat memperoleh dan mengolah uraian-uraian ini. 

Penggubah tidak perlu memperpanjang petuah-petuah tersebut, cukup diselesaikan hingga sekian. Karangan ini dibuat di Surakarta, dan oleh penggubah diberinya nama Kitab Sasana Sunu.

 

serat gatholoco

Serat Gatholoco sendiri merupakan karya sastra Jawa anonim yang muncul pada awal abad 19 di jaman Mataram Surakarta.
 
Yang menarik  adalah penyampaiannya yang sangat kontroversif dan vulgar. Tokoh Gatholoco dalam buku ini digambarkan sebagai sosok yang sangat buruk dan menjijikkan. Nama Gatholoco saja sudah memiliki arti yang sangat tabu yaitu “kelamin pria yang digosok”.
 
Gatholoco bukannya anti Islam, melainkan menggugat ketaktuntasan pemahaman terhadap Islam
Salah satu karya sastra jawa yang mengundang kontroversi yang seakan tak berujung adalah Serat Gatholoco, Saking kontroversialnya sehingga pernah dilarang peredarannya. 

SERAT GATHOLOCO (1)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

Purwaka
Pupuh I
Mijil

(Pembukaan, Kumpulan Syair I, Lagu ber-irama Mijil)

1. Prana putêk kapêtêk ngranuhi, wiyoganing batos, raosing tyas karaos kêkêse, têmah bangkit upami nyêlaki, rudah gung prihatin, nalangsa kalangkung.

Oleh sebab sesak yang semakin menjadi-jadi, yang muncul dalam hati, terasa bagai diiris-iris, bangkit semakin tak tertahan lagi, gelisah dan gundah, nelangsa berlebih-lebih.

2. Jroning kingkin sinalamur nulis, sêrat Gatholoco, cipteng nala ngupaya lêjare, tarlen muhung mrih ayêming galih, ywa kalatur sêdhih, minangka panglipur.

Ditengah keresahan sengaja aku menulis untuk menghibur, (menulis) sêrat Gatholoco, maksud hati mencari kejelasan, sehingga bisa menentramkan hati, supaya tidak sedih berlarut-larut, sebagai sarana menghibur diri.

3. Kang kinarya bebukaning rawi, Rêjasari pondhok, wontên Kyai jumênêng Gurune, tiga pisan wasis muruk ilmi, kathah para santri, kapencut maguru.

Sebagai cerita pembuka, (tersebutlah sebuah) pondok (pesantren) Rêjasari, ada Kyai berkedudukan sebagai guru, berjumlah tiga orang sangat pandai mengajarkan ilmu, banyak para santri, terpikat untuk berguru.

4. Bakda subuh wau tiga Kyai, rujuk tyasnya condhong, Guru tiga ngrasuk busanane, arsa linggar sadaya miranti, duk wanci byar enjing, sarêng angkatipun.

Seusai (shalat) Subuh ketiga Kyai (tersebut), sepakat bersama-sama, ketiga Guru berganti busana, hendak melakukan perjalanan semua (santri) telah menanti, tepat ketika pagi menjelang, berangkatlah bersama-sama.

5. Murid nênêm umiring tut wuri, samya anggêgendhong, kang ginendhong kitab sadayane, gunggung kitab kawan likur iji, ciptaning panggalih, tuwi mitranipun.

Diiringi enam orang murid mengikut dibelakang, masing-masing membawa, yang dibawa banyak kitab, jumlah kitab sebanyak dua puluh empat buah, tujuan perjalanan, hendak bertandang ke tempat seorang sahabat.

6. Ingkang ugi dadya Guru santri, ing Cêpêkan pondhok, Kyai Kasan Bêsari namane, wus misuwur yen limpad pribadi, putus sagung ilmi, pra Guru maguru.

Yang juga berkedudukan sebagai seorang Guru dari banyak para santri, di pondok (pesantren) Cêpêkan, bernama Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori), sudah terkenal akan kepandaiannya, menguasai segala macam ilmu, sehingga para Guru-pun berguru (kepadanya).

7. Datan wontên ingkang animbangi, pinunjul kinaot, langkung agêng pondhokan santrine, krana saking kathahipun murid, ujaring pawarti, pintên-pintên atus.

Tak ada yang mampu mengimbangi, terkenal dan dihormati, sangat besar pondok pesantrennya, karena memang muridnya-pun sangat banyak, menurut kabar, beratas-ratus (orang).

8. Amangsuli kang lagya lumaris, sadaya mangulon, sêpi mendhung sumilak langite, saya siyang lampahnya wus têbih, sunaring hyang rawi, sagêt bênteripun.

Kembali menceritakan mereka yang tengah berjalan, bergerak ke barat, tak ada mendung bergelayut sangat terang langit dikala itu, semakin siang perjalanan mereka semakin jauh, sinar hyang rawi (matahari), terasa menyengat panas.

9. Marma reren sapinggiring margi, ngandhap wringin ayom, ayêm samya anyêrêng kacune, tinamakkên ayoming waringin, pan kinarya linggih, jengkeng sêmu timpuh.

Oleh karenanya memutuskan untuk berhenti dipinggir jalan, tepat dibawah pohon beringin yang sejuk, segar terasa semua mengeluarkan sapu tangan ( pada jaman itu sapu tangan yang dipakai kebanyakan berukuran besar, seukuran handuk mini pada jaman sekarang), dibentangkan dibawah beringin, dipakai sebagai alas duduk, berjongkok setengah bersimpuh.

10. Êcisira cinublêskên siti, murid sami lunggoh, munggeng ngarsa ajejer lungguhe, kasiliring samirana ngidid, pating clumik muji, têsbehnya den etung.

Tongkat ditancapkan diatas tanah, para murid telah duduk semua, mengambil posisi duduk didepan ( dan menghadap Kyai Guru) berjajar-jajar, diterpa hembusan angin, bibir (ketiga Kyai Guru) berkomat-kamit melantunkan doa, sembari menghitung tasbih (masing-masing).

11. Murid nênêm ambelani muji, dikir lenggak-lenggok, manggut-manggut sirah gedheg-gedheg, dereng dangu nulya aningali, mring sajuga janmi, lir dandang lumaku.

Keenam murid mengikut berdoa, berdzikir kepalanya melenggak-lenggok, mengangguk-angguk kadang bergeleng-geleng pula, belum begitu lama lantas melihat, seorang manusia, (buruk rupa) bagaikan seekor burung gagak yang tengah berjalan.

Pupuh II
Dandanggula
(Kumpulan Syair II, Lagu ber-irama Dandanggula)

1. Êndhek cilik remane barintik, tur aburik wau rainira, ciri kera ing mripate, alis barungut têpung, irung sunthi cangkême nguplik, waja gingsul tur pêthak, lambe kandêl biru, janggut goleng sêmu nyênthang, pipi klungsur kupingira anjêpiping, gulu panggêl tur cêndhak.

Berpostur pendek dan kecil dengan rambut keriting, kulit wajahnya kasar, bermata kera (arah pandang mata yang tidak normal), alisnya tebal dan bertemu ujung keduanya, hidung pesek mulut maju, gigi gingsul besar berwarna putih, bibirnya tebal berwarna biru, janggut tumpul (tidak runcing) dan melebar jelek, pipinya kempot bentuk daun telinga maju (seperti telinga gajah), sedangkan leher besar dan pendek.

2. Pundhak brojol sêmune angêmpis, punang asta cêndhak tur kuwaga, ting carênthik darijine, alêkik dhadhanipun, wêtêng bekel bokongnya canthik, sêmu ekor dhêngkulnya, lampahipun impur, kulit ambêsisik mangkak, ambêngkerok napasira kêmpas-kêmpis, sayak lêsu kewala.

Pundak turun seperti luruh kebawah, tangannya pendek dan besar, jari jemarinya tidak rapi jelek, dadanya kempis, perut buncit kecil pantat kecil, lututnya kecil, tidak rapi saat berjalan, kulit tubuh seolah bersisik dengan warna gelap, saat bernafas suaranya terdengar dan tersengal-sengal, bagaikan orang yang tengah kelelahan.

3. Bêdudane pring tutul kinisik, apan blorok kuninge sêmu bang, asungsun tiga ponthange, bongkot têngah lan pucuk, timah budhêng ingkang kinardi, cupak irêng tur tuwa, gripis nyênyêpipun, mêlêng-mêlêng sêmu nglênga, labêt saking kenging kukus sabên ari, pangoturik den asta.

Pipa rokok yang dibawa berasal dari pohon bambu berukuran kecil yang digosok, warnanya kuning bersemu merah, diberikan hiasan pada tiga tempat, dibagian pangkal tengah dan ujung, timah hitam yang dipakai hiasan, terlihat jelek berwarna hitam pekat, dibagian untuk menghisap telah gripis (sedikit rusak), berminyak kehitam-hitaman, karena setiap saat terkena asap, walaupun begitu tetap saja dipakai.

4. Kandhutane klelet gangsal glindhing, alon lenggah cakêt Guru tiga, sarwi angempos napase, kapyarsa sênguk-sênguk, gandanira prêngus asangit, tumanduk mring panggenan, santri ingkang lungguh, Gatholoco ngambil sigra, kandhutane têgêsan kang aneng kendhit, gya nitik karya brama.

Bekal yang dibawa adalah candu tiga gelintir, pelan mengambil duduk dekat dengan ketiga Guru, terdengar suara nafasnya, tercium bau badan yang tidak sedap, prengus (istilah Jawa untuk mendefinisikan jenis bau yang mirip dengan bau kambing) sangit (istilah Jawa untuk mendefinisikan bau dari sisa pembakaran), menebar ke sekeliling, ditempat mana para santri tengah duduk, Gatholoco segera mengambil, bekal yang tersimpan dalam buntalan yang terikat dipinggangnya, lantas memantik korek api.

5. Nulya udut kebulnya ngêbuli, para santri kawratan sêdaya, asêngak sanget sangite, murid nênêm tumungkul, mêrgo sarwi atutup rai, sawêneh mithes grana, kang sawêneh watuk, mingsêr saking palênggahan, samya pindhah neng wurine guruneki, nyingkiri punang ganda.

Seketika asap rokok menyebar, semua santri terganggu, sêngak (istilah Jawa untuk mendefinisikan bau dari benda yang kotor) sangat sangit (lihat keterangan di syair: 5 diatas), kontan keenam murid mengalihkan pandangan dari Gatholoco, sembari menutup wajah (karena terganggu asap berbau tidak sedap), seorang lagi memencet hidung, seorang lagi terbatuk-batuk, segera mereka bergeser, duduk dibelakang para guru mereka, menghindari bau yang tak sedap.

6. Guru tiga waspada ningali, mring Wajuja ingkang lagya prapta, kawuryan mêsum ulate, sareng denira nebut, astagapirullah-hal-ngadim, dubillah minas setan, ilaha lallahu, lah iku manusa apa, salawase urip aneng dunya iki, ingsun durung tumingal.

Ketiga guru memperhatikan dengan seksama, kepada Wajuja (diambil dari nama sekelompok makhuk bar-bar pengganggu yang tertulis dalam Al-Qur’an, yaitu Ya’juj wa Ma’juj) yang baru datang ini, terlihat tidak patut tingkahnya, hampir bersamaan mereka berucap, Astaghfirullahal ‘adzim (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung), Audzubillahiminassyaithon (Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan), Laillahailallahu (Tiada Tuhan selain Allah), Manusia apakan ini? selama hidupku didunia ini, aku belum pernah menjumpai.

7. Janma ingkang rupane kayeki, sarwi noleh ngandika mring sabat, Padha tingalana kuwe, manusa kurang wuruk, datan wêruh sakehing Nabi, neng dunya wus cilaka, iku durung besuk, siniksa aneng akherat, rikêl sewu siksane neng dunya kuwi, mulane wêkas ingwang.

Manusia yang berwujud seperti ini, sembari menoleh berkatalah kepada para sahabat (para santri), Lihatlah itu, manusia kurang pengajaran, tidak mengenal Para Nabi, didunia sudah celaka, belum kelak, disiksa di akherat, berlipat seribu siksaannya lebih dari siksaan didunianya kini, oleh karenanya aku berpesan.

8. Ingkang pêthel sinauwa ngaji, amrih wêruh sarak Rasulullah, slamêt dunya akherate, sapa kang nêja manut, ing saringat Andika Nabi, mêsthi oleh kamulyan, sapa kang tan manut, bakale nêmu cilaka, Ahmad Ngarip mangkana denira eling, Janma iku sun kira.

Yang rajin dalam mengaji, supaya mengetahui syari’at Rasulullah, akan selamat dunia akhirat, barangsiapa yang berkehendak menurut, kepada syari’at Baginda Nabi, pastilah akan mendapatkan kemuliaan, barangsiapa yang tak menurut, bakal menemukan celaka, begitulah pesan dari Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Manusia itu aku duga.

9. Dudu anak manusa sayêkti, anak Bêlis Setan Brêkasakan, turune Mêmêdi Wewe, Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Bêlis, langkung sakit manahnya, nanging tan kawêtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajêbug sigra ingambil, den untal babar pisan.

Bukan anak manusia sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brêkasakan (makhluk yang tidak karu-karuan hidupnya), keturunan Mêmêdi (makhluk yang menakutkan) atau Wewe (Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco mendengar akan hal itu, disebut sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan saja, membuka gembolannya kembali, diambilnya candu sekepal, dimakan sekaligus semuanya.

10. Pan sakala êndême mratani, mrasuk badan kulit dagingira, ludira otot bayune, balung kalawan sungsum, kêkiyatan sadaya pulih, kawistara njrêbabak, cahyanipun santun, Guru tiga wrin waspada, samya eram tyasnya ngungun tan andugi, pratingkah kang mangkana.

Seketika mabuklah dia, candu merasuk badan kulit dan dagingnya, darah otot dan kekuatannya, tulang dan sumsumnya, seluruh kekuatan terasa pulih, dapat dilihat dari wajahnya yang memerah, cahaya wajahnya kembali, ketiga Guru waspada mengamati, heran hati mereka tak bisa memahami, kelakuan yang seperti itu.

11. Abdul Jabar ngucap mring Mad Ngarip, Lah ta mara age takonana, apa kang den untal kuwe, lan sapa aranipun, sarta manêh wismane ngêndi, apa panggotanira, ing sadinanipun, lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.

Abdul Jabar berkata kepada (Ah)mad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Segeralah kamu tanyai, apa yang dimakannya barusan, dan siapa namanya, dan lagi rumahnya dimana, apa pekerjaannya, pekerjaan sehari-harinya, dan apakah tidak pernah mandi, sehingga kulitnya bersisik, manusia ini aku kira.

12. Ora ngrêti nyarak lawan sirik, najis mêkruh batal lawan karam, mung nganggo sênênge dhewe, sanajan iwak asu, daging celeng utawa babi, anggêr doyan pinangan, ora nduwe gigu, tan pisan wêdi duraka, Ahmad Ngarip mrêpeki gya muwus aris, Wong ala ingsun tannya.

Tidak mengetahui syari’at dan larangannya, najis makruh batal apalagi haram, hanya menuruti kesenangan sendiri, walaupun daging anjing, daging celeng maupun babi, kalau suka pasti dimakannya, tak memiliki rasa jijik, tak takut akan durhaka, Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif) mendekat dan segera berkata, Hai manusia jelek aku hendak bertanya.

13. Lah ta sapa aranira yêkti, sarta manêh ngêndi wismanira, kang tinannya lon saure, Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku têngah jagad, Guru tiga ngrungu, sarêng denya latah-latah, Bêdhes buset aran nora lumrah janmi, jênêngmu iku karam.

Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya menjawab pelan, Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ), rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka tertawa terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja itu sudah haram!

14. Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggêguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur, Krana saking tyasingsun gêli, gumun mring jênêngira, Gatholoco muwus, Ing mangka jênêng utama, Gatho iku têgêse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti Gosokan.

Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai Guru menjawab, Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata, Padahal itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang Dirahasiakan ( Gathel : Penis ), Loco artinya Dikocok.

15. Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yekti sun sauri bae, têtêlu araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang misuwur, manca pat manca lêlima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha priya.

Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima, tiga namaku, yang pertama Barang Kinisik ( Barang yang sering digosok-gosokkan kepada lobang), satunya lagi Barang Panglusan (Barang yang sering dihaluskan dengan cara dikeluar masukkan), akan tetapi yang terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima penjuru angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati.

16. Kyai Guru mangsuli Tan bêcik, jênêngira iku luwih ala, jalaran bangêt sarune, karam najis lan mêkruh, iku jênêng anyilakani, jênêng dadi duraka, jênêng ora patut, wus kasêbut jroning kitab, nyirik karam yen mati munggah suwargi, kang karam manjing nraka.

Kyai Guru menjawab Tidak patut, namamu itu sangat-sangat jelek, karena sangat tabunya, bukah hanya makruh tapi sudah najis bahkan haram! Itu nama yang mencelakakan, nama yang membuat orang menjadi durhaka, nama yang tidak patut, sudah disebutkan didalam kitab, apabila menghindari hal-hal yang haram jika meninggal kelak pasti akan naik ke surga, yang tidak menghindari hal-hal yang haram pasti kelak masuk neraka.

17. Gatholoco menjêp ngiwi-iwi, gya gumujêng nyawang Guru tiga, sarwi mangkana ujare, Sarak-ira kang kliru, sapa bisa angêlus wadi, yêkti janma utama, iku apêsipun, priyayi kang lungguh Dêmang, myang Panewu Wadana Kliwon Bupati, liyane ora bisa.

Gatholoco mencibir memperolok-olok, lantas tertawa memperhatikan ketiga Guru, sembari berkata demikian, Pemahamanmu atas syari’at salah! Siapa saja yang mampu mengerti rahasia (proses penciptaan melalui sexualitas), dialah manusia utama, hal inilah kelemahan, seluruh manusia walaupun berpangkat Dêmang, berpangkat Panêwu berpangkat Wadana berpangkat Kliwon maupun Bupati sekalipun, semuanya tidak ada yang memahami.
________________

 

 Re: SERAT GATHOLOCO

SERAT GATHOLOCO (2)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
Yang disimpan oleh :
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

Sebelum melanjutkan ke-Pada (Syair) berikutnya (akan saya posting pada catatan bagian tiga), maka perlulah kiranya kita ulas beberapa Pada (Syair) yang telah saya posting pada catatan bagian pertama. Beberapa Pada (Syair) penting yang patut diulas agar tidak menimbulkan kesalah pemahaman adalah sebagai berikut :

1. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 9 :

Dudu anak manusa sayêkti, anak Bêlis Setan Brêkasakan, turune Mêmêdi Wewe, Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Bêlis, langkung sakit manahnya, nanging tan kawêtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajêbug sigra ingambil, den untal babar pisan.

Bukan anak manusia sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brêkasakan (makhluk yang tidak karu-karuan hidupnya), keturunan Mêmêdi (makhluk yang menakutkan) atau Wewe (Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco mendengar akan hal itu, disebut sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan saja, membuka gembolannya kembali, diambilnya candu sekepal, dimakan sekaligus semuanya.

Penulis Gatholoco tampaknya mengambil pola pikir dari ajaran Shiwa Tantrayana yang sangat populer ditanah Jawa pada masa lampau. Dalam kitab Mahanirvana Tantra jelas disebutkan sebagai berikut :

“Pautvaa pitvaa punah pitvaa yaavat patati bhuutale, Punarutyaaya dyai potvaa punarjanma ga vidhate.”

“Minum, teruslah minum hingga kamu terjerembab ke tanah. Lantas berdirilah kembali dan minum lagi hingga sesudah itu kamu akan terbebas dari punarjanma (kelahiran kembali) dan mencapai kesempurnaan (Moksha).”

Maksud dari sutra ini, tak lain adalah meminum minuman spiritual, bukan minuman berwujud fisik yang mengandung alkhohol. Seseorang yang terus meminum anggur spiritualitas hingga jatuh bangun, dan tetap tidak jera untuk terus mereguknya, maka hanya dengan jalan seperti itu, dapat dipastikan, Kesadaran akan tertempa, terbangun dan terasah.

Meminum anggur spiritualitas sehingga mabuk, atau dalam syair diatas digambarkan memakan CANDU SPIRITUALITAS, sehingga terikat betul dengan Ke-Illahi-an, sehingga KECANDUAN betul dengan Kesempurnaan, adalah prasyarat mutlak bagi siapa saja yang ingin menggapai Kesadaran Purna.

2. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 11 :

Abdul Jabar ngucap mring Mad Ngarip, Lah ta mara age takonana, apa kang den untal kuwe, lan sapa aranipun, sarta maneh wismane ngêndi, apa panggotanira, ing sadinanipun, lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.

Abdul Jabar berkata kepada (Ah)mad Ngarip (Ahmad ‘Arif), Segeralah kamu tanyai, apa yang dimakannya barusan, dan siapa namanya, dan lagi rumahnya dimana, apa pekerjaannya, pekerjaan sehari-harinya, dan apakah tidak pernah mandi, sehingga kulitnya bersisik, manusia ini aku kira.

Masyarakat awan atau dalam istilah Tassawuf Islam disebut Mukmin ‘Am (seringkali ditulis dengan logat Mukmin Ngam dalam setiap sastra Jawa klasik) atau Walaka dalam istilah Shiwa Buddha, sudah barang tentu akan keheran melihat tingkah laku manusia-manusia aneh yang kecanduan spiritualitas seperti Gatholoco. Mereka akan bertanya-tanya, apa yang di-‘makan’-nya? Apa yang di-‘telan’-nya sehingga demikian ‘gila’-nya itu orang? Fenomena ini digambarkan secara konotatif dalam adegan diatas. Dimana sosok manusia Gatholoco menelan candu didepan para agamawan sehingga membuat keheranan mereka.

Manusia Gatholoco akan membuat logika spiritual orang awam terjungkir-balikkan, bahkan mereka yang mengaku agamawan sekalipun akan dibuat kalang-kabut olehnya. Manusia Gatholoco sangat unik karena benar-benar mabuk oleh candu Illahi. Siapapun yang mabuk candu Illahi, maka Kesadarannnya akan terayun kesegala arah bagai Palu Illahi yang tanpa ampun akan menggedor sekat-sekat sempit pemahaman awam tentang syari’at. Fenomena yang dialami oleh manusia Gatholoco, akan sulit dipahami oleh mereka yang tidak mau menikmati candu yang sama.

3. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 13 :

Lah ta sapa aranira yêkti, sarta maneh ngêndi wismanira, kang tinannya lon saure, Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku têngah jagad, Guru tiga ngrungu, sarêng denya latah-latah, Bêdhes buset aran nora lumrah janmi, jênêngmu iku karam.

Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya menjawab pelan, Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ), rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka tertawa terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja itu sudah haram!

Manusia Gatholoco akan menyatakan dirinya sebagai Lanang Sujati (Hal ini akan diuraikan dalam syair ke-18 pada bagian tiga) yang bertempat tinggal di TENGAH-TENGAH DUNIA. Tengah-tengah dunia menyiratkan bahwa DIA TIDAK DITIMUR TIDAK DIBARAT TIDAK DIUTARA TIDAK DISELATAN TIDAK PULA DI ATAS, DITENGAH ATAU DIBAWAH. SEMUA ARAH ADALAH TEMPATNYA.

Dualitas duniawi, senang-sedih, panas-dingin, tinggi-rendah, nikmat-sakit, hidup-mati dan sebagainya akan menyeret manusia awam kearah salah satu kutub-nya. Namun bagi manusia Gatholoco, dia telah mampu berpijak ditengah-tengah keduanya. Berpijak dalam keadaan seimbang total! Manusia Gatholoco telah melampaui dualitas duniawi!

Manusia Gatholoco tidak condong ke kanan maupun kekiri. Manusia Gatholoco telah melampaui dualitas duniawi (Rwabhineda) sehingga tepatlah jika dikatakan KEDUDUKAN DIA BERADA DITENGAH-TENGAH JAGAD atau DUNIA!

4. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 14 :

Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggêguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur, Krana saking tyasingsun gêli, gumun mring jênêngira, Gatholoco muwus, Ing mangka jênêng utama, Gatho iku têgêse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti Gosokan.

Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai Guru menjawab, Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata, Padahal itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang Dirahasiakan ( Gathel : Penis ), Loco artinya Dikocok.

Inilah pernyataan Gatholoco yang sangat vulgar tentang arti namanya. Gatho atau GATHEL (maaf) dalam bahasa Jawa berarti PENIS, sedangkan LOCO artinya KOCOK. Gatholoco tak lebih berarti KOCOKAN DARI PENIS. Dan akibat dari aktifitas KOCOKAN ini, pada ujungnya memuncak pada fenomena TERPANCARNYA CAIRAN SPERMA. Arti nama Gatholoco sangatlah tabu jika hal ini dikaitkan dengan etika masyarakat pada umumnya. Namun bagaimana-pun juga, manusia yang terdiri dari tiga bentukan badan (sarira) sesuai dengan mantra-mantra yang ada dalam ATMOPANISHAD, yaitu Badan Fisik atau ‘STHULA SARIIRA’, Badan Halus atau ‘SUKSMA SARIIRA’ dan Badan Sejati atau ‘ATMA SARIIRA’, semua memang tercipta dari fenomena ‘PANCARAN’ ini.

Dalam istilah Tassawuf Islam, Badan Fisik (STHULA) disebut ‘JASAD’ dan dalam istilah Islam Kejawen, disebut ‘DHINDHING JALAL ARAN KIJAB (Dinding Agung Yang Disebut Hijab ; Penghalang/Tabir/Tirai)’.

Sedangkan Badan Halus (SUKSMA) dalam istilah Tassawuf Islam disebut ‘NAFS (Pribadi/personil)’ dan dalam Islam Kejawen disebutROH ILAPI (Ruh Idlafi), DAMAR ARAN KANDHIL (Pelita bernama Kandil) dan SESOTYA ARAN DARAH (Cahaya bernama Darah)

Badan Sejati (ATMA) dalam istilah Tassawuf Islam disebut ‘RUH’ dan dalam Islam Kejawen disebut ‘KAYU SAJARATUL YAKIN (Hayyu Syajaratul Yaqin ; Hidup Sebagai Pohon/Akar Keyakinan Utama)’ , NUR MUHAMMAD (Cahaya Terpuji) dan KACA ARAN MIRATULKAYAI (Cermin bernama Mir’atul Haya’; Mir’ah = Cermin, Haya’ = Malu) atau cukup disebut ‘KANG NGURIPI (Yang membuat manusia hidup)’.

Dalam istilah Kristiani, Badan Fisik (STHULA) dan Badan Halus (SUKSMA) , keduanya di sebut tataran ‘DAGING’. Dan Badan Sejati (ATMA) disebut ‘ROH KUDUS’!

Dalam tataran materi (Skala), proses terbentuknya Badan Fisik dan Badan Halus tidak bisa lepas dari fenomena ‘TERPANCARNYA SPERMA KEDALAM RAHIM SEBAGAI PUNCAK DARI SEBUAH AKTIFITAS SEXUAL’. Tak jauh beda pula pada tataran Immateri (Niskala), terciptanya Atma dan seluruh semesta ini tak lepas pula dari fenomena dahsyat ‘PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA APA YANG DINAMAKAN PRAKRTI.

BRAHMAN yang mutlak atau PARAMASHIWA, yaitu SUMBER SEGALA SUMBER HIDUP INI atau HIDUP itu sendiri (Tassawuf Islam menyebutnya ‘ALLAH’, Kejawen menyebutnya ‘URIP’ yang artinya adalah ‘Hidup’, Kristiani menyebutnya ‘ALLAH BAPA’), Yang Melampaui Segalanya, Mengatasi Segalanya, Tidak diketahui apa sesungguhnya Dia, Mengatasi segala pribadi, Sempurna, Yang Murni dan sebagainya, pada suatu saat, berkehendak mempersempit ke-Mutlak-an-Nya.

Proses ini dinamakan DOSHA atau KESALAHAN. Sebuah DOSHA yang memang disengaja oleh-Nya. BRAHMAN atau PARAMASHIWA yang mempersempit ke-Mutlak-an-Nya ini lantas mengenakan sifat MAHA. MAHA ADA, MAHA KUASA, MAHA AGUNG, MAHA SUCI dan sebagainya. Dia lantas dikenal dengan nama PURUSHA yang artinya YANG BERKEHENDAK atau SADASHIWA (Tassawuf Islam menyebutnya ‘NURUN ‘ALA NUURIN’ yang artinya ‘Cahaya Diatas Cahaya’. Kejawen menyebutnya ‘KANG GAWE URIP’ yang artinya ‘Yang Menyebabkan adanya kehidupan material’. Kristiani menyebutnya ‘ALLAH PUTRA’).

Bersamaan proses mempersempit ke-Mutlak-an-Nya tersebut, tercipta bayangan BRAHMAN atau PARAMASHIWA yang disebut PRAKRTI. PRAKRTI inilah cikal-bakal bahan materi seluruh alam semesta. (PRA : Sebelum, KRTI : Membuat). PRAKRTI mengandung unsur negatif dan positif semesta, PRAKRTI inilah yang sesungguhnya dalam tradisi agama timur tengah disebut PENGHULU MALAIKAT dan IBLIS itu sendiri!

Bahan-bahan positif dari PRAKRTI yang kelak membentuk Badan Halus dan Badan Kasar manusia dengan unsur positif-nya, inilah yang disimbolkan sebagai MALAIKAT YANG MENJAGA MANUSIA. Sedangkan bahan-bahan negatif PRAKRTI yang kelak membentuk Badan Halus dan Badan Kasar manusia dengan unsur negatif-nya, inilah yang disimbolkan sebagai SETAN-SETAN YANG MENGGODA MANUSIA!

UNSUR POSITIF ALAM DIDALAM PRAKRTI ITULAH PARA PENGHULU MALAIKAT! UNSUR NEGATIF ALAM DIDALAM PRAKRTI ITULAH IBLIS.

SEGALA HAL YANG TERDAPAT DALAM BADAN HALUS DAN BADAN KASAR ANDA YANG MENUNJANG KEARAH KEBENARAN, ITULAH MALAIKAT PENDAMPING ANDA! SEGALA HAL YANG TERDAPAT DALAM BADAN HALUS MAUPUN BADAN KASAR ANDA YANG SENANTIASA MENGGANGGU ANDA BERJALAN DIJALAN KEBENARAN, ITULAH ANAK-ANAK IBLIS YANG DISEBUT SETAN! BUKALAH KESADARAN ANDA SAAT INI JUGA!

MALAIKAT tercipta dari CAHAYA. IBLIS tercipta dari API. CAHAYA dan API tidak bisa dipisahkan! Mengapa masih juga anda tidak mengerti dengan simbolisasi seperti ini?

Akibat PANCARAN ENERGI DARI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA PRAKRTI, maka terperciklah tak terhitung ATMA-ATMA sebagai percikan PURUSHA. Bagai API dengan PERCIKANNYA. Bagai AIR dengan TETESANNYA.

Bahkan dari proses PANCARAN ENERGI ini, tercipta pula bahan-bahan material alam semesta sebagai bakal wadah bagi Atma-Atma.

Dari PURUSHAatau SADASHIWA terciptalah ATMA-ATMA, dan dari bahan-bahan material akibat PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA PRAKRTI terciptalah kelak Badan Halus (SUKSMA) dan Badan Fisik (STHULA).

PRAKRTI HANYA SEKEDAR SEBAGAI TEMPAT PENAMPUNGAN SEMUA ITU. PRAKRTI IBARAT RAHIM SEMESTA!

Dan semua proses ini tak lain berawal dari PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA PRAKRTI.

Dan proses ini diulang kembali, dalam bentuk aktifitas badaniah antara laki-laki dan wanita yang dinamakan sexualitas. Dimana penis makhluk jantan harus dikocok didalam vagina makhluk wanita (Gatholoco) agar memancarlah sperma yang penuh dengan berjuta-juta bibit kehidupan (Atma) kedalam rahim.

Proses sexualitas, adalah proses pematangan agar Atma benar-benar dibungkus oleh Badan Halus (Suksma) dan Badan Fisik (Sthula) didalam kandungan seorang wanita selama rentang waktu sembilan bulan sepuluh hari.

Nama Gatholoco sangat tabu, tapi dari Gatholoco-lah seluruh kehidupan tercipta. Maka sesungguhnya benar apa yang dikatakan Gatholoco, bahwa nama yang dipakainya adalah nama Rahasia Yang Mulia.

5. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 15 :

Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yêkti sun sauri bae, têtêlu araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang misuwur, manca pat manca lêlima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha priya.

Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima, tiga namaku, yang pertama Barang Kinisik ( Barang yang sering digosok-gosokkan kepada lobang), satunya lagi Barang Panglusan (Barang yang sering dihaluskan dengan cara dikeluar masukkan), akan tetapi yang terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima penjuru angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati.

Nama lain GATHOLOCO adalah BARANG KINISIK (Benda yang digosok-gosokkan didalam lobang) dan satunya lagi BARANG PANGLUSAN (Benda yang dihaluskan dengan cara dikeluar masukkan). Maknanya tiada beda, tak lain adalah PENIS YANG DIKOCOK.

KESADARAN MANUSIA GATHOLOCO MAMPU MEMAHAMI, bahwasanya cikal bakal kehidupan manusia dan beberapa makhluk yang mulai berkembang Kesadaranya, HARUS MELALUI PROSES PANCARAN SPERMA KEDALAM RAHIM.

Lebih tinggi dari itu, KESADARAN MANUSIA GATHOLOCO JUGA MEMAHAMI, bahwa SELURUH SEMESTA RAYA INI TERCIPTA JUGA AKIBAT PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEDALAM KANDUNGAN PRAKRTI!

Proses ini adalah sebuah proses yang SAKRAL dan SUCI. Jadi sangat-sangat tidak patut jika aktifitas sexual hanya dipergunakan untuk sekedar mengejar sensasi kenikmatan belaka!

Manusia-manusia Gatholoco hanya akan MENGKOCOK PENIS MEREKA KEDALAM LIANG VAGINA sekedar untuk memberikan jalan bagi kelahiran kembali para Atma yang hendak melanjutkan proses evolusinya dialam manusia.

Manusia-manusia yang bukan manusia Gatholoco hanya akan melakukan PENGKOCOKAN PENIS MEREKA KEDALAM VAGINA sekedar untuk menikmati sensasi kenikmatannya belaka!

Laki-laki yang memahami hal ini, patut disebut PRIA SEJATI. Begitu juga wanita yang memahami akan hal ini, sepatutnya juga disebut WANITA SEJATI.

ITULAH BEDA MANUSIA GATHOLOCO DAN YANG BUKAN MANUSIA GATHOLOCO! SEMOGA ANDA SEMUA MEMAHAMI MAKSUD PENULIS GATHOLOCO DAN TIDAK SALAH MENGERTI KARENANYA!

_________________

 

 Re: SERAT GATHOLOCO

 

SERAT GATHOLOCO (3)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

18. Rehning ingsun tan dadi priyayi, mung jênêngku jênêng Wadi Mulya, supaya turunku têmbe, dadi priyayi agung, Abdul Jabar angucap bêngis, Dhapurmu kaya luwak, nganggo sira ngaku, lamun Sujatine Lanang, Gatholoco gumujêng alon nauri, Ucapku nora salah.

Walaupun aku bukan priyayi (bangsawan), akan tetapi namaku adalah Rahasia Mulia, supaya kelak para keturunanku, akan menjadi priyayi (bangsawan) besar (maksud Gatholoco, bangsawan spiritualitas), Abdul Jabar berkata bengis, Rupamu saja seperti Luwak (binatang sejenis musang yang berwujud jelek)! Bisa-bisanya mengaku, sebagai Sujatine Lanang (Sejatinya Lelaki), Gatholoco tertawa dan menjawab pelan, Ucapanku tidak salah.

19. Ingsun ngaku wong Lanang Sujati, basa Lanang Sujati têmênan, wadiku apa dhapure, Sujati têgêsipun, ‘ingSUn urip tan nêJA maTI’, Guru tiga angucap, Dhapurmu lir antu, sajêge tan kambon toya, Gatholoco macucu nulya mangsuli, Ewuh kinarya siram.

Aku mengaku sebagai Lanang Sujati (Lelaki Sejati), arti dari Lanang Sujati (Lelaki Sejati) sesungguhnya adalah, aku disebut LANANG karena memahami Rahasia Mulia barang (penis)-ku, sedangkan SUJATI (Sejati) artinya ‘ingSUn urip tan nêJA ma TI’ (Aku Yang Hidup Tak Dapat Mati Selamanya). Ketiga Guru berkata, Rupamu seperti hantu, tak pernah tersentuh air, Gatholoco cemberut lantas menjawab, Aku bingung hendak mandi dengan apa.

20. Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun adus gênine, jro badan isi latu, yen rêsika sun gosok siti, asline saking lêmah, sun dus-ana lesus, badanku sumbêr maruta, tuduhêna kinarya adus punapi, ujarnya Guru tiga.

Jikalau aku harus mandi menggunakan air, tubuhku sudah penuh dengan unsur air, jikalau harus mandi menggunakan api, didalam badan penuh unsur api, jikalau harus membersihkan diri dengan menggunakan tanah, sudah jelas daging ini berasal dari tanah, aku mandi menggunakan angin leysus, badanku sumber dari angin, beritahu kepadaku apa yang harus aku pakai untuk mandi? Ketiga Guru menjawab.

21. Asal banyu yêkti adus warih, dimen suci iku badanira, Gatholoco sru saure, Sira santri tan urus, yen suciya sarana warih, sun kungkum sangang wulan, ora kulak kawruh, satêmêne bae iya, ingsun adus Tirta Tekad Suci Êning, ing tyas datan kaworan.

Tubuhmu berasal dari cairan (sperma) sudah layak jika mandi menggunakan air, agar suci dirimu itu, Gatholoco lantang menjawab, Kalian santri bodoh! Jikalau bisa suci karena mandi dengan air, aku akan berendam selama sembilan bulan saja, tidak perlu mencari ilmu (Ke-Tuhan-an), ketahuilah bahwa sesungguhnya, aku telah mandi Air Tekad Suci yang Jernih, yaitu jernihnya hati tanpa dikotori oleh.

22. Bangsa salah kang kalêbu ciri, iya iku adusing manusa, ingkang sabênêr-bênêre, Kyai Guru sumaur, Wong dhapure lir kirik gêring, sapa ingkang pracaya, nduwe pikir jujur, sira iku ingsun duga, ora nduwe batal karam mêkruh najis, wêruhmu amung halal.

Segala macam perbuatan yang salah, itulah mandi yang sesungguhnya bagi manusia, mandi yang sebenar-benarnya mandi, Kyai Guru menyahut, Rupamu saja seperti kirik gêring (anjing penyakitan), siapa yang bakalan mempercayai, jika kamu memiliki kejujuran? Jika tak salah dugaanku, kamu pasti tidak mengenal peraturan tentang batal haram makruh najis, yang kamu ketahui hanya halal saja.

23. Najan arak iwak celeng babi, anggêr doyan mêsthi sira pangan, ora wedi durakane, Gatholoco sumaur, Iku bênêr tan nganggo sisip, kaya pambatangira, najan iwak asu, sun titik asale purwa, lamun bêcik tan dadi sêriking janmi, najan babi celenga.

Walaupun arak daging celeng dan babi, asal kamu doyan pasti kamu makan, tidak takut dosa, Gatholoco menyahut, Benarlah dan tidak salah, semua dugaanmu kepadaku itu, walaupun daging anjing, aku teliti asal usulnya, manakala diperoleh dengan jalan yang tidak menyakiti sesama manusia, begitupun juga walau daging babi dan celeng.

24. Ngingu dhewe awit saking cilik, sapa ingkang wani nggugat mring wang, halal-e ngungkuli cêmpe, sanajan iwak wêdhus, yen asale srana tan bêcik, karam lir iwak sona, najan babi iku, tinilik kawitanira, yen purwane ngingu dhewe awit gênjik, luwih saking maenda.

Apabila didapat dari hasil beternak sendiri (bukan hasil curian), siapa yang bakalan berani melarangku (untuk memakannya)? Halal-nya melebihi daging kambing, walaupun daging kambing, jika diperoleh dengan jalan tidak baik, itu haram melebihi daging anjing, telitilah asal usulnya, jika daging tersebut berasal dari binatang yang kita pelihara sendiri semenjak kecilnya, halal-nya melebihi kambing!

25. Najan wêdhus nanging nggonmu maling, luwih babi iku karam-ira, najan mangan iwak celeng, lamun asale jujur, mburu dhewe marang wanadri, dudu celeng colongan, halal-e kalangkung, sanajan iwak maesa, yen colongan luwih karam saking babi, ujarnya Guru tiga.

Walaupun kambing namun hasil dari mencuri, melebihi babi itu haram-nya, walaupun memakan daging celeng, tapi jika diperoleh dengan cara yang jujur, berburu sendiri dihutan, bukan celeng curian, halal-nya luar biasa, walaupun daging kerbau, namun hasil curian lebih haram dari babi, Ketiga Guru berkata.

26. Luwih halal padune si Bêlis, pantês têmên uripmu cilaka, kamlaratan salawase, tan duwe bêras pantun, sandhangane pating saluwir, kabeh amoh gombalan, sajêge tumuwuh, ora tau mangan enak, ora tau ngrasakake lêgi gurih, kuru tan darbe wisma.

Memang halal menurut Iblis! Pantas jika hidupmu celaka, melarat selamanya, tak memiliki makanan cukup, busana-pun compang camping, semua hanya gombal lusuh, selama hidup, tak pernah memakan makanan enak, tidak pernah menikmati rasa manis dan gurih, makanya kurus kering dan tak memiliki rumah.

27. Gatholoco ngucap anauri, Ingkang sugih sandhang lawan pangan, pirang kêthi momohane, kalawan pirang tumpuk, najis ingkang sira simpêni, Guru tiga duk myarsa, gumuyu angguguk, Sandhangan ingkang wus rusak, awor lêmah najisku kang tibeng bumi, kabeh wus awor kisma.

Gatholoco menjawab, Yang kaya akan busana dan makanan, berapa peti jumlah busananya, berapa tumpuk persediaan makanannya, itu najis jika cuma kamu simpan sendiri, Ketiga Guru begitu mendengar, seketika tertawa geli, Pakaian yang sudah kotor dan jelek, kami jadikan satu ditanah bersama kotoranku, semua sudah kubuang menjadi satu ke tanah! (Lantas mana yang disebut najis dalam hal semua pakaian yg kumiliki?)

28. Gatholoco anauri malih, Yen mangkono isih lumrah janma, ora kinaot arane, beda kalawan Ingsun, kabeh iki isining bumi, sakurêbing akasa, dadi darbek-Ingsun, kang anyar sarwa gumêbyar, Sun kon nganggo marang sanak-sanak mami, Ngong trima nganggo ala.

Gatholoco menyahuti lagi, Jikalau begitu jelas kalian hanya manusia lumrah, bukan manusia pilihan namanya, berbeda dengan-Ku, sesungguhnya semua yang ada dibumi, dan yang ada dibawah langit, adalah milik-Ku, yang baru dan gemerlap, sengaja Aku berikan kepada saudara-saudaraku (semua makhluk hidup), Aku rela memakai yang jelek-jelek saja.

29. Apan Ingsun trima nganggo iki, pêpanganan ingkang enak-enak, kang lêgi gurih rasane, pêdhês asin sadarum, Sun kon mangan mring sagung janmi, ingkang sinipat gêsang, dene Ingsun amung, ngawruhi sadina-dina, Sun tulisi sastrane salikur iji, Sun simpên jroning manah.

Cukuplah Aku memakan yang ini saja, segala makanan yang enak-enak, yang manis gurih rasanya, pedas dan asin semuanya, Aku berikan untuk dimakan oleh seluruh manusia, dan semua makhluk yang bersifat hidup, sedangkan Aku hanyalah, meneliti setiap hari, Ku catat dalam sebuah sastra sebanyak Duapuluh Satu buah (angka Dua melambangkan mereka yang masih terikat Dualitas duniawi, angka Satu melambangkan mereka yang telah lepas dari Dualitas duniawi. Manusia yang Kesadarannya tinggi, mampu meneliti dan mengamati kedua jenis tingkatan kesadaran para manusia tersebut. Inilah makna Sastra Salikur Iji atau Sastra Duapuluh Satu yang dimaksud Gatholoco), dan Aku simpan didalam hati.

30. Ingsun dhewe mangan sabên ari, Ingsun milih ingkang luwih panas, sarta ingkang pait dhewe, najise dadi gunung, kabeh gunung ingkang ka-eksi, mulane kang bawana, padha mêtu kukus, tumuse gêni Sun pangan, ingkang dadi padhas watu lawan curi, klelet ingkang sun pangan.

Yang Ku-makan setiap hari, Ku-pilih yang sangat panas, dan yang terlampau pahit (maksudnya semua unsur-unsur negatif Alam yang terlalu ekstrim), kotoran (batin)-Ku menjadi gunung, seluruh gunung yang terlihat, (maksudnya, semua unsur negatif yang terlalu ekstrim dari Alam, mampu didaur ulang menjadi unsur yang lebih positif melalui olah batin dari manusia-manusia yang berkesadaran tinggi. Dilambangkan dengan keberadaan sebuah gunung yang menyimpan api menakutkan, namun lava dari gunung berapi, sangat bermanfaat menyuburkan tanah, sehingga tanaman apapun akan gampang tumbuh disekeliling gunung berapi. Jelasnya, dari sesuatu yang menakutkan semacam gunung berapi, mampu didaur ulang menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi manusia. Begitu pula proses daur ulang yang secara tidak disadari telah dilakukan oleh manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam Gatholoco kepada semua unsur negatif alam yang terlalu ekstrim), apa sebabnya dunia diliputi asap saja (maksudnya, banyak unsur api terlampau ekstrim yang sesungguhnya melingkupi dunia ini, namun berkat manusia-manusia yang penuh kesadaran semacam Gatholoco, secara tidak sengaja, mereka-mereka ini menyerap unsur api yang terlalu ekstrim tersebut dan didaur ulang menjadi unsur api positif yang lebih bermanfaat. Jika tidak ada manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam Gatholoco, dapat dipastikan, meteor-meteor raksasa dan hal-hal ekstrim lainnya, akan menghantam dan mengacaukan bumi tanpa ada penghalang lagi! Sadarilah ini!), sebab api telah Aku makan, kotoran (batin)-Ku menjadi batu cadas (seperti halnya dipilihnya ‘Gunung’ sebagai sebuah perumpamaan proses pendaur ulang-an unsur ektrim Alam agar menjadi lebih bermanfaat, ‘Batu Cadas’ dipilih pula karena identik dengan kekokohan, sesuatu yang kokoh kuat. Maksudnya jelas, unsur ekstrim alam, bisa diubah menjadi sesuatu yang stabil demi keberlangsungan semesta sebagai tempat berevolusi. Berterima kasihlah kepada manusia-manusia berkesadaran tinggi seperti Gatholoco!) Aku cukup memakan candu ini. (maksudnya candu spiritualitas)

31. Sadurunge Ingsun ngising najis, gunung iku yêkti durung ana, benjang bakal sirna maneh, lamun Ingsun wus mantun, ngising tai mêtu têka silit, titenana kewala, iki tutur-Ingsun, Guru tiga duk miyarsa, gya micara astane sarwi nudingi, Layak kuru tan pakra.

Sebelum Aku membuang kotoran (batin), seluruh gunung belumlah tercipta (maksudnya, dunia tidak akan stabil sebagai tempat yang sesuai bagi proses evolusi jiwa jika tidak ada manusia-manusia berkesadaran tinggi yang mampu mendaur ulang unsur-unsur ekstrim Alam seperti Gatholoco), kelak akan sirna kembali, jika Aku sudah tidak lagi, membuang kotoran lewat dubur, nyatakanlah kelak, apa yang Aku katakan ini. (maksudnya jika manusia-manusia yang berkesadaran tinggi hilang dari muka bumi, dapat dipastikan kiamat dunia akan tercipta!). Ketiga Guru begitu mendengar, segera berkata sembari menuding, Makanya kurus kering tidak lumrah manusia (tubuhmu).

32. Gatholoco sigra anauri, Mila ingsun kurune kalintang, krana nurut mring karsane, Gusti Jêng Nabi Rasul, sabên ari ingsun turuti, tindak mênyang ngêpaken, awan sore esuk, mundhut candhu lawan madat, dipun dhahar kalawan dipun obongi, Allah kang paring wikan.

Gatholoco segera menjawab, Tubuhku kurus disebabkan, karena menuruti perintah, Gusti (Kang)jêng Nabi Rasul(lullah), setiap hari aku turuti, bertandang ke tempat madat, siang sore pagi, mengambil candu dan madat, dimakan langsung maupun dibakar lalu dihisap, Allah yang memberikan ijin. (Maksudnya Kangjêng Nabi Rasul dalam kesadaran Gatholoco, bukanlah Nabi Muhammad, melainkan Ruh-nya sendiri, Atma-nya sendiri. Suara Atma, suara Ruh, yang sering diistilahkan dengan SUARA NURANI, memerintahkan manusia-manusia seperti Gatholoco untuk terus mabuk spiritual, agar terus ke-Candu-an dengan Ke-Illahi-an. Dan Allah-pun me-ridloi!)

33. Kangjêng Rasul yen tan den turuti, muring-muring bangêt nggone duka, sarta bangêt paniksane, ingsun tan bisa turu, Guru tiga samya nauri, Mung lagi tatanira, Kangjêng Nabi Rasul, karsa tindak mring ngêpaken, Kangjêng Rasul pêpundhene wong sabumi, aneng nagara Mekah.

Kangjêng Rasul(lullah) manakala tidak ditaati perintahnya, marah-marah sangat berang, dan kejam menyiksa, membuat aku tak bisa tidur. (Maksud Gatholoco, jika SUARA NURANI-nya yang berasal dari Ruh-nya sendiri, dari Atma-nya sendiri tidak dia dengarkan, dampaknya akan terjadi konflik batin yang berujung pada ketidaknyamanan diri, keresahan diri, sehingga membuat dia tidak bisa tidur!) Ketiga Guru segera menjawab, Ucapan tidak pantas, mengatakan Kangjêng Nabi Rasul(lullah), mengutus agar bertandang ketempat madat! Kangjêng Rasul(lullah) adalah sosok yang diagungkan oleh seluruh manusia, berada di negara Makkah!

34. Gatholoco anauri aris, Rasul Mêkah ingkang sira sêmbah, ora nana ing wujude, wus seda sewu taun, panggonane ing tanah Arbi, lêlakon pitung wulan, tur kadhangan laut, mung kari kubur kewala, sira sêmbah jungkar-jungkir sabên ari, apa bisa tumêka.

Gatholoco menjawab pelan, Rasul yang ada di Mekkah yang kamu agungkan, sudah tidak ada lagi wujudnya (Telah mencapai Kesempurnaan), sudah meninggal seribu tahun yang lalu, makamnya di tanah Arab, perjalanan selama tujuh bulan untuk kesana, harus menyeberangi lautan, sekarang hanya tinggal kuburannya saja, kamu agungkan setiap hari sembari berjungkir balik, tidak mungkin beliau menemuimu? (Nabi Muhammad telah mencapai Kesempurnaan. Sebelum mencapai tingkat ini, beliau telah meninggalkan PETUNJUK bagi para pengikutnya, yaitu Al-Qur’an dan Hadist demi pegangan sebagai acuan peningkatan Kesadaran mereka. Dari kedua petunjuk ini, para pengikut beliau harus mampu meneladani, mengamalkan dan HARUS MANDIRI! SEKALI LAGI, HARUS MANDIRI! KESADARAN TIDAK BISA DIBUAT OLEH ORANG LAIN! MAKA NABI MUHAMMAD TIDAK AKAN MUNGKIN TERUS HADIR MEMBERIKAN PETUNJUK, KARENA APA YANG TELAH BELIAU TINGGALKAN SUDAH CUKUP! BERSIKAPLAH DEWASA! JANGAN KAYAK ANAK KECIL YANG TERUS MEREPOTKAN ORANG TUA! MANDIRILAH! ITU MAKSUD GATHOLOCO! )

35. Sêmbahira dadi tanpa kardi, luwih siya marang raganira, tan nêmbah Rasule dhewe, siya marang uripmu, nêmbah Rasul jabaning dhiri, kabeh sabangsanira, iku nora urus, nêbut Allah siya-siya, pating brêngok Allah ora kober guling, kabrêbêgên suwara.

Pujianmu tiada guna, menyusahkan diri sendiri, tak mengagungkan Rasul (Utusan) sendiri ( Rasul sendiri, maksudnya adalah Atma, Ruh, Percikan Tuhan yang merupakan inti sari setiap makhluk! Ruh kita, Atma kita inilah UTUSAN YANG SESUNGGUHNYA), menyia-nyiakan hidupmu, mengagungkan Rasul diluar diri, semua orang yang sepertimu, tidak memahami yang sebenarnya (Disini sebenarnya sebuah rahasia Sahadat Sejati telah diuraikan oleh Gatholoco, YAITU…………………………………….-maaf saya belum berani menguraikan disini-…………………………………), menyebut nama Allah dengan sia-sia, teriak-teriak membuat Allah tidak sempat tidur, terganggu suara kalian yang sangat berisik (Ungkapan keprihatinan untuk mengkritik kebiasaan mukmin awam yang suka beribadah disertai rasa pamer, riya’. Ibadah tidak perlu ditunjuk-tunjukkan. Lakukan diam-diam. Tidak usah berteriak-teriak! Itu maksud Gatholoco!)

36. Rasulullah seda sewu warsi, sira bêngok saking wisma-nira, bok kongsi modot gulune, masa bisa karungu, tiwas kêsêl tur tanpa kasil, Guru tiga angucap, Ujare cocotmu, layak mêsum ora lumrah, anyampahi pêpundhene wong sabumi, Gatholoco manabda.

Rasulullah telah meninggal seribu tahun yang lalu, kamu teriaki dari rumahmu (dengan harapan ditemui oleh beliau), walaupun sampai melar lehermu, tidak akan berkenan hadir menemuimu? Hanya melelahkan diri sendiri tiada guna ( maksud Gatholoco hanya melelahkan diri sendiri dan tiada guna jika memuji nama beliau dengan harapan agar ditemui dan mendapat tuntunan. Al-Qur’an dan Hadist, itu sudah cukup beliau berikan bagi acuan peningkatan Kesadaran para pengikut beliau!), Ketiga Guru berkata, Ucapan yang keluar dari cocot (bacot)-mu, adalah ucapan orang bingung dan tidak sopan, menghina sesembahan manusia se-dunia! Gatholoco berkata.

37. Bênêr mêsum saking susah mami, kadunungan barang ingkang gêlap, awit cilik têkeng mangke, kewuhan jawab-ingsun, yen konangan ingkang darbeni, supaya bisa luwar, ingsun njaluk rêmbug, kapriye bisane jawab, aywa nganti kêna ukum awak mami, Guru tiga miyarsa.

Memang benar aku bingung disebabkan karena keprihatinanku, karena ketempatan barang yang bukan punyaku, semenjak aku kecil hingga sekarang ini, sulit aku memberikan jawaban, manakala nanti ditanya oleh yang punya, agar aku mampu terlepas dari masalah ini, bisakah aku meminta pendapat kalian, bagaimanakah jawabanku, jangan sampai aku terkena hukuman, Ketiga Guru begitu mendengar ucapan itu.

38. Asru ngucap Nyata sira maling, ora pantês rembugan lan ingwang, sira iku wong munapek, duraka ing Hyang Agung, lamun ingsun gêlêm mulangi, pakartine dursila, mring panjawabipun, ora wurung katularan, najan ingsun datan anglakoni maling, yen gêlêm mulangana.

Keras berkata Ternyata kamu maling! Tidak pantas meminta pendapat kami! Kamu orang munafik! Berdosa kepada Hyang Agung! Jika kami sampai bersedia memberikan pendapat, tidak urung bakal ketularan (dosanya)! Walaupun kami tidak ikut mencuri, manakala bersedia memberikan pendapat.

39. Nalar bangsat paturane maling, yêkti dadi melu kêna siksa, Gatholoco pamuwuse, Yen sireku tan purun, amulangi mring jawab maling, payo padha cangkriman, nanging pamintengsun, badhenên ingkang sanyata, lamun sira têlu pisan tan mangrêti, guru tanpa paedah.

Sama saja menyetujui perbuatan bangsat seorang maling! Pasti akan ikut terkena siksa! Gatholoco berkata, Apabila kalian tidak bersedia, memberikan pemecahan masalah yang dihadapi seorang maling, baiklah mari kita bermain teka-teki, akan tetapi permintaanku, jawablah sungguh-sungguh, jika kalian bertiga tidak mampu menjawab, nyata kalian adalah Guru yang tiada guna!

40. Kyai Guru samya anauri, Mara age saiki pasalna, cangkrimane kaya priye, manira arsa ngrungu, yen wus ngrungu sayêkti bangkit, masa bakal luputa, ucapna den gupuh, angajak cangkriman apa, sun batange dimen padha den sêkseni, santri murid nom noman.

Para Kyai Guru menyetujui, Baiklah sekarang berikan, teka-teki yang seperti apa, kami akan mendengarkan, manakala sudah mendengar pasti akan paham, dan tidak mungkin salah menjawab, cepat ucapkan, mengajak bermain teka-teki yang seperti apa? Akan kami jawab dengan disaksikan, para murid santri yang masih muda-muda (kata muda dlm bahasa Jawa adalah Anom, menandakan syair berikutnya harus dilagukan dengan irama Sinom).

 

 Re: SERAT GATHOLOCO

  admin on Sun Jul 04, 2010 7:02 am

SERAT GATHOLOCO (4)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

Ada beberapa Pada (Syair) yang terdapat pada Pupuh II, Dandanggula, yang harus diulas. Seperti dibawah ini :

1. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 19 :

Ingsun ngaku wong Lanang Sujati, basa Lanang Sujati têmênan, wadiku apa dhapure, Sujati têgêsipun, ‘ingSUn urip tan nêJA maTI’, Guru tiga angucap, Dhapurmu lir antu, sajêge tan kambon toya, Gatholoco macucu nulya mangsuli, Ewuh kinarya siram.

Aku mengaku sebagai Lanang Sujati (Lelaki Sejati), arti dari Lanang Sujati (Lelaki Sejati) sesungguhnya adalah, aku disebut LANANG karena memahami Rahasia Mulia barang (penis)-ku, sedangkan SUJATI (Sejati) artinya ‘ingSUn urip tan nêJA ma TI’ (Aku Yang Hidup Tak Dapat Mati Selamanya). Ketiga Guru berkata, Rupamu seperti hantu, tak pernah tersentuh air, Gatholoco cemberut lantas menjawab, Aku bingung hendak mandi dengan apa.

Gatholoco menyadari bahwa siapapun yang meningkat Kesadarannya, berhak menyandang predikat sebagai Lanang Sujati (Lelaki Sejati) atau Wadon Sujati (Wanita Sejati). Pada ‘Pada’ (Syair) diatas, arti kata Lanang Sujati diuraikan oleh Gatholoco. Siapapun Lelaki yang memahami Kemuliaan Proses Penciptaan melalui Penis (Gathel)-nya, sebuah proses vital yang menjadi mata rantai sebuah perjalanan panjang evolusi jiwa, proses yang mampu ‘menarik’ kembali Atma atau Ruh dari ranah ‘kematian’ menuju ‘kehidupan kembali’ atau Reinkarnasi (dalam istilah Sanskerta disebut PUNARBHAWA : Kelahiran Kembali, atau PUNARJANMA : Manusia Yang Kembali hidup dari ranah kematian), proses berkesinambungan untuk menjadi penyebab ‘bangkitnya’ Atma atau Ruh agar kembali berjuang ditengah samudera kehidupan demi untuk melanjutkan peningkatan kembali KESADARAN mereka melalui tempaan badai dualitas duniawi (suka-duka, kaya-miskin, sakit-sehat, dll), maka siapapun mereka, kalau Lelaki berhak menyandang predikat LANANG. Kalau Wanita berhak menyandang predikat WADON! Selama anda belum memahami kemuliaan dan pentingnya proses ini, maka sesungguhnya anda belumlah pantas disebut LANANG atau WADON. Anda hanyalah sekedar spesies makhluk hidup yang melakukan sebuah aktifitas sexual tanpa kesadaran. Anda belumlah MANUSIA.

Kata ‘SUJATI’, Gatholoco mengartikan ‘ingSUn urip tan neJA maTI’ yang artinya ‘Aku Yang Hidup Tak Dapat Mati’. Siapakah itu? INGSUN (AHAM/AKU). Siapakah INGSUN (AHAM/AKU) tersebut? Tak lain adalah Atma atau Ruh kita!

Atma atau Ruh tidak diciptakan oleh siapapun! Atma atau Ruh adalah Percikan Brahman dalam definisi Weda atau Tiupan/Hembusan Nafas Allah dalam definisi Al-Qur’an atau Pencitraan/Duplicate Allah dalam definisi Injil dan Taurat!

Atma dan Ruh adalah bagian langsung dari BRAHMAN, dari ALLAH, dari BAPA itu sendiri! Tidak ada yang menciptakan Ruh atau Atma. Yang diciptakan adalah Badan Halus (Suksma Sariira/Nafs) dan Badan Kasar (Sthula Sariira/Jasad)! Sadarkah anda sekarang? Telitilah dengan seksama kitab suci anda, adakah firman yang menyatakan Ruh itu diciptakan?
LANANG SUJATI artinya, Manusia yang memahami kemuliaan proses penciptaan melalui penis/vagina-nya, yang merupakan lantaran untuk kelahiran kembali para Atma atau Ruh!

2. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 20 :

Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun adus gênine, jro badan isi latu, yen rêsika sun gosok siti, asline saking lêmah, sun dus-ana lesus, badanku sumbêr maruta, tuduhêna kinarya adus punapi, ujarnya Guru tiga.

Jikalau aku harus mandi menggunakan air, tubuhku sudah penuh dengan unsur air, jikalau harus mandi menggunakan api, didalam badan penuh unsur api, jikalau harus membersihkan diri dengan menggunakan tanah, sudah jelas daging ini berasal dari tanah, aku mandi menggunakan angin leysus, badanku sumber dari angin, beritahu kepadaku apa yang harus aku pakai untuk mandi? Ketiga Guru menjawab.

Ini adalah jawaban yang merupakan kritik kepada para agamawan yang terlampau mementingkan syari’at. Mereka-mereka yang terpaku pada tata lahir dan procedural belaka. Begitu sudah tunai, mereka merasa sudah cukup dan sempurna! Gatholoco menyengaja memberikan gambaran, bahwa AIR tidaklah cukup untuk mensucikan diri secara menyeluruh. AIR hanya mampu menggelontor kotoran LAHIR semata! Maka Gatholoco menyatakan, apa yang hendak aku gunakan untuk men-sucikan diri ini? Jikalau memakai AIR, bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA ini berasal dari unsur AIR. Jikalau memakai API, bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA ini juga berasal dari unsur API. Pun jikalau memakai ANGIN, bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA inipun berasal dari unsur ANGIN? Begitu juga jika hendak disucikan dengan TANAH, bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA inipun berasal dari unsur TANAH?

Keempat Unsur yang disebutkan Gatholoco, umum dipahami sebagai empat pembentuk JASAD FISIK manusia. Empat unsur Alam yang sangat vital, yaitu TANAH/LOGAM (PRTIWI), AIR (APAH), API/CAHAYA (TEJA) dan ANGIN (WAYU) .

Namun sesungguhnya ada satu unsur lagi yang juga sangat vital membentuk JASAD FISIK manusia, yaitu RUANG (AKASHA). Tanpa ada RUANG, maka tidak akan ada celah dan rongga dalam susunan anatomi JASAD FISIK. Sesungguhnya unsur RUANG menempati bagian yang penting. Dan RUANG menurut Weda, masih juga dikategorikan sebuah MATERI! Masih merupakan BENDA FISIK! Para saintis modern telah pula mulai melakukan pengujian untuk membuktikan hipotesa bahwa RUANG masih juga merupakan MATERI.

Semesta ini terus mengembang. Terus membentuk ciptaan-ciptaan baru. Kemanakah segala benda ciptaan itu mengembang kalau tidak menuju RUANG. Berarti, begitu Semesta ini mengembang, maka akan terus tercipta RUANG baru!

Jauh-jauh hari, sebelum manusia modern bisa membuktikan bahwa semesta ini terus mengembang, dalam Weda telah disebutkan secara jelas tanpa harus ditafsir-tafsirkan lagi :

“Semoga Brahman, yang bagaikan laba-laba dengan jejaringnya yang terus keluar dari dalam diri-Nya, yang dihasilkan oleh PRADHANA/PRAKRTI-Nya, sehingga terus tercipta Alam Semesta ini, berkenan memberikan berkah kepada kami, sehingga kami dapat kembali menyatu dengan-Nya.”
(Swetaswatara Upanishad:6:10)

Namun teori yang menyatakan bahwa RUANG termasuk dalam unsur vital pembentuk JASAD FISIK, tidak begitu bisa dipahami oleh masyarakat Jawa setelah ajaran Shiwa Buddha meninggalkan Pulau Jawa. Sampai detik ini, masyarakat Jawa sudah terbiasa meyakini hanya ada empat unsur vital pembentuk JASAD FISIK manusia yaitu, TANAH/LOGAM (Sanskerta : PRTIWI, Jawa : BUMI), AIR (Sanskerta : APAH, Jawa : BANYU), API/CAHAYA (Sanskerta : TEJA, Jawa : GENI), UDARA (Sanskerta WAYU, Jawa : ANGIN). Sedangkan RUANG (AKASHA), terlupakan.

Masyarakat Bali masih bisa memahami. Mereka mengenalnya dengan istilah PANCA MAHA BHUTA (LIMA MAHA UNSUR MAKHLUK)!

Dan Gatholoco, tidak menyinggung tentang unsur RUANG karena dia tengah berdialog dengan masyarakat Jawa pasca Majapahit runtuh! Bahkan mereka yang tengah berdialog dengan Gatholoco ini, hanya mengenal keyakinan bahwa manusia tercipta dari AIR dan TANAH saja!

3. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 21 :

Asal banyu yêkti adus warih, dimen suci iku badanira, Gatholoco sru saure, Sira santri tan urus, yen suciya sarana warih, sun kungkum sangang wulan, ora kulak kawruh, satêmêne bae iya, ingsun adus Tirta Tekad Suci Êning, ing tyas datan kaworan.

Tubuhmu berasal dari cairan (sperma) sudah layak jika mandi menggunakan air, agar suci dirimu itu, Gatholoco lantang menjawab, Kalian santri bodoh! Jikalau bisa suci karena mandi dengan air, aku akan berendam selama sembilan bulan saja, tidak perlu mencari ilmu (Ke-Tuhan-an), ketahuilah bahwa sesungguhnya, aku telah mandi Air Tekad Suci yang Jernih, yaitu jernihnya hati tanpa dikotori oleh.

AIR masih juga dianggap sebagai sarana mutlak sebagai alat pensuci. Gatholoco tertawa dan menjawab dengan cerdas. Jikalau memang hanya dengan memakai AIR aku bisa menjadi suci, bukankah lebih baik aku berendam selama sembilan bulan saja, tidak perlu mencari ilmu Ke-Tuhan-an? Pensuci yang sesungguhnya, tak lain adalah TIRTA TEKAD SUCI ÊNING (AIR TEKAD SUCI JERNIH) . Sebuah AIR ABSTRAK YANG KELUAR DARI TEKAD UNTUK MENSUCIKAN DAN MENJERNIHKAN SEGALA KEKOTORAN BATIN MANUSIA! ITULAH AIR YANG BISA MENGGELONTOR SELURUH KEKOTORAN BATIN!

4. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 28 :

Gatholoco anauri malih, Yen mangkono isih lumrah janma, ora kinaot arane, beda kalawan Ingsun, kabeh iki isining bumi, sakurêbing akasa, dadi darbek-Ingsun, kang anyar sarwa gumêbyar, Sun kon nganggo marang sanak-sanak mami, Ngong trima nganggo ala.

Gatholoco menyahuti lagi, Jikalau begitu jelas kalian hanya manusia lumrah, bukan manusia pilihan namanya, berbeda dengan-Ku, sesungguhnya semua yang ada dibumi, dan yang ada dibawah langit, adalah milik-Ku, yang baru dan gemerlap, sengaja Aku berikan kepada saudara-saudaraku (semua makhluk hidup), Aku rela memakai yang jelek-jelek saja.

Atma adalah Percikan Brahman. Semesta ini adalah materi baru yang tercipta dari proses ‘Persempitan ke-Mutlak-an Brahman’.

Atma adalah percikan. Semesta adalah ciptaan. Atma tak berawal dan berakhir. Langgeng abadi. Semesta ini mempunyai awal dan akhir. Tiada abadi. Makanya Semesta ini disebut pula sebagai ALAM MAYA!

Jika Atma dan Brahman itu sesungguhnya adalah SATU KESATUAN TUNGGAL, maka seluruh benda ciptaan ini sesungguhnya adalah milik Sang Atma juga.

Manakala dalam kenyataannya, kini Sang Atma kadangkala tidak mampu menikmati apa yang sesungguhnya merupakan milik-nya sendiri diseluruh Semesta raya ini, hal itu dikarenakan Sang Atma tengah terikat oleh Buah Karma-nya! Buah Karma yang dibuat-nya dan harus dinikmati-nya sendiri! Jika Sang Atma telah lepas dari jeratan Buah Karma, maka Sang Atma akan kembali memperoleh KESADARAN PURNA-NYA, KESADARAN MUTLAK-NYA. Sang Atma akan mampu merengkuh kembali segala milik-nya tanpa harus dibatasi lagi oleh takdir. Takdir yang sesungguhnya dia buat sendiri tanpa disadari!

Seluruh PEMIKIRAN (MANASIKA) Sang Atma, seluruh UCAPAN (WACIKA) Sang Atma, seluruh TINDAKAN (KAYIKA) Sang Atma, sesungguhnya adalah aktifitas pembuatan sebuah takdir bagi diri Sang Atma sendiri. Jika seluruh PEMIKIRAN, UCAPAN dan PERBUATAN Sang Atma cenderung positif, Sang Atma sesungguhnya telah menguntai takdir positif bagi diri-nya. Jika seluruh PEMIKIRAN, UCAPAN dan PERBUATAN Sang Atma cenderung negatif, sesungguhnya Sang Atma telah menguntai takdir negatif pula bagi diri-nya sendiri. Takdir bukan dibuat oleh Tuhan dari atas langit sana! Tidak ada Malaikat yang bertugas mencatat takdir anda! Yang ada, seluruh aktifitas anda yang keluar dari PEMIKIRAN, UCAPAN dan PERBUATAN, secara otomatis terekam oleh PRAKRTI! Terekam oleh ALAM! Dan Alam yang akan menumbuhkan buahnya, BAIK maupun BURUK, tergantung apa yang anda tanam! MALAIKAT ITU TAK LAIN ADALAH ALAM ITU SENDIRI! Sadari itu!

Dan buah perbuatan anda (Karmaphala ; Karma : Perbuatan, Phala : Buah) tidak bisa tidak, harus kembali kepada anda! Siapa yang menanam akan memetik! Siapa yang menabur angin akan menui badai! Tidak ada orang yang akan menggantikan! Dalam ungkapan Al-Qur’an sangat indah dinyatakan : SETIAP ORANG AKAN MEMIKUL DOSANYA SENDIRI! WALAUPUN ITU SEKECIL DZARROH (DEBU)!

Dan jika Sang Atma telah mampu terlepas dari ikatan samsara, terlepas dari lingkaran ‘penanaman’ dan ‘penuaian’ hasil aktifitas yang terus menerus tiada henti tersebut, sesungguhnya Sang Atma akan kembali memiliki segala apa yang ada di seluruh semesta raya ini!

Inilah maksud Gatholoco! Dan manusia-manusia semacam Gatholoco, sesungguhnya telah mampu ‘memenuhi segala apa yang dikehendakinya’. Namun apalah arti dunia bagi manusia-manusia semacam dia! Karena KESADARAN PURNA yang telah dicapainya, tidak bisa dibandingkan dengan seluruh kenikmatan dan gemerlapnya duniawi! KESADARAN PURNA lebih GEMERLAP DAN NIKMAT daripada segala macam gemerlap dan kenikmatan duniawi yang gampang menguap bagai embun di pagi hari!

5. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 29 :

Apan Ingsun trima nganggo iki, pêpanganan ingkang enak-enak, kang lêgi gurih rasane, pêdhês asin sadarum, Sun kon mangan mring sagung janmi, ingkang sinipat gêsang, dene Ingsun amung, ngawruhi sadina-dina, Sun tulisi sastrane salikur iji, Sun simpên jroning manah.

Cukuplah Aku memakan yang ini saja, segala makanan yang enak-enak, yang manis gurih rasanya, pedas dan asin semuanya, Aku berikan untuk dimakan oleh seluruh manusia, dan semua makhluk yang bersifat hidup, sedangkan Aku hanyalah, meneliti setiap hari, Ku catat dalam sebuah sastra sebanyak Duapuluh Satu buah (angka Dua melambangkan mereka yang masih terikat Dualitas duniawi, angka Satu melambangkan mereka yang telah lepas dari Dualitas duniawi. Manusia yang Kesadarannya tinggi, mampu meneliti dan mengamati kedua jenis tingkatan kesadaran para manusia tersebut. Inilah makna Sastra Salikur Iji atau Sastra Duapuluh Satu yang dimaksud Gatholoco), dan Aku simpan didalam hati.

Manusia yang telah mencapai KESADARAN PURNA, maka KASIH yang ada didalam dirinya meluap-luap bagai gelombang samudera! Dia akan terus mendaur ulang segala unsur-unsur ekstrim Alam yang hendak mengacaukan ke-stabil-an semesta sebagai tempat yang masih harus ada.

Tempat yang masih harus ada sebagai media ber-evolusi bagi Atma-Atma yang masih belum mencapai KESADARAN PURNA!

Manusia-manusia yang telah mencapai KESADARAN PURNA, selain terus ‘membantu proses ke-stabil-an’ semesta, kadang pula mereka akan membimbing Atma-Atma lain, memandu secukupnya, dengan tidak meninggalkan kemandirian dari mereka yang tengah di bimbing! Nabi Khidir, Babaji Maha Avatar, Semar, dll adalah contoh-contoh dari sosok manusia-manusia suci pembimbing ini!

Mereka akan mengamati, mana saja para Atma yang mulai mampu lepas dari Dualitas Duniawi, dilambangkan dengan angka SATU, dan mana saja para Atma yang masih saja terus terikat dalam Dualitas Duniawi, dan dilambangkan dengan angka DUA.

Inilah makna ucapan Gathoooco yang selalu mengamati seluruh Atma, dicatat dalam Sastra yang disebut SASTRA SALIKUR IJI atau SASTRA DUA PULUH SATU. DUA melambangkan mereka-mereka yang masih terikat Dualitas Duniawi dan belum saatnya mendapat bimbingan dari Manusia-Manusia Berkesadaran Purna. SATU melambangkan mereka-mereka yang mulai bisa lepas dari Dualitas Duniawi dan sudah saatnya dibimbing oleh Manusia-Manusia Berkesadaran Purna seperti Gatholoco!

6. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 30 :

Ingsun dhewe mangan sabên ari, Ingsun milih ingkang luwih panas, sarta ingkang pait dhewe, najise dadi gunung, kabeh gunung ingkang ka-eksi, mulane kang bawana, padha mêtu kukus, tumuse gêni Sun pangan, ingkang dadi padhas watu lawan curi, klelet ingkang sun pangan.

Yang Ku-makan setiap hari, Ku-pilih yang sangat panas, dan yang terlampau pahit (maksudnya semua unsur-unsur negatif Alam yang terlalu ekstrim), kotoran (batin)-Ku menjadi gunung, seluruh gunung yang terlihat, (maksudnya, semua unsur negatif yang terlalu ekstrim dari Alam, mampu didaur ulang menjadi unsur yang lebih positif melalui olah batin dari manusia-manusia yang berkesadaran tinggi. Dilambangkan dengan keberadaan sebuah gunung yang menyimpan api menakutkan, namun lava dari gunung berapi, sangat bermanfaat menyuburkan tanah, sehingga tanaman apapun akan gampang tumbuh disekeliling gunung berapi. Jelasnya, dari sesuatu yang menakutkan semacam gunung berapi, mampu didaur ulang menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi manusia. Begitu pula proses daur ulang yang secara tidak disadari telah dilakukan oleh manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam Gatholoco kepada semua unsur negatif alam yang terlalu ekstrim), apa sebabnya dunia diliputi asap saja (maksudnya, banyak unsur api terlampau ekstrim yang sesungguhnya melingkupi dunia ini, namun berkat manusia-manusia yang penuh kesadaran semacam Gatholoco, secara tidak sengaja, mereka-mereka ini menyerap unsur api yang terlalu ekstrim tersebut dan didaur ulang menjadi unsur api positif yang lebih bermanfaat. Jika tidak ada manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam Gatholoco, dapat dipastikan, meteor-meteor raksasa dan hal-hal ekstrim lainnya, akan menghantam dan mengacaukan bumi tanpa ada penghalang lagi! Sadarilah ini!), sebab api telah Aku makan, kotoran (batin)-Ku menjadi batu cadas (seperti halnya dipilihnya ‘Gunung’ sebagai sebuah perumpamaan proses pendaur ulang-an unsur ektrim Alam agar menjadi lebih bermanfaat, ‘Batu Cadas’ dipilih pula karena identik dengan kekokohan, sesuatu yang kokoh kuat. Maksudnya jelas, unsur ekstrim alam, bisa diubah menjadi sesuatu yang stabil demi keberlangsungan semesta sebagai tempat berevolusi. Berterima kasihlah kepada manusia-manusia berkesadaran tinggi seperti Gatholoco!) Aku cukup memakan candu ini. (maksudnya candu spiritualitas)

Uraian diatas saya kira sudah cukup jelas. Dengan penambahan sedikit. Sosok-sosok Manusia Berkesadaran Tinggi seperti Gatholoco, hingga detik ini, dan sampai nanti jika Para Atma masih banyak yang belum terseberangkan dari lautan Dualitas Duniawi, akan selalu ada dan hadir! Walau jumlah mereka akan berkurang dan bertambah, sesuai dengan siklus perputaran Jaman (Yuga). Dalam Jaman Kali Yuga ini, mereka akan semakin berkurang. Banyak dari mereka-mereka yang akan MELEBUR DENGAN SUMBER ABADI SEMESTA! Pada Jaman Satya Yuga kelak, jumlah mereka akan bertambah. Jumlah mereka bertambah karena banyak para Atma-Atma baru dari Jaman Kali Yuga yang meningkat KESADARANNYA!

Manusia-Manusia Suci seperti mereka bukanlah monopoli agama tertentu! Karena mereka telah lepas dari Dualitas Duniawi.

Status agama ‘A’atau ‘B’, adalah status DUNIAWI! Bagaimana bisa mereka membimbing kita melepaskan diri dari ikatan Dualitas Duniawi jikalau mereka sendiri masih terikat dengan status keduniawian?

SESUNGGUHNYA MEREKA-MEREKA TELAH TERLEPAS DARI SEGALA MACAM STATUS, ATRIBUT DAN TETEK BENGEK BENDERA DUNIAWI! JANGAN MENJADI BODOH DENGAN MEMPERCAYAI SEBUAH KEYAKINAN BAHWA MANUSIA YANG TELAH MENCAPAI KESEMPURNAAN SEPERTI GATHOLOCO MASIH JUGA MENJADI MILIK AGAMA ‘A’ ATAU ‘B’!

PARA MANUSIA ILLAHI SEMACAM GATHOLOCO AKAN TERTAWA MELIHAT KEKONYOLAN KEYAKINAN SEMACAM ITU!

7. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 31 :

Sadurunge Ingsun ngising najis, gunung iku yêkti durung ana, benjang bakal sirna maneh, lamun Ingsun wus mantun, ngising tai mêtu têka silit, titenana kewala, iki tutur-Ingsun, Guru tiga duk miyarsa, gya micara astane sarwi nudingi, Layak kuru tan pakra.

Sebelum Aku membuang kotoran (batin), seluruh gunung belumlah tercipta (maksudnya, dunia tidak akan stabil sebagai tempat yang sesuai bagi proses evolusi jiwa jika tidak ada manusia-manusia berkesadaran tinggi yang mampu mendaur ulang unsur-unsur ekstrim Alam seperti Gatholoco), kelak akan sirna kembali, jika Aku sudah tidak lagi, membuang kotoran lewat dubur, nyatakanlah kelak, apa yang Aku katakan ini. (maksudnya jika manusia-manusia yang berkesadaran tinggi hilang dari muka bumi, dapat dipastikan kiamat dunia akan tercipta!). Ketiga Guru begitu mendengar, segera berkata sembari menuding, Makanya kurus kering tidak lumrah manusia (tubuhmu).

Gatholoco hanya sekedar menegaskan, bahwa tanpa adanya Manusia-Manusia Berkesadaran Tinggi, Manusia-Manusia Illahi, yaitu Manusia-Manusia yang Merupakan Perwujudan Illahi, kestabilan semesta tidak akan tercipta. Jika Para Sadhu (Manusia Sempurna) seperti mereka mulai berkurang, maka dapat dipastikan, kekacauan semesta akan tercipta. Dan pada puncak chaos yang sedemikian, maka akan lahirlah seorang Buddha (Yang Tersadarkan) , seorang Awatara (Perwujudan Illahi) , seorang Mesias (Juru Selamat) , seorang Nabi (Manusia pilihan Tuhan) , yang akan kembali menstabilkan semesta diakhir Jaman Kali Yuga kelak!

Dalam Hindhuisme, Kalki Awatara kelak akan turun untuk menghancurkan Asura Kali dan mengakhiri Jaman Kali Yuga menuju ke Jaman Satya Yuga kembali. Dalam Buddhisme, Buddha Maitreya kelak akan turun manakala Dhamma sudah terlupakan! Dalam Kristianisme, Jesus akan turun untuk menghancurkan Lucifer dan mengakhiri dunia lama menuju dunia baru. Saat itulah Armagedon tengah tercipta! Dalam keyakinan Islam, Nabi Isa a.s. kelak akan turun untuk menghancurkan Dajjal!
Kalki, Maitreya, Jesus, Isa, apakah mereka pribadi yang beda? Mengapa masih ngotot menunjukkan keyakinannya sendiri yang paling benar? Sampai dibela-belain menumpahkan darah segala?

Sadarlah saudaraku!

8. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 32 :

Gatholoco sigra anauri, Mila ingsun kurune kalintang, krana nurut mring karsane, Gusti Jêng Nabi Rasul, sabên ari ingsun turuti, tindak mênyang ngêpaken, awan sore esuk, mundhut candhu lawan madat, dipun dhahar kalawan dipun obongi, Allah kang paring wikan.

Gatholoco segera menjawab, Tubuhku kurus disebabkan, karena menuruti perintah, Gusti (Kang)jêng Nabi Rasul(lullah), setiap hari aku turuti, bertandang ke tempat madat, siang sore pagi, mengambil candu dan madat, dimakan langsung maupun dibakar lalu dihisap, Allah yang memberikan ijin. (Maksudnya Kangjêng Nabi Rasul dalam kesadaran Gatholoco, bukanlah Nabi Muhammad, melainkan Ruh-nya sendiri, Atma-nya sendiri. Suara Atma, suara Ruh, yang sering diistilahkan dengan SUARA NURANI, memerintahkan manusia-manusia seperti Gatholoco untuk terus mabuk spiritual, agar terus ke-Candu-an dengan Ke-Illahi-an. Dan Allah-pun me-ridloi!)

Ruh ini, Atma ini, adalah Utusan, adalah Rasul yang sesungguhnya! Sebejat apapun manusia, searogan apapun manusia, sekejam dan sejahat apapun manusia, se-psikopat apapun manusia, pasti masih memiliki rasa bersalah! Dan rasa bersalah itu berasal dari SUARA RUH KITA! INILAH YANG SERING DIISTILAHKAN DENGAN SUARA HATI NURANI!

Masih terngiangkah anda semua dengan teriakan Jesus bahwa Dia datang bukan dengan hukum Taurat Musa, tapi Dia datang dengan Hukum Roh? Apakah itu? Tak lain adalah HUKUM YANG BERASAL DARI SUARA ROH. SUARA HATI NURANI!

Masih ingatkah anda sabda Bhagawan Manu melalui Bhagawan Bregu yang menyatakan bahwa ATMANASTUTI (SUARA ATMA) adalah Hukum tertinggi, bahkan melebihi Weda sekalipun?

Lantas mengapakah anda memaksakan memberlakukan sebuah Hukum jika NURANI anda sendiri memberontak karenanya? Nurani anda adalah KEJUJURAN MURNI. Anda bisa menipu orang lain. Anda bisa menang berpekara dengan orang lain walau sebenarnya anda dipihak yang salah. Namun dalam kesendirian, pasti akan terdengar suara Ruh anda yang mengatakan bahwasanya sesungguhnya akulah yang salah. Ada sesal, ada kasihan dan ada rasa bersalah! Walaupun rasa itu kadang dengan mahirnya kita tepiskan melalui pembenaran-pembenaran dari Pikiran liar kita! Jika kita terbiasa menepis SUARA RUH, SUARA NURANI, anda akan menjadi orang MUNAFIK SEJATI! Manusia bisa membohongi manusia lain, tapi sesungguhnya tidak ada manusia yang bisa membohongi DIRINYA SENDIRI!

Dengan meditasi, volume SUARA NURANI ini akan semakin keras terdengar! Dengan membiasakan sikap KASIH kepada sesama, volume SUARA RUH ini-pun akan semakin nyaring! Dan dengan membiasakan mengikuti SUARA ini, dapat dipastikan anda telah berada dijalan yang benar!

Suara tersebut sebenarnya adalah SUARA ANDA YANG SEJATI. YAITU ANDA YANG LEPAS DARI KUNGKUNGAN KESADARAN RELATIF, PIKIRAN RELATIF, PERASAAN RELATIF DAN MEMORY RELATIF ANDA!

Sadarilah, selama ini anda hidup dengan Kesadaran, Pikiran, Perasaan dan Memory Relatif anda. Anda belum hidup dalam ROH!

Jesus Kristus, focus membahas tentang hal ini! Anda selama ini tengah hidup dalam DAGING!! Dan anda sesungguhnya bukanlah DAGING! Anda adalah ROH! Siapa yang mengikuti kemauan DAGING, dia akan hidup ditengah orang-orang mati! Yaitu kegelapan kesengsaraan duniawi. Terikat proses kelahiran dan kematian yang tiada henti. Dunia yang penuh gemeretak-nya gigi karena kesedihan! Dunia dibawah KUASA GELAP IBLIS yang tak lain sesungguhnya adalah KUASA DUALITAS DARI PRAKRTI! Siapa yang HIDUP DALAM ROH, dia patut bersuka cita. Karena pembebasan akhir menuju KEDIAMAN BAPA, yaitu KERAJAAN ALLAH, telah nyata! Inilah maksud Sang Mesias!

Weda jauh-jauh hari telah menegaskan bahwa ANDA SESUNGGUHNYA BUKANLAH KESADARAN RELATIF ITU, ANDA BUKANLAH PIKIRAN, ANDA BUKANLAH PERASAAN, ANDA BUKANLAH MEMORY, ANDA BUKANLAH TUBUH FISIK ITU. ANDA ADALAH ATMA!

Dan Gatholoco membahasakan bahwa Ruh-kita ini-lah, Atma-kita inilah Sang Utusan! Dan Sang Utusan memerintahkan dia untuk terus menikmati candu spiritualitas!

_________________

 Re: SERAT GATHOLOCO

  admin on Sun Jul 04, 2010 7:03 am

SERAT GATHOLOCO (5)

Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

PUPUH III
Sinom
(Kumpulan Syair III, Lagu ber-irama Sinom)

1. Gatholoco nulya ngucap, Dhalang Wayang lawan Kêlir, Balencong êndi kang tuwa, badhenên cangkriman iki, yen sira nyata wasis, mêsthi wêruh ingkang sêpuh, Ahmad Ngarip ambatang, Kêlir kang tuwa pribadi, sadurunge ana Dhalang miwah Wayang.

Gatholoco lantas berkata, Dalang Wayang dan Kêlir (Layar), serta Balencong (pelita yang dinyalakan pada jaman dulu selama pertunjukan wayang kulit digelar) mana yang lebih tua, jawablah teka-teki ini, apabila kalian nyata pandai, pasti akan tahu mana yang lebih tua, Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif) menjawab, Kêlir (Layar) yang lebih tua sendiri, sebelum adanya Dalang dan Wayang.

2. Balencong durung pinasang, Kêlir ingkang wujud dhingin, wus jumênêng keblat-papat, ngisor têngah lawan nginggil, mila tuwa pribadi, Abdul Jabar asru muwus, Heh Ahmad Ngarip salah, pambatangmu iku sisip, panêmuku tuwa dhewe Kaki Dhalang.

Sebab sebelum Balencong dipasang, Kêlir (Layar)-lah yang ada dahulu, sebagai perlambang empat penjuru mata angin, arah bawah tengah dan atas, makanya lebih tua sendiri, Abdul Jabar berkata lantang, Hai Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif) kamu salah, jawabanmu itu keliru, menurutku yang lebih tua adalah Ki Dalang.

3. Anane Kêlir lan Wayang, kang masang Balencong sami, Wayang gaweyane Dhalang, mulane tuwa pribadi, tan ana kang madhani, anane Dhalang puniku, ingkang karya lampahan, nyritakake ala bêcik, asor unggul tan liya saking Ki Dhalang.

Adanya Kêlir (Layar) dan Wayang, serta yang memasang Balencong, Wayang buatan Dalang, makanya lebih tua sendiri, tiada yang menyamai, keberadaan Dalang tersebut, bahkan yang menjalankan wayang, menceritakan hal yang buruk dan baik, kalah dan menang tak lain adalah Ki Dalang.

4. Nulya Kyai Abdul Manap, nambungi wacana aris, Karo pisan iki salah, padha uga durung ngêrti, datan bisa mrantasi, tur remeh kewala iku, mung nalar luwih gampang, ora susah nganggo mikir, sun ngarani tuwa dhewe Wayang-ira.

Lantas Kyai Abdul Manap (Abdul Manaf), menyahut dengan pelan, Jawaban kalian berdua itu salah, sama-sama tidak memahami, tidak bisa menjelaskan, padahal itu teka-teki yang remeh, gampang dijawab oleh akal, tidak perlu susah berfikir, aku menjawab yang paling tua sendiri adalah Wayang-nya.

5. Upama wong nanggap Wayang, isih kurang têlung sasi, Dhalange pan durung ana, panggonanane durung dadi, wus ngucap nanggap Ringgit, tutur mitra karuhipun, sun arsa nanggap Wayang, ora ngucap nanggap Kêlir, ora ngucap nanggap Balencong lan Dhalang.

Seumpama ada orang yang hendak mengundang hiburan Wayang kulit, masih dalam jangka waktu tiga bulan sebelumnya, Dalang belum ada, tempat pertunjukan belum dibuat, sudah diucapkan kemana-mana hendak mengundang hiburan Wayang kulit, diberitahukan ke teman dan keluarga, bahwa aku hendak mengundang hiburan Wayang kulit, tidak mengatakan hendak mengundang hiburan Kêlir (Layar), tidak mengucapkan hendak mengundang hiburan Balencong maupun mengundang hiburan Dalang.

6. Wus mupakat janma kathah, kang tinanggap apan Ringgit, durung paja-paja gatra, wus muni ananggap Ringgit, mila tuwa pribadi, Gatholoco alon muwus, Abdul Jabar Dul Manap, tanapi si Ahmad Ngarip, têlu pisan pambatange padha salah.

Sudah sepakat semua orang, yang hendak diundang adalah hiburan Wayang kulit, belum juga ada terlihat hadir, sudah dikabarkan hendak mengundang hiburan Wayang kulit, makanya Wayang itu tua sendiri, Gatholoco pelan berkata, Abdul Jabar (Ab)dul Manap (Abdul Manaf), apalagi si Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), jawaban kalian semua salah.

7. Yen mungguh pamêtêkingwang, Balencong tuwa pribadi, sanajan Kêlir pinasang, gamêlan wus miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih pêtêng nggenipun, sayêkti durung bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining Wayang.

Menurut aku, Balencong itu lebih tua, walaupun Kêlir (Layar) telah dipasang, gamelan sudah ditata, Dalang dan para niyaga (penabuh gamêlan beserta sindhen-nya) sudah duduk, akan tetapi jika masih gelap tempatnya, pasti tidak bisa, Dalang memilah dan memilih, untuk menceritakan cerita satu-persatu dari tiap jenis wayang.

8. Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira Ringgit, margane isih pêtêngan, ora kêna den tingali, yen Balencong wus urip, kanthar-kanthar katon murub, Kêlire kawistara, ing ngandhap miwah ing nginggil, kanan kering Pandhawa miwah Kurawa.

Yang menonton tak akan bisa melihat, kepada wujud setiap jenis Wayang, karena masih gelap gulita, tidak bisa dilihat mata, manakala Balencong sudah dinyalakan, menyala-nyala terlihat terang, Kêlir (Layar) akan tampak, dimana arah bawah dan arah atas, dimana kanan dan dimana kiri serta mana Pandhawa mana Kurawa.

9. Ki Dhalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gêdhe cilikira, tumrap marang siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinatês pangucap-ipun, awit pituduhira, Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong kang luwih tuwa.

Ki Dalang duduk dibawah pelita, mampu memilah dan memilih, menimbang besar kecilnya, terhadap setiap jenis, dari perwatakan tiap Wayang, sehingga mampu menyesuaikan ucapannya (dengan tiap karakter wayang kulit), sebab mendapat petunjuk, dari Balencong yang menerangi, oleh karenanya Balencong yang lebih tua.

10. Dene unining gamêlan, Wayange kang den gamêli, Dhalange mung darma ngucap, si Wayang kang darbe uni, prayoga gêdhe cilik, manut marang Dhalangipun, sinigêg gangsa ika, Kaki Dhalang masesani, nanging darma ngucap molahake Wayang.

Sedangkan bunyi gamêlan, mengiringi gerakan Wayang, Dalang hanya sekedar mengucapkan, dari suara tiap jenis Wayang, sedang tinggi atau rendah, menurut kehendak Dalang, berhentinya gamêlan, Ki Dalang yang berkuasa, akan tetapi sesungguhnya Dalang hanya sekedar mengucapkan dan menggerakkan Wayang sesuai dengan kisah yang telah ditentukan.

11. Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Sêpi, basa Sêpi Tanpa Ana, anane ginêlar yêkti, langgêng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe Wayang ucape Ki Dhalang.

Kisah yang dikehendaki oleh orang yang mengundang, yang dinamakan Kyai Sêpi, kata Sêpi berarti Tidak Ada, akan tetapi Keberadaan-Nya sesungguhnya tergelar, langgeng tak berubah, tak bisa berkurang dan tak bisa ditambah, tanpa kehendak tanpa sifat, akan tetapi ada yang lebih berkuasa, diatas gerakan Wayang dan ucapan Ki Dalang.

12. Ingkang mêsthi nglakonana, ingkang ala ingkang bêcik, kang nonton mung ingkang nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, têtêp suwung ora ana siji apa.

Yang membuat semua bisa bergerak, bergerak melakukan perbuatan jelek maupun baik, dari yang melihat hingga yang mengundang, yaitu Kyai Urip (Kyai Hidup), manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.

13. Basa Kêlir iku Raga, Wayange Suksma Sujati, Dhalange Rasul Muhammad, Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba.

Layar itu sesungguhnya adalah Raga ini, Wayang sesungguhnya Suksma Sejati, Dalang sesungguhnya Rasul Muhammad, Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri, Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.

14. Yen Wayang mari tinanggap, Wayange kalawan Kêlir, sinimpên sajroning kothak, Balencong pisah lan Kêlir, Dhalang pisah lan Ringgit, marang ngêndi paranipun, sirnane Blencong Wayang, upayanên den kêpanggih, yen tan wêruh sira urip kaya rêca.

Jikalau pertunjukan Wayang telah selesai, Wayang beserta Kêlir (Layar), disimpan didalam kotak, Balencong berpisah dengan Kêlir (Layar), Dalang berpisah dengan Wayang, kemanakan perginya, sirnanya Balencong dan Wayang? Carilah hingga ketemu, apabila tidak mengetahui hal itu hidupmu bagaikan arca batu semata.

15. Benjang yen sira palastra, urip-mu ana ing ngêndi, saikine sira gêsang, pati-mu ana ing ngêndi, uripmu bakal mati, pati nggawa urip iku, ing ngêndi kuburira, sira-gawa wira-wiri, tuduhêna dununge panggonanira.

Kelak jika kalian meninggal dunia, hidup-mu berada dimana? Saat ini kalian hidup, mati-mu berada dimana? Hidup-mu bakal menemui mati, mati akan membawa pergi hidup-mu, dimanakah kematian itu berada? Sesungguhnya telah kalian bawa kesana-kemari, tunjukanlah tempat kediamannya.

16. Guru tiga duk miyarsa, anyêntak sarwi macicil, Rêmbug gunêm ujarira, iku ora lumrah janmi, Gatholoco nauri, Dhasar sun-karêpkên iku, aja lumrah wong kathah, ngungkulana mring sasami, ora trima duwe kawruh kaya sira.

Begitu mendengarnya ketiga Guru, membentak sembari melotot, Apa yang telah kamu katakan, tidak lumrah diucapkan manusia! Gatholoco menjawab, Memang aku sengaja demikian, jangan sampai lumrah seperti manusia kebanyakan, sebaiknya mengungguli pengetahuan sesama, aku tidak akan terima jika hanya memiliki pengetahuan seperti pengetahuan kalian!

17. Santri padha ambêk lintah, ora duwe mata kuping, anggêre amis kewala, cinucup nganti malênthing, ora ngrêti yen gêtih, gandane amis tur arus, kinira madumangsa, yen wus warêg mangan gêtih, amalêngkêr tan mêtu nganti sawarsa.

Santri yang berperilaku seperti lintah, tidak memiliki mata dan telinga, asalkan mencium bau amis, dihisap hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau itu darah, baunya amis dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika sudah kenyang meminum darah, meringkuk tak keluar-keluar lagi hingga setahun.

18. Wêkasan kaliru tampa, tan wruh têmah ndurakani, manut kitab mêngkap-mêngkap, manut dalil tanpa misil, amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa nikmating ilat, lan rasane langên rêsmi, rasanira ing kawruh ora rinasa.

Pada akhirnya salah terima, tidak memahami inti sari malah berbuat dosa tanpa disadari, menuruti kata-kata kitab begitu saja, menuruti dalil tanpa tahu makna sesungguhnya, hanya dibuat untuk memperoleh keuntungan duniawi, tersilap dengan keduniawian, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa lidah, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa bersenggama, makna sejati ilmu tidak dirasakan.

19. Têtêp urip tanpa mata, matamu mata soca pring, matamu tanpa paedah, matamu tan migunani, Kyai Guru mangsuli, muring-muring asru muwus, Apa sira tan wikan, mring mataku loro iki, Gatholoco sinaur Sireku bêja.

Kalian hidup tak memiliki mata! Matamu mata batang bambu! Matamu tak bermanfaat! Matamu tak berguna! Kyai Guru menjawab, marah-marah membentak keras, Apa kamu buta! Tidak melihat jikalau kami punya mata! Gatholoco menjawab, kalian sangat beruntung!

20. Dene padha duwe mata, loro-loro guru siji, apa sira wani sumpah, yen duwe mata kêkalih, Guru tiga nauri, Dhasar sayêktine ingsun, têtela duwe mata, têtêp loro mata-mami, Gatholoco gumujêng sarwi anyêntak.

Mempunyai biji mata, setiap orang dari kalian memiliki dua buah, apakah kalian berani bersumpah, benar-benar memiliki dua buah mata? Ketiga Guru menjawab, Benar-benar kami, nyata-nyata memiliki mata, berjumlah dua buah, Gatholoco tertawa sambil membentak.

21. Sireku wani gumampang, sayêkti balak bilahi, ngaku dudu matanira, sun-lapurkên pulisi, mêsthine den taleni, angaku loro matamu, yen nyata matanira, konên gilir gênti-gênti, prentahana siji mêlek siji nendra.

Kalian sangat berani menggampangkan sumpah, sungguh akan menuai balak dan celaka, mengaku memiliki mata yang jelas-jelas bukan mata kalian, sebenarnya bisa dilaporkan ke polisi (maksud Gatholoco adalah hukum alam semesta), pasti akan diikat tangan kalian, sebab mengaku memiliki dua buah mata, kalau memang benar demikian, coba suruh bergantian, perintahkan yang satu jaga dan yang satu tidur.

22. Dadi salawasmu gêsang, ora kêna dimalingi, Guru tiga samya ngucap, Êndi ana mata gilir, Gatholoco nauri, Tandhane nyata matamu, sira wênang masesa, saprentahmu den turuti, yen tan manut yêkti dudu matanira.

Sehingga selama kamu hidup, tidak bisa kecolongan oleh maling, Ketiga Guru berkata, Mana ada mata bergiliran? Gatholoco menjawab, Jika memang benar itu mata kalian, pastilah kalian berwenang menguasai, bisa diperintahkan sesuai keinginanmu, apabila tidak menurut nyata bukan mata kalian.

23. Guru tiga samya mojar, Aku wani sumpah yêkti, awit cilik prapteng tuwa, tan pisah lan rai-mami, Gatholoco mangsuli, Dene sira wani ngaku, matamu ora pisah, mata olehmu ing ngêndi, apa tuku apa gawe apa nyêlang.

Ketiga Guru berujar, Aku berani bersumpah, semenjak kecil hingga tua, tidak pernah terpisah dengan wajah kami, Gatholoco menjawab, Berani sekali kalian mengaku, bahwa mata kalian tidak pernah berpisah, mata dapat dari mana? Apakah beli apakah membuat sendiri ataukah meminjam?

24. Apa sira winewehan, iya sapa kang menehi, kalawan saksine sapa, dina apa aneng ngêndi, Guru tiga miyarsi, dhêlêg-dhêlêg datan muwus, wasana samya ngucap, Gaweyane bapa bibi, Gatholoco gumuyu alatah-latah.

Apakah kalian diberi? Lantas siapakah yang memberi? Dan lagi siapakah saksinya saat kalian diberi? Hari apa dimanakah tempatnya dan kapan waktu saat kalian diberi? Ketiga Guru mendengar akan hal itu, terbengong-bengong tanpa bisa menjawab, pada akhirnya berkatalah mereka, Buatan Bapak dan Ibu, Gatholoco tertawa terbahak-bahak.

25. Kiraku wong tuwanira, loro pisan padha mukir, karone ora rumasa, gawe irung mata kuping, lanang wadon mung sami, ngrasakake nikmatipun, iku daya jalaran, wujude ragamu kuwi, ora nêja gawe rambut kuping mata.

Aku yakin orang tua kalian, keduanya akan menolak (bila dikatakan telah membuat mata), kedua-duanya tidak pernah merasa, telah membuat hidung mata dan telinga, laki-laki dan perempuan hanyalah, sekedar menikmati nikmatnya (bersenggama) semata, (persetubuhan) mereka hanya sekedar lantaran, terwujudnya raga kalian, mereka tidak sengaja membuat rambut telinga dan mata.

26. Guru tiga nulya mojar, Allah Ingkang Maha Suci, ingkang karya raganingwang. Gatholoco anauri, Prênah apa sireki, kalawan Kang Maha Luhur, dene ta pinaringan, mata loro kanan-kering, têlu pisan pinaringan grana lesan.

27. Ketiga Guru lantas berkata, Allah Yang Maha Suci, yang telah membuat raga kami, Gatholoco menyahuti, Punya hubungan apa kalian, dengan Yang Maha Luhur? Sehingga kalian diberikan, kedua bola mata kanan dan kiri, yang ketiga bahkan diberikan hidung dan lesan.

28. Guru tiga saurira, Katrima pamuji-mami, Gatholoco asru nyêntak, Pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang gêlap.

Ketiga Guru menjawab, Karena diterima doa kami, Gatholoco keras membentak, Bahkan doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui! Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui sebagai milik sendiri)!

29. Yen tan bisa ndunungêna, kajêdhêgan ingkang dhiri, mêsthine dadi sakitan, ora kêna sira mukir, mêloke wus pinanggih, têka ngêndi asalipun, yen asale tan wikan, matanira loro kuwi, ora kêna angukuhi matanira.

Jika tidak bisa menunjukkan asalnya dari mana, diri kalian patut dipersalahkan, pasti akan menjadi pesakitan, kalian tidak bisa memungkiri lagi, jelas-jelas telah nyata (kalian maling)! (Sekali lagi) darimanakah asalnya? Jika asalnya tidak tahu, asal mula pertama mata kalian, maka tidaklah pantas jika mengakuinya sebagai mata sendiri!

30. Sakehing reh lakonana, yen tan manut Sun gitiki, jalaran sira wus salah, kajêdhêgan sira maling, lah iku duwek Mami, sira anggo tanpa urus, saikine balekna, ilange duk Jaman Gaib, Ingsun simpên ana satêngahing jagad.

Segala perintah-Ku laksanakan, jika tak menurut pasti Ku dera, sebab kalian telah salah, patut dipersalahkan karena maling, itu semua milik-Ku, kalian pakai dengan tidak benar, sekarang kembalikan, dulu hilang dikala Jaman Gaib, Aku simpan di tengah-tengah jagad.

31. Saksine si Wujud Makna, cirine rina lan wêngi, Ingsun rêbut tanpa ana, saiki lagya pinanggih, sira ingkang nyimpêni, santri padha tanpa urus, yen sira tan ngulungna, sun lapurake pulisi, ora wurung munggah ing rad pêngadilan.

Saksinya adalah si Wujud Makna (Wujud dari segala inti sari makna kitab suci), bukti (dari keteledoran kalian memakai barang-Ku dengan tidak benar) telah dicatat oleh siang dan malam, Aku cari-cari tak ketemu, sekarang tengah Aku jumpai, ternyata kalian yang menyimpannya, para santri yang tidak benar! Jika tidak kalian kembalikan, Aku laporkan polisi (hukum alam), tak urung akan di naik perkara dipengadilan (semesta)!

32. Mêsthi sira kokum pêksa, yen wêngi turu ning buwi, lamun rina nambut karya, sabên bêngi den kandhangi, beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh, sadurunge tumindak, ingkang daya sêja-mami, agal alus kasar lêmbut ingsun nalar.

Pasti akan menerima hukuman, jika malam tidur didalam penjara (terkurung dalam kegelapan batin sehingga gelisah), jika siang kerja paksa (sengsara ditengah panasnya dualitas duniawi), tiap malam dikandangkan (terus terjerat dalam kegelapan batin), berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk memenuhi keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.

33. Murih aja dadi salah, Ahmad Ngarip anauri, Gunêman karo wong edan, Gatholoco amangsuli, Edanku awit cilik, kongsi mangke prapteng umur, ingsun tan bisa waras, sabên dina owah gingsir, nampik milih panganan kang enak-enak.

Agar jangan sampai salah langkah, Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif) menjawab, Berbicara dengan orang gila! Gatholoco menyahut, Gilaku memang semenjak kecil, hingga saat usiaku tua, aku tidak bisa sembuh, setiap hari pikiranku tidak waras, menolak makanan yang enak-enak.

34. Panganggo kang sarwa endah, ingsun edan urut margi, nurut margane kamulyan, Abdul Jabar muring-muring, astu sumaur bêngis, Rêmbugan lan asu buntung, Gatholoco angucap, Bênêr olehmu ngarani, sakrabatku bapa kaki buyut canggah.

(Menolak) busana yang indah-indah, aku gila disepanjang jalan, gila dijalan kemuliaan! Abdul Jabar marah-marah, lantas berkata bengis, Berbicara dengan anjing buntung! Gatholoco berkata, Memang benar apa yang kamu tuduhkan, seluruh keluargaku mulai bapak-ku kakek-ku buyut (ayahnya kakek)-ku sampai canggah (kakeknya kakek)-ku.

35. Dhasare buntung sadaya, tan ana buntut sawiji, basa Asu makna Asal, Buntung iku wus ngarani, ingsun jinising janmi, ora buntut lir awakmu, balik sira wong apa, sira gundhul anjêdhindhil, apa Landa apa Koja apa Cina.

Memang buntung semua, tidak ada ekornya, Asu artinya Asal, arti Buntung sudah kalian ketahui (maksud Gatholoco dia memang berasal dari makhluk yang tanpa ekor), aku ini manusia, tidak berekor seperti kalian, sebaliknya kalian itu orang apa? Kepala kalian gundul licin, apakah orang Belanda apakah Koja ( komunitas orang Koja adalah komunitas yang berasal dari Persia dan Gujarat, yang pada waktu dulu banyak terdapat di Jawa. Beragama Islam madzhab Syi’ah) apakah Cina.

36. Apa sira wong Benggala, Guru tiga anauri, Ingsun iki bangsa Jawa, Muhammad agama-mami, Gatholoco nauri, Sira wong kapir satuhu, Kristên agamanira, lamun sira bangsa Jawi, dene sira tan nêbut Dewa Bathara.

Apakah kalian orang Benggala (maksudnya India), Ketiga Guru menjawab, Kami ini orang Jawa, (ajaran) Nabi Muhammad agama kami! Gatholoco menjawab, Kalian manusia ‘Penentang’ sesungguhnya, seperti halnya orang Kristen (dalam pandangan kalian, begitu juga pandanganku terhadap kalian)! Jika memang kalian orang Jawa, mengapa tidak menyebut (Nama Tuhan dengan sebutan) Dewa Bathara?

37. Agama Rasul Muhammad, agamane wong ing Arbi, sira nêbut liya bangsa, têgêse sinipat kapir, tan sêbutmu pribadi, anggawe rusak uripmu, mulane tanah Jawa, kabawah mring liya jinis, krana rusak agamane kuna-kuna.

Agama Rasul(lullah) Muhammad, sesungguhnya adalah agama suci bagi orang Arab! Kalian mengikuti bangsa lain (dan mengingkari agama suci yang diperuntukkan bagi kalian ditanah Jawa)! Oleh karenanya pantas juga disebut ‘Penentang’! Tidak mengingat kepada kepribadian sendiri, membuat rusaknya kehidupan (di Jawa), oleh karenanya tanah Jawa, dijajah terus menerus oleh bangsa lain, karena telah rusak agama yang lama!

38. Wiwit biyen jaman purwa, Pajajaran Majapahit, wong Jawa agama Buda, jaman Dêmak iku salin, nêbut Rasulullahi, sêbute wong Arab iku, saiki sira tular, anilar agama lami, têgêsira iku Kristên bangsa Arab.

Semenjak awal (di tanah Jawa) dulu, (saat jaman) Pajajaran Majapahit, orang Jawa ber-agama Buda (Shiwa Buddha), semenjak jaman Dêmak lantas berganti, mengikuti ajaran Rasulullah, (yang sesungguhnya adalah) ajaran suci bagi orang Arab, sekarang kalian terus mengikuti pula, meninggalkan agama lama, artinya kalian itu Kristen dari Arab (maksudnya, jika mengikuti pola pikir manusia-manusia Jawa pasca keruntuhan Majapahit semacam orang yang tengah berdialog dengan Gatholoco saat itu, yang menganggap manusia-manusia Jawa lain yang beragama Kristen adalah ‘manusia penentang’, maka dengan pola pikir yang sama, Gatholoco bisa juga menganggap manusia-manusia Jawa pasca keruntuhan Majapahit semacam orang yang tengah berdialog dengan Gatholoco, pantas juga dianggap ‘Penentang’ oleh orang Jawa yang beragama Shiwa Buda. Gatholoco hanya sekedar membalikkan logika berfikir mereka saja. Pada gilirannya, jikalau mereka tersinggung dianggap sosok manusia-manusia ‘Penentang’, maka begitu juga perasaan orang Kristen dan orang Shiwa Buddha manakala dianggap ‘Penentang’ oleh mereka. Sebuah bentuk keegoisan yang tidak mereka sadari!)

_________________

 Re: SERAT GATHOLOCO

SERAT GATHOLOCO (6)

Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

1. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 7-13

Yen mungguh pamêtêkingwang, Balencong tuwa pribadi, sanajan Kêlir pinasang, gamêlan wus miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih pêtêng nggenipun, sayêkti durung bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining Wayang.

Menurut aku, Balencong itu lebih tua, walaupun Kêlir (Layar) telah dipasang, gamelan sudah ditata, Dalang dan para niyaga (penabuh gamêlan beserta sindhen-nya) sudah duduk, akan tetapi jika masih gelap tempatnya, pasti tidak bisa, Dalang memilah dan memilih, untuk menceritakan cerita satu-persatu dari tiap jenis wayang.

Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira Ringgit, margane isih pêtêngan, ora kêna den tingali, yen Balencong wus urip, kanthar-kanthar katon murub, Kêlire kawistara, ing ngandhap miwah ing nginggil, kanan kering Pandhawa miwah Kurawa.

Yang menonton tak akan bisa melihat, kepada wujud setiap jenis Wayang, karena masih gelap gulita, tidak bisa dilihat mata, manakala Balencong sudah dinyalakan, menyala-nyala terlihat terang, Kêlir (Layar) akan tampak, dimana arah bawah dan arah atas, dimana kanan dan dimana kiri serta mana Pandhawa mana Kurawa.

Ki Dhalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gêdhe cilikira, tumrap marang siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinatês pangucap-ipun, awit pituduhira, Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong kang luwih tuwa.

Ki Dalang duduk dibawah pelita, mampu memilah dan memilih, menimbang besar kecilnya, terhadap setiap jenis, dari perwatakan tiap Wayang, sehingga mampu menyesuaikan ucapannya (dengan tiap karakter wayang kulit), sebab mendapat petunjuk, dari Balencong yang menerangi, oleh karenanya Balencong yang lebih tua.

Dene unining gamêlan, Wayange kang den gamêli, Dhalange mung darma ngucap, si Wayang kang darbe uni, prayoga gêdhe cilik, manut marang Dhalangipun, sinigêg gangsa ika, Kaki Dhalang masesani, nanging darma ngucap molahake Wayang.

Sedangkan bunyi gamêlan, mengiringi gerakan Wayang, Dalang hanya sekedar mengucapkan, dari suara tiap jenis Wayang, sedang tinggi atau rendah, menurut kehendak Dalang, berhentinya gamêlan, Ki Dalang yang berkuasa, akan tetapi sesungguhnya Dalang hanya sekedar mengucapkan dan menggerakkan Wayang sesuai dengan kisah yang telah ditentukan.

Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Sêpi, basa Sêpi Tanpa Ana, anane ginêlar yêkti, langgêng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe Wayang ucape Ki Dhalang.

Kisah yang dikehendaki oleh orang yang mengundang, yang dinamakan Kyai Sêpi, kata Sêpi berarti Tidak Ada, akan tetapi Keberadaan-Nya sesungguhnya tergelar, langgeng tak berubah, tak bisa berkurang dan tak bisa ditambah, tanpa kehendak tanpa sifat, akan tetapi ada yang lebih berkuasa, diatas gerakan Wayang dan ucapan Ki Dalang.

Ingkang mêsthi nglakonana, ingkang ala ingkang bêcik, kang nonton mung ingkang nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, têtêp suwung ora ana siji apa.

Yang membuat semua bisa bergerak, bergerak melakukan perbuatan jelek maupun baik, dari yang melihat hingga yang mengundang, yaitu Kyai Urip (Kyai Hidup), manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.

Basa Kêlir iku Raga, Wayange Suksma Sujati, Dhalange Rasul Muhammad, Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba.

Layar itu sesungguhnya adalah Raga ini, Wayang sesungguhnya Suksma Sejati, Dalang sesungguhnya Rasul Muhammad, Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri, Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.

Gatholoco melontarkan teka-teki kepada ketiga orang Kyai Guru. Diantara empat hal ini, manakah yang lebih tua? WAYANG, DALANG, KÊLIR (Layar)atau BALENCONG? (Pelita yang dinyalakan sepanjang malam hingga pagi, khusus untuk mengiringi sebuah pertunjukan Wayang Kulit ). (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 1)

Ahmad Ngarip (‘Arif) menjawab, bahwa KÊLIR (Layar) jelas paling tua sendiri. Karena sebelum sebuah pertunjukan Wayang kulit dimulai, KÊLIR (Layar) harus terpasang lebih dahulu. KÊLIR (Layar) akan dibentangkan segera sebelum semuanya siap sedia. KÊLIR (Layar) mutlak harus ada terlebih dulu sebelum seluruh WAYANG ditata berjajar bahkan sebelum satu persatu karakter WAYANG dimainkan. Harus ada sebelum gamêlan dibunyikan. Harus ada sebelum DALANG duduk menuturkan kisah yang hendak dibawakan. Bahkan KÊLIR (Layar) juga ada lebih dahulu sebelum BALENCONG dinyalakan. Oleh karenanya, KÊLIR (Layar) pantas dinyatakan sebagai yang paling tua. Begitu pendapat Ahmad Ngarip (‘Arif). (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 1-2)

Lain lagi pendapat dari Abdul Jabar. Menurut dia, DALANG-lah yang pantas dianggap sebagai yang paling tua. Karena, baik KÊLIR (Layar), BALENCONG berikut pula seluruh piranti perlengkapan untuk sebuah pertunjukkan Wayang Kulit, bahkan WAYANG-nya itu sendiri-pun, yang berkuasa menata, mengatur juga menjalankan, adalah SANG DALANG. Oleh karenanya, DALANG patut dianggap lebih tua dari yang lain! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 2-3)

Abdul Manap (Manaf) memiliki jawaban sendiri. Dia menganggap WAYANG-lah yang pantas dianggap tua. Karena bagaimanapun juga, dalam sebuah pagelaran Wayang Kulit, dimanapun tempatnya dan kapan saja waktu pertunjukkan tersebut digelar, yang disebut-sebut orang banyak pastilah Pagelaran WAYANG. Bukan Pagelaran DALANG, atau Pagelaran KÊLIR (Layar) apalagi Pagelaran BALENCONG! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 4-6)

Gatholoco menyalahkan semua jawaban dari ketiga Kyai Guru. Dia menyatakan BALENCONG-lah yang paling tua. Tanpa adanya BALENCONG, tak akan dapat terlihat seluruh piranti pertunjukan yang sudah tersedia. Tanpa adanya BALENCONG, keberadaan KÊLIR (Layar), WAYANG bahkan SANG DALANG sendiri, tidak akan dapat diketahui karena semua dalam kondisi gelap gulita.

Gatholoco menyatakan lagi, bahwasanya yang dimaksudkannya dengan KÊLIR (LAYAR) tak lain adalah RAGA atau STHULA SARIIRA atau JASAD MANUSIA Sedangkan WAYANG tak lain adalah SUKSMA SEJATI atau SUKSMA SARIIRA atau NAFS MANUSIA. SANG DALANG adalah perumpamaan dari ATMA SARIIRA atau RUH. Dalam bahasa Gatholoco ATMA SARIIRA atau RUH disebut RASUL MUHAMMAD ( UTUSAN YANG TERPUJI).

BALENCONG tak lain adalah simbol PURUSHA. Simbol dari MANIFESTASI ILLAHI PERTAMA yang berkehendak meng-ada-kan seluruh ciptaan ini. Dari PURUSHA-lah KEHENDAK PENCIPTAAN MULA PERTAMA TERGELAR. Dari PURUSHA-lah seluruh MANIFESTASI ILLAHI KEDUA atau ATMA atau RUH terpancarkan kedalam BAYANGAN ILLAHI (PRAKRTI, ALAM) . Dan dari KEHENDAK PURUSHA-lah PRAKRTI terus mengembang menciptakan ciptaan-ciptaan baru

BALENCONG-lah yang memberikan TERANG kepada DALANG. Dan DALANG memberikan KESADARAN kepada WAYANG. Sedangkan KÊLIR (LAYAR) hanya sekedar menjadi wahana terjadinya seluruh cerita yang dikisahkan.

PURUSHA-lah yang memberikan KESADARAN kepada ATMA SARIIRA atau RUH. ATMA SARIIRA atau RUH yang memberikan KESADARAN kepada SUKSMA SARIIRA atau NAFS. Sedangkan STHULA SARIIRA atau JASAD, hanya sekedar menjadi ‘tempat’ ter-realisasi-nya seluruh aktifitas tersebut.

BALENCONG (PURUSHA) adalah PERCIKAN DARI SANG HIDUP atau BRAHMAN. BALENCONG (PURUSHA) adalah juga DUPLICATE dari SANG HYANG WIDDHI atau BRAHMAN (Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi : Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri)!

Sedangkan GAMÊLAN dan PARA NIYAGA (PENABUH GAMÊLAN) berikut PARA PENONTON ibarat OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI yang akan selalu terus menghanyutkan tingkah polah WAYANG (SUKSMA SARIIRA). Tergantung KESADARAN SANG DALANG (ATMA SARIIRA) untuk memutuskan, apakah WAYANG (SUKSMA SARIIRA) yang ada dalam genggaman tangannya akan terus terpengaruh dan terlarut oleh BUNYI GAMÊLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI) dan TEPUK SORAK PENONTON sehingga lupa memfokuskan diri kearah USAINYA PERTUNJUKAN KEHIDUPAN. Ataukah KESADARAN SANG DALANG (ATMA SARIIRA) akan mengolah pertunjukan secara apik dan tepat waktu sehingga segera USAI PULA SELURUH PERTUNJUKAN KEHIDUPAN yang tengah dikisahkannya.

Jika ATMA SARIIRA TELAH BANGKIT KESADARANNYA, segera Dia akan berusaha merampungkan KISAH KEHIDUPANNYA SECARA APIK. Jika ATMA SARIIRA TIADA KUNJUNG BANGKIT KESADARANNYA, maka KISAH KEHIDUPANNYA AKAN MENJADI PANJANG DAN TAK KUNJUNG USAI! ATMA SARIIRA YANG TIDAK SADAR-SADAR, akan terus asyik memainkan SUKSMA SARIIRA dan terus terlarut dalam GELIMANG OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI! ATMA SARIIRA yang semacam ini akan terus TERJERAT DALAM PROSES KELAHIRAN DAN KEMATIAN YANG BERULANG-ULANG TANPA BERKESUDAHAN! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 10)

ATMA SARIIRA sendiri terpaksa akan masih terikat oleh HUKUM ALAM. Sebuah HUKUM SEMESTA yang absolute. Sebuah HUKUM PENUH KENISCAYAAN yang mengatur seluruh jalannya cerita kehidupan ini. Sebuah HUKUM SEBAB-AKIBAT-AKSI-REAKSI. HUKUM KARMAPHALA. Selama ATMA SARIIRA masih terjerat OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI, TERJERAT DUALITAS DUNIAWI, selama itu pula ATMA SARIIRA masih akan terkena HUKUM SEBAB AKIBAT!

Gatholo mengumpamakan, bahwa DALANG -pun harus tunduk kepada ORANG YANG MENGUNDANG. YAITU ORANG YANG PUNYA HAJAT. APA KISAH YANG DIMINTA, ITU JUGA YANG HARUS DIMAINKAN. Dalam bahasa Gatholoco, ORANG YANG PUNYA HAJAT disebut KYAI SÊPI.

KYAI SÊPI tak lain adalah ALAM SEMESTA! Tak lain adalah PRAKRTI, BAYANGAN BRAHMAN! ALAM SEMESTA -lah yang mengarahkan jalannya cerita nasib manusia. ALAM SEMESTA -lah yang menumbuhkan BUAH KARMA. WALAUPUN SESUNGGUHNYA, NASIB SETIAP MANUSIA ITU YANG MERANGKAI DAN MENGUNTAINYA TAK LAIN ADALAH MANUSIANYA ITU SENDIRI. ALAM SEMESTA HANYA SEKEDAR MEREKAM DAN MENUMBUHKANNYA SEMATA!

ALAM SEMESTA sesungguhnya TANPA KESADARAN. ALAM SEMSETA ibarat sebuah MESIN SUPER CANGGIH yang terus bekerja merekam seluruh aktifitas manusia. Aktifitas yang BAIK maupun yang BURUK. Dan pada ujungnya, menumbuhkan buah aktifitas tersebut dalam bentuk rangkaian TAKDIR bagi manusia itu sendiri! Oleh karenanya Gatholoco menggambarkan bahwasanya KYAI SÊPI itu seolah TIDAK ADA (Maksudnya SEOLAH TIDAK MELAKUKAN AKTIFITAS MEREKAM DAN MENUMBUHKAN BUAH KARMA). AKAN TETAPI KEBERADAANYA TERGELAR NYATA (Maksudnya ALAM SEMESTA INI NYATA BEKERJA MEREKAM DAN MENUMBUHKAN BUAH KARMA)! SESUNGGUHNYA DIA-PUN LANGGENG JUGA, DIA TAK BERUBAH, TAK BISA DITAMBAH DAN TAK BISA DIKURANGI. DIA TANPA KEHENDAK SENDIRI DAN TAK MEMILIKI KESADARAN SENDIRI. ALAM SEMESTA HANYALAH BAYANGAN BRAHMAN!

Diatas itu semua, ada yang lebih berkuasa. Gatholoco menyebutnya KYAI URIP atau HIDUP! KYAI URIP tak lain adalah BRAHMAN YANG MUTLAK! SUMBER ABADI KEHIDUPAN SEMESTA RAYA! INTI SEJATI SELURUH MAKHLUK! ASAL DAN TUJUAN SELURUH MAKHLUK! SUMBER MAHA ENERGI YANG TANPA PRIBADI! YANG MELAMPAUI SEGALANYA! YANG BERADA DIMANA-MANA! YANG ADALAH SEGALANYA! KEBERADAAN, KESADARAN, KEBAHAGIAAN SEJATI! KESEIMBANGAN MURNI! YANG ADALAH KEMUTLAKAN ABSOLUT!

DAN SEJATINYA, KÊLIR (STHULA SARIIRA), WAYANG (SUKSMA SARIIRA), DALANG (ATMA SARIIRA), YANG MENONTON BERIKUT YANG MENABUH GAMÊLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI), KYAI SÊPI (ALAM SEMESTA/PRAKRTI BERIKUT HUKUM KARMAPHALA-NYA) DAN BALENCONG (PURUSHA), SEMUANYA ADALAH MANIFESTASI KYAI URIP (BRAHMAN) ITU SENDIRI! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 5-6)

Gatholoco sesungguhnya hendak mengajarkan RAHASIA ILMU SEJATI kepada mereka-mereka yang masih juga terjerat konsep keber-agama-an kulit! Mereka-mereka yang terbiasa membedakan mana SAKRAL dan mana PROFAN berlebihan! Mereka-mereka yang berputar-putar pada keyakinan bahwa TUHAN tercerabut dari MANUSIA. Keyakinan bahwa TUHAN dan MANUSIA adalah dua sosok pribadi berbeda. Yang satu dilangit nan jauh disana, yang satu berdiam dibumi dengan kenelangsaan sebagai budak yang siap dimainkan dan diatur-atur sekehendak hati oleh Dia yang ada diatas langit itu! Budak yang setiap saat bisa diangkat derajatnya ataupun diperhinakan tanpa ada alasan yang jelas! Budak yang harus terus taat dan manut nurut. Budak yang akan diiming-imingi Surga jika patuh dan akan diancam dengan siksaan Neraka jika tidak patuh! Konsep ke-Tuhan-an yang sangat membelenggu dan tradisional (walau diklaim paling modern) semacam ini, dikritik secara berani oleh seorang filsuf Eksistensialisme, Friedrich W. Nietzsche dalam karyanya ZARATUSTRA, bahwa SOSOK TUHAN YANG SEMACAM INILAH PENGHALANG MANUSIA MENCAPAI TINGKATAN UEBERMENCH atau Manusia Agung. Sosok Tuhan semacam ini, menurut Nietzsche SUDAH MATI ! Lantang dia meneriakkan GOTT IST TOT (TUHAN TELAH MATI) !

Nietzsche berteriak beberapa puluh tahun lalu tentang UEBERMENCH. Gatholoco berteriak empat ratus tahun lalu tentang LANANG SUJATI. Syeh Siti Jenar berteriak enam ratus tahun lalu tentang INGSUN PANGERAN SEJATI, JATINING PANGERAN MULYA. Sidharta Gautama berteriak dua ribu lima ratus tahun yang lalu tentang BUDDHA dan Rsi Wyaasa berteriak lima ribu tahun yang lalu dalam Brahmasutra tentang AHAM BRAHMASMI. Teriakan mereka tiada beda walaupun masa kehidupan mereka terpaut rentang waktu yang jauh! Tapi mengapa masih juga tidak ada yang mendengar? Mengapa darah masih saja terus tumpah?

Gatholoco hendak mengajarkan kepada mereka-mereka yang terus menerus tercekam ketakutaan tak beralasan (Phobia) akan KUASA TANDINGAN TUHAN YANG BERNAMA IBLIS. Sehingga sering disibukkan dengan pemilahan INI DARI TUHAN, INI DARI IBLIS. INI AJARAN TUHAN, INI AJARAN IBLIS. INI SURGA TUHAN, INI SURGA IBLIS. INI UMAT TUHAN, INI UMAT IBLIS, bahkan membedakan INI AGAMA TUHAN, INI AGAMA IBLIS. (Walau diperhalus dengan ungkapan INI AGAMA LANGIT DAN INI AGAMA BUMI)!

KETAHUILAH! TIDAK ADA AJARAN DARI IBLIS, YANG ADA ADALAH AJARAN YANG BERASAL DARI EGOISME DAN KESERAKAHAN MANUSIA! ITULAH AJARAN SESAT DAN MENYESATKAN!

Gatholoco hendak mengajarkan bahwa seluruh semesta ini BERASAL DARI YANG SATU. BAHKAN BUKAN HANYA ITU SAJA, GATHOLOCO HENDAK MENGAJARKAN PULA BAHWA SESUNGGUHNYA SELURUH SEMESTA INI BERIKUT MAKHLUK YANG BERKERIAPAN DIDALAMNYA ADALAH SATU KESATUAN YANG TAK TERPISAHKAN! TAT TWAM ASI (ENGKAU ADALAH AKU JUGA)! TUNGGAL ADANYA!

Hal ini ditegaskan dalam syair ke-13 diatas.
Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jêro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba. (Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.)!

TAK HARUS ADA SEKUMPULAN SPESIES MAKHLUK HIDUP YANG PATUT DIMUSUHI! TUHAN TAK PERNAH MENGAJARKAN PERMUSUHAN DAN KEBENCIAN KEPADA MAKHLUK LAIN! TUHAN HANYA MENGAJARKAN KASIH! KASIH YANG TANPA PANDANG BULU! BUKAN KASIH YANG PILIH-PILIH ALIAS PILIH KASIH!

Yang patut diwaspadai adalah SUKSMA SARIIRA ini. Karena didalam SUKSMA SARIIRA ini, terdapat AHAMKARA (EMOSI NEGATIF), MANAH (PIKIRAN LIAR) dan CITTA (MEMORI-MEMORI TRAUMATIK) . Namun ada pula yang dinamakan BUDDHI (KESADARAN RELATIF). BUDDHI adalah KESADARAN ATMA yang tinggal sedikit karena terbelenggu oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA. Perkuat BUDDHI ini, agar tidak terpengaruh oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA. Jadikan BUDDHI sebagai pengendali ketiga unsur SUKSMA SARIIRA yang lain tersebut!

AHAMKARA, MANAH DAN CITTA, ITULAH SETAN YANG SESUNGGUHNYA!

Keempat unsur SUKSMA SARIIRA inilah sesungguhnya yang dimaksud oleh leluhur Jawa jaman Shiwa Buddha dengan istilah SADULUR PAPAT KALIMA PANCÊR (SAUDARA EMPAT KELIMA PUSAT), yaitu KAKANG KAWAH (BUDDHI), ADHI ARI-ARI (MANAH), GÊTIH (AHAMKARA) dan PUSÊR (CITTA) . Sedangkan PANCÊR (PUSAT) tak lain adalah ATMA SARIIRA kita!

Konsep ini dikembangkan dalam ajaran Islam Kejawen seiring keruntuhan Majapahit, dengan mengambil kosa kata Arab, untuk menggantikan kosa kata yang berbau Weda dan berbau Jawa asli, yaitu MUTMAINAH (untuk menggantikan kosa kata KAKANG KAWAH/BUDDHI), SUFIYYAH (untuk menggantikan kosa kata ADHI ARI-ARI/MANAH), AMARAH (untuk menggantikan kosa kata GÊTIH/AHAMKARA) dan LUWWAMAH (untuk menggantikan kosa kata PUSÊR/CITTA). Lantas dikenalah istilah NAPSU PATANG PRAKARA (PRIBADI EMPAT MACAM).

Kosa kata Jawa masih tetap bertahan, tapi kosa kata Weda, sudah dikikis habis dan tidak lagi dikenal oleh masyarakat Jawa pada umumnya hingga detik ini.

Pelampauan AHAMKARA, MANAH dan CITTA , mutlak diperlukan. Manakala sudah mampu kita lampaui, BUDDHI akan bersinar terang! Begitu BUDDHI telah termurnikan, maka KESADARAN akan meningkat pesat. Dan dalam proses lompatan peningkatan KESADARAN ini, BUDDHI itu sendiri, KESADARAN RELATIF itu sendiri, akan lenyap dalam ATMA SARIIRA . Dan ATMA SARIIRA akan memperoleh kembali KESADARAN MURNI-NYA !
ATMA SARIIRA yang telah TERJAGA TOTAL ini, sebenarnya sudah bukan lagi bisa disebut ATMA. ATMA SARIIRA yang sudah MELEK SEMPURNA ini, sesungguhnya tak lain adalah BRAHMAN itu sendiri! SIDHARTA GAUTAMA, KRISHNA dan JESUS sudah mengalaminya. Lantas mengapa anda mempermasalahkan jika ada yang menyembah SIDHARTA, KRISHNA atau JESUS ?

Tinggal selangkah lagi. Manakala ATMA SARIIRA sudah lenyap dalam SAMUDERA ENERGI PURNA , manunggal total dengan BRAHMAN , maka tiada lagi terbedakan mana ATMA mana BRAHMAN. TUNGGAL ADANYA . Gatholoco menggambarkan : ………..yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, têtêp suwung ora ana siji apa. (manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.)

Dan yang ‘ada’ hanyalah ‘YANG ADA’ itu sendiri. Tiada lagi ‘ada’ yang lain!

_________________

 Re: SERAT GATHOLOCO

SERAT GATHOLOCO (7)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA

Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

2. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) 17-18 :

Santri padha ambêk lintah, ora duwe mata kuping, anggêre amis kewala, cinucup nganti malênthing, ora ngrêti yen gêtih, gandane amis tur arus, kinira madumangsa, yen wus warêg mangan gêtih, amalêngkêr tan mêtu nganti sawarsa.

Santri yang berperilaku seperti lintah, tidak memiliki mata dan telinga, asalkan mencium bau amis, dihisap hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau itu darah, baunya amis dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika sudah kenyang meminum darah, meringkuk tak keluar-keluar lagi hingga setahun.

Wêkasan kaliru tampa, tan wruh têmah ndurakani, manut kitab mêngkap-mêngkap, manut dalil tanpa misil, amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa nikmating ilat, lan rasane langên rêsmi, rasanira ing kawruh ora rinasa.

Pada akhirnya salah terima, tidak memahami inti sari malah berbuat dosa tanpa disadari, menuruti kata-kata kitab begitu saja, menuruti dalil tanpa tahu makna sesungguhnya, hanya dibuat untuk memperoleh keuntungan duniawi, tersilap dengan keduniawian, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa lidah, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa bersenggama, makna sejati ilmu tidak dirasakan.

Gatholoco tajam mengingatkan, bahwasanya manusia-manusia yang terjebak ‘keberagamaan kulit’ seperti yang tengah berdialog dengannya, tak ubahnya bagaikan Lintah semata. Yang tak memiliki mata dan tak memiliki telinga. Pekerjaan mereka hanya menghisap darah sesama. Pekerjaan mereka hanya membuat harmonisasi kehidupan timpang.

Mereka mengira, dengan menghisap darah, mereka telah melakukan sebuah pekerjaan besar dan benar dimata Tuhan! Mereka mengira telah menghisap madu yang manis. Mengira telah melakukan sebuah pekerjaan agung yang sudah sepatutnya, walau harus menumpahkan darah!

Begitu telah kenyang menumpahkan darah, mereka akan puas dan tiada lagi tergerak untuk menelaah, apakah yang sudah dilakukan ini memang benar dimata Tuhan? (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 17)

Mereka telah membuat dosa tanpa disadari. Menelan mentah-mentah kata-kata kitab suci tanpa dikupas lagi. Menuruti segala dalil tanpa mendalami inti sarinya. Padahal SUARA NURANI mereka terus berontak untuk mengabarkan arti dan makna yang sesungguhnya!

Kesadaran mereka tentang spiritualitas, tak lebih sebatas pencapaian Kenikmatan Keduniawian semata. Kenikmatan yang konon juga ada di Surga sana. Kenikmatan yang mirip dan serupa dengan Kenikmatan Dunia. Benarkah itu semua? Jika memang demikian, mengapa harus berlama-lama menunggu nanti, toh sekarang Kenikmatan serupa juga ada disini. Sudah nyata dan didepan mata malah. Lantas mengapa harus menunggu sesuatu yang masih dijanjikan nanti jika memang esensinya serupa dan itu-itu juga? (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 18)

Kesadaran Spiritual-kah yang semacam ini? Jesus Kristus, Rabi’ah Al Adawiyyah, Jallaluddin Rumi, Al-Junaid, Ibnu Al-Araby, Ibnu Manshur Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Bistami, Hamzah Fanshuri, Syeh Siti Jenar dan seluruh manusia illahi semacam mereka malah dipangkas habis manakala meneriakkan kebenaran sebuah makna hakiki.

Berbeda dengan manusia illahi yang turun ditanah India, keberadaan mereka masih mendapat sambutan hangat hingga kini. Adakah yang berbeda dari pesan-pesan mereka? Tidak ada! Yang berbeda adalah medan dan tempat dimana mereka turun.

Terpujilah manusia-manusia illahi yang berani meneriakkan kebenaran dimedan yang penuh dengan manusia-manusia berkesadaran rendah! Sembah sujud saya kepada manusia-manusia illahi yang semacam ini!

3. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) 27 :

Guru tiga saurira, Katrima pamuji-mami, Gatholoco asru nyêntak, Pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang gêlap.

Ketiga Guru menjawab, Karena diterima doa kami, Gatholoco keras membentak, Bahkan doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui! Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui sebagai milik sendiri)!

Sekali lagi Gatholoco hendak menghancurkan dinding kesadaran sempit dari mereka yang tengah diajaknya berdialog. Gatholoco tengah memberikan letupan bagi peningkatan kesadaran mereka. Gatholoco hendak membangun kesadaran baru, bahwasanya semua yang ada didalam semesta ini tak ada yang lain selain MANIFESTASI HYANG WIDDHI atau BRAHMAN! atau ALLAH!

PURUSHA adalah MANIFESTASI PERTAMA dari BRAHMAN manakala BRAHMAN tengah berkehendak untuk melakukan sebuah LILAA atau PERMAINAN ILLAHI-NYA. BRAHMAN YANG MELAMPAUI SEGALANYA, YANG TANPA PRIBADI. MEMPERSEMPIT DIRI-NYA DALAM KONDISI SUPER PERSONALITY. INILAH PURUSHA!

Bersamaan dengan proses ini, muncullah BAYANGAN BRAHMAN yang lantas dikenal dengan nama PRAKRTI. Inilah CIKAL BAKAL SELURUH UNSUR MATERIAL YANG ADA DI SEMESTA RAYA.

Dari PURUSHA memerciklah ATMA-ATMA atau RUH-RUH yang tiada terhitung.

Lantas, manakah yang bukan BRAHMAN atau ALLAH?

Manusia-manusia yang merasa dirinya berbeda dengan BRAHMAN, dengan TUHAN. Manusia-manusia yang merasa memiliki pribadi sendiri yang terpisah dengan Kepribadian Tuhan, SESUNGGUHNYA MEREKA ADALAH PENCURI. Begitu Gatholoco menyatakan!

PENCURI? Yap! Karena mereka mengklaim memiliki pribadi sendiri yang terpisah dengan Kepribadian Tuhan. Mereka tengah bermain-main dengan illusi! Dalam keyakinan mereka, pribadi mereka ini diciptakan oleh Tuhan. Mereka meyakini, Tuhan menciptakan mereka. Dan mereka berbeda dengan Sang Pencipta. Mereka punya hak pribadi. Memiliki asset sendiri. Walau menurut mereka, asset yang mereka miliki tersebut adalah pinjaman dari Tuhan.

Gatholoco menegaskan, diri kita semua ini, mulai dari ATMA SARIIRA (RUH), SUKSMA SARIIRA (NAFS), STHULA SARIIRA (JASAD) termasuk seluruh piranti indrawi (mata, telinga, hidung,dsb), berikut fungsi-fungsi inderawi (penglihatan, pendengaran, ucapan, dsb) adalah MANIFESTASI TUHAN! Bukan sesuatu yang terpisah dari-Nya. Ini semua bukan milik otonom seorang makhluk ciptaan yang disebut ‘manusia’. Jika ‘manusia’ mengklaim ini mataku, ini telingaku, ini badanku, ini penglihatanku, ini pendengaranku, ini ucapanku dsb, jelas mereka telah melakukan KLAIM PALSU! DAN ORANG YANG MENGAKUI SESUATU YANG BUKAN MILIKNYA, JELAS ADALAH SEORANG PENCURI!

Bagaimana dia bisa mengakui ini milik ‘saya’, jika sosok ‘saya’ itu sendiri sesungguhnya ‘tidak ada’? Jika sosok ‘saya’ itu sendiri sebenarnya adalah bagian Tuhan juga? Terngiangkah anda dengan kata-kata Sidharta Buddha Gautama tentang Annata (Tanpa Aku/Tanpa Saya/Kosong) ?

Dalam Pupuh III, Sinom, Syair 27 diatas bagian akhir, Gatholoco berkata keras :

……………..Gatholoco asru nyêntak, Pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang gêlap. (…………………,Gatholoco keras membentak, Bahkan doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui! Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui sebagai milik sendiri)!

Coba renungkan sekali lagi!

4. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair ) 29-31 ;

Sakehing reh lakonana, yen tan manut Sun gitiki, jalaran sira wus salah, kajêdhêgan sira maling, lah iku duwek Mami, sira anggo tanpa urus, saikine balekna, ilange duk Jaman Gaib, Ingsun simpên ana satêngahing jagad.

Segala perintah-Ku laksanakan, jika tak menurut pasti Ku dera, sebab kalian telah salah, patut dipersalahkan karena maling, itu semua milik-Ku, kalian pakai dengan tidak benar, sekarang kembalikan, dulu hilang dikala Jaman Gaib, Aku simpan di tengah-tengah jagad.

Saksine si Wujud Makna, cirine rina lan wêngi, Ingsun rêbut tanpa ana, saiki lagya pinanggih, sira ingkang nyimpêni, santri padha tanpa urus, yen sira tan ngulungna, sun lapurake pulisi, ora wurung munggah ing rad pêngadilan.

Saksinya adalah si Wujud Makna (Wujud dari segala inti sari makna kitab suci), bukti (dari keteledoran kalian memakai barang-Ku dengan tidak benar) telah dicatat oleh siang dan malam, Aku cari-cari tak ketemu, sekarang tengah Aku jumpai, ternyata kalian yang menyimpannya, para santri yang tidak benar! Jika tidak kalian kembalikan, Aku laporkan polisi (hukum alam), tak urung akan naik perkara dipengadilan (semesta)!

Mêsthi sira kokum pêksa, yen wêngi turu ning buwi, lamun rina nambut karya, sabên bêngi den kandhangi, beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh, sadurunge tumindak, ingkang daya sêja-mami, agal alus kasar lêmbut ingsun nalar.

Pasti akan menerima hukuman, jika malam tidur didalam penjara (terkurung dalam kegelapan batin sehingga gelisah), jika siang kerja paksa (sengsara ditengah panasnya dualitas duniawi), tiap malam dikandangkan (terus terjerat dalam kegelapan batin), berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk memenuhi keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.

Illusi manusia layak dihancurkan. Walaupun illusi itu juga Manifestasi Brahman, tapi jelas, segala macam illusi, kebodohan (awidya), ketidak murnian, keangkuhan, keserakahan dan semua yang menelikung KESADARAN SEJATI ATMA, adalah Manifestari Brahman dalam level rendah.

Semua ketidak murnian muncul dari PRAKRTI. Dan PRAKRTI hanyalah BAYANGAN BRAHMAN. DAN SEBUAH BAYANGAN, BUKANLAH YANG SEJATI. SEBUAH BAYANGAN HANYALAH ILLUSI (MAYA)!.

Sekali lagi saya tegaskan, SEGALA MACAM KETIDAK MURNIAN ADALAH BERASAL DARI PRAKRTI. DAN PRAKRTI ADALAH MANIFESTASI BRAHMAN DALAM LEVEL BAWAH! JADI JANGAN HANTAM RATA DENGAN MENYATAKAN BAIK DAN BURUK ITU SEIMBANG! HITAM DAN PUTIH ITU SELEVEL! TIDAK!

BAIK DAN BURUK, HITAM DAN PUTIH MEMANG SAMA-SAMA PERWUJUDAN BRAHMAN, MEMANG ADA DALAM SATU KESATUAN TUNGGAL. TAPI DALAM JENJANG YANG BERBEDA!

Dalam Bhagawad Gita, jelas Shrii Krishna menyatakan :

“Sifat-sifat Illahi (Daiva Sampad) adalah jalan KELEPASAN (MOKSHA), sedangkan sifat-sifat Jahat (Asura Sampad) adalah jalan menuju KETERIKATAN (LAHIR BERULANG-ULANG DIDALAM ALAM MATERIAL). Janganlah bersedih, oh Pandhawa (Putra Pandhu/ Arjuna), dirimu (karena buah karma masa lalumu), terlahir dalam sifat-sifat Illahi!” (Bhagawad Gita : 16 : 5)

Jika BAIK dan BURUK, HITAM dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK SADARAN itu sama, lantas mengapa anda mempelajari KESUCIAN jika toh dalam kondisi KOTOR -pun anda sama saja dalam kondisi BERSIH? Jika BAIK dan BURUK, HITAM dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK SADARAN itu sama, lantas mengapa sosok semacam SHIWA, KRISHNA, RSI VYAASA, SIDHARTA BUDDHA GAUTAMA, JESUS, SYEH SITI JENAR, GATHOLOCO dan Manusia-Manusia Illahi lainnya harus berteriak-teriak untuk membebaskan KESADARAN KITA dari jerat KETIDAK MURNIAN SEBUAH ILLUSI (MAYA)?

Jangan bermain-main dengan kata-kata. Anda akan terjebak sendiri. Pada ujungnya, anda sendiri yang akan kebingungan untuk menentukan sikap dalam menyikapi realita kehidupan ini!

ATMA telah terjebak dalam BAYANGAN BRAHMAN ! KETERJEBAKAN PADA ILLUSI (MAYA) BRAHMAN inilah yang memunculkan adanya kehidupan material. Selama keterjebakan ini terus terjadi, maka ATMA akan terus tergerus proses kehidupan material! Dia akan lahir dan mati, lahir dan mati, lahir dan mati, tanpa ada kesudahan! Jika ATMA bisa membebaskan diri dari BAYANGAN BRAHMAN, maka ATMA akan MENYATU DENGAN INTI BRAHMAN ITU SENDIRI! ATMA tidak perlu terlahirkan kedunia material kembali! Inilah MOKSHA. Inilah NIRWANA. Inilah KERAJAAN ALLAH. Inilah JANNATUN FIRDAUS!

Dalam syair 29, Pupuh III diatas, Gatholoco sengaja berkata dengan MEMPERGUNAKAN KESADARAN TERTINGGINYA! Jika mereka-mereka yang tengah diajaknya berdialog tetap meyakini keterpisahan pribadinya dengan Kepribadian Brahman, berarti mereka tidak mengikuti ‘PERINTAH ATAU PETUNJUK SEJATI BRAHMAN’ yang tertuang dalam intisari seluruh Kitab Suci! Jika illusi mereka tetap sulit disingkap, maka terpaksa HUKUM ALAM yang akan bekerja! Ini yang dimaksud ucapan Gatholoco dengan : ……..yen tan manut Sun gitiki,….(….jika tidak menurut pasti Ku dera…). Karena selain telah berillusi memiliki asset badan sendiri, mereka juga telah mempergunakan seluruh ‘barang klaim palsu’ tersebut dijalan ketidak murnian! Oleh karenanya, hilangkanlah illusi kalian. Hilangkanlah anggapan bahwa kalian itu berbeda dengan DIA! Kembalikan seluruh barang pengakuan itu kepada yang punya! Kembalikan KESADARAN kalian dari mengklaim memiliki asset sendiri menjadi SEMUA INI ADALAH BRAHMAN SEMATA!

Dalam syair 31, Pupuh III bagian terakhir, Gatholoco menurunkan kembali KESADARAN-NYA : ………..beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh, sadurunge tumindak, ingkang daya sêja-mami, agal alus kasar lêmbut ingsun nalar. (…………berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk memenuhi keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.)

_________________
MURTADINKAFIRUN

 Re: SERAT GATHOLOCO

  admin on Sun Jul 04, 2010 7:06 am

SERAT GATHOLOCO (
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
Yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

38. Guru tiga duk miyarsa, sru nyêntak sarwi nudingi, Gatholoco sira gila, Gatholoco anauri, Ingsun gila sayêkti, yen wêruh kaya dhapurmu, wêdi bok katularan, ora duwe mata kuping, kawruhira amung jakat lawan pitrah.

Ketiga Guru begitu mendengarnya, keras membentak sembari menuding, Gatholoco kamu gila! Gatholoco menjawab, Aku memang gila, jika bertemu orang sepertimu, aku takut ketularan, tidak memiliki mata dan telinga, pengetahuan kalian hanya melulu berkisar tentang jakat pitrah (zakat fitrah) saja.

39. Kyai Guru tiga pisan, tyasnya runtik anauri, Nyata sira anak Jalang, Gatholoco amangsuli, Iku bênêr tan sisip, bapa biyung kaki buyut, kabeh kêna ing pêjah, lamun wis tumêkeng jangji, yêkti mulih mring asale padha Ilang.

Ketiga Guru semua, dengan hati panas menyahuti, Nyata kamu anak Jalang! Gatholoco menjawab seenaknya, Ucapanmu benar tidak keliru, bapak ibu kakek dan buyut-ku, semua terkena mati, jika sudah sampai pada saatnya mati, pasti pulang keasalnya semua meng-Hilang! (Inilah sikap bijak seorang yang tercerahkan. Manakala dia dihina, maka dia akan merespon dan memaknai hinaan itu dengan makna positif. Gatholoco di caci sebagai anak Jalang, tapi Gatholoco seolah tak mendengar kata Jalang tapi malah mendengar kata Hilang. Contohlah sikap seperti ini.)

40. Kiraku manawa sira, mêtu saking rêca wêsi, dene wujud tanpa nyawa, sira ora duwe budi, Kyai Guru nauri, samya misuh Truk biyangmu, Gatholoco angucap, Iku bangêt trima-mami, krana sira têlu pisan misuh mring wang.

Kukira mungkin kalian, lahir dari arca besi, berwujud tapi tanpa nyawa, karena terlihat kalian tidak mempunyai budi (buddhi : kesadaran), Kyai Guru menjawab, dengan mengumpat Turuk biyang-mu (Dasar terlahir dari Vagina)! Gatholoco berkata, Sangat berterima kasih aku, karena kalian bertiga mengumpati aku (dan ibuku).

41. Sira nuduhake biyang, ingsun iki tan udani, duk lair saking wadonan, amung ingkang sun-gugoni, wong tangga kanan kering, bapa biyang ingkang ngaku, nganakake maring wang, iku ingkang sun-sungkêmi, nanging batin ingsun ora wani sumpah.

Kalian telah berani menunjukkan darimana Aku telah terlahirkan, akan tetapi Aku sendiri tidak yakin pasti, apakah benar aku terlahirkan dari vagina, hanya yang Aku jadikan pegangan, kesaksian tetangga kiri kanan, berikut bapak dan ibu yang mengakui, telah memperanakkan Aku, keduanya Aku junjung tinggi, akan tetapi didalam hati sesungguhnya Aku tidak berani bersumpah (telah terlahir dari sebuah vagina!)

42. Iya iku bapa biyang, ingkang wêruh lair-mami, saikine sira bisa, nuduhake biyang-mami, wismane ana ngêndi, lawan sapa aranipun, amba-ciyute pira, duweke wong tuwa-mami, yen tau wêruh iku ujar ambêlasar.

(Mungkin) hanya bapak dan ibu-ku, yang mengetahui dengan pasti darimana Aku terlahirkan, akan tetapi sekarang kalian (yang baru bertemu denganku saat ini saja), telah berani menyatakan bahwa Aku terlahir dari vagina ibu, jika memang benar kalian tahu pasti, dimanakah rumah ibu-Ku, lantas siapakah namanya, serta seberapa ukuran, milik (vagina) ibu-Ku? Jika tidak bisa menjawab nyata kalian telah bersaksi palsu!

43. Krana ingsun nora wikan, wujude Ingsun saiki, mujud dhewe tanpa lawan, Allah ora karya mami, anane raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng alam dunya, ana satêngahing bumi, lawan sira kala karya raganira.

(Ketahuilah) sesungguhnya Aku tidak ragu bahwa, wujud(Atma)-Ku ini, berwujud dengan sendirinya (bukan dilahirkan oleh vagina) dan tiada tandingan, Allah tidak menciptakan Aku (Maksudnya Allah saja tidak menciptakan Atma atau Ruh: Atma atau Ruh tidak diciptakan, tidak ada yang menciptakan Atma atau Ruh. Atma dan Ruh adalah percikan-Nya), (sedangkan) adanya Raga(Tubuh Fisik)-Ku, (memang) buatan Hyang Agung (Maksudnya Hyang Agung/Allah hanya menciptakan Raga atau Tubuh Fisik semata), (diciptakan) saat ada di alam dunia, ada ditengah-tengah bumi, manakala membuat raga kalian (Maksudnya dicipta ditengah ruang dan waktu relatif semesta raya).

44. Sawindu lawan sawarsa, rolas wulan pitung ari, pêndhak pasar ratri siyang, saêjam sawidak mênit, ora kurang tan luwih, wukune mung têlung puluh, raganingsun duk daya, sarta wus wani nyampahi, wruhaningsun sanajan saiki uga.

Sawindu (siklus delapan tahunan) serta Setahun, Dua belas bulan Tujuh hari, Pêndhak Sêpasar (siklus hari dalam jumlah lima : Kliwon, Lêgi, Pahing, Pon dan Wage) Malam dan Siang, Satu jam Enam puluh menit, tak lebih dan tak kurang dari itu, Wuku-nya hanya tiga puluh (Wuku adalah perhitungan siklus tujuh harian/seminggu. Ada tiga puluh Wuku. Setiap Wuku berumur tujuh hari. Total tiga puluh Wuku memakan waktu 210 hari), (Didalam ukuran ruang dan waktu relatif duniawi seperti contoh diatas) Raga(Tubuh Fisik)-Ku memiliki bentuk (maksudnya tercipta), serta sudah berani menghina (maksudnya juga tercipta Tubuh Halus/Suksma Sariira yang menyelimuti kesadaran Atma sehingga berubah menjadi sosok makhluk yang tidak murni), ketahuilah hal ini sekarang juga.

45. Badanku kêna ing rusak, urip-mami wangawuhi, saobah-osiking badan, Rasulullah andandani, krana ingsun kêkasih, kinarya Pangeraningsun, marang sagunging sipat, nggêsangakên saliring tunggil, iya Ingsun iya Allah ya Muhammad.

Badanku bisa rusak, (akan tetapi) Hidup (Atma)-ku abadi, seluruh keberadaan tubuh ini, Rasulullah (Atma/Ruh)-lah yang menghiasi, karena Aku (Hidup/Atma/Ruh/Rasulullah) adalah kekasih(-Nya), dianggap sebagai Tempat untuk Mengabdi (bagi Tubuh Fisik/Sthula Sariira dan Tubuh Halus/Suksma Sariira), Tempat untuk Mengabdi bagi seluruh sipat (maksudnya segala sifat yang baik maupun yang buruk dari Suksma Sariira), menghidupi segalanya dalam satu kesatuan, (sesungguhnya) Aku (Ruh/Atma) adalah juga Allah adalah juga Muhammad.

46. Guru tiga asru mojar, Sira wani angakoni, tunggal wujud lan Pangeran, apa kuwasamu kuwi, Gatholoco nauri, Ngawruhi dadine lêbur, kalawan pêparêngan, karsane Kang Maha Suci, ingsun dhewe tan kuwasa apa-apa.

Ketiga Guru keras berkata, Kamu berani mengakui, satu kesatuan wujud dengan Tuhan, apa kekuasaanmu? Gatholoco menjawab, Menyadari menjadi dan leburnya (maksudnya menyadari sepenuhnya sepanjang kelahiran dan kematian saat terlahirkan sebagai Gatholoco saja), dengan ijin, dan kehendak Yang Maha Suci, aku sendiri tak berkuasa apa-apa. (Maksud Gatholoco, dalam kondisi Atma masih terikat oleh Suksma Sariira/Tubuh Halus dan Sthula Sariira/Tubuh Fisik, Atma hanya mampu mengetahui kelahiran dan kematiannya dalam satu siklus kehidupannya ini saja, sedangkan diluar itu, Atma belum mampu menyadari).

47. Ragengsun wujuding Suksma, angawruhi ing Hyang Widdhi, tumindak karsanira Hyang, aweh mosik liya mami, Muhammad kang nduweni, pangucap paningalingsun, pangganda pamiyarsa, dene lesan lawan dhiri, kabeh iku kagungane Rasulullah.

Ragaku adalah wujud Suksma (kata Suksma disini yang dimaksud adalah Hyang Suksma, yang artinya Tuhan. Bukan Suksma Sariira/Tubuh Halus), jelas-jelas adalah Hyang Widdhi yang terlihat, mampu eksis atas kehendak Hyang (Widdhi) sendiri, mampu pula beraktifitas (atas kehendak-Nya juga), Muhammad (Atma/Ruh juga adalah wujud Hyang Widdhi) yang memiliki, pengucapan penglihatanku, penciuman dan pendengaranku, lesan dan pribadi ini, semua itu milik Rasulullah (Atma/Ruh). (Maksudnya baik Raga/Sthula Sariira hingga Atma – dalam bahasa Gatholoco adalah Muhammad atau Rasulullah- semua adalah perwujudan Hyang Suksma atau Hyang Widdhi atau Tuhan. Atma ini tiada beda dengan Hyang Widdhi. Maka tepatlah jika dinyatakan, seluruh pengucapan, penglihatan, penciuman, pendengaran dan sebagainya sesungguhnya adalah milik Atma.)

48. Ingsun ora apa-apa, mung pangrasa duwek-mami, iku yen ana sihing Hyang, yen tan ana sihing Widdhi, duwekingsun mung sêpi, basa sêpi iku suwung, tan ana apa-apa, lir ingsun duk durung dadi, têtêp suwung ora wêruh siji apa.

Aku ini tidak memiliki apa-apa, hanya perasaan (merasa memiliki) saja yang menjadi miliku, itu saja jika mendapatkan kasih dari Hyang (Widdhi), jika tak mendapatkan kasih (Hyang) Widdhi, milikku hanyalah sêpi, arti kata sêpi adalah kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan aku saat belum menjadi, tetap kosong tak mengetahui apa-apa. (Maksudnya wujud manusia ini sesungguhnya adalah perwujudan Tuhan juga. Manusia itu ‘tidak ada’. Yang ada hanya ‘perasaan merasa ada dan memiliki pribadi yang terpisah dengan Tuhan’. Jika ‘illusi merasa ada dan merasa memiliki pribadi yang terpisah dengan Tuhan’ ini tersingkap, maka yang ada hanyalah KOSONG. KOSONG itulah KEABADIAN DAN KEBAHAGIAAN MILIK KITA DULU. KOSONG ITULAH TUHAN!)

49. Abdul Jabar nulya mojar, Sira iku angakoni, wujudmu wujuding Suksma, ing mangka ragamu kuwi, kêna rusak bilahi, ora langgêng sira wutuh, Gatholoco angucap, Ingkang rusak iku bumi, kalimputan wujud-mami lan Pangeran.

Abdul Jabar lantas berkata, Kamu mengakui, wujudmu adalah wujud (Hyang) Suksma, padahal ragamu itu, bisa terkena rusak dan celaka, tidak utuh abadi selamanya, Gatholoco berkata, Yang bisa rusak itu badan yang berasal dari bumi (kata bumi hanya mewakili segala unsur alam semesta), yang terselimuti wujud-Ku (Atma) dan Tuhan (Brahman).

50. Ingsun Ingkang Maha Mulya, tan kêna rusak bilahi, ingkang langgêng swarga mulya, Kyai Guru anauri, Yen mangkono sireki, wêruh pêsthine Hyang Agung, kang durung kalampahan, Gatholoco anauri, Wêruh pisan pêsthine mring raganingwang.

Aku Yang Maha Mulia, tak bisa rusak dan celaka, yang langgeng dan sesungguhnya surga mulia (Jannatun Firdaus, Moksha, Nirwana, Kerajaan Allah) itu sendiri, Kyai Guru menyahut, Jikalau demikian kamu ini, mengetahui takdir Hyang Agung yang belum terjadi? Gatholoco menjawab, Bahkan aku bisa membuat takdir yang bakal terjadi pada diriku.

51. Ingsun pêsthi awakingwang, wayah iki dina iki, jêjagongan lawan sira, mêngko gawe pêsthi maning, kang durung den lakoni, kanggone mêngko lan besuk, supaya aja salah, dadi ora kurang luwih, lamun salah ngrusak buku sastra angka.

Telah aku tetapkan sendiri, pada saat ini hari ini, duduk bertemu dengan kalian semua, nanti aku akan membuat takdir lagi, yang belum terjadi, untuk hari esok dan kelak, harus hati-hati dalam membuatnya, sehingga tidak kurang dan tidak lebih (tetap dalam keseimbangan), jika salah bisa merusak kitab sastra angka. (Gatholoco sebenarnya hendak menjelaskan tentang hukum sebab akibat, dimana takdir itu yang membuat adalah kita sendiri)

52. Kalawan ngrusak gulungan, iku bangêt wêdi-mami, wêdi manawa dinukan, marang ingkang juru-tulis, mulane ngati-ati, gawe pêsthi aja kliru, Kyai Guru angucap, Kang durung sira lakoni, bêja sarta cilakamu besuk apa.

Jika sampai merusak gulungan kitab (maksudnya melakukan perbuatan buruk sehingga merangkai takdir buruk pula bagi diri kita), itu sangat kutakutkan, takut jika sampai dimarahi, oleh juru tulis (maksudnya alam semesta, yang merekam dan mencatat segala perbuatan dan aktifitas kita), makanya aku hati-hati, membuat takdir jangan sampai keliru, Kyai Guru berkata, Yang belum kamu jalani, untung dan celakamu besok bagaimana?

53. Aneng ngêndi kuburira, Gatholoco anauri, Kuburan wus ingsun-gawa, sabên dina urip-mami, kalawan ngudanêni, ning sawatês umuringsun, kalamun parêk ajal, sajroning rolas dina mami, lagya milih jam sarta wayahira.

Dimanakah kuburmu? Gatholoco menjawab, Kuburku telah aku bawa, setiap saat dalam kehidupanku, serta aku tahu, pada batas usiaku, jika sudah dekat ajal, dalam dua belas hari, baru memilih jam dan saatnya. (Gatholoco berkata benar. Manusia yang kesadarannya tinggi, mampu memilih hari, jam dan saat kematiannya sendiri!)

54. Yen gawe pêsthi samangkya, papêsthene awak-mami, bokmanawa luwih kurang, susah anggoleki pêsthi, bêcike sabên lawan ari, anggawe papêsthen iku, manut sênênging driya, dadi ora kurang luwih, ora angel ora cidra ing sêmaya.

Membuat takdir itu, takdir untuk diriku sendiri, sangat sulit membuat yang seimbang (maksudnya membuat takdir yang menghasilkan keseimbangan sehingga menunjang lepas dari dualitas duniawi), sangat sulit mencari takdir (yang menunjang pelampauan dualitas tersebut), lebih baik setiap hari, dalam membuat takdir, dibuat dalam keadaan pikiran yang bahagia (pikiran positif), sehingga hasilnya kelak tidak akan lebih dan kurang (seimbang), tidak membuat kesukaran (dalam proses evolusi Atma) dan tidak membuat ingkar janji (mengingkari tujuan hidup yang sejati yaitu menyatu dengan SUMBER ABADI SEMESTA).

55. Kyai Abdul Jabar ngucap, Pêsthine marang Hyang Widdhi, ingkang durung kalampahan, Gatholoco anauri, Iku pêsthening Widdhi, dudu pêsthi saking ingsun, Allahku sabên dina, anggawe papêsthen mami, anuruti marang kabeh karsaningwang.

Kyai Abdul Jabar berkata, (Bagaimana dengan) ketetapan Hyang Widdhi, yang belum terlaksana, Gatholoco menyahut, Itu ketetapan (Hyang) Widdhi, bukan ketetapan dari-(Atma)ku, Allah-ku setiap hari, membuat ketetapan bagiku, menuruti kepada semua kehendak-ku. (Disini jelas harus dibedakan, mana takdir yang dibuat oleh manusia untuk dirinya sendiri melalui pikiran, perkataan dan perbuatannya, dengan takdir jalannya siklus semesta raya. Jelas, takdir bagi diri sendiri kitalah yang membuat, tapi takdir jalannya siklus semesta raya, manusia tidak bisa membuatnya.)

56. Guru tiga sarêng ngucap, Gatholoco sira iki, nyata kasurupan setan, Gatholoco anauri, Bênêr pan ora sisip, kala ingsun dereng wujud, ana ing alam samar, tumêka ing jaman mangkin, setaningsun durung pisah saking raga.

Ketiga Guru sama-sama berkata, Gatholoco kamu ini, nyata-nyata kesurupan setan! Gatholoco menjawab, Benar memang tidak salah, saat aku belum lahir, didalam alam yang samar, hingga pada jaman aku lahir (kembali sekarang), setanku belum bisa aku pisahkan dari diriku!

57. Basa setan iku seta, asaling bibit sakalir, wujudingsun duk ing kuna, punika asale putih, lamun durung mangrêti, iya iku asal ingsun, purwa saking sudarma, tumêka kalamullahi, sayêktine ingsun asal Kama Pêthak.

Setan itu berasal dari (air) putih (sperma), bibit semua manusia, wujudnya pertama kali, berwarna putih, maka ketahuilah, itulah asal-ku, berasal dari orang tua laki-laki, hingga aku harus lebur (moksa, maka setan akan tetap ada didalam diriku), sesungguhnya aku (Tubuh fisik ini beserta setannya) berasal dari Kama Pêthak (sperma berwarna putih)!

58. Mênêk Guru têlu sira, Kama Irêng ingkang dadi, dene buntêt tanpa nalar, Abdul Manap duk miyarsi, mojar mring Ahmad Ngarip, Abdul Jabar Yen sarujuk, wong iki pinatenan, lamun maksih awet urip, ora wurung ngrusak sarak Rasulullah.

Akan tetapi kalian ketiga Guru, Kama Irêng (sperma hitam) asal kalian (sperma yang berisi roh-roh terikat) sehingga bodoh tanpa nalar! Abdul Manap (Abdul Manaf) begitu mendengar, berkata kepada Ahmad Ngarip (Ahmad ‘Arif), serta kepada Abdul Jabar Jika kalian setuju, kita bunuh saja orang ini! Jika masih tetap hidup, tidak urung akan merusak syari’at Rasulullah!

59. Iku wong mbubrah agama, akarya sêpining masjid. Gatholoco asru ngucap, Den enggal nyuduk mring mami, sapisan nyuduk jisim, pindho bathang sira suduk, ya ingsun utang apa, arsa mateni mring mami, saurira Mung lêga rasaning driya.

Orang ini merusak agama, bakal membuat sepinya masjid, Gatholoco keras berkata, Segeralah tusuk Aku, pertama kamu hanya akan mampu menusuk tubuh fana ini saja, kedua kamu hanya akan mampu menusuk bangkai (tidak bakalan kalian mampu menusuk yang namanya ‘Aku’)! Berhutang apakah Aku pada kalian? Sehingga kalian hendak membunuh ‘Aku’? (sesungguhnya kalianlah yang telah banyak berhutang pada-Ku)! Terdengar jawaban, Agar puas rasa hati kami!

60. Krana sira ngrusak sarak, Gatholoco anauri, sarak tan kêna rinusak, pinêsthi dening Hyang Widdhi, …………………………, ………………………, …………………….., iku têtêp aran janma ngrusak sarak.

Karena kamu telah merusak syari’at! Gatholoco menyahuti, Syari’at (hukum yang sesungguhnya alias hukum alam) tidak bisa dirusak! Sudah ditetapkan demikian oleh Hyang Widdhi, (belum saatnya saya terjemahkan……………….), Itulah sesungguhnya yang dinamakan manusia perusak syari’at!!

61. Dene bangsane agama, sasênêngne wong ngaurip, sanajan agama Cina, lamun têrus lair batin, yêkti katrima ugi, Guru têlu agamamu, iku agama kopar, agamaku ingkang suci, iya iku kang aran Agama Rasa.

Semua agama, terserah kepada pribadi masing-masing, walaupun agama berasal dari Cina, apabila mantap lahir batin, pasti diterima (oleh Tuhan), agama kalian, itu agama sombong, agamaku yang suci, inilah yang disebut Agama Rasa.

62. Têgêse Agama Rasa, nuruti rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh sun-turuti, rasaning lêgi gurih, pêdhês asin sêpêt kêcut, pait gêtir sadaya, sira agama punapi, saurira Agamaku Rasulullah.

Maksud dari Agama Rasa, mengamati rasa hati, rasa badan dan rasa lidah, itu semua aku amati, rasa manis gurih, pedas asin sepat kecut, pahit dan getir semuanya (Gatholoco tengah menguraikan meditasi Vipassana, yaitu melatih Kesadaran agar senantiasa awas dengan segala gejolak pikiran dan segala sensasi tubuh), sedangkan kalian agama apakah, Mereka menjawab Agamaku agama Rasulullah!

63. Gatholoco asru ngucap, Patut sira tanpa budi, aran ra punika raras, sul usul raras kang sêpi, sul asal têgêsneki, mulane sireku kumprung, Guru tiga miyarsa, sigra kesah tanpa pamit, sakancane garundêlan urut marga.

Gatholoco keras menyahuti, Pantas kalian tanpa buddhi (kesadaran), tidak bisa mengamati rasa diri, mengamati asal usul rasa yang sepi (dari segala rasa), makanya kalian bingung, Mendengar kata-kata itu ketiga Guru, segera pergi tanpa pamit, seluruh yang bersama mereka menggerutu sepanjang jalan.

64. Sangêt dennya nguman-uman, Ahmad Ngarip muwus aris, Abdul Jabar Abdul Manap, salawasku urip iki, aja pisan pisan panggih, kalawan wong ora urus, manusa tan wruh tata, jroning ngimpi ingsun sêngit, yen kapêthuk sun mingkar tan sudi panggya.

Sangat-sangat sakit hati, Ahmad Ngarip (Ahad ‘Arif) berkata pelan, Abdul Jabar Abdul Manap (Abdul Manaf), selama hidupku ini, jangan sekali-kali lagi bertemu lagi, dengan orang yang tidak benar, manusia yang tidak mengetahui etika (seperti Gatholoco), bahkan didalam mimpi sekalipun, jika bertemu aku akan menghindar tidak sudi bertemu!

65. Gatholoco kang tinilar, aneng ngisoring waringin, rumasa yen mênang bantah, mangkana osiking galih, bangêt kêpati-pati, angêkul sameng tumuwuh, Sun-kira luwih manah, pangawruhe Guru santri, dene iku isih bodho kurang nalar.

Gatholoco yang ditinggal, dibawah pohon beringin, merasa jika telah menang dalam berdebat, begini kata hatinya, Sangat-sangat prihatin aku, betapa banyak manusia yang tidak sadar seperti kul (keong), aku kira sangat luas, wawasan Guru para sanri (tadi), ternyata masih bodoh kurang nalar.

66. Durung padha durung timbang, yen tinandhing kawruh-mami, durung nganti ingsun-gêlar, kawruhku kang luwih edi, prandene anglangani, kalah tan bisa samaur, yen mangkono sun-kira, ingkang muruk tanpa budi, iku nyata setan ingkang menda janma.

Sangat-sangat tidak seimbang, apabila diukur dengan wawasan-ku, belum juga aku wedarkan, pengetahuanku yang lebih unggul, tapi pada kenyataannya, kalah tak bisa menjawab, jika demikian kesimpulanku, siapa saja yang mengajarkan ilmu tanpa buddhi (kesadaran), itu nyata-nyata setan yang menjelma sebagai manusia.

67. Lamun wulange manusa, mêsthine pada mangrêti, mring duga lawan prayoga, aywa karêm karya sêrik, mulane kudu eling, eling marang Ingkang Asung, asung urip kamulyan, upayanên den kapanggih, yen pinanggih padhang têrang sagung nalar.

Jika benar-benar manusia, pastilah akan memahami, akan baik dan buruk, tidak suka gampang menghakimi sesama, oleh karenanya harus ingat, ingat kepada yang Maha Pemberi, yang memberikan kemuliaan hidup, carilah (Dia) hingga ketemu, jika telah ketemu akan terang benerang kesadaran ini.

68. Yen padhang têgêse gêsang, lamun pêtêng iku mati, janma ingkang duwe nalar, aran manusa sujati yen luwih wus ngarani, agal myang alus cinakup, tan kaya Guru tiga, bodhone kêpati-pati, cupêt kawruh pêtêng nalar maknanira.

Terang itu hidup, sedangkan gelap itu mati, manusia yang mempunyai kesadaran, itulah manusia sejati, manusia yang unggul, melampaui yang kasar dan halus (dualitas duniawi), tidak seperti ketiga Guru tadi, sangat-sangat bodoh, sempit wawasan gelap kesadarannya.

69. Gatholoco gya lumampah, têtêmbangan urut margi, kêbo bang kagok (sapi) upama, ‘sapi-san’ maning pinanggih, bibis alit ing tasik (undur-undur), ora ‘mun-dur’ bantah kawruh, pêlêm gung mawa ganda (kuweni), kawuk ingkang menda warni (slira), bêcik ingsun ‘ngênte-ni’ lan ‘ura-ura’.

Gatholoco segera beranjak, melantunkan tembang sepanjang jalan, Kerbau berwarna merah keputihan (SAPI maksudnya), ‘SAPI-san’ (sekali lagi) bertemu, binatang bibis yang hidup diatas pasir (binatang UNDUR-UNDUR), tidak akan ‘mun-DUR’ jika harus berdebat lagi, mangga besar dengan baunya yang harum (mangga KWENI), binatang kawuk yang berganti rupa (binatang SLIRA), lebih baik aku ‘ngente-NI’ (menanti) sembari ‘u-RA-u-RA’ (berdendang).

70. Gude rambat (kara) puspa krêsna (tlasih), ‘mani-ra’ pan ‘i-sih’ wani, witing pari (dami) enthong palwa (wêlah), ora nêja ‘ka-lah ma-mi’, araning wisma paksi (susuh), ‘mung-suh’ sira guru pêngung, parikan ulêr kambang (lintah), ingsun sênêng ‘ban-tah’ ilmi, wêlut wisa (ula) tininggal atiku ‘gê-la’.

Tumbuhan Gude yang merambat (tumbuhan KARA) daun hitam (daun TLASIH), mani-RA (diriku) sungguh ‘ma-SIH’ berani, batang padi (DAMI) centhong perahu (dayung atau WÊLAH), tidak akan ‘ka-LAH ma-MI (diriku)’, nama rumah burung (SUSUH), ‘bermu-SUH-an’ dengan kalian guru bodoh, ulat yang mengambang diair (LINTAH), aku sangat suka ‘berban-TAH-an’ ilmu, belut yang berbisa (ular atau ULA) ditinggal hatiku ‘gê-LA (kecewa)’.

71. Mendhung pêthak (mega) kunir pita (têmu), ‘muga-muga têmu’ maning, têpi wastra rinumpaka (kêmadha), banjur ‘pa-dha’ maring ngêndi, kayu rineka janmi (golek), apa ‘golek’ guru jamhur, sarkara munggeng tala (madu), arsa den ‘a-du’ lan mami, wadhung rêma (cukur) malah ‘so-kur’ yen mangkana.

Mendung berwarna putih (MEGA) kunyit merah (TÊMU), ‘semo-GA bertê-MU’ lagi, pinggir kemben yang dirias (KÊMADHA), lantas ‘pa-DHA (sama)’ kemana semua? Kayu yang dibuat seperti wujud manusia (GOLEKAN), apa mau ‘GOLEK (mencari)’ Guru terkenal? Cairan manis diatas pohon (MADU), hendak ‘di-ADU’ dengan aku, cangkulnya rambut (alat CUKUR) malah ‘syu-KUR’ jika memang begitu.

72. Jangkrik gung wismeng kêbonan (gangsir), manira ora ‘guming-sir’, bêbasan putrane menda (cêmpe), ‘sakarê-pe’ sun-ladeni, jamang wakul (wêngku) upami, angajak apa ‘sire-ku’, duh lae putêr wisma (dara), nganggo ‘si-ra’ mêjanani, kênthang rambat (katela) sanajan rupaku ‘a-la’.

Jangkrik bertubuh besar berumah dikebun (binatang GANGSIR), diriku tidak akan ‘guming-SIR (mundur)’, anak kambing (CÊMPE), ‘sakare-PE (semaunya)’ aku layani, mahkota tempat nasi (WÊNGKU), mau mengajak apa ‘sire-KU (dirimu)’, burung Puter yang suka dipelihara (burung merpati atau DARA), sehingga ‘si-RA (kamu)’ menghinaku, buah kentang yang merambat (KÊTELA) walaupun wajahku ‘a-LA (jelek)’.

73. Mênyawak kang sabeng toya (slira), ‘praka-ra’ mung bantah ilmi, wulu bauning kukila (êlar), kabeh ‘na-lar’ sun tan wêdi, sayêkti pintêr mami, tinimbang lan sira guru, kaca tumraping netra (têsmak), ora ‘ja-mak’ mejanani, mulwa rêngka (srikaya) yen sira luru ‘sara-ya’.

Biawak yang suka di-air (binatang SLIRA), ‘perka-RA’ tentang berdebat ilmu, bulu punggungnya burung (ÊLAR), segala ‘na-LAR’ (pengetahuan) aku tidak takut, pasti lebih pintar aku, daripada kalian para guru, kaca untuk mata (kaca mata atau TÊSMAK), ‘ora ja-MAK (tidak lumrah, sudah melampaui batas)’ penghinaan kalian, buah nangka yang gampang terbelah (buah SRIKAYA), jika kalian mencari ‘sara-YA (cara)’.

74. Kêmadhuh rujit godhongnya (rawe), aywa suwe sun-anteni, guru ngêndi srayanira, najan jamhur luwih wasis, ingsun wani nandhingi, angayoni bantah kawruh, masa ingsun mundura, yeku karsane Hyang Widdhi, raganingsun yêktine darma kewala.

Daun kemadhuh bergerigi (RAWE), jangan ‘su-WE (lama)’ aku nantikan, guru mana yang kamu andalkan, walaupun tersohor dan pintar, aku berani menandingi, melayani berbantah ilmu, tidak akan aku mundur, karena ini semua kehendak Hyang Widdhi, diriku hanya sekedar menjalani.

75. Gatholoco sukeng driya, rêrêpen alon lumaris, miling-miling mung priyangga, dumugi patopan mampir, manjing mring bambon linggih, ngambil klelet kang kinandhut, saglindhing dipun untal, ngrasuk badan anyêgêri, kraos gatêl astane ngukur sarira.

Gatholoco suka dihati, berdendang sembari berjalan pelan, hanya sendirian saja, sampai disebuah tempat lantas mampir, masuk kedalam tempat madat dan duduk, mengambil candu yang di bawa, segelintir langsung dimakan, merasuk badan menyegarkan, terasa gatal tangannya menggaruk tubuh.

_________________

 Re: SERAT GATHOLOCO

  admin on Sun Jul 04, 2010 7:06 am

SERAT GATHOLOCO (9)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :

RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

PUPUH IV
Pangkur
(Kumpulan syair IV, Lagu ber-irama Pangkur)

1. Kacarita ing Cêpêkan, pondhok agêng panggenan santri ngaji, punika sampun misuwur, kawêntar manca praja, wontên Kyai pinunjul jumênêng Guru, alim jamhur tanpa sama, kang nama Kasan Bêsari.

Diceritakan di Cêpêkan, pondok (pesantren) besar tempat para santri belajar mengaji, sudah terkenal, tersohor keluar daerah, terdapat seorang Kyai berkedudukan sebagai Guru, sangat alim tersohor tiada tandingan, yang bernama Kasan Bêsari (Hassan Bashori).

2. Kajuwara yen ulama, mila unggul ginuron para santri, muridipun tigang atus, ing wanci bakda isak, wus salat neng langgar ngaji sadarum, Kyai Guru arsa mulang, kitab Pêkih miwah Tapsir.

Unggul diantara para ulama, maka banyak didatangi para santri, muridnya berjumlah tiga ratus orang, dikala bakda isya’, selesai bersembahyang di-Langgar (Musholla), Kyai Guru hendak mengajar, kitab Pêkih (Fiqih) dan Tapsir (Tafsir Al-Qur’an).

3. Undha usuk warna-warna, wontên santri ingkang lagya niteni, makna lapal Kuran-ipun, ngasil-ingasil ika, samya taken-tinaken mring kancanipun, wontên ingkang sampun paham, ngapalakên kitab Sitin.

Tingkah para santri bermacam-macam, ada yang tengah serius memperhatikan, makna lapal Kuran (lafadz Al-Qur’an), apa yang dapat mereka pahami, beberapa orang tengah saling tanya dengan temannya, ada yang sudah paham (ada yang belum), lantas menghafalkan Kitab Sittin.

4. Tanapi sagunging kitab, sasênênge santri sawiji-wiji, santri ingkang sampun putus, ing makna lapal Kuran, mêncil mêncul madoni mring Kyai Guru, maknanira lapal Kuran, angambil sagunging misil.

Serta beberapa Kitab lagi, sesuai keinginan para santri sendiri-sendiri, santri yang sudah berhasil, menghafal makna lapal Kuran (lafadz Al-Qur’an), segera mencoba mendebat Kyai Guru, untuk semakin memahami maknanya, mencari arti yang sesungguhnya.

5. Ingkang sampun kinawuhan, kang sawêneh ana santri pradondi, ing lapal makna puniku, udrêg paben grêjêgan, santri kalih mara mêrak marang Guru, gya kasaru tamu prapta, Abdul Jabar Ahmad Ngarip.

Makna yang bisa mereka tangkap, ada juga beberapa santri yang tengah bertengkar, mengenai sedikit makna yang berhasil mereka mengerti, bertengkar rame saling ngotot, dua orang santri mendekat kehadapan (Sang) Guru, berbarengan dengan kedatangan para tamu, Abdul Jabar Ahmad Ngarip (‘Arif).

6. Miwah Kyai Abdul Manap, sabat nênêm datan pisah tut wuri, sinauran salamipun, kang ngaji tutub kitab, tamu wau nulya minggah nglanggar gupuh, apan samya sêsalaman, jawat tangan gênti-gênti.

Berikut Kyai Abdul Manap (Manaf), enam sahabat terlihat mengikut dibelakang, telah dijawab salam yang mereka ucapkan, seluruh yang tengah mengaji segera menutup kitab (masing-masing), para tamu naik keatas Langggar (Musholla) segera, sebentar kemudian saling bersalaman, mempertemukan tangan dengan tangan berganti-gantian.

7. Sawustru sêsalaman, sampun warata sadaya para santri, munggeng langgar tata lungguh, Kasan Bêsari mojar, Dene gati kados wontên karsanipun, pukul pintên mangkatira, saking pondhok Rêjasari.

Setelah bersalaman, merata kepada seluruh santri, masing-masing para tamu segera bersila, (Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) berkata, Sepertinya ada hal yang sangat penting, pukul berapa tadi berangkat, dari pondhok (pesantren) Rêjasari?

8. Angling Kyai Abdul Jabar, Bakda subuh mangkat wanci byar enjing, milahipun ngantos dalu, kêdangon wontên marga, mandhêg bantah kawon mêngsah tiyang kupur, Gatholoco namanira, dhapure mbotên mêjaji.

Menjawab Kyai Abdul Jabar, Selepas Subuh tepat pagi menjelang (kami) berangkat, tiba disini hingga malam, (sebab) terlalu lama, berhenti dijalan berbantahan ilmu dengan manusia Kupur (Kufur) dan (kami) kalah, Gatholoco namanya, orangnya sangat jelek.

9. Punika setan katingal, anak Bêlis ambêgta wadhung linggis, pan kinarya ngrusak ngrêmuk, ing sarak Rasulullah , ingkang lêrês dipun wadhung lêmah putung, yen pokah rêbah binubrah, agami den obrak-abrik.

Orang ini adalah Setan yang mewujud, anak Iblis yang tengah membawa pedang dan linggis, yang hendak dipergunakan untuk merusak dan meremukkan, syari’at Rasulullah, yang sudah lurus hendak ditebas dengan pedang, yang sudah benar hendak dirusak, agama diobrak-abrik!

10. Sadaya sarak tinêrak, morak-marik sirik den orak-arik, amung nekad gasruh rusuh, jinawab mung sakêcap, gulagêpan kula tan bangkit sumaur, sagung karam rinampasan, ambubrah sarak lan sirik.

Seluruh syari’at (peraturan) diterjang, kacau balau larangan dijungkir-balikkan, niatnya memang hendak membikin rusuh, satu ucapan dari mulutnya, membikin hamba gelagepan tak bisa menjawab, segala yang haram dipakainya, membuat bubrah syari’at (peraturan) dan larangannya!

11. Wungkul akal mokal nakal, sangêt ngrengkel ngungkil nyrekal mêthakil, sakeh kawruh kabarubuh, sagung pasal kasingsal, dalil-dalil katail ing misilipun, kula mapan mung kasoran, kula nyingkring botên mlangkring.

Sangat pintar dan cerdik, sangat alot tajam (kritis) seenaknya dan semaunya, seluruh ilmu kami tertindih (oleh ilmu)nya, seluruh jawaban (kami) tiada berguna, dalil-dalil (kami) mentah maknanya (dihadapan dia), kami semua menerima kalah, kami kejarpun tak mampu kami memegang (ilmu)nya.

12. Panggah bantah mêksa kalah, boten bêtah isin den iwi-iwi, sakeh padu dipun buru, sakeh jawab tan mênang, salin pisuh botên pasah saya rusuh, malah munggah ngarah sirah, lir maling nêja anjiling.

Memaksakan terus berdebat tetap juga kami kalah, (kami) tak bisa menahan malu manakala dicemooh, segala debat mampu dijawabnya, segala bantahan kami tiada menang, hingga kami maki-pun tetap saja kami kalah, malahan semakin lancang menginjak kepala, bagai maling yang kurang ajar (kepada pemilik barang yang dimalinginya).

13. Kula tansah kaungkulan, pijêr kojur botên sagêd ngungkuli, kula suwun mring Hyang Agung, salami-kula gêsang, sampun ngantos kêpranggul tiyang kayeku, yen kapêthuk kula nyimpang, jejera kula sumingkir.

Kami selalu diunggulinya, senantiasa kalah tak dapat mengungguli, kami meminta kepada Hyang Agung (Tuhan), semoga selama hidup, jangan sampai bertemu lagi dengan manusia seperti itu, apabila berpapasan kami akan menghindar, jika bersebelahan kami akan menyingkir!

14. Manah kula sampun jinja, krana saking kapok den iwi-iwi, Kasan Bêsari duk ngrungu, mring nalar kang mangkana, sanalika dennya ngontor asru bêndu, jaja bang mawinga-winga, muring-muring waja gathik.

Hati kami sudah enggan, sebab kapok terus dicemooh, (Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) manakala mendengarnya, akan kelakuan manusia semacam itu, seketika murka, dada bergemuruh wajah memerah, marah-marah gigi bergemeletukan!

15. Netra andik angatirah, Kyai Kasan Bêsari ngucap bêngis, Patut kang kaya dhapurmu, santri remeh kewala, bênêr sira mantholos êndhasmu gundhul, buntu buntêt tanpa nalar, mung jakat kang sira-incih.

Mata melotot tajam, Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori) berkata kasar, Pantas jika seperti kalian (kalah), para santri bodoh, memang benar kepala kalian pelontos gundhul, tapi otak kalian buntu tanpa kepintaran, hanya Jakat (Zakat Fitrah) semata yang kalian ketahui!

16. Durung patut ginuronan, guru bodho kawruhmu mung sanyari, ora liya kabisanmu, marani anggêr wisma, kang ginawa kasang wadhah karag sêkul, bisane Ndonga Kabula, ngaji kulhu lamyakunil.

Belum pantas digurui (oleh para murid), guru bodoh ilmumu hanya sejengkal jari, tiada lain yang kalian bisa, keluar masuk rumah, sembari membawa bakul nasi (maksudnya untuk memimpin acara tahlilan atau selamatan saja dan pulang-pulang membawa makanan dari acara tersebut), bisanya hanya membaca Doa Kabula (Do’a Qabul : Do’a agar niat tuan rumah yang mengadakan acara tahlilan atau selamatan terlaksana), hanya bisa membaca Kulhu lamyakunil (Kulhu Allahu Ahad, Allahu Shomad…dst. Maksudnya, doa yang umum diketahui semua orang!)

17. Ora padha kaya ingwang, marma gun-DHUL kasun-DHUL ing agami, mila pu-TIH surbaningsun, ti-TIH te-TEH micara, kalah iki mêsti ngambil saking biku, mila kêthu taranca-NGAN, panja-LIN ingkang kinardi.

Tidak seperti aku, ‘gun-DUL’ kepalaku karena ‘sun-DHUL’ (menggapai langit) ilmu agamaku! ‘Pu-TIH’ sorbanku, karena mulutku ‘ti-TIH te-THE’ (jelas dan lugas) menyampaikan ilmu, memakai kethu (kopiah/songkok model kuno) berbentuk ‘têranca-NGAN’ (bersusun indah) terbuat dari jalinan ‘pênja-LIN’

18. Keri-NGAN santri ulama, ora kewran kawruhku saLIN-saLIN, nrawang putus ngisor dhuwur, mila klambi kêba-YAK, bisa mi-YAK marang kawruh agal alus, sabuk poleng MANCA WARNA, kawruh ingsun WARNI-WARNI.

(Karena aku) ‘Keri-NGAN’ (Terkenal) diantara para santri dan ulama, bahkan tidak hanya itu ilmuku bisa ‘sa-LIN sa-LIN’ (Berganti-ganti karena saking banyaknya ilmu), jelas dan terang mulai hal yang rendah hingga yang tinggi, aku memakai busana ‘kêba-YAK’ (kebayak model untuk pakaian santri), karena aku bisa ‘mi-YAK’ (membuka) rahasia ilmu yang kasar dan ilmu yang halus (maksudnya dari ilmu yang tergampang hingga ilmu yang tersulit), berikat pinggang model Poleng (berbelang-belang) ‘BERANEKA WARNA’, karena ilmu-ku pun ‘ber-WARNA-WARNI’

19. Ilmu Jawa Landa Cina, Turki Koja Hindhu Bênggala Kêling, kabeh iku wus kacakup, sun-simpên aneng kasang, kawruh Arab awit timur nganti lamur, kawruh Jawa tan kuciwa, dhasar ingsun bangsa Jawi.

Ilmu Jawa Belanda China, Turki Koja Hindhu Bênggala Kêling, semua sudah aku kuasai, aku simpan dalam penyimpanan yang rapi, ilmu Arab aku kuasai semenjak muda hingga mataku mulai kabur, ilmu Jawa-pun tak mengecewakan, karena dasarnya aku memang orang Jawa!

20. Mila bêbêd sarung amba, omber jêmbar ngungkuli ingkang dakik, kabeh ilmu ingsun wêruh, nganggo tês-BEH sanyata, ka-BEH kawruh ingkang luwih saking alus, ora nana bisa mada, amadani marang mami.

Makanya aku memakai sarung yang lebar, karena ilmuku lebar dan luas melebihi semua orang yang ahli ilmu, segala ilmu aku ketahui, akupun memegang ‘tas-BEH’ (tasbih), karena ‘ka-BEH’ (semua) ilmu yang terhalus sekalipun (aku kuasai), tak ada yang bisa menghina, mencemooh kepada diriku.

21. Mulane nganggo gam-PARAN, sa-PARAN-ku angungkuli sasami, mulane CIS têkêningsun, kumê-CIS nora cidra, anêrawang jaba jero ngisor dhuwur, upamane ingsun kalah, mungsuh janma tanpa budi.

Oleh karenanya pula aku memakai ‘gam-PARAN’ (terompah), (karena) ‘sa-PARAN-ku’ (dimanapun diriku) akan melebihi sesama, oleh karenanya ‘CIS’ (tongkat) tongkatku (Cis itu padanan kata Tongkat), ‘kumê-CIS’ (berani) tak akan mundur, ku ketahui segala hal mulai bagian luar dalam bawah hingga atas, seumpama aku sampai kalah, melawan manusia tanpa Budi (Buddhi ; Kesadaran).

22. Sayêktine ingsun wirang, golekana saiki ana ngêndi, si Gatholoco wong kumprung, ingsun arsa uninga, mring warnane janma ingkang kurang urus, Ahmad Ngarip ujarira, Duk wau sapungkur mami.

Aku akan sangat-sangat malu, carilah sekarang dimana, si Gatholoco manusia tidak tahu aturan itu, aku ingin melihat, (bagaimana) wujud manusia yang kurang ajar tersebut, Ahmad Ngarip (‘Arif) menjawab, Sepeninggal kami tadi.

23. Tut wingking lampah kawula, kintên-kintên dalu punika ugi, nyipêng wontên kitha Pungkur, Kasan Bêsari ngucap, Lamun mrene sun jewere kupingipun, mungsuh janma ngrusak sarak, kalah lambene sun juwing.

Sepertinya berjalan mengikuti langkah kami, kira-kira malam ini juga, tengah bermalam di kota Pungkur, (Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) berkata, Jika ada disini akan aku jewer telinganya! Berdebat dengan manusia perusak syari’at seperti dia, jika nanti sampai dia kalah akan aku cincang mulutnya!

24. Sun karya pangewan-ewan, Duk samana dupi sampun byar enjing, wanci bakda salat subuh, prentah mring santri tiga, Golekana Gatholoco den katêmu, têkakna mring ngarsaningwang, Santri tiga gya lumaris.

Benar-benar aku berjanji, Bersamaan dengan datangnya pagi, seusai shalat subuh, (Kyai Hassan Bashori) memberikan perintah kepada ketiga santri, Carilah Gatholoco hingga ketemu, bawa kehadapanku, Ketiga santri segera berangkat.

25. Datan winarna ing marga, santri tiga lampahnya sampun prapti, ing pacandhon kutha Pungkur, nulya manjing ngêpakan, santri tiga pramana samya andulu, ing pacandhon wonten janma, êndhek cilik bokong canthik.

Tidak diceritakan dalam perjalanan, ketiga santri akhirnya sampai, ditempat madat kota Pungkur, langsung masuk ke-tempat madat tersebut, ketiga santri awas melihat-lihat, didalam tempat madat terdapat manusia, (berpostur) pendek pantat tepos.

26. Tinakenan namanira, gya sumaur Yen sira takon mami, Gatholoco araningsun, santri tiga tuturnya, Katimbalan sireku mring ngarsanipun, Guruning santri Cêpêkan, Kiyai Kasan Bêsari.

Manakala ditanya siapa namanya, segera dijawab Jika kalian bertanya siapa namaku, Gatholoco namaku, Ketiga santri berujar, Kamu dipanggil untuk menghadap, Guru para santri di (pondok pesantren) Cêpêkan, Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori).

27. Kinen sareng lampah kula, Gatholoco maleleng ngiwi-iwi, gela-gelo manggut-manggut, nanging kendêl kewala, cangkêmipun macucu boten sumaur, nulya nêmbang ura-ura, larase mung anggêr muni.

Menghadap bersama dengan kami sekarang, Gatholoco acuh sembari mencibir, mempermainkan kepala manggut-manggut, akan tetapi tak bersuara, mulutnya dimonyongkan tak ada jawaban, lantas menyanyikan tembang, iramanya asal bunyi.

28. Piyik anak manuk Dara, Pêdhet iku jarene anak sapi, Cêmpe cilik anak Wêdhus, Gudel anak Maesa, Kirik cilik iku jare anak Asu, Belo kêpêl anak jaran, Gênjik cilik anak Babi.

Anak burung Dara (Merpati) namanya Piyik, anak Sapi namanya Pêdhet, anak Wêdhus (Kambing) namanya Cêmpe, anak Maesa (Kerbau) namanya Gudel, anak Asu (Anjing) namanya Kirik, anak Jaran (Kuda) namanya Bêlo, anak Babi namanya Gênjik.

29. Sêkar Pucang jare Mayang, sêkar Mlathi jarene sêkar Mlathi, kêmbang Gêdhang jare Jantung, yen kêmbang Klapa Manggar, dhuh lae dhuh kêmbang Mênur kêmbang Mênur, kêmbang Pacar kêmbang Pacar, kêmbang Sruni kêmbang Sruni.

Kêmbang pohon Pucang namanya Mayang, kêmbang pohon Melathi katanya kêmbang Melathi, kêmbang Gêdhang (Pisang) namanya Jantung, kalau kêmbang Klapa (Kelapa) namanya Manggar, aduh aduh kêmbang Mênur kêmbang Mênur, kêmbang Pacar kêmbang Pacar, kêmbang Sêruni kêmbang Sêruni.

30. Santri murid kang dinuta, samya eram sadaya tyasnya gêli, kapingkêl-pingkêl gumuyu, wacana jroning driya, apa baya pancen duwe lara gêmblung, dene pijêr ura-ura, bêcik kudu diasori.

Para murid santri yang diutus, keheranan melihat tingkah Gatholoco dan geli, terpingkal-pingkal ketawa, membatin dalam hati, apa memang memiliki sakit gila, ditanya kok malah bernyanyi tidak karuan nadanya, lebih baik diambil hatinya agar menurut.

31. Murid tiga angrêrêpa, sanjang malih sarana ngarih-arih, ingarah mung murih purun, Mangga tumuntên mangkat, mring Cêpêkan manggihana Kyai Guru, manawi den arsa-arsa, kedangon kula ngêntosi.

Ketiga murid memohon, kembali meminta dengan mengharap-harap, agar supaya bersedia, Mohon bersedia menghadap, ke (pondok pesantren) Cêpêkan bertemu Kyai Guru, siapa tahu sudah ditungggu-tunggu, kami kelamaan menanti jawaban (anda).

32. Gatholoco klewa-klewa, sarwi ngucap Apa sira tan uning, ingsun iki lagya ewuh, lan bangêt kêtagihan, lamun sira paripaksa ngundang mring sun, kêthumu bae sun-sêlang, prêlu kanggo gadhen dhingin.

Acuh tak acuh Gatholoco, sembari berkata Apa kalian tak melihat, aku ini sedang kebingungan, dan sangat ketagihan, apabila kalian memaksa aku, kêthu (kopiah) kalian saja aku pinjam, perlunya untuk aku gadaikan.

33. Candu rong timbang kewala, nanging jangji sira têbus pribadi, mêngko yen wus mêndêm ingsun, tumuli mangkat mrana, lamun sira ora lila kêthu iku, ingsun wêgah lunga-lunga, moh nêmoni Kyai Kaji.

Aku tukarkan candu sebanyak dua timbangan saja, akan tetapi harus berjanji kalian yang menebus sendiri nanti, jika aku sudah mabuk, baru berangkat kesana, apabila kalian tidak rela meminjamkan kêthu (kopiah) kalian, aku tidak sudi pergi, menemui Kyai Kaji (Kyai Haji).

34. Santri tiga duk miyarsa, rêrêmbugan lawan rowange sami, lamun ora sinung kêthu, sayêkti tan lumampah, ora wurung Kyai Guru mêngko bêndu, upama ingsun wenehna, luwih bêcik den turuti.

Mendengar hal itu maka ketiga santri, saling berembug, apabila tidak diberikan kêthu, pasti tak mau beranjak pergi, ujung-ujungnya nanti Kyai Guru akan marah, lebih baik di berikan dan lebih baik dituruti.

35. Santri duta kang satunggal, amangsuli mangkana dennya angling, wus têtela nalar kojur, iku padha kewala, kêthu mami uga anyar oleh tuku, lawase satêngah wulan, rêgane srupiyah putih.

Salah seorang santri, menjawab beginilah katanya, Sudah terlanjur memang nasib kita, semua sama saja, kêthu-ku juga masih baru beli, setengah bulan yang lalu, harganya satu rupiah perak.

36. Kang satunggal tumut ngucap, ora beda anyare kêthu mami, lagi nganggo patang taun, mangka utang pitung wang, bayar nicil setheng setheng sabên esuk, sun-lowongi durung êsah, isih kurang limang kêthip.

Yang seorang berkata, Sama juga milikku juga masih baru, ku pakai empat tahun, padahal aku berhutang 7 Wang, menyicil 1 Setheng tiap pagi, belum juga lunas. Masih kurang 5 Kêthip. (Nilai 12 Wang sama dengan 1 Rupiah. Nilai 1 Setheng sama dengan 1/2Sen. Nilai 1 Kêthip sama dengan 5 Sen, sedangkan nilai 1 Sen sama dengan Seperseratus rupiah.)

37. Najan camah awakingwang, waton oleh alême guru mami, santri tiga samya muwus, niki kêthu kawula, tampenana Gus Nganten sampeyan pundhut, gadhekna kula sumangga, sakmana dipun tampeni.

Walau harus rugi, asal dapat pujian Guru, Ketiga santri lantas sepakat, Ini kêthu kami, terimalah manusia bagus, silakan digadaikan, Segeralah diterima.

38. Wusnya kêthu tinampenan, santri duta malah den iwi-iwi, ngisin-isin sarwi muwus, Sireku ngêntenana, kêthu tiga dipun gantosakên candu, rong timbang cinukit ngingkrang, sinêrêt bantalan dingklik.

Setelah kêthu diterima, para santri utusan malah diejek, diperpermalukan sembari berkata, Kalian semua tunggulah. Tiga kethu ditukar candu, sebanyak dua timbangan segera diungkit, lantas dihisap (oleh Gatholoco) sembari berbantalkan kursi kecil.

39. Wus tuwuk panyêrêtira, bêdudane nulya dipun sangkêlit, Gatholoco gya lumaku, den iring santri tiga, sadangune lumampah urut dalanggung, ngupaya sênênging driya, rêrêpen sinawung gêndhing.

Setelah puas menghisap (candu), pipa pun lantas ditaruh dipinggang, Gatholoco segera berjalan diiringi ketiga santri, sepanjang jalan, mencari senangnya hati, dengan bernyanyi dan menembang.

40. Bismillah sun-ura-ura, sun-wangsalan Pêtis apyun (CANDU) upami, ana kêthu dadi CANDU, candu dadi gêlêngan, Patek tungkak (BUBUL) gêlêngane dadi kê-BUL, kêbule mrasuk mring badan, sumrambah dadi nyêgêri.

Bismillah aku hendak bernyanyi, bersyair ‘wangsalan’ (kata-kata yang vocal-nya berupa sandi) ‘Pêtis apyun’ (CANDU) seumpama, ada kêthu (kopiah) menjadi ‘CANDU’, candu menjadi gelintiran, ‘Patek (penyakit kulit) di telapak kaki’ (BUBUL) gelintiran menjadi ‘ke-BUL’ (Asap), asapnya merasuk badan, menyebar membuat segar.

41. Jênang sobrah (AGÊR-AGÊR) Ancur kaca (RASA), Balung tipis munggeng pucuk dariji (KUKU), sê-GÊR dadi ro-SA mla-KU, nanging ingkang kelangan, paribasan Sabêt kuda (CÊMÊTHI) mês-THI gêtun, aranira Tirta maya (WISUHAN), mi-SUH-mi-SUH jroning batin.

‘Bubur sobrah’ (AGER-AGER) ‘Ancur (bubuk) dari pecahan kaca’ (RASA), ‘Tulang kecil berada diujung jemari’ (KUKU) ‘se-GER’ (Segar) jadi ‘ro-SA’ (Kuat) ‘luma-KU’ (berjalan), akan tetapi yang kehilangan, bagaikan ‘Alat pemukul untuk kuda’ (CEMETHI) ‘mes-THI’ (Pasti) merasa sayang, disebut ‘Air berwarna’ (WISUHAN/AIR PEMBASUH), ‘mi-SUH mi-SUH’ (Memaki-maki) didalam hati.

42. Dhuh bakul Sotya kêncana (PARA), Sela ingkang kinarya ngasah lading (WUNGKAL), mani-RA bakal katêmu Guru santri Cêpêkan, Paksi alit kang dadya sasmiteng tamu (PRÊNJAK), Pêthel panjang tanpa sangkal (TATAH), nêja nga-JAK ban-TAH ilmi.

Wahai ‘Penjual perhiasan’ (PARA), ‘Batu yang dipakai untuk menajamkan besi’ (UNGKAL). ‘mani-RA’ (Aku) ‘ba-KAL’ (Hendak) bertemu dengan Guru para santri di Cêpêkan, ‘Burung mungil yang sering dipakai pertanda jika hendak ada tamu datang’ (burung PRÊNJAK), ‘Palu panjang’ (TATAH), hendak ‘menga-JAK’ ‘ban-TAH’ ilmu.

43. Kadhal gung wismeng bangawan (BAJUL), Jambu ingkang isi lir mirah edi (DLIMA), sanajan guru pinun-JUL, alim jamhur ula-MA, Wadhung pari (ANI-ANI) ingsun uga wa-NI mungsuh, mrica kêcut dedompolan (WUNI), sagêndhinge sun lade-NI.

‘Kadal bertubuh besar yang tinggal disungai’ (BAJUL/Buaya), ‘Buah jambu yang bijinya bagai batu mirah’ (DLIMA/Delima), walaupun Guru ‘pinun-JUL’ (Terkenal), alim pandai dan berstatus ‘ula-MA’, ‘Cangkul padi’ (ANI-ANI) aku tetap ‘wa-NI’(Berani), ‘Merica bergerombol yang rasanya kecut’ (WUNI), apa yang diminta akan aku ‘lade-NI’ (Layani).

44. Dumugi pondhok Cêpêkan, kacarita ing pondhok para santri, miwah sagung para guru, mulat kang lagya prapta, maksih wontên plataran ngandhap wit jêruk, Kyai Abdul Jabar ngucap, mring Kyai Kasan Bêsari.

Sesampainya di pondok (pesantren) Cêpêkan, tampaklah para santri, berikut para guru, melihat siapa yang baru datang, masih berada di pelataran tepat dibawah pohon jeruk, Kyai Abdul Jabar berkata, kepada Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori).

45. Tiyang makaten punika, najis mêkruh tan pantês minggah mriki, Kasan Bêsari sumaur, najan mêkruh najisa, nanging iku têkane saking karêpmu, bêcik kinen munggah langgar, dimene tumuli linggih.

Manusia seperti itu, najis tak pantas naik ke (atas musholla) ini, (Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) menjawab, Walaupun najis, akan tetapi yang menyebabkan dia hadir disini juga kamu, lebih baik suruh naik ke Langgar (Musholla), agar supaya bisa duduk.

46. Rêgêd ora dadi ngapa, yen wus lunga tilase disirami, Kasan Bêsari gya dhawuh, Uwong ala lungguha, kono bae ing jrambah lor wetan iku, Gatholoco sigra minggah, marang langgar mapan linggih.

Kotor-pun tak menjadi masalah, manakala sudah pergi nanti bekas dimana dia duduk disiram dengan air, (Kyai)Kasan Bêsari (Hassan Bashori) berkata, Manusia jelek duduklah, disitu saja diteras (mushola) sebelah timur laut, Gatholoco segera naik, ke atas Langgar (Musholla) dan duduk.

47. Sendheyan prênah lor wetan, bêdudane maksih dipun sangkêlit, nulya nitik karya latu, ngakêp rokok têgêsan, têgêsane sadriji kêbule mabul, mratani sajroning langgar, ambêtipun sêngak sangit.

Duduk disebelah timur laut dan bersandar, pipa masih di selipkan dipinggang, lantas menyalakan api, rokok candu disulut, rokok candu sebesar jemari tangan asapnya menyebar, merata memenuhi Langgar (Musholla), baunya sêngak (tidak enak) sangit (bau barang terbakar).

_________________

 Re: SERAT GATHOLOCO

  admin on Sun Jul 04, 2010 7:09 am

SERAT GATHOLOCO (10)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

48. Para santri tutup grana, wontên ingkang ngalih denira linggih, Kasan Bêsari amuwus, Sira jênêngmu sapa, wangsulane Gatholoco araningsun, Kasan Bêsari têtanya, Apa kang sira-sangkêlit.

Seluruh santri menutup hidung, bahkan ada yang pindah tempat duduk (menjauh), (Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) bertanya, Siapa namamu? Menjawab yang ditanya Gatholoco namaku, (Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) kembali bertanya, Apa yang kamu selipkan dipinggang (itu)?

49. Sumaur iki watangan, watangane cipta pikir kang êning, ana dene pêntholipun, iki arane cupak, prêlu kanggo mapak kawruh ingkang luput, obate candu lan bakal, ron awar-awar kinardi.

Menjawab (Gatholoco) Ini lambang dari batang, batang kesadaran yang jernih, sedangkan bulatannya, namanya CUPAK, lambang dari pucuk kesadaran yang berguna untuk MAPAK (MEMOTONG) kesadaran yang salah (rendah), ramuan yang terdiri dari candu dan, calon daun awar-awar (daun awar-awar sangat gatal).

50. Dadi arang ingkang tawar, yen kacampuh obat kalawan mimis, ora wurung kêna bêndu, mimis glintiran madat, yen wus awas patitise damar murub, lesane pucuking ilat, sênthile napas kang lungid.

Jarang manusia yang tawar, menikmati candu yang sudah dibuat bagai mimis (mimis adalah peluru kuno, berwujud bulatan. Candu yang sudah dibuat bagai mimis maksudnya dibentuk bulatan siap untuk dinikmat), jika tidak kuat hidup bagai terkena kutuk (disudutkan dan dihakimi oleh manusia-manusia yang rendah kesadarannya), jika sudah dinikmati akan awas kesadaran ini kepada Damar Murub (Pelita Yang Menyala, maksudnya Cahaya Kebenaran Sejati), lesannya puncak lidah (ini bahasa simbolik, maksudnya suara yang sejati untuk mencari Tuhan adalah puncak Rasa. Lidah symbol Rasa. Puncak Lidah berarti Puncak Rasa. Suara sejati dari puncak rasa untuk mencari Tuhan berarti suara yang tak terbahasakan, melampaui segala suara, melampaui segala bahasa. Itulah suara Ruh), yang menggetarkan (suara tersebut) adalah Nafas Yang Misterius (Maksudnya Dia Yang Hidup Tanpa Nafas, Brahman, Sumber Semesta).

51. Cêthute aran Dzatullah, rasa awor ngumpul dadi sawiji, manjing marang cêthutipun, rumasuk jroning badan, sumarambah kulit daging balung sungsum, tyasingsun padhang nêrawang, ora kewran kabeh pikir.

Tempat hisapnya lambang Dzatullah (Dzat Allah, Inti Allah), (Puncak) Rasa bercampur dan menyatu menjadi satu, manunggal kedalam Tempat hisap (Dzatullah), menjadi satu kesatuan dalam satu badan, menyatu pada kulit daging tulang dan sumsum, Kesadaran-pun terang benerang, tak ada lagi illusi.

Pada (Syair) 49-51, maksudnya adalah sebagai berikut : Pipa hisap yang dibawa Gatholoco adalah lambang Kesadaran (Buddhi), hiasan bulatan pada batang pipa adalah lambng Awasnya Kesadaran untuk memilah mana yang patut dipakai demi peningkatan Kesadaran itu sendiri atau tidak (Wiweka), Candu yang dicampur bakal daun Awar-Awar, lambang begitu memabukkannya spiritualitas itu bila seorang manusia telah menyelaminya. Tapi jarang yang sanggup bertahan, karena spiritualitas menuntut keteguhan dan kekuatan yang luar biasa. Godaan dari dalam diri maupun penghakiman dari manusia lain, sangat sukar untuk dilampaui. Namun jika telah merasakan mabuk spiritual, maka kecenderungan Kesadaran akan terus lekat pada Damar Murub atau Cahaya Kebenaran Sejati.

Kompas spiritualitas, bukan teks-teks kitab suci, tapi LESANE PUCUKING ILAT. LESAN berguna untuk mengeluarkan suara, PUCUKING ILAT (PUNCAK LIDAH) adalah symbol Puncak Rasa. Puncak Rasa adalah ATMA/RUH.

SUARA DARI PUNCAK RASA berarti SUARA RUH. Inilah Radar sejati penuntun kita dijalan spiritualitas. Karena SENTHILE NAPAS KANG LUNGID (Yang menggetarkan suara itu adalah NAPAS YANG MAHA GAIB). Jelas sudah, yang membuat SUARA RUH itu tak lain adalah DIA YANG HIDUP TANPA NAFAS atau BRAHMAN itu sendiri.

Pangkal pipa ditempat penghisapan adalah lambing Dzatullah (Dzat Allah, Inti Brahman), Puncak Rasa (Ruh/Atma) apabila telah menyatu dengan Pangkal pipa (Brahman), maka menyatulah dalam satu kesatuan Wujud.

Disaat itulah semua illusi akan lenyap dan KESADARAN TOTAL PARIPURNA telah kita capai lagi.

52. Kasan Bêsari ngandika, Sira wani mapaki kawruh mami, nganggo sira wani nglêbur, mring sarak Rasulullah, apa sira nampik urip dhêmên lampus, ora wêdi manjing nraka, ora melik munggah swargi.

(Kyai) Kasan Besari (Hassan Bashori) berkata, Kamu bernai menantang ilmuku, dengan mencoba melebur, segala syari’at Rasulullah, apa kamu menolak hidup dan pilih mati? Tidak takutkah kamu masuk neraka? Tidak inginkah kamu naik surga?

53. Gatholoco alon ngucap, Kaya apa bisane nampik milih, wus pinêsthi mring Hyang Agung, sakehing kasusahan, iku dadi duweke marang wong lampus, dene sakehing kamulyan, dadi duweke wong urip.

Gatholoco pelan menjawab, Bagaimana bisa aku mau menolak (kehidupan)? Sudah menjadi kehendak Hyang Agung, (ketahuilah sesungguhnya apa yang dimaksud hidup dan mati itu), segala ‘kesedihan dan kesusahan’ (lahir berulang-ulang didunia) itulah yang disebut ‘kematian’, sedangkan segala ‘kemuliaan’ (lepas dari rantai kelahiran dan kematian), itulah yang disebut ‘kehidupan’.

54. Yen wong urip iku susah, mêtu saking takdirira pribadi, ingkang gawe susah iku, dene Kang Maha Mulya, sipat murah puniku kagunganipun, nanging kabeh sipat samar, ora keno tinon lair.

Pun sesungguhnya jika manusia yang hidup didunia ini terus dilanda kesusahan, sesungguhnya itu juga karena hasil perbuatan pribadinya sendiri (karmaphala), itulah yang membuat kesedihan, sedangkan Yang Maha Mulia, sifat KASIH itulah sifat-Nya, akan tetapi semua tersamarkan, tak bisa dilihat oleh mata lahir. (Maksudnya ‘mata lahir’ adalah tak bisa disadari oleh mereka yang ‘mata’ kesadarannya belum melek, belum terbuka!)

55. Sira ingkang tanpa nalar, endah-endah ingkang sira rasani, suwarga naraka iku, mangka katon wus cêtha, sapa-sapa ingkang mulya uripipun, iku ingkang manjing swarga, sapa mlarat manjing gêni.

Dirimu yang tak punya nalar, muluk-muluk yang kamu bicarakan, Surga dan Neraka itu, sesungguhnya telah terlihat nyata, siapa saja yang mulia hidupnya didunia ini, dialah yang masuk Surga, siapa yang melarat dialah yang masuk api.

56. Ya iku manjing naraka, Kyai Kasan Bêsari amangsuli, Suwarga naraka iku, besuk aneng akerat, Gatholoco sumaur sarwi gumuyu, Lamun besuk ora nana, anane namung saiki.

Yaitu masuk (api) Neraka, Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori) menjawab, Surga dan Neraka itu, (adanya) tergelar besok diakherat! Gatholoco menjawab sembari tertawa, Kelak tidak ada, yang ada sekarang ini!

57. Kyai Guru saurira, Nyata nakal rêmbuge janma iki, maido marang Hyang Agung, lan sarak Rasulullah, pancen wajib pinatenan dimen lampus, lamun maksih awet gêsang akarya sêpining masjid.

Kyai Guru (Hassan Bashori) berkata, Benar-benar kurang ajar ucapan manusia ini, menghujat Hyang Agung, dan syari’at Rasulullah, wajib dibunuh agar mampus, jika masih awet hidup, akan membuat semua masjid sepi.

58. Gatholoco alon ngucap, Ora susah sira mateni mami, nganggo gaman tumbak dhuwung, saiki ingsun pêjah, Kyai Kasan Bêsari asru sumaur, Iku lagi tatanira, wong mati cangkême criwis.

Gatholoco pelan menjawab, Tidak perlu repot membunuhku, dengan senjata tombak atau keris, saat inipun aku sudah mati, Kyai Kasan Bêsari (Hassan Bashori) keras membentak, Dasar tak tahu diri, mati kok mulutnya ceriwis!

59. Awake wutuh lir rêca, Gatholoco alon dennya nauri, Yen patine kewan iku, nganti gograge badan, mati aking ya iku patining kayu, yen ilang patining setan, ingkang kaya awak-mami.

Dan badanmu masih tegak bagai arca, Gatholoco pelan menjawab, Hewan disebut mati, jika tubuhnya hancur lebur, tumbuhan disebut mati jika sudah kering, jika setan mati hilang tak diketahui jejaknya, tapi kematian manusia sesungguhnya.

60. Ora mujud ora ilang, mangka iku ingsun uga wus mati, kang mati iku nêpsuku, mulane kabeh salah, ingkang urip budi pikir nalar jujur, pisahe raga lan nyawa, kinarya tundhaning lair.

Tidak bisa dilihat secara fisik juga tidak hilang (wujud) manusianya, ketahuilah sesungguhnya aku ini sudah mati, yang mati nafsuku, makanya aku mampu melihat kesalahan kalian, yang hidup adalah Budi (Buddhi:Kesadaran) dan menyisakan pikiran dan nalar yang jujur, terpisahnya Raga dan Nyawa, (itu bukan kematian) itu hanya proses menuju kelahiran kembali.

61. Iku ingkang aran Sadat, pisahira Kawula lawan Gusti, lunga pisah têgêsipun, dadi Roh Rasulullah, yen wis pisah Ragane lan Suksma iku, Rasa Pangrasa lan Cahya, panggonane ana ngêndi.

Itulah yang disebut Sahadat (Kesaksian) yang sesungguhnya (Dalam kondisi seperti ini, dimana kita telah mampu terpisah dari Badan Fana dan murni menjadi Badan Sejati, disaat seperti inilah kita akan mengetahui apa itu makna Sahadat yang Sejati), pisahnya Kawula (Hamba : Badan Maya/Fana yang berasal dari alam) dengan Gusti (Tuhan: Badan Sejati/Brahman yang berwujud Atma yang selama ini terjebak Maya), murni menjadi Roh Rasulullah (Roh Utusan Allah/Atma yang suci kembali), manakala telah berpisah Raga/Badan Fisik dan Suksma/Badan Halus, Rasa berikut Perasaan (maksudnya juga Suksma/Badan Halus) dan Cahaya (maksudnya Atma atau Badan Sejati), lantas kemanakah perginya semua itu?

62. Kyai Guru saurira, Bênêr ingsun luluh awor lan siti, Rasa lan Pangrasa iku, kalawan Cahya Gêsang, pan kagawa iya marang Suksmanipun, kabeh munggah mring suwarga, Sang Ijrail ingkang ngirid.

Kyai Guru (Hassan Bashori), Yang benar aku (Badan Fana) hancur menjadi tanah, sedangkan Rasa berikut Perasaan (Badan Halus) beserta Cahaya Hidup (Badan Sejati), dibawa oleh (Hyang) Suksma (Tuhan), semua naik ke Surga, Sang (Malaikat) Ijrail yang mengiringi.

63. Lamun Suksmane wong Islam, kang nêtêpi salat limang prakawis, sarta akeh pujinipun, rina wêngi tan owah, anêtêpi jakat salat pasanipun, pitrah ing dina riyaya, yen katrima ing Hyang Widdhi.

Jika Badan Halus orang Islam, yang menjalani shalat lima waktu, serta banyak beribadah, siang malam tiada goyah, memenuhi zakat shalat dan puasa, zakat fitrah menjelang hari raya, jika diterima oleh Hyang Widdhi.

64. Kaunggahaken suwarga, krana manut parentahe Jêng Nabi, kabeh oleh-olehingsun, kang wus kasêbut sarak, yen Suksmane wong kapir ingkang tan manut, dhawuhe Jêng Rasulullah, pinanjingakên yumani.

Akan naik ke Surga, karena menuruti perintah (Kang)jêng Nabi, yaitu semua yang aku jalani ini yang disebut syari’at, tapi Badan Halus manusia kafir yang tidak menuruti, perintah (Kang)jêng Rasulullah, dimasukkan tempat siksaan (Neraka).

65. Awit mukir mring Panutan, yen wong kapir dadi satruning Widdhi, Gatholoco asru muwus, dene Ingkang Kuwasa, nganggo nyatru marang wong kapir sadarum, lamun sira tan pracaya, maring kudrating Hyang Widdhi.

Sebab telah melawan Panutan, manusia kafir itu menjadi musuh (Hyang) Widdhi, Gatholoco keras berkata, Sangat konyol jika Yang Maha Kuasa, memusuhi manusia kafir, kamu nyata tidak mempercayai, kepada Kekuasaan (Kasih) Hyang Widdhi.

66. Maido kuwasaning Hyang, dennya karya warnane umat Nabi, anane kapir punika, sapa kang gawe kopar, lawan maneh ingkang karya uripipun, akarya bêja cilaka, tan liya Hyang Maha Suci.

Kamulah sesungguhnya yang menghujat Hyang (Widdhi)! Membagi-bagi manusia menjadi umat Nabi (dan yang bukan umat Nabi), adanya sebutan kafir itu, siapa yang membuat? Lantas pula siapa yang menciptakan mereka, yang memberikan kemuliaan dan celaka, tiada lain juga Hyang Maha Suci.

67. Upama Allah duweya, satru kapir murtad marang Hyang Widdhi, bêcik sadurunge wujud, tinitah aneng dunya, dadi ora duwe satru ing Hyang Agung, yen mêngkono Allahira, iku ora duwe budi.

Jikalau Allah mempunyai, musuh yang disebut kafir yang katanya murtad kepada Hyang Widdhi, sebaiknya Dia tidak usah menciptakan, dan mentitahkan (orang kafir) hidup didunia, sehingga Hyang Agung (tidak repot-repot) mempunyai musuh (yang membuat Dia marah-marah), jikalau memang demikian Allah-mu, tidak mempunyai Budi (Buddhi :Kesadaran)!

68. Dhêmên karya kasusahan, adu-adu wong Islam lawan kapir, beda kalawan Allahku, mêpêki ing aguna, anuruti sakarepe umatipun, ora ana kapir Islam, beda-beda kang agami.

Hanya membuat pekerjaan tak berguna, mengadu orang Islam dengan orang kafir, berbeda dengan Allah-ku, penuh kebijaksanaan, memberikan kebebasan bagi manusia, tiada yang disebut kafir dan Islam, manusia diberi kebebasan memeluk agama!

69. Têgêse aran agama, panggonane ngabêkti mring Hyang Widdhi, ing sasêbut-sêbutipun, waton têrus kewala, tanpa salin agamane langgêng têrus, sapa kang salin agama, anampik agama lami.

Yang dinamakan agama itu, sekedar wadah yang mengatur tata cara untuk menyembah Hyang Widdhi, apapun sebutan (nama agama maupun menyebut Tuhan)-nya, asal terus memantapkan diri dalam satu jalan, tiada bersalin agama dan terus mantap (pasti akan diterima), (ketahuilah) sesungguhnya siapa yang berpindah agama, menolak agama lama (yang sudah ditetapkan Hyang Widdhi bagi dia).

70. Iku kapir aranira, krana nampik papêsthene Hyang Widdhi, agamamu iku kupur, nampik leluhurira, sasat nampik papêsthenira Hyang Agung, panyêbutmu siya-siya, anêbut namaning Widdhi.

Itulah manusia kafir, karena menolak kepastian Hyang Widdhi, dirimu itu kufur, menolak (agama) leluhur, jelas menolak kepastian Hyang Agung (yang telah menetapkan bahwa agama leluhur Jawa adalah agama yang pas bagi orang Jawa), doamu seolah sia-sia, saat kamu menyebut nama (Hyang) Widdhi (dengan bahasa asing)

71. Sira iku bisa kandha, lamun kapir Suksmane manjing gêni, Suksmane wong Islam iku, kabeh manjing suwarga, apa sira wis tau nglakoni lampus, wêruh suwarga naraka, panggonane aneng ngêndi.

Dan lagi kamu bisa mengatakan, apabila manusia kafir Badan Halusnya masuk kedalam api (Neraka), (sedangkan) Badan Halus manusia Islam, semua naik Surga, apakah kamu sudah pernah mati, sehingga tahu Surga dan Neraka? Dimanakah tempatnya?

72. Kasan Bêsari angucap, kang kasêbut sajroning kitab mami, Gatholoco sru gumuyu, sira santri kêparat, ngandêl marang daluwang mangsi bukumu, nurun bukune wong sabrang, dudu tinggalan naluri.

(Kyai) Kasan Bêsari (Hassan Bashori) menjawab, Itulah yang disebutkan dalam kitab! Gatholoco tertawa keras. Kamu santri bodoh, mempercayai begitu saja kepada kertas dan tulisan yang kamu sebut kitab, kitab yang kamu sadur begitu saja dari kitab milik orang seberang, bukan (kitab suci) yang sudah melekat semenjak dulu (dalam dirimu).

73. Buku têmbung cara Arab, tan ngopeni buku saking naluri, sayêktine kabisanmu, mung kitab sembarangan, sira gawa oleh-oleh lamun lampus, katur marang Gusti Allah, bali ingkang duwe maning.

Kitab yang berbahasa Arab (saja yang kamu agungkan), tidak mempelajari kitab (suci) yang sesungguhnya (yaitu Suara Ruh/Nurani), sesungguhnya wawasanmu, kamu peroleh dari kitab sembarangan, (segala kesadaran dangkalmu hasil mempelajari kitab Arab) kamu bawa sebagai oleh-oleh saat kamu mati kelak, kamu haturkan (kesadaran semacam itu) kepada Gisti Allah, kepada yang mempunyai.

74. Bakale apa katrima, krana iku kagungane pribadi, sakehe puji dikirmu, kabeh pangucapira, iku uga kagunganira Hyang Agung, mangka sira aturêna, bali marang kang ndarbeni.

(Kesadaran) semacam itu mana mungkin diterima? Karena semua ini adalah milik-Nya, seluruh puji dan dzikir-mu, seluruh ucapanmu, itu semua milik Hyang Agung, tapi kamu malah bermaksud mengembalikan, kepada yang mempunyai (maksudnya pemahaman merasa terpisah dengan Tuhan, terpisah dengan Sumber Semesta dan merasa bahwa manusia ini eksis sendiri, bukan wujud Tuhan, adalah pemahaman konyol menurut Gatholoco. Manusia itu nisbi, manusia itu tidak ada, semua ini adalah wujud Tuhan. Lantas jika ada yang meyakini, tubuh fisik ini milik kita yang dipinjamkan oleh Tuhan, dan nanti akan kita kembalikan kepada-Nya, pemahaman semacam itu masih kurang tepat menurut Gatholoco. Tidak ada pihak yang meminjamkan atau yang dipinjami. Yang ada hanyalah TUHAN. Yang meminjamkan dan yang dipinjami, hanyalah illusi. Illusi dari hasil mempelajari kitab-kitab seberang tersebut)

75. Apa ora nêmu dosa, iku kabeh kagungane Hyang Widdhi, kêpriye olehmu matur, Kyai Guru saurnya, Sira iku maido kitabing Rasul, Gatholoco alon ngucap, Tan pisan maido mami.

Sangat berdosa dirimu, karena ini semua adalah wujud Hyang Widdhi, bagaimana kamu hendak menghaturkan (kembali), Kyai Guru menjawab, Kamu menghina kitab Rasul, Gatholoco pelan menjawab, Bukan sekali ini aku menghina.

76. Sawuse sira tumingal, mring unine buku daluwang mangsi, landhatên kanyatahanmu, rasane saking sastra, sarta maneh sira iku mau ngaku, besuk lamun sira pêjah, anggawa sanguning brangti.

(Dengarkan) setelah dirimu membaca, segala yang tercantum dalam kertas bertuliskan tinta yang kamu sebut kitab suci itu, nyatakan dalam dirimu sendiri (jangan hanya meyakini secara buta), intisari dari sastra (ayat) yang sudah kamu pelajari. Dan lagi kamu tadi mengaku, kelak jika kamu meninggal, kamu membawa oleh-oleh yang sangat kamu cintai. (cinta dalam bahasa Jawa adalah BRANGTA/BRANGTI atau ASMARADANA. Menyiratkan pupuh selanjutnya adalah pupuh ASMARADANA)

_________________

 Re: SERAT GATHOLOCO

  admin on Sun Jul 04, 2010 7:10 am

SERAT GATHOLOCO (11)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

PUPUH V
Asmaradana

1.Rehning sira wis ngakoni, benjang lamun sira pêjah, rasakna badanmu kuwe, kalawan cahyamu gêsang, obah-osiking manah, anggawa lapal Suksmamu, munggah mring suwarga loka.

Karena kamu sudah mengakui, kelak manakala kamu meninggal, Rasa badanmu (Sthula Sariira/Jasad), berikut Cahaya Hidup (Atma Sariira/Ruh), serta segala sensasi pikiranmu, terbawa pula Suksma (Suksma Sariira/Nafs)mu, naik ke Surga.

2.Sang Ijaril ingkang ngirid, sowan ngarsane Hyang Suksma, yen mangkono sira kuwe, ora ngamungna neng dunya, olehmu dadi bangsat, aneng akherat dadi pandung, anggawa dudu duweknya.

Sang (Malaikat) Izrail yang mengiringi, menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib), jika memang begitu dirimu, tidak hanya didunia saja, dirimu menjadi maling, diakherat-pun kamu menjadi maling, karena mengakui menghadapkan sesuatu yang bukan milikmu (tapi kamu akui sebagai hak milik). (Maksudnya makhluk ini semua adalah ‘nihil’ alias ‘tidak ada’. Karena semua ini adalah perwujudan Tuhan. Lantas jika merasa memiliki personalitas terpisah dengan Tuhan, bukankah itu illusi? Seseorang yang mengaku memiliki personalitas sendiri yang terpisah dengan Tuhan, mengklaim punya asset pribadi, berarti sama saja dengan seorang maling, yang mengklaim sesuatu yang bukan miliknya. Dan lagi bagaimana bisa meng-klaim jika ‘diri-nya’ itu sendiri ‘tidak ada’?)

3.Sira aneng dunya iki, kadunungan barang gêlap, ora tuku ora nyileh, sira anggo sabên dina, ing mangka aneng akherat, anggawa dudu duwekmu, dunya-kherat dadi bangsat.

Didunia ini dirimu, ketempatan barang gelap, tidak beli tidak pinjam, kamu pakai tiap hari, sedangkan diakherat nanti, tetep kamu merasa memiliki yang bukan milikmu, dunia akherat kamu maling!

4.Tanpa gawe jungkar-jungkir, nêmbah salat madhep keblat, clumak-clumik kumêcape, angapalake alip lam, têgêse iku lapal, angawruhana asalmu, urip prapteng kailangan.

Tak ada guna jumpalitan (dalam sembahyang), mendirikan shalat menghadap kiblat, komat-kamit bibirnya, menghafalkan alif lam (maksudnya doa-doa), sesungguhnya makna dari ayat-ayat yang kamu baca (itulah yang harus kamu resapi, bukan hanya sehedar dihafal dan dibaca), karena dari ayat-ayat tersebut kamu akan mengetahui asal, dan tujuan hidup-mu.

5.Sireku kaliru tampi, ngawruhi asale wayah, subuh luhur myang asare, mahrib lawan bakda isak, sayêkti tanpa guna, sipat urip duwe irung, padha wêruh marang wayah.

Dirimu salah mengerti, sangat-sangat mematuhi waktu-waktu shalat, mulai subuh dzuhur hingga ashar, maghrib dan isya’, sungguh tanpa guna, selayaknya hidup memiliki hidung (maksudnya kepekaan Kesadaran), untuk memahami makna shalat.

6.Yen mangkono sira kuwi, mung mangeran marang wayah, tan mangeran Ingkang Gawe, lamun bêngi sarta awan, pijêr kêtungkul wayah, ora mikir mring awakmu, urip prapteng kailangan.

Jikalau demikian dirimu (yang hanya sekedar mematuhi waktu shalat dan tidak memahami makna dari shalat itu sendiri), hanya ber-tuhan-kan saat-saat shalat semata, tidak ber-Tuhan-kan yang membuat waktu, siang dan malam hanya, berfokus mematuhi waktu-waktu shalat semata, tidak meniti ke dalam diri, untuk memahami asal kehidupan dan tujuannya.

7.Rasane badanmu kuwi, kagungane Rasulullah, cahyane uripmu kuwe, kagunganira Pangeran, obah-osiking manah, Muhammad kang nggawa iku, duwekmu amung pangrasa.

Rasa badanmu itu (Sthula Sariira/Jasad), milik/perwujudan Rasulullah (maksudnya Ruh atau Atma), Cahaya hidup (Atma Sariira/Ruh)-mu itu, milik/perwujudan Pangeran (Tuhan/Brahman/Allah), segala gerak-gerik batinmu (maksudnya Suksma Sariira/Nafs), Muhammad yang menggenggam (Muhammad maksudnya juga Ruh atau Atma), milikmu hanya ‘Perasaan memiliki/Illusi’ saja!

(Jika Jasad ini milik/perwujudan Rasulullah (Ruh), Ruh milik/perwujudan Allah, Nafs milik/perwujudan Muhammad (maksudnya Ruh juga), sedangkan Allah, Muhammad dan Rasul itu tak lain adalah Allah juga, lantas apa yang hendak kita anggap sebagai personalitas makhluk jikalau semua ini adalah PERWUJUDAN ALLAH? Hanya Illusi saja yang menjadi milik para makhluk. ILLUSI MERASA DIRINYA ADALAH ENTITAS YANG TERPISAH DENGAN SEMESTA BAHKAN DENGAN TUHAN ITU SENDIRI!)

8.Mangka sira gawa kuwi, ora sira ulihêna, balekna marang Kang Duwe, yen sira maksih anggawa, titipan tri prakara, apa sira ora lampus, Kyai Guru duk miyarsa.

Sedangkan apa yang kamu akui itu (bahwa memiliki personalitas tersendiri dengan Tuhan), tetap juga tidak kamu kembalikan (maksudnya tetap ber-Kesadaran seperti itu), kepada Dia Yang Memiliki, jika kamu masih juga memegang (maksudnya tetap tidak mau membuka Kesadaran) dan masih juga mengaku memiliki Triprakara (Tiga Unsur ~ Ruh/Atma, Nafs/Suksma dan Jasad/Sthula) sendiri, akan abadikah dirimu kelak? Kyai Guru begitu mendengar (semua yang diuraikan Gatholoco).

9.Kethune binanting siti, muring-muring ngucap sora, Mring ngêndi nggonku ngulihke, ingsun tan rumasa nyêlang, titipan tri prakara, Gatholoco gya gumuyu, Sira urip tanpa mata.

(Kyai Guru) seketika membanting kethu (kopiah)-nya ke tanah! Marah-marah dan berkata kasar, Kemana aku mau mengembalikan!! Aku tidak merasa telah meminjam, titipan Triprakara tadi, Gatholoco tertawa geli (mendapati yang diajak dialog tidak memahami maksudnya namun malah marah-marah), Kamu memang hidup tanpa mata (maksudnya Kesadarannya buta)!

10.Upama Padhanging Rawi, asalira saking Surya, sirna kalawan Srêngenge, kalamun Padhange Wulan, asale saking Wulan, sirnane kalawan Santun, bali maneh asalira.

Seandainya Cahaya Matahari, yang berasal dari Surya, akan terserap musnah hilang kedalam Matahari kembali, seandainya Cahaya Rembulan, yang berasal dari Rembulan, akan terserap musna hilang kedalam Rembulan, kembali keasalnya lagi!

11.Kasan Bêsari nauri, Krana ngapa Rasanira, lan Cahyamu Urip kuwe, myang obah-osiking manah, tan sira ulihêna, marang Kang Kagungan iku, Gatholoco asru nyêntak.

Kasan Bêsari (Hassan Bashori) berkata, Lantas sekarang mengapa Rasa Badanmu (Jasad/Sthula Sariira), beserta Cahaya Hidup (Ruh/Atma Sariira)-mu, berikut Gerak batin (Nafs/Suksma Sariira)-mu, tidak kamu kembalikan (maksudnya masih terlihat nyata dan belum musnah) kepada Yang Mempunyai ? Gatholoco keras membentak.

12.Ingsun iki ora wani, ngulihake durung masa, yen tan ana pamundhute, ingsun wêdi bok kinira, anampik sihireng Hyang, manawa nêmu sêsiku, sireku kaliru tampa.

Aku tidak berani, memusnahkan ini semua karena belum saatnya, jika tanpa ada permintaan (dari Yang Mempunyai Perwujudan), aku takut nanti dianggap, menolak kasih Hyang (Tuhan), dan akan mendapatkan balak, sungguh kamu yang sebenarnya tidak paham! (Tidak paham akan maksud Gatholoco akan makna ‘Mengembalikan’ seperti yang telah diuraikannya diatas).

13.Kang kasêbut kitab mami, pan saking Nabi Muhammad, Kyai Guru pangucape, Salat witri iku iya, salat sakobêrira, Gatholoco alon muwus, sireku kaliru tampa.

Menurut Kitab-ku, yang berasal dari Nabi Muhammad, Kyai Guru berkata lagi, Shalat witir adalah, shalat yang tidak terikat waktu (maksud Kyai Hassan Bashori ada juga shalat yang tidak harus berfokus pada waktu, yaitu shalat witir. Jadi salah jika Gatholoco menganggap dirinya terlau mengagung-agungkan waktu), Gatholoco menjawab, Sekali lagi dirimu tidak paham!

14.Yen mangkono sira kuwi, dudu umat Rasulullah, dene sira ngestokake, sarengate Nabi lima, êndi panêmbahira, mring Nabi Muhammad iku, Kyai Guru saurira.

Bahkan lagi dirimu, bukanlah ummat Rasulullah, karena dirimu meyakini, dan mengikuti tingkah laku lima Nabi, mana shalat yang kamu jadikan untuk mengingat-ingat akan keagungan, dari Nabi Muhammad? (Ada keyakinan beberapa aliran agama Islam, bahwasanya shalat Subuh itu meniru Nabi Adam, manakala diturunkan di dunia, belum tahu mana arah mata angin, lantas ketika matahari terbit, Nabi Adam bersujud syukur karena tahu mana arah Timur. Lantas shalat Dzuhur, meniru Nabi Nuh, shalat Ashar meniru Nabi Ibrahim, shalat Maghrib, meniru Nabi Musa dan Shalat Isya’, meniru Nabi Isa, dan rupanya keyakinan inilah yang dianut oleh Kyai Hassan Bashori, lawan debat Gatholoco), Kyai Guru menjawab.

15.Sêmbahingsun salat witri, iya ing samasa-masa, Gatholoco pamuwuse, Sira iku santri blasar, mangka Nabi Muhammad, têtela Nabi Panutup, tunggule nabi sadaya.

Untuk mengingat Nabi Muhammad adalah shalat Witir, tidak terikat waktu! Gatholoco berkata, Kamu santri tersesat, padahal Nabi Muhammad, jelas-jelas Nabi Penutup, penutup seluruh Nabi.

16.Parentahe ora sisip, wus kapacak aneng kitab, ingkang salah sira dhewe, kinen sujud kaping lima, rina wêngi mangkana, esuk-esuk wayah Subuh, sujud tumrap maring Adam.

Setiap perintahnya tidak keliru, sudah jelas didalam semua kitab, yang salah memaknai adalah dirimu sendiri, diperintahkan sujud lima kali sehari, siang dan malam, pada saat pagi hari waktu Subuh, sujud kepada Adam.

17.Iku dudu Adam Nabi, adam suwung sujudana, kang suwung langgêng anane, marmanira sinujudan, dene luwih kuwasa, ngilangake pêtêng iku, kagênten padhanging surya.

Sesungguhnya bukan Adam Nabi, Adam berarti ‘Kosong’ dan sujudlah, kepada Yang Maha Kosong dan Yang Abadi Ada-Nya (tersebut), oleh sebab mengapa wajib untuk bersujud, karena Yang Maha Kosong sungguh berkuasa, menghilangkan kegelapan, dan menggantikannya dengan terang. (Maksudnya Yang Maha Kosong mampu memberikan terang kepada Kesadaran semua makhluk dan mampu mengusir semua kegelapan batin).

18.Panase saya ngluwihi, saking kuwasaning Allah, surya iku darma bae, sakehe manusa dunya, samya susah sadaya, krana saking panasipun, Nabi Muhammad parentah.

Menjelang tengah hari (maksudnya dalam pengembaraan Ruh didunia fana) panasnya sangat-sangat menyiksa (maksudnya dualitas dunawi sangat membelenggu Ruh), karena kuasa Allah, Matahari hanya sarana semata (maksudnya dualitas hanya sarana menggembleng Kesadaran Ruh saja), seluruh manusia/makhluk didunia, sangat menderita (terombang-ambing dualitas dunia), karena sangat-sangat panasnya, Nabi Muhammad memerintahkan.

19.Marang umatira sami, supaya padha sujuda, marang Kang Murbeng alame, tatkala patang rakangat, kabeh padha nuwuna, mring sudane panas iku, lan sudane dosanira.

Kepada seluruh ummatnya, agar ditengah hari bersujud, kepada Yang Menguasai Alam (Dualitas), sebanyak empat raka’at, seluruh ummat diperintahkan untuk memohon, agar mengurangi panas (penderitaan) duniawi, berikut memohon agar dilebur segala dosa-dosa (seluruh karma buruk)-nya.

20.Lan padha nuwuna maning, linanggêngna kaluhuran, kaya luhure srêngenge, pramilane lama-lama, tumurun saya andhap, daya asrêp panasipun, wong akeh ngarani Ngasar.

Dan juga agar memohon, tetap mendapat keluhuran (Tingginya Kesadaran), bagaikan luhur (tinggi)-nya matahari kala tengah hari, lantas sedikit demi sedikit, matahari turun semakin rendah, panasnya mulai berkurang (lambang penderitaan berganti dengan kesenangan), semua orang menamakan waktu Ashar.

21.Nabi Muhammad ningali, parentah mring umatira, supayane sujud maneh, sarta padha nênuwuna, langgêng ananing Suksma, lan padha nuwuna iku, linanggêngna kaluhuran.

Nabi Muhammad melihat, lantas memerintahkan kepada ummatnya, agar kembali bersujud, dan agar memohon, kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib), agar tetap langgeng (Ketinggian Kesadarannya walau penderitaan tengah berganti dengan kegembiraan).

22.Pangeran Kang Maha Luwih, angganjar ing asorira, linanggêngna kamulyane, dadine bisa kalakyan, tumurun saya andhap, mulane ngaranan surup, sira padha sumurupa.

Tuhan Yang Maha Kuasa, mampu menganugerahkan kemuliaan dan kehinaan (Kesadaran), semoga senantiasa langgeng kemuliaan Kesadaran, agar bisa selamat sampai tujuan (Moksha/Jannatun Firdaus), semakin turun matahari, dinamakan ‘surup’ (sore), karena maksudnya ‘sumurupa’ (ketahuilah)!

23.Kuwasanira Hyang Widdhi, bisa gawe pêtêng padhang, gawe unggul lan asore, kang padhang têgêse gêsang, kang pêtêng iku pêjah, Nabi Muhammad andulu, parentah mring umatira.

Akan kekuasaan Hyang Widdhi, yang mampu membuat gelap dan terang, mampu membuat tinggi dan rendah, yang ‘terang’ maksudnya ‘Hidup’, yang ‘gelap’ maksudnya ‘Mati’, (Manusia disebut Hidup manakala telah mencapai Terang Sejati, dan manusia disebut ‘Mati’ manakala masih terikat jerat duniawi dan lahir berulang-ulang di alam fisik ini), Nabi Muhammad melihat, lantas kembali memerintahkan kepada ummatnya.

24.Den purih sujuda maning, marang Ingkang Murbeng alam, dene luwih kuwasane, bisa gawe pêtêng padhang, lan gawe pêjah gêsang, bilahi asor lan unggul, lama-lama kang baskara.

Agar kembali bersujud, kepada Yang Menguasai Alam (Dualitas), karena kuasa-Nya, mampu membuat gelap dan terang, membuat mati dan hidup, hina dan mulia (Dualitas duniawi), lama-lama matahari.

25.Jagade datan kaeksi, pêtênge saya katara, amratani jagad kabeh, manusane alam dunya, rumasa kasusahan, krana saking pêtêngipun, amarga suruping surya.

Dunia tak terlihat, kegelapan semakin merebak, merata diseluruh jagad, seluruh makhluk, merasa sedih, disebabkan karena kegelapan tersebut, gelap karena hilangnya matahari. (Lambang dari kegelapan Kesadaran karena pengaruh dualitas duniawi).

26.Sagunge umat nuruti, nênuwun marang Pangeran, kanthi nangis panuwune, mulane ngaranan Ngisa, tegese Anangisa, marang Ingkang Murbeng Luhur, Nênuwun supaya padhang.

Seluruh ummat menurut, memohon kepada Tuhan, dengan isak tangis, makanya (bagi orang Jawa) menyebut waktu shalat sehabis mahgrib adalah Ngisa, karena saat kegelapan Kesadaran adalah saat untuk ‘Anangisa’ (Menangislah), kepada Yang Menguasai Keluhuran (Ketinggian), memohon supaya agar tetap diberikan terang (Kesadaran).

27.Kagênten padhanging sasi, sakehe manusa suka, uninga wulan cahyane, padhang sarta ora panas, cacade mung pisahan, mulane ingaran santun, santun warna sabên dina.

Terang yang digantikan oleh terangnya Rembulan (maksudnya dalam kegelapan Kesadaran, terang yang reduppun sudah cukup daripada gelap gulita tanpa cahaya Kesadaran), seluruh makhluk bisa sedikit bersuka cita, melihat Rembulan dan cahayanya, walau terang tiada panas, walaupun tidak stabil, makanya disebut ‘santun’ (Berubah), karena cahaya Rembulan (cahaya Kesadaran yang redup ditengah kegelapan), berubah-rubah setiap hari. (Tidak stabil).

(Rembulan disebut juga ‘Santun’ yang artinya ‘Berubah-rubah/Tidak stabil’ oleh orang Jawa, maksudnya Rembulan dilambangkan sebagai Kesadaran yang redup. Dan Kesadaran yang redup sangat tidak stabil).

28.Têgêse sasi samya sih, Kyai Guru aris mojar, kitab apa pathokane, Gatholoco angandika, Barulkalbi arannya, mangrêtine Barul: Laut, dene Kalbi iku Manah.

Arti ‘Sasi’ (padanan kata Rembulan/Santun) adalah ‘SA-mya SI-h’ (Semua Kasih ~ maksudnya walaupun ditengah kegelapan sekalipun, tetaplah menebarkan Kasih. Walaupun ditengah Kesadaran redup karena pengaruh penderitaan duniawi, tetaplah mengedepankan Kasih), Kyai Guru pelan bertanya, Dari Kitab apa semua yang kamu uraikan tadi? Gatholoco menjawab, (Kitab) Barulkalbi (Bahri Al-Qalbi), Bahri artinya Samudera, sedangkan Qalbi artinya Hati/Kesadaran.

29.Ati kang kaya jaladri, tanpa watês jero jêmbar, lan maneh akeh isine, Kasan Bêsari têtannya, sira ora sêmbahyang, Gatholoco aris muwus, sêmbahyang langgêng tan pêgat.

Hati/Kesadaran yang luas seluas Samudera, tiada batas tiada terukur dalam dan luasnya, dan sangat-sangat banyak terkadung isi mutiara, Kasan Besari (Hassan Bashori) bertanya, Kamu menjalankan shalat? Gatholoco pelan menjawab, Shalatku langgeng tiada terputus.

30.Sujud-mami sujud eling, keblatku têngahing jagad, barêng napasku sujude, napasku mêtu mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, mêtu saking utêkingsung, sêmbahyangku mring Hyang Suksma.

Sujud-ku Sujud Ingat (Maksudnya Kesadaran yang terus stabil), Kiblat-ku Pusat Semesta (Maksudnya focus penyembahan adalah Inti Dunia dan Inti Makhluk, tak lain adalah Brahman/Tuhan), Sujud-ku diiringi dengan Nafas (Maksudnya Kesadaran ini saat Ruh terikat badan materi, sangat terkait dengan nafas. Pengendalian nafas mampu mengendalikan Kesadaran juga. Nafas dan Kesadaran, saat badan materi masih membelenggu Ruh, tidak bisa dipisahkan), Nafas-ku keluar dari ubun-ubun (Nafas yang dikendalikan seolah bukan keluar masuk dari hidung lagi, tapi seolah-olah keluar masuk dari ubhun-ubun, menyatu dengan Kesadaran), shalatku menghadap kepada Tuhan, keluar dari otakku (Shalat yang terus menerus dilaksanakan keluar dari Kesadaran), shalatku menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib).

31.Ingkang mêtu lesan-mami, sêmbahyang mring Rasulullah, kang mêtu irungku kiye, ingkang Dzat pratandhanira, iku taline gêsang, kabeh saking napasingsun, sêbutku Allahu Allah.

Pujian yang keluar dari lidahku, pujian kepada Rasulullah (Ruh), sama dengan pujian yang keluar dari hidungku (nafas) ini, sesungguhnya semua perwujudan Dzat (Hidup/Tuhan), nafas adalah pengikat Hidup (selama ada nafas, selama itu pula Hidup/Tuhan/Dzat masih ada didalam badan materi), bisa dilihat dari adanya nafas, pujian nafasku berbunyi Allahu Allah.

32.Sira padha ora ngrêti, Rasulullah sabatira, iku durung linairke, lintang wulan lawan surya, alam dunya wus ana, yêkti tuwa suryanipun, iku kang kitab Ambiya.

Kalian semua tidak mengetahui, Rasulullah (maksudnya Nabi Muhammad) panutan kalian, saat belum dilahirkan, seandainya diibaratkan dengan bintang rembulan dan matahari, beserta bumi ini, jelaslah lebih tua matahari, hal ini tercatat dalam Kitab Anbiya’.

33.Kang tinitahake dhingin, dening Hyang Cahya Muhammad, iku lawan sakabate, nanging wujud êRoh samya, neng jroning Lintang Johar, mangka Lintang Johar iku, wawadhahe Roh sadaya.

(Sebelum Nabi Muhammad lahir) yang ada dahulu, adalah Hyang Cahya Muhammad (Nur Muhammad ~ Cahaya Terpuji/Cahaya Perwujudan Tuhan pertama kali yang merupakan cikal-bakal semesta raya ~ Purusha dalam istilah Weda), beserta seluruh para sahabatnya (maksudnya seluruh Atma-Atma semua), akan tetapi masih berwujud Ruh, berada didalam kandungan Lintang Johar (Lintang ~ Bintang, Johar/Jauhar ~ Mutiara, maksudnya juga Nur Muhammad tersebut), ketahuilah Lintang Johar itu, sumber segala Ruh makhluk.

34.Babonira saking Urip, dadi saking Nur Muhammad, lintang rêmbulan srêngenge, ora liya asalira, pan saking Nur Muhammad, mangka Lintang Johar iku, dadi pusêre Muhammad.

(Nur Muhammad atau Lintang Johar) adalah perwujudan Hidup (Allah), semesta raya ini berasal dari Nur Muhammad, bintang rembulan matahari, tiada lain sumbernya dari sana, berasal dari Nur Muhammad, sedangkan Lintang Johar, ibarat pusar (tempat keluarnya) seluruh semesta.

35.Yen sira maido mami, dadi nampikakên sira, mring Kuran sêsêbutane, Kasan Beêari miyarsa, rumaos kaungkulan, mangkana denira muwus, Wis Gatholoco minggata.

Jikalau kamu membantahku, sungguh sama saja kamu menolak, kepada ajaran Al-Qur’an, Kasan Besari (Hassan Bashori) mendengarnya, merasa kalah, beginilah dia akhirnya berkata, Sudah Gatholoco minggatlah kamu dari sini!

36.Gatoloco anauri, sun linggih langgare Allah, kabênêran panggonane, iki aneng têngah jagad, ingsun sênêng kapenak, linggih langgar karo udut, ngênteni prentahing Allah.

Gatholoco menjawab, Aku duduk di musholla Allah, sangat nyaman tempatnya, aku merasa dipusat semesta, aku merasa nyaman, duduk didalam musholla sembari menghisap candu (spiritualitas), sembari menunggu perintah Allah.

37.Sakala Kasan Bêsari, sidhakep kendêl kewala, puwara alon wuwuse, wus dadi prasêtyaningwang, kalamun bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira wajib mengkonana.

Seketika Kasan Besari (Hassan Bashori), bersendekap sembari diam, lantas terdengar suaranya, Sudah menjadi janjiku, jikalau aku kalah berdebat, maka semua ini akan menjadi milikmu, dirimu wajib memilikinya.

38.Ingsun rila lair batin, langgar wisma barang-barang, pasrah sah duwekmu kabeh, santri murid ing Cêpêkan, ingkang sênêng ngawula, mara sira anggêguru, wulangên ilmu utama.

Aku rela lahir batin, musholla rumah berikut seluruh perabotan, aku berikan kepadamu semua, para santri murid Cepekan, jika memang hendak tetap berguru, silakah berguru kepadamu, ajarilah ajaran utama.

39.Para Kyai mitra mami, ingsun sumarah kewala, apa kang dadi karsane, manira saiki uga, nêja lunga lêlana, kabeh keriya rahayu, Kasan Bêsari gya mangkat.

Para Kyai sahabatku semua, aku sudah pasrah, apa yang menjadi kehendak-Nya, diriku sekarang juga, hendak berkelana, semoga yang aku tinggalkan disini mendapat keselamatan, Kasan Besari (Hassan Bashori) segera berangkat.

40.Nalangsa rumasa isin, saparan kalunta-lunta, katiwang-tiwang lampahe, ingkang kantun ing Cêpêkan, Gatholoco sineba, para murid tigang atus, andêr samya munggeng ngarsa.

Sangat-sangat malu, terlunta-lunta dalam perjalanan, sedih dalam pengembaraan, yang ditinggalkan di Cepekan, Gatholoco dihadap, seluruh murid sebanyak tiga ratus orang, bersila rapi berada dihadapan.

NB :
URIP ~ KANG NGURIPI ~ KANG GAWE URIP
PARAMASHIWA ~ SADASHIWA ~ ATMA
BRAHMAN ~ PURUSHA ~ ATMAN
ALLAH ~ (NUR) MUHAMMAD ~ RASUL (MUHAMMAD)
ALLAH BAPA ~ ALLAH PUTRA ~ ROH KUDUS

Mohon direnungkan…..

_________________

 Re: SERAT GATHOLOCO

  admin on Sun Jul 04, 2010 7:11 am

SERAT GATHOLOCO (12)
Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

41. Gatholoco sukeng galih, angandika mring sakabat, Sanak-sanakingsun kabeh, yen sira arsa raharja, poma-poma elinga, aywa tiru lir gurumu, anggêpe sawênang-wênang.

Gatholoco gembira dalam hati, berkata kepada seluruh sahabat (murid), Wahai saudaraku semua, apabila dirimu ingin mendapat ketentraman, ingat-ingatlah kata-kataku, jangan meniru tingkah laku gurumu (Kyai Hassan Bashori), sewenang-wenang kepada sesama.

42. Kang mangkono ora bêcik, ngina-ina mring sasama, umat iku padha bae, pintêr bodho bêcik ala, bêja lawan cilaka, wong kuli tani priyantun, lanang wadon ora beda.

Tingkah yang demikian tidaklah patut, menghina sesama manusia, seluruh umat itu sama, pintar bodoh tampan buruk, yang beruntung dan yang sengsara, kuli petani priyayi (bangsawan), lelaki maupun perempuan tiada beda.

43. Wus pinêsthi mring Hyang Widdhi, tan kêna ingowahana, papêsthene dhewe-dhewe, mulane bêcik narima, aywa katungkul sira, urip iku bakal lampus, aneng dunya ngelingana.

Sudah menjadi ketetapan Hyang Widdhi, tak bisa dirubah, takdir dari setiap makhluk, oleh karenanya terimalah, jangan terus merasa tidak puas, hidup ini pasti bakal mati, hidup didunia selalu ingat.

44. Aja jubriya lan kibir, sumêngah nggunggung sarira, open dahwen panastene, karêm dora pitênahan, jail silib melikan, angapusi agal alus, anggluweh dhêmên sikara.

Jangan Jubriya (Riya : Suka pamer) dan Kibir (Takabbur : Sombong), senantiasa menganggap diri yang paling unggul, suka mencampuri urusan orang suka sirik dan gampang tersinggung, suka berbohong dan memfitnah, jahil suka selintutan dan gampang mengingini milik orang lain, suka menipu baik secara kasar maupun halus, seenaknya dan suka bertengkar.

45. Aja pisan ladak êdir, watak angkuh nguja hawa, aja warêg mangan sare, nglakonana sawatara, ingkang sabar tawakal, ingkang sumeh aja nepsu, ngajeni marang sasama.

Jangan sesekali berlebihan, angkuh dan suka menuruti keinginan badani, jangan suka banyak makan dan banyak tidur, jalanilah secukupnya, sabarlah dan tawakallah, yang ramah dan jangan jadi pemarah, hargailah sesama manusia.

46. Aja sira gawe sêrik, aja sira gawe gêla, aja gawe wêdi kaget, iku aran najis karam, nyandhang mangan ingkang sah, iku lakune wong ilmu, tan kêna kanthi sêmbrana.

Jangan membuat sakit hati sesame, jangan membuat kecewa sesame, jangan suka menakut-nakuti dan mengagetkan sesame, semua itu najis dan haram yang sesungguhnya! Itulah sesungguhnya yang disebut memakai pakaian dan memakan makanan sah (halal), dan itu pula jalan yang harus ditempuh oleh pelaku spiritual, tidak bisa dibuat sembarangan.

PUPUH VI
Kinanti

1. Kudu ingkang nrimeng pandum, sumarah karsaning Widdhi, manusa darma kewala, saikine sun takoni, apa mantêp trusing driya, ngaku bapa marang mami.

Harus menerima kepada ketentuan hidup (karma yang kita terima), pasrah kepada Hyang Widdhi, manusia sekedar menjalani, sekarang aku hendak bertanya, apakah kalian benar-benar telah mantap lahir batin, mengakui aku sebagai bapa kalian?

2. Lamun sira wus tuwajuh, gugunên pitutur iki, nanging sira aja samar, tan kêna maido ilmi, yen maido kêna cêndhak, uripe kamulyanneki.

Jika memang telah mantap lahir batin, ikutilah nasehatku ini, akan tetapi janganlah gampang meremehkan ilmu orang, jika gampang meremehkan ilmu orang maka akan mendapat kesempitan, sempit kemuliaan diri.

3. Kabeh sira anakingsun, badhenên pasemon iki, Lamun bêngi ana apa, Yen awan ingkang ngêbêki, Apa ingkang ora nana, Satuhune iya êndi.

Semua anak-anakku, jawablah perlambang yang aku uraikan ini, Ada apakah ‘ditengah keheningan malam’? Apakah ‘yang meliputi terangnya siang hari’? Apakah sesuatu yang ‘tidak ada’ itu ? Sesungguhnya dimanakah (‘yang ada ditengah keheningan malam’, ‘yang meliputi terangnya siang’ dan ‘yang tidak ada’ tersebut?)

4. Doh tanpa wangên iku, Cêdhak tan senggolan iki, Yen adoh katon gumawang, Yen cêdhak datan kaeksi, Lamun isi ana apa, Yen suwung luwih mratani.

Sangatlah jauh tanpa batasan pasti, Sangatlah dekat namun tak bersentuhan, Jikalau jauh terlihat berpendar, Jikalau dekat tiada terlihat, Jika diumpamakan sebuah ‘isi sesuatu’ apakah itu? Jika diumpamakan ‘kosong’ lebih dari kekosongan dan meliputi semuanya.

5. Lêmbut tan kêna jinumput, Agal tan kêna tinapsir, Ingkang amba langkung rupak, Kang ciyut wiyar nglangkungi, Bumbung wungwang isi apa, Sapa neng ngarêpmu kuwi.

Sangat halus hingga tak bisa dijumput (dijumput ~ diambil dengan dua jari dengan sangat hati-hati karena sangat kecilnya), Sangat nyata tapi tak bisa dinyatakan, Sangat lebar namun juga sempit, Sangat sempit tapi lebarnya melebihi semua yang lebar, Sitengah bilah bambu apa ‘isi’-nya? Bahkan dihadapanmu sekarang (siapakah Dia?)

6. Yen lanang tan nduwe jalu, Yen wadon tan duwe bêlik, Iya kene iya kana, Iya ngarêp iya buri, Iya kering iya kanan, Iya ngandhap iya nginggil.

Jika lelaki tapi tak memililiki kelamin laki-laki, Jika perempuan tak memiliki kelamin perempuan, Ada disini dan ada disana, Ada di depan juga ada dibelakang, Ada dikiri juga ada dikanan, Ada di bawah juga ada diatas.

7. Baitane ngêmot laut, Kuda ngrap pandhêgan nênggih, Tapaking kuntul ngalayang, Pambarêp adhine ragil, si Wêlut ngêleng ing parang, Kodhok ngêmuli lengneki.

Perahu memuat seluruh samudera, Kuda berlari kencang ditempat pemberhentiannya (banyak yang salah tulis dalam setiap primbon ungkapan ini, yaitu KUDA NGÊRAP ING PANDÊNGAN, padahal yang benar KUDA NGÊRAP ING PANDHÊGAN (Kuda berlari kencang ditempat pemberhentiannya/kandangnya. PANDHÊGAN ~ TEMPAT BERHENTI = GÊDHOGAN), Jejaknya burung bangau yang tengah terbang melayang, Yang sulung juga yang bungsu, Belut mempunyai rumah didalam batu cadas, Katak menyelimuti rumahnya sendiri.

8. Wong bisu asru calathu, Jago kluruk jro ndogneki, Wong picak amilang lintang, Wong cebol anggayuh langit, Wong lumpuh ngidêri jagad, Aneng ngêndi susuh angin.

Orang bisu tapi keras suaranya, Ayam jago berkokok didalam telurnya, Manusia buta menghitung bintang dilangit, Manusia cebol menggapai langit, Manusia lumpuh berkeliling dunia, Dimanakah kediaman angin?

9. Aneng ngêndi wohing banyu, Myang atine kangkung kuwi, Golek gêni nggawa diyan, wong ngangsu pikulan warih, Kampuh putih tumpal pêthak, Kampuh irêng tumpal langking.

Dimanakah inti air, Dimanakah pusatnya tumbuhan kangkung, Mencari api membawa pelita, Mencari air memikul air, Kemben putih tertutup warna putih, Kemben hitam tertutup warna hitam.

10. Tumbar isi tompo iku, Randhu alas angrambati, mring uwit sêmbukan ika, Sagara kang tanpa têpi, Rambut irêng dadi pêthak, ingkang pêthak saking ngêndi.

Biji ketumbar berisi wadhahnya, Pohon randhu hutan merambat, kepada tumbuhan simbukan (simbukan adalah jenis tumbuhan rambat, tapi malah dirambati pohon randhu hutan), Lautan yang tak bertepi, Rambut hitam berubah putih, warna putih darimana datangnya?

11. Irênge mring ngêndi iku, Kalawan kang diyan mati, urube mring ngêndi ika, golekana kang pinanggih, yen tan wêruh siya-siya, durung sampurna kang ilmi.

Dan kemanakah hilangnya warna hitam tadi? Dan lagi jika pelita padam, kemanakah perginya nyala api? Carilah hingga ketemu, manakala tidak bisa mengetahui akan sia-sia, tidak sempurna ilmu kalian.

12. Ingkang sarah munggeng laut, gagak kuntul saba sami, duk mencok si kuntul ika, si gagak ana ing ngêndi, gagak iku nulya têka, si kuntul mibêr mring ngêndi.

Benda padat memenuhi samudera, burung gagak dan burung bangau ikut datang, manakala bangau bertengger diatas benda padat, burung gagak tiada kelihatan, manakala burung gagak yang datang, burung bangau terbang kemana? (Benda padat ~ Jasad materi. Samudera ~ Dunia materi. Burung gagak ~ Suksma Sariira/Nafs. Burung Bangau ~ Atma Sariira/Ruh)

13. Prayoga kudu sumurup, kabeh sira anak mami, pralambang iku rasakna, kang katêmu padha jati, sajatining rasa ika, rasa jroning jalanidi.

Oleh karenanya harus bisa memahami, wahai kalian semua anak-anakku, seluruh perlambang ilmu sejati ini renungkanlah, jika bisa memahami akan menemukan kesejatian, sejatinya rasa, rasa sejati didalam samudera (hidup).

14. Sasmitanên ingkang wimbuh, kawruhana ucap iki, kalawan pangrungunira, sarta paningalmu ugi, tan ana ucap dwi ika, dadi solah tingkahneki.

Segala rahasia akan cepat tersingkapkan, benar-benar perhatikan ucapanku ini, dengan sepenuh pendengaran, serta sepenuh penglihatan kamu, tiada lagi kebenaran kedua yang menjadi sifatnya (sifat kebenaran sejati itu tunggal, tak mendua).

15. Ora sak tan sêrik iku, tan têsbehmu Dzatullahi, kang krasa yen datan mangan, den krasa yen minum nênggih, sêmbahyanga den karasa, den krasa Dzatullah kuwi.

Jangan ragu jangan bimbang, bahkan pujianmu itu Dzatullah, rasakan benar-benar saat kamu tengah kelaparan (tak makan ~ ditengah penderitaan), juga rasakan benar-benar saat kamu meminum air (saat gembira), ditengah bersembahyang-pun rasakanlah, rasakanlah bahwa semua ini Perwujudan Dzatullah!

16. Kang wus sawural Allahu, iku aran Salat Daim, ana maneh ingaranan, Martabate Kasdu kuwi, lawan Takrul Takyin ika, mangrêtine Kasdu kuwi.

Yang sudah mampu melihat semua ini adalah Allah, itu yang dinamakan Sholat Da’im (Da’iman ~ Abadi/Tak terputus/Tak terbatas oleh waktu), ada lagi yang disebut martabat/uraian/tingkatan tentang Kasdu, dan Takrul serta Takyin, yang disebut Kasdu adalah.

17. Pikarêpe niyat iku, ciptane ingkang dumadi, dene Takrul têgêsira, pamêkasing niyat nênggih, dumadine panggraita, mangrêteni ingkang Takyin.

Maksud/fokus dari niyat, kesadaran yang menjadi pegangan, sedangkan Takrul artinya, akhir dari niyat tersebut, tercapainya kesadaran sejati, sedangkan Takyin.

18. Iku nyata yen satuhu, wasesane niyat kuwi, dumadine ingkang cipta, cêthane iku sayêkti, ingkang Kasdu kuwi Iman, ingkang Takrul iku Tohid.

Sungguh-sungguh melihat bukti, kuasa dari niyat, tercapainya puncak kesadaran, sesungguhnya, yang disebut Kasdu adalah Iman (Keyakinan), yang disebut Takrul adalah Tokid (Tauhid ~ Kesatuan Tunggal).

19. Kang Takyin Makrifat iku, kang Iman yen ana kuwi, ing niyat ingkang gumlethak, yêkti iku ora serik, tansah ningali ing Allah, kang Tohid nênge myang osik.

Yang disebut Takyin adalah Ma’rifat (Menyaksikan Kesejatian), iman yang ada, harus dibuat niyat penuh kepasrahan, hilangkan segala kebimbangan, hanya melihat kepada Allah semata, Tauhid adalah menyadari Kesatuan gerak dan diam (makhluk dengan gerak dan diam Tuhan).

20. Gletheke paningal iku, pamyarsa pangucapneki, nyata angên-angênira, ingkang ngglethakakên Widdhi, myarsa ngucapkên pêsthinya, Allah tangala ngimbuhi.

Menyadari dengan penuh kesadaran bahwa semua penglihatan ini, pendengaran ini berikut pengucapan ini, serta seluruh gerak pikiran-pikiran ini, semua adalah perwujudan Hyang Widdhi, mendengar hingga berkata, Allah yang menggerakkannya.

21. Dadi aja sak srik iku, tingalira mring Hyang Widdhi, ana dene kang Makrifat, iku nênge lawan mosik, anênggih paningalira, pangrungu pangucapneki.

Jangan ragu-ragu lagi, fokuskan kesadaran bahwa semua ini adalah Hyang Widdhi, sedangkan Ma’rifat, diam serta gerak kalian, penglihatan, pendengaran pengucapan.

22. Dadi lan ing dhewekipun, têgêse iku sayêkti, Bila têsbeh lire ika, tan loro kahanan-neki, apan mung Allah kewala, ingkang mosik mênêng kuwi.

Wujud dan kepribadian kalian, sesungguhnya nyata adalah, Bila tesbeh (billa tasbih : tak ada yang dipuji lagi), sesunguhnya tak ada dua, hanya Allah saja, yang diam dan bergerak ini.

23. Pamiyarsa lan pandulu, nyatane kahanan iki, poma aja sêrik lan sak, sasmita sariraneki, kang den ucap ingkang ngucap, tan liya Kang Maha Suci.

(Berikut) pendengaran dan penglihatan kita semua, sangat nyata keadaann ini semua (adalah perwujudan Allah semata)! Jangan ragu dan bimbang lagi, akan rahasia dirimu, apa yang kamu ucapkan dan yang mengucapkan, tak lain adalah Yang Maha Suci itu sendiri!

24. Kudu ingkang awas emut, ora nana liya maning, lamun sira tinakonan, apa pangajape Widdhi, mangkene wangsulanira, Pangawruhingsun mring Widdhi.

Senantiasa waspada dan ingat dalam kesadaran, bahwasanya tiada lain lagi (semua ini kecuali Allah). Apabila kamu ditanya Apa yang Hyang Widdhi kehendaki darimu? Jawablah, Menyadari Hyang Widdhi itu sendiri.

25. Kawimbuhan ilmunipun, Pangeran Kang Maha Suci, ana maneh soalira, apa ingkang den arani, sakêcap sarta satindhak, mênêng mung sagokan kuwi.

Sehingga tercurahkan ilmu, (Kesejatian akan hakikat) Tuhan Yang Maha Suci, ada lagi pertanyaan, siapakah yang, Mengucap dan Melangkah, Berdiam dan Bergerak ini semua?

26. Nulya saurana gupuh, ujar sakêcap puniki, kang ngucap nênggih Hyang Suksma, kang mlaku satindhak Widdhi, kang mênêng sagokan ika, ingkang wus angel nggoleki.

Jawablah, Yang Mengucap, adalah Hyang Suksma (Tuhan), yang Melangkah adalah Hyang Widdhi (Tuhan), yang Berdiam dan Bergerak, adalah Dia Yang Sulit Dicari.

27. Hyang Suksma ya dhirinipun, sarta lamun den takoni, pira Martabating Tingal, saurana tri prakawis, Tasnip ingkang kaping pisan, Insan Kamil kaping kalih.

Tak lain adalah Hyang Suksma sendiri, manakala ditanya, berapakah Martabat/tingkatan/uraian Penglihatan (Ruh)? Jawablah tiga perkara, Tasnip (Tasnif : Penilaian) yang pertama, Insan Kamil (Insanulkamil : Manusia Sempurna) yang kedua.

28. Kadil Kapri kaping têlu, Tasnip: Idhêp têgêsneki, Insan Kamil: Kang Sampurna, iku kaya Roh Ilapi, utawa Tasnip sêmunya, tingal luluh sampurnaning.

Kadil Kapri (Khadil : Mengecewakan, Qafri : Gurun, gurun yang mengecewakan~maksudnya penglihatan yang palsu) yang ketiga, Tasnip (Tasnif) artinya Idhep (Penilaian Kesadaran untuk melihat), Insan Kamil adalah (penglihatan) Yang Sempurna, sudah menjadi Ruh ilapi (Ruh Idhofi : Ruh penambah kesempurnaan), atau Tasnip maksudnya, penglihatan telah luluh sempurna (kepada Yang Dilihat).

29. Wahyu iku têgêsipun, ingkang paningale sidik, iku têtêp wahyunira, pramilane samya wajib, den wêninga prabedanya, anggenira aningali.

(Mendapat) wahyu (penglihatan sejati) maksudnya, bagi mereka yang penglihatan Ruh-nya jernih, maka disebut tetap mendapatkan wahyu, oleh karenanya wajib bagi kalian, mengetahui perbedaan (penglihatan Ruh diatas), disaat kalian hendak melihat Kesejatian.

30. Mring Nabi Wali Mukminu, Nabi têtêp tingalneki, dene para mundur ika, ing tingale Wali Mukmin, pira Martabating Lampah, wangsulana dwi prakawis.

Perbedaan (penglihatan) Nabi Wali maupun Para Mukmin, bagi yang sudah mencapai tingkat ke-Nabi-an akan stabil penglihatannya, sedangkan dibawah tingkatan itu masih labil, yaitu penglihatan Wali dan Mukmin, berapakah martabat/tingkatan/uraian dari Lelaku (Riyadloh/Sadhana/Pencarian spiritualitas) itu? Jawablah ada dua perkara.

31. Dhingin kaya gêni iku, kaping kalih kaya angin, sêmune kang kaya brama, pênêt panase pribadi, têgêse sira mrih enggal, panrima kasuwen dening.

Yang pertama bagaikan api, yang kedua bagaikan angin, yang dimaksud bagaikan api, mencari inti panasnya diri pribadi (berjuang membasmi panasnya kegelapan batin), dengan cara tersebut akan membuat diri kalian cepat, mencapai tingkat kepasrahan.

32. Ingkang angin têgêsipun, pênêt tan kêna pinurih, têgêse wus ora pisan, susah angulati malih, pira Martabating Badan, saurana tri prakawis.

Bagaikan angin maksudnya mencari sesuatu yang ‘Tak dapat dicari’, dimana ‘Yang tak tak dapat dicari’ tersebut sesungguhnya sekali-sekali, tidak perlu dicari jauh-jauh, berapakah martabat/tingkatan/uraian tentang Badan?

33. Wondene ingkang rumuhun, kaya tanggal ping Pat nênggih, ping dwi kaya tanggal Sanga, tanggal ping Patbelas ping tri, têgêse tanggal kaping Pat, tulis lair tulis batin.

Yang pertama-tama, bagaikan bulan muncul ditanggal Empat (memakai perhitungan sonar system), yang kedua bagaikan bulan muncul ditanggal Sembilan, yang ketiga bagaikan bulan yang muncul ditanggal Empat belas, maksud bagaikan bulan tanggal empat ( tangal empat jawa atau perhitungan kalender menggunakan sonar system, bulan tidak akan kelihatan) berarti lahir batin masih nampak tersirat (masih benar-benar tenggelam pada material dunia, masih diliputi kegelapan illusi)

34. Kaya tanggal Sanga iku, luluh sirna têgêsneki, kahananira Pangeran, tanggal ping Patbelas kuwi, dene sasêjane sama, kaya Kang Ndadekkên nênggih.

Yang dimaksud bagaikan tanggal Sembilan (tanggal Sembilan jawa atau menggunakan perhitungan kalender sonar system, bulan mulai muncul walau berbentuk sabit), yang material mulai luluh dan sirna oleh karena, keberadaan Tuhan (mulai nyata), bagaikan tanggal Empat belas (tanggal Empat belas jawa atau menggunakan perhitungan kalender sonar system), seluruh kehendak telah sama, manunggal sama dengan Yang Menciptakan Alam! (Illusi telah tersingkap, bagaikan Bulan Purnama. Tuhan telah mewujud nyata!)

35. Wus tumêka wangênipun, têkane kawula kuwi, ora nêja yen dadiya, dadi Gusti kang sayêkti, nanging yêkti dadi uga, pira Martabat Pamanggih.

Sudah mencapai tingkatan tertinggi, keberadaan Kawula (hamba), tak disengaja telah menjadi, keberadaan Gusti Yang Sejati, dan benar-benar terjadi, berapakah martabat/tingkatan/uraian dari Etika Tingkah Laku.

36. Saurana lima iku, kang dhingin Klêthêking ati, ingkang kaping kalihira, Katêpêking lampah nênggih, Panjriting tangis ping tiga, Kêthuk nutu ping pat nênggih.

Jawablah terdiri dari lima perkara, yang pertama bagaikan Kegelapan hati, yang kedua bagaikan Suara langkah kaki, yang ketiga bagaikan Jerit tangis, yang keempat bagaikan Suara ketukan orang menumbuk padi (jaman dahulu untuk memisahkan padi dengan kulitnya, harus ditumbuk disebuah tempat yang namanya Lesung. Menumbuk padi dalam istilah orang Jawa disebut Nutu. Disaat aktifitas menumbuk padi ini, suara ketukannya akan terdengar indah berirama. Apalagi jika yang melakukan aktifitas lebih dari satu orang. Suara yang terdengar sangat khas. Suara ketukan menumbuk padi ini dikenal dengan sebutan gamelan Lesung.)

37. Cleret Ngantih ping limeku, dene Panjriting wong nangis, lawan Klêthêking wardaya, myang Têpêking wong lumaris, tuhune iku pangucap, martanipun akir kadi.

Dan bagaikan Pelangi yang kelima, maksud dari Jerit tangis, dan juga Kekotoran hati, serta Suara langkah kaki, sesungguhnya adalah lambang dari kegelisahan batin yang tak terucapkan, jika mampu menyadari hal ini maka pada akhirnya.

38. Kaya Kapilaku iku, ing tekade kang wus tampi, Calereting Ngantih ika, lir Sipat Jamalullahi, Kêethuking nutu upama, wêdale pangucapneki.

(Harus dijadikan) Kaya Kapilaku (Haya’ alkafiilah : Untuk memastikan rasa malu ~ maksudnya segala kekotoran hati, jerit tangis/ketidak terimaan dan suara langkah kaki/degub gemuruh ketidak tenangan adalah hal-hal yang patut dijadikan obyek perasaan malu bagi yang ingin meningkatkan kejernihan diri. Kekotoran hati, Jerit Tangis/ketidak puasan dan Suara Langkah Kaki/degup ketidak tenangan adalah rintangan mencapai tingkat kesucian, seharusnya kita malu jika tetap memelihara hal-hal semacam itu), itulah ketetapan diri bagi yang hendak belajar berserah total, Pelangi maksudnya, bagaikan sifat Jamalullah (Jamil : Cantik ~ Jamalullah : Kecantikan Allah), Suara ketukan orang menumbuk padi, lambang dari Ucapan yang telah keluar.

(Maksudnya, tiga perlambang awal, 1. Kletheking Ati : Kekotoran Hati, 2. Katepeking Lampah : Suara Langkah/degup ketidak tenangan, 3. Panjriting Tangis : Jerit Tangis/ketidak puasan, adalah lambang ketidak murnian diri yang seharusnya sangat memalukan bagi manusia yang sadar. Ketidak murnian ini ada didalam diri yang berputar-putar bagai awan panas menggelora. Lambang ke empat yaitu Kethuking Nutu adalah Ucapan yang keluar dari orang yang sadar yang bisa menetralisir segala hal-hal negative yang bergelayut didalam diri, sehingga ucapan yang keluar terdengar positif dan indah, bagai suara orang menumbuk padi yang merdu. Dan jika hal ini bisa dibiasakan, maka diri kita nyata telah menjadi perwujudan Pelangi atau Jamalullah : Kecantikan Allah bagi sesama).

39. Nyata ora mamang iku, ora susah angulati, Hyang Agung Kang Maha Mulya, kang ngucap iku Allahi, poma aja pindho karya, puniku ingkang sajati.

Nyata tidak diragukan lagi, tidak usah susah-susah mencari, Hyang Agung Yang Maha Mulia, karena ucapan positif yang keluar dari manusia yang sadar semacam itu adalah ucapan Allah, jangan meragukan lagi, inilah yang sesungguhnya!

40. Martabate bumi iku, saurana tri prakawis, Dzating Roh Ilapi ika, kaping pindho Roh Jasmani, kaping têlu Tanpa Prenah, Tanpa Tuduh Tanpa Yekti.

Martabat/tingkatan/uraian dari bumi (maksudnya bumi adalah manusia ini), jawablah tiga perkara, yang pertama Dzat Roh Ilapi (Dzat dari Ruh Yang Menguatkan, maksudnya perwujudan dari Ruh Yang Menguatkan, tak lain adalah Nafs/Suksma Sariira. Nafs atau Suksma Sariira adalah perwujudan Atma juga sesungguhnya.) Yang kedua Roh Jasmani (Maksudnya adalah Jasad/Sthula Sariira, disini diistilahkan sebagai Ruhul Jasmani) dan yang ketiga Tanpa Tempat, Tanpa Arah dan Tanpa Ada (Maksudnya Ruh/Atma).

41. Kang aran Muhammad iku, kang Kakiki kang Majaji, iku nuli saurana, kang aran Muhammad Nabi, dene kang Kakiki iku, iya Dzatullah Ilapi.

Yang disebut Muhammad itu, apakah Kakiki (Hakiki : Intisari Gaib) atau yang Majaji (Maujudi : yang berwujud nyata), maka jawablah, yang dinamakan Muhammad itu adalah nama seorang Nabi, tapi hakekatnya yang disebut Muhammad itu, tak lain adalah Dzatullah Ilapi (Dzatullahi Al-idhofi : Dzat Allah Yang Menambah Kekuatan bagi semesta atau Energi Illahi).

42. Nabi Muhammad puniku, anênggih ingkang Majaji, Dzatullah Jasadi ika, kang Kakiki kang Majaji, loro-loroning atunggal, nyatane yen sira kuwi.

Nabi Muhammad itu, adalah yang berwujud sebagai manusia (ditanah arab), perwujudan Dzatullah, sedangkan Muhammad yang Hakiki dan Maujud, kedua-duanya adalah tunggal juga, semuanya ada didiri kalian (seluruh makhluk).

(Maksudnya Muhammad itu sesungguhnya adalah nama dari cahaya Allah, yaitu Nur Muhammad (Nur : Cahaya, Muhammad : Terpuji). Inilah inti sari setiap makhluk. Hakikat setiap makhluk. Secara hakikat dia melampaui segalanya, secara wujud nyata, berwujud seluruh material semesta termasuk jasad fisik manusia. Maka benarlah jika kita ini disebut perwujudan Nur Muhammad. Karena Nur Muhammad itu tak lain adalah Allah juga. Dan Ruh kita ini disebut Rasul Muhammad (Rasul : Utusan, Muhammad : Terpuji), percikan dari Allah juga. Oleh karenanya Allah, (Nur) Muhammad dan Rasul (Muhammad) adalah satu kesatuan tunggal, dalam Ajaran Syeh Siti Jenar maupun Sunan Kalijaga, sering hanya disebut ALLAH, MUHAMMAD, RASUL saja. Ada lagi yang disebut Muhammad, yaitu seorang Nabi yang pernah hidup ditanah Arab dan yang mengajarkan agama Islam)

43. Ingkang Tanpa Prênah iku, lawan Tanpa Tuduh kuwi, ing Kakekate Dzatu’llah, tan liya pêsthi sireki, krana sajatine sira, poma aja pindho kardi.

(Kalianlah) perwujudan Yang Tanpa Tempat, Yang Tanpa Arah, kalian adalah perwujudan kesejatian Dzatullah, tiada lain kalian semua ini, itulah sesungguhnya kalian, jangan ragu-ragu lagi.

44. Martabat Nugrahan iku, lamun sira den takoni, pira nugrahaning Sadat, saurana tri prakawis, iku ingkang ping sapisan, Ngêningake Iman-neki.

Martabat/tingkatan/uraian Anugerah itu, manakala kalian ditanya, ada berapa Anugerah Sahadat, jawablah tiga macam, yang pertama Menjernihkan Iman.

45. Ping dwi Ngeningken Tyasipun, ana dene kang kaping tri, Nglampahake Panggaotan, Nugrahaning Salat nênggih, saurana tri prakara, Mêgat Karsa ingkang dhingin.

Yang kedua Menjernihkan Hati/Kesadaran, dan yang ketiga Menjalankan/mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. (Sahadat adalah kesaksian diri, dimana sahadat sejati adalah Tiada Yang Lain di Alam ini kecuali Allah, dan Ruh-ku ini adalah Utusan Allah. Kesaksian ini harus diimplementasikan kedalam kehidupan sehari-hari, dengan jalan, pertama Menjernihkan Keyakinan bahwasanya semua makhluk ini adalah perwujudan Allah dan utusan Allah, maka semua tiada beda, kedua menjernihkan Kesadaran, dimana kita harus benar-benar melihat aku adalah kamu kamu adalah aku, tak ada beda dan yang ketiga harus benar-benar dipraktekkan didalam kehidupan sehari-hari dengan jalan menebarkan Kasih tiada henti. Jika bisa melaksanakan hal ini, jelas bisa disebut Mendapat Anugerah dari memahami Sahadat Sejati), Anugerah Shalat sekarang jika ada yang bertanya, jawablah tiga macam, Mengontrol keinginan duniawi yang pertama.

46. Tinggal Cipta kalihipun, Amadhêp ingkang kaping tri, Nugrahaning Takbir pira, saurana tri prakawis, dhingin Kawruh dwi Kawruhnya, Jatining Wêruh kaping tri.

Meningalkan segala Kesadaran rendah yang kedua, dan yang ketiga Mantap lahir batin, Anugerah Takbir (Mengagungkan Allah) ada berapakah, jawablah tiga macam, pertama Pengetahuan yang kedua Yang Mengetahui, Yang ketiga Hakikat Yang Hendak Diketahui. (Maksudnya, manusia bisa disebut menerima Anugerah dalam memahami Cara Pengagungan Allah jika bisa menyadari Pengetahuan yang benar, memahami hakikat dirinya sebagai Yang Mencari Tahu, dan yang ketiga memahami siapa hakikat Yang Hendak Diketahui itu)

47. Pituturku durung rampung, nanging iku bae dhisik, krana ingsun arsa lunga, ora lawas ingsun bali, mrene maneh mulang sira, dimene imbuh mangrêti.

Wejanganku belum selesai, akan tetapi ini dulu, sebab aku hendak pergi, tidak akan lama aku akan kembali, kembali ke sini untuk mengajar kalian lagi, agar semakin bertambah kesadaran kalian.

 

serat wirawiyata

 

Karya : KGPAA Mangkunagara IV

S I N O M

01. Wuryanta dennya manitra, nujwa ari wrahaspati, kaliwon tanggal sapisan, sasi saban wuku wukir, ehe sangkaleng warsi, murtyastha amulang sunu (=1788), sung pariwara darma, Jeng Gusti Pangeran Dipati, Harya Mangkunagara ingkang kaping pat.

Dimulainya menulis buku ini, pada hari Kamis, kliwon tanggal satu, tahun ehe dengan sengkelan, murtyastha amulang sunu (=1788), sebagai petuah mengabdi, oleh Jeng Gusti Pangeran Adipati, Harya Mangkunagara yang keempat.

 

02. Heh sagung pra siswaningwang, kang samya dadi prajurit, aja wiyang ing wardaya, rehning wus sira lakoni, balik dipun nastiti, marang ing kawajibanmu, owelen sariranta, reksanen luhurmu sami, yen kuciwa weh alun alaning raga.

Wahai semua siswaku, semua yang menjadi prajurit, jangan susah dalam hati, karena sudah kamu niati, hendaknya kamu perhatikan, akan kewajibanmu itu, sayangilah dirimu, jagalah martabatmu, jika mengecewakan akan memperburuk diri.

 

03. Awit sira wus prasetya, nalika jununjung linggih, saguh nut anggering praja, myang pakoning narapati, sineksen den estreni, mring para wira sawegung, upama sira cidra, nyirnakke ajining dhiri, temah nistha weh wirang yayah rena.

Karena engkau sudah bersumpah, ketika diangkat diwisuda, bersedia tunduk kepada hukum negara, dan perintah sang raja, disaksikan dan dipegang teguh, oleh para prajurit semua, bila dirimu ingkar sumpah, sirnalah harga dirimu, lalu nista memalukan ayah bunda.

 

04. Ywa sira duwe pangira, lamun wong dadi prajurit, karyane abot priyangga, wruhanta sagung pakerti, kabeh donya puniki, tan ana prabedanipun, kang dagang neng lautan, miwah ingkang among tani, suwana kang suwita ing narendra.

Jangan engkau mengira, bila orang menjadi prajurit, tugasnya paling berat, ketahuilah semua pekerjaan, yang ada di dunia ini tak ada bedanya, yang berdagang di lautan, dan yang mengerjakan sawah, serta yang mengabdi kepada raja.

 

05. Myang kang tapa jroning guwa, kang manusup ing asepi, lakone padha kewala, awit iku dadi margi, mrih katekaning kapti, sapangkate pandumipun, nanging sarananira, mantep temen lan taberi, samektane ingaranan laksiparja.

Dan yang bertapa dalam goa, yang masuk dalam sepi, nilainya sama saja, karena itu menjadi jalan, agar cepat tercapai tujuannya, sesuai bagian pangkatnya, tapi prsyaratannya, mantap siap dan rajin, beginilah yang disebut perjuangan hidup.

 

06. Lawan sira sumurupa, kang kalebu pangabekti, nora sembahyang kewala, kang dadi parenging Widdhi, sakeh panggawe becik, kang manteb suci ing kalbu, uga dadi panembah, yen katrima iku sami, sinung rahmat samurwate badanira.

Dan hendaklah engkau tahu, yang termasuk dalam pegabdian, tidak hanya sembahyang saja, yang menjadi kehendak Tuhan, semua perbuatan baik, dilaksanakan dengan mantap, juga merupakan pengabdian/ibadah, bila semua itu diterima, mendapat rahmat bagi dirimu.

 

07.Lamun tan mawa sarana, paran katekaning kapti, lir mbedhag tanpa wisaya, sayektinira Hyang Widdhi, tan karsa mitulungi, marang wong kang datan laku, nir ngamal myang panembah, kumudu dipun turuti, ngendi ana Gusti wineh ing kawula.

Bila tidak menggunakan sarana, bagaimana mungkin akan tercapai, bagai berburu tanpa senjata, sesungguhnya Tuhan, tak hendak menolong, kepada orang yang tak berusaha, tanpa melaksanakan ibadah, minta dikabulkan maunya, mana ada Tuhan akan mengabulkan.

 

08. Kang mangkono andupara, lamun jinurung ing kapti, malah nandhang duka cipta, kasiku angreh Hyang Widdhi, marmanta sira sami, aja kasusu panggayuh, manawa durung ngrasa, duwe ngamal kang nlabeti, becik sira angona lakuning praja.

Yang demikian itu mustahil, bila dipaksakan juga, bahkan akan menemui derita, dikutuk oleh Tuhan, maka kalian semua, jangan tergesa-gesa berkeinginan, bila belum merasa, punya jasa yang cukup, baik mengikuti aturan negara.

 

09. Dene sira iku bagya, antuk kawiryawan mangkin, yektine katut prabawa, saking leluhurmu sami, nguni wus potang sakit, dadya ing kapenakipun, tumiba marang sira, murwa sukur ing Hyang Widdhi, tarimanen berkahing wong tuwanira.

Sesungguhnya kamu berbahagia, mendapatkan keluruhan sekaran, sungguh terbawa oleh pengaruhnya, dari leluhurmu semua, dahulu sudah berjuang, sekarang menjadikan kau enak, jatuh pada dirimu, bersyukurlah kepada Tuhan, terimalah berkah orang tuamu.

 

10. Jer janma kang wus minulya, lir wadhahe lenga wangi, utamane winantonan, gandane saya menuhi, nadyan ngisenan warih, lebating we maksih arum, kang mangka sudarsana, Jeng Gusti Pangeran Dipati, Harya Mangku Nagara ingkang kapisan.

Orang yang telah mulia, bagai wadah minyak wangi, kebaikannya akan semerbak, baunya semakin harum, meskipun diisi air, bekasnya itu masih berbau harum, yang demikianlah contohnya, Jeng Gusti Pangeran Adipati, Harya Mangkunagara yang pertama.

 

11. Duk babade murweng yuda, neng alas limalas warsi, sewu lara sewu papa, ngupaya mulyaning dhiri, antuk pitulungan Widdhi, katutugan karsanipun, mukti sawedyanira, tumerah dalah samngkih, buyut canggah kasrambah milu wibawa.

Ketika mulai berperang, di dalam hutan lima belas tahun, seribu sakit dan sengsara, mencari kemuliaan dirinya, mendapatkan pertolonga Tuhan, tercapai cita-citanya, mulia beserta seluruh pasukannya, berlanjut sampai kini, piut cicit ikut menikmati bahagia.

 

12. Iku ta kayektenira, pralambanging lenga wangi, upamane duk samana, tan antuk pitulung Widdhi, praptane jaman iki, tan ana caritanipun, marma den enget sira, aja ngaku angekoki, mung ngrasa lamun anempil wibawa.

Itulah buktinya yang nyata, sebagai lambang minyak wangi, apabila pada waktu itu, tak dapat pertolongan Tuhan, sampai saat ini pun, tak akan ada ceritanya, maka ingat-ingatlah selalu, jangan merasa paling berjasa, hanya merasalah ikut menikmatinya.

 

13. Mangkana gya winantonan, marang kang jumeneng malih, Jeng Gusti Pangeran Dipatya, Mangkunagara ping kalih, pinet sraya mring Inggris, amukul nagri Matarum, sabesahe kang praja, ginanjar sewu kang bumi, dadi tetep lenggah limang ewu karya.

Demikian pula yang sering dikata, pada yang baginda lainnya, Jeng Gusti Pangeran Dipati, Mangkunagara yang kedua, dimintai bantuan oleh Inggris, untuk menyerang Mataram, setelah berhasil, mendapat hadiah seribu karya, sehingga menjadi lima ribu karya.

 

14. Rambah sinaraya, marang Gubermen Walandi, mukul prang Diponegara, sarumpunge ing ajurit, ginanjar bumi malih, Sukowati limang atus, lan blanja saben wulan, mangka ingoning prajurit, patang ewu patang atus wolung dasa.

Yang kedua dimintai bantua, oleh Gubernur Belanda, melawan Pangeran Dipanegara, setelah selesai berperang, mendapat hadiah tanah lagi, Sukawati lima ratus karya, dan gaji setiap bulan, untuk bekal makan prajurit, empat ribu empat ratus delapan puluh.

 

15. Prapta panjenenganira, Jeng Gusti Pangeran Dipati, Mangkunagara pit tiga, ing drajat pinrih lestari, mangun harjaning budi, mring Gupermen tyas sumungku, ginanjar kang bandera, lan mariyem kalih rakit, iku mangka tandhaning sih pinarcaya.

Sampailah beliu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, Mangkunegara yang ketiga, untuk mendapat melestarikan kedudukan, membangun kebahagian diri, tunduk kepada Gubernur, dihadiahi bendera, dan meriam dua pasang, itulah bukti mendapat kepercayaan.

 

16. Kepriye yen sira ngrasa, antuk kalawan pribadi, dadi mungkir jenengira, kaciren lair myang batin, ginayuywng sesami, lupute gonira ngaku, langguk piyangkuh nira, kasiku marang Hyang Widdhi, dadi tuna duwe turun kang mangkana.

Bagaimana bila kamu merasa, mendapatkan hasilmu sendiri, menjadikan kamu mengingkari, dicela lahir dan batin, ditertawakan oleh sesama, salah karena mengaku, sombang dan jumawalah dirimu, dikutuk oleh Tuhan, rugilah mempunyai anak demikian.

 

17. Lamun yekti saking sira, pribadi tandhane endi, apa wus munjuli sira, marang samaning dumadi, saking ing krama niti, lawan apa wus misuwur, ing guna prawiranta, kang kanggo marang nagari, baya durung lir lakone luhure.

Bila benar dari karyamu sendiri, mana sebagai tandanya, apakah kamu sudah paling baik, dibanding sesama yang lain, dari sopan santun, dan apakah kamu sudah terkenal, atas kepandaian dan keberanianmu, yang berguna bagi negara, tentu belum menyamai leluhurmu.

 

18. Pira bara sira bisa, ngupure darajat malih, dadi janget kinatigan, dadi santo seng wuri, tumurun marang siwi, sokur bisa prapteng putu, milu tampa kawiryan, yogyane angkahen kaki, ra orane aja punggel saking sira.

Lebih baik kamu bisa, memupuh kedudukan lagi, menjalin tali agar lebih kuat, hingga dapat diwariskan nanti, diturunkan kepada anak, syukur dapat sampai ke cucu, ikut merasakan kenikmatanya, baik usahakanlah selalu, paling tidak janganlah memutuskan.

 

19. Lamun drajat kalakona, punggele saking sireki, dadi sira nganiaya, marang darahmu pribadi, tan kendel ingkang wuri, dhapur kapotangan laku, salagi tembe bisa, antuk kang darajat malih, sasambungan yekti becik kang widada.

Bila derajat tercapai, tapi kau putuskan, jadi kamu menyengsarakan, kepada keturunamu sendiri, tidak tebal di belakang, karena kehilangan perjuangan, seandainya dapat kelak, memperoleh kedudukan lagi, hubungannya lebih baik lestari.

 

20. Upama nora punggele, jer nora ngupaya malih, yen wus punggel nadyan sira, semedi ing saben ratri, antuke durung mesthi, tiwas angengecer laku, marma den enget sira, sajrone lumakyeng kardi, pangreksamu ing drajat aywa pepeka.

Seandainya tidak putus, bila tidak mencari lagi, sudah putus meski kamu, berdoa setiap hari/malam, belum tentu akan berhasil, percuma membuang-buang tenaga, maka ingatlah selalu, selama melaksanakan tugas, jagalah pangkatmu jangan lupa.

 

21. Dene jejring wandanta, ing mangko dadi prajurit, maju baris lawan jaga, teori lesan sepeksi, iku dudu pakarti, ajar-ajar jenengipun, wus dadi wajibira, prajurit dipun geladhi, papadhane santri ingajar sembahyang.

Sedangkan dirimu adalah, sekarang menjadi prajurit, maju baris dan berjaga-jaga, teori lisan dan pemeriksaan, itu bukanlah perjuangan, itu belajar namanya, sudah menjadi kuwajibanmu, prajurit itu dilatih, sama halnya santri belajar sembahyang.

 

22. Sinung ukum sawatara,yen nglirwakken marang wajib, iku wus lakune praja, jejege kalawan adil, sanadyan liyan janmi, duk neng yayah renanipun, yen luput rinengonan, utawa den jemalani, dadi iku wineruhken tat krama.

Mendapat hukuman sedikit, bila melalikan tugas, itu sudah menjadi hukum negara, dilaksanakan dengan adil, walaupun orang lain, ketika di pangkuan ayah ibunya, bila salah juga dimarahi, atau dipukuli, agar tahu akan tata krama.


23. Mangkono uga yen bisa, miturut sarta ngakoni, temtu den opahi uga, wit gawe leganing ati, akeh tuwin sathithik, minurwat lan karyanipun, tan beda patrapira, prajurit jinunjung linggih, myang ingundur iku adil jenengira.

Demikian pula bila bisa, patuh dan mengakui, tentu juga mendapat hadiah, karena telah melegakan hati, banyak dan sedikit, sesuai dengan hasil kerjanya, tidak berbeda dengan perilaku, prajurit yang sudah diangkat, dan dipecat itu adil namanya.

 

24. Yen tan bisa samektanya, nora jumeneng prajurit, gawe tuna marang praja, weh lingeseming narapati, amung sira pribadi, kang sdhuwurken ing piyangkuh, mung lagi bisa aba, anggepmu mbutuhken nagri, ywa kebanjur duwe cipta kang mangkana.

Jika tak dapat siaga, tak dapat dikatakan prajurit, merugikan kepada negara, menyebabkan malu sang raja, hanya kamu sendiri, yang meninggikan kesombongan, hanya baru dapat memberi aba-aba, anggapanmu sudah dibutuhkan negara, jangan terlanjur berpikiran demikian.

 

25. Wruhanta lalakonira, sajatine wus angemping, mring praja miwah Narendra, dene durung potang kardi, sira wus den paringi, sandhang pangan nora kantu, sinuba kinurmatan, ounjul sasamaning abdi, mangsa kala linilan lungguh satata.

Ketahuilah bahwa hidupmu, sesungguhnya sudah berhutang, kepada negara dan raja, karena belum memberikan karya, kamu sudah diberi, sandang pangan tidak terlambat, dihormati dan dielu-elukan, melebihi sesama abdi, kadang-kadang diijinkan duduk sejajar.

 

26. Apa kang sira upaya, kamulyan aneng nagari, ingajenan mring sasama, nyawabi mring sasama, nyawabi mring anak rabi, nadyan para maharsi, ingkang tapa neng ngasamun, mong tani lan nangkoda, rinewangan anderpati, nora liyan kamulyan kang den upaya.

Apa yang engkau cari, kemuliaan di pemerintahan, dihormati oleh sesama, mencukupi kebutuhan anak istri, sama pula para pendeta, yang bertapa di tempat sepi, kaum tani dan nahkoda, berjuang mati-matian, tidak lain kemuliaan yang dicarinya.

 

27. Upamane raganira, nora dadia prajurit, iya misih mangan sega, apa dene minum warih, saking wetuning bumi, uga kagungan ing ratu, lan sira ingayoman, rineksa kalawan adil, lamun datan rumasa sira duraka.

Misalnya dirimu, tidak menjadi prajurit, bisa juga makan nasi, dan minum air, dari hasil bumi, juga mempunyai raja, dan engkau dilindungi, dijaga dengan adil, jika tak merasa maka engkau durhaka.

 

28. Marma den sumurup sira, mring sih kamulaning Gusti, benjang yen tinuduh sira, lumawat ngadoni jurit, yeku karyanta yekti, pangudangireng Gustimu, kono aja pepeka, den madhep marang sawiji, nanging cipta sedyakna males mring praja.

Maka hendaklah engkau tahu, akan cinta kasih sang raja, kelak bila kau ditunjuk, untuk berangkat perang, itulah sesungguhnya tugasmu, yang didambakan rajamu, kamu janganlah ragu, pusatkanlah dalam satu hal, tekad untuk berbakti kepada negara.

 

29. Prapteng papan cumadhonga, ing printah senapati, aja abawa priyangga, dumeh sira bandha wani, lumangkah mring ngulabi, kang mangkono sasat mungsuh, gawe guguping rowng, weh gidhuhing senapati, yen kasora dadi sira antuk dosa.

Sesampai di medan bersipalah, menerima perintah sang hulubalang, jangan berbuat sendiri, merasa dirimu pemberani, bertindak melebihi batas, yang demikian merupakan musuh, menjadikan rekan gugup, membingungkan sang hulubalang, bila kalah engkau akan berdosa.

 

30. Lungguhing para prawira, yen ana madyaning jurit, nora wenang duwe karsa, ragane pama jemparing, kang mesthi senapati, ing sakarsa kang pinanduk, linepas ywa saranta, angsahira den mranani, marang mungsuh aja keguh ing bebaya.

Sebagaimana para perwira, bila sedang di dalam peperangan, tidak berhak berkehendak, tubuhnya ibarat anak panah, yang berhak sang hulubalang, yang berhak memegangnya, melepas jangan terburu, bertugas dengan senang, melawan musuh jangan takut akan bahaya.

 

31. Den kadi Partasuta, Bimanyu kala tinudhing, mangurah kang gelar cakra, dening sang Yudhistira Ji, sukaning tyas tan sipi, dupi rinoban ing mungsuh, kesthi trahing satriya, wedi wirang wani mati, yeka mangka tamsiling para prawira.

Jadilah seperti putra sang Parta, Abimanyu ketika ditunjuk, menggempur musuh bersiasat cakra, oleh sang Yudhistira, hatinya amat gembira, ketika dikepung musuh, tampak jiwa ksatrianya, takut malu berani mati, itulah sebagai teladan para perwira.

 

32. Kono sedhenge medharna, ing kasuran guna sekti, nyimakna paningalira, ing tekad ywa walang ati, wruhanta senapati, wakiling Gusti satuhu, Gusti wakiling suksma, kang kinon, ngudaneni, mring kawula kang sumedya mrih utama.

Itulah saat untuk membuktikan, segala keberanian dan kesaktian, tutupilah matamu, dengan tekat jangan khawatir, ketahuilah bahwa senapati, sebagai wakil rajamu, rajamu sebagai wakil Tuhan, yang ditugaskan memperhatikan, kepada umat yang berjuang demi mulia.

 

33. Padha ingaran utama, ing pakaryan mangun jurit, iku kang luhur priyangga, wus kasebut kanan sruti, yen tapaning prajurit, ngasorken tapaning wiku, wit sumungkuning puja, neng pucuking gunung wesi, sang pandhita neng pucuking kang aldaka.

Sama-sama disebut mulia, dalam tugas melaksanakan perang, itu yang paling luhur, sudah disebut dalam sruti, bahwa bertapanya seorang prajurit, mengalahkan bertapanya seorang pendeta, karena tempat bertapanya, di ujung senjata besi, sang pendeta di ujung / pucuh gunung.

 

34. Ing tekad dipun santosa, aja angrasani pati, apan tan minenang sira, gumamntung karsaning Widdhi, yen wis tibaning pasthi, nora pilih marganipun, ala mati neng wisma, becik mati kang utami, tur sumbaga dadi ngamale trahira.

Dalam tekat harus kuat, jangan membicarakan kematian, karena kamu tidak berhak, terserah kehendak Tuhan, bila sudah saatnya, tidak memilih cara, jelek mati di rumah, baik mati yang utama, dan baik menjadi amal keturunanmu.

 

35. Wus ana keyektenira, sang Partasuta ing nguni, palastra aneng palagyan, lawan lagawaning pati, wit dennya anglabuhi, Pandhawa manggiha unggul, puwarantuk nugraha, sira wau Partasiwi, turunira angratoni tanah Jawa.

Sudah ada buktinya, sang putra Parta dahulu, gugur di medan perang, dengan senang hati, dari sebab dia membela, agar Pandawa menjadi unggul, akhirnya mendapat anugrah, sang putra Parta itu, keturunannya menjadi raja Jawa.

 

36. Lamun durung takdirira, nadyan ana hru sakethi, yen tan waswas ing wardaya, sayekti nora ngenani, amung sajroning jurit, aja sira darbe kayun, ing lair amanuta, ing sakarsa senapati, batinira kumambanga ing wisesa.

Bila belum takdirmu, meski ada seratus ribu panah, bila tidak khawatir dalam hati, tentu tidak akan terkena, hanya di dalam perang janganlah engkau memiliki kehendak, turuti perintah, apa yang dikehendaki panglima, hatimu harus tertuju kepada Tuhan.

 

37. Ri sedheng nen bayantaka, kalamun ana kang weri, nungkul wus mbuwang palastra, nora wenang den pateni, binandhang iku wajib, yen ngantia nemu lampus, tetep nistaning prajurit, nemu dosa temah apesing ayuda.

Di saat terkepung bahaya mati, bila ada yang menjadi musuh, menyerahkan dan membuang nyawanya, kamu tak berhak membunuhnya, tawanlah dan itu wajib, bila sampai enemui ajalnya, sama dengan menyiksanya, membuat nista prajurit, menanggung dosa sehingga kalah perang.

 

38. Mangkono priyangganira, yen kaselut ing ngajurit, aja gugup den prayitna, ing tekad dipun pratitis, awit wong murweng jurit, ana papangkatanipun, nistha madya utama, yen kober dipun engeti, kanisthane wong kaselut neng ranangga.

Demikianlah pula halnya dirimu, bila terdesak di dalam peperangan, jangan gugup hati-hatilah, tekatmu harus terpusat, sebab menjadi soerang prajurit, ada batas-batasnya, nista menengah dan luhur, bila sempat diingat, kehinaannya orang terdesak di peperangan.

 

39. Ing papa nora kuciwa, gegaman samekta sami, atandhing padha kehira, tanpa kiwul ing ajurit, tangeh ana pepati, myang tanana nandhang tatu, mundur tanpa lasaran, mung labet kekesing ati, kang mangkono antuk dosa tri prakara.

Di tempat yang tidak menyulitkan, senjata tersedia semua, berperang sama banyaknya, tanpa menyerang berperang, tak akan ada kematian, mundur tanpa dasar kuat, hanya karena merasa takut, itu akan mendapat dosa tiga hal.

 

40. Dhihin marang ing Narendra, denira cidra ing janji, kapindho ngasorken praja, kang mulyakken marang dhiri, katri marang Hyang Widdhi, ngukuhi gadhuhanipun, kokum pantes linunanas, padhane sato wanadri, yen janmaa pasthi ana tekadira.

Pertama dosa kepada raja, karena telah mengingkari sumpah, kedua menghinakan negerinya, yang telah memuliakan dirinya, ketiga berdosa kepada Tuhan, mempertahankan miliknya saja, pantas dihukum mati, dibunuh seperti binatang, bila manusia tentu ada tekatnya.

 

41. Nadyan para prawira, yen kaseser ing ngajurit, nadyan keh kedhike padha, kasor papane sasupit, mundur amrih pakolih, ing pangolah nora gugup, sarana winiweka, kaangkah dennya mangungkih, yen sinerang rikat rinukat marwasa.

Meskipun seorang perwira, bila terdesak dalam perang, meski jumlahnya sama, kalah karena salah siasat, mundur agar berhasil, dalam pemikiran tidak gugup, karena dengan pemikiran cermat, bertujuan untuk menyerang balik, bila diserang lekas membalas.

 

42. Utaminireng prawira, sanadyan karoban tandhing, tatag tur simpen weweka, wengkoning papan tiniling, linanglangan kang weri, endhi kang suda ing purun, pinaran pinarwasa, winisesa amrih titih, estu jaya sadaya samya raharja.

Seorang prajurit pemberani, meskipun terdesak musuh, tabah dan menyimpan siasat, memperhatikan keadaan medan, perhatikan musuh, mana yang berkurang kekuatannya, dihampiri untuk diserang, digempur agar menyerah, pasti menang semua akan selamat.

P A N G K U R

01. Kapungkur patraping bala, ginantyakken lungguhing senapati, ingkang sinerahan wadya gung, dening jeng nareswara, kinen matah saprayoginireng wadu, kinarya rumekseng praja, denira ngupaya janmi.

Sudah dibahas perihal tugas prajurit, sekarag dibahas kedudukan Panglima, yang bertugas memimpin pasukan, atas perintah sang raja, untuk memimpin bagaimana baiknya, bertugas menjaga negara, untuk mencari sosoknya.

 

02. Ywa tinggal pitung prakara, mrih utama adegireng prajurit, kang dhihin nalurinipun, tan kena trahing sudra, kapindhone bumi kalahiranipun, kang maksih tunggal sapraja, katri tanpa cacad dhiri.

Jangan lupa akan tujuh hal, agar baiknya para prajurit, yang pertama garis keturunannya, jangan berasal dari orang hina, kedua bumi kelahirannya, masih termasuk wilayah negaranya, ketiga tidak memiliki cacat tubuh.

 

03. Papat otot balungira, ingkang tigas lima tanpa panyakit, enem sawang sawungipun, pitu kang datan darwa, pakareman kang mlarati, raganipun, marma milih kang mangkana, wateke wantaleng kardi.

Keempat adalah oto tubuhnya, yang gagah kelima tak berpenyakit, keenam dirinya tampak jantan, ketujuh tidak memiliki kegemaran, kesukaan yang merugikan dirinya, pilihlah yang demikian, berwatak suka bekerja.

 

04. Sawuse pamilihir, pamintane mring wong sawiji-wiji, pinantes cekelanipun, rujuke lan sarira, pangulahe warastra ywa kongsi rikuh, rikate dennya marwasa, myang panangkis amrih titih.

Setelah pemilihan tersebut, ditanya kepada masing-masing, disesuaikan dengan tugasnya, menurut kekuatan raganya, menggunakan senjata janganlah canggung,cepat dalam penyerangan, dan bertahan agar menang.

 

05. Wong kang sedheng dedegira, aparigel tuwin kang andhap alit, akas cukat tandangipun, iku sinung sanjata, watak nora kewran sabarang pakewuh, mudhun jurang munggah arga, aluwes tur mitayani.

Orang yang sedang tingginya, cekatan dan pendek kecil, lincah gerakannya, dia berilah senjata, dia tak akan kesulitan di segala medan, turun jurang naik gunung, luwes dan meyakinkan.

 

06. Wong kang lencir dedegira, kurang tandang aropek ingkang dhiri, iku cinekelan lawung, jangkah dhepane dewa, watak corok alantaran silih panduk, lumpat jagang pasang andha, angunggahi baluwarti.

Orang yang kurus tubuhnya, kurang lincah dirinya itu, berilah dia tombak, langkah dan jangkauannya panjang, dia cocok karena dapat ditugaskan, melompat dan memasang tangga, untuk memasuki benteng kerajaan.

 

07. Wong sadhepah dedegira, kang pawakan otot balung kawijil, mariyem cekelanipun, amolahaken rosa, nadyan kembel kebldher kuwawa njunjung, wateke nggenteni kardi.

Orang yang tinggi kekar, yang otot dan tulangnya menyembul, cocok diberi senjata meriam, dia kuwat menggerakkan, meski terperosok mampu mengangkat, bila kudanya hancur, dia menggantikannya.

 

08. Wong gung luhur kang sembada, iku pantes karya wadya turanggi, agampang panitihipun, klar nyembadani kuda, nangkis rosa medhang mring pratala gaduk, silih rog amigunani.

Orang tinggi besar yang gagah, dia pantas dijadikan pasukan berkuda, mudah mengendarai kuda, mampu mengendalikan kudanya, kuat menangkis menyerang dan ke tanah, bila bertemu dengan sesama berkuda, dia mampu mengimbanginya.

 

09. Dene wong kang mandraguna, kinaryaa margangsa juru margi, myang rerakit kuwu-kuwu, kalamun aneng teba, lawan beteng kareteg sasaminipun, kang tan kewran ing pangreka, memenek lan bisa ngalangi.

Sedang orang yang pandai, jadikanlah dia pencari jalan, dan membuat kubu-kubu, bila berada di luar daerah, serta benteng jembatan dan sebagainya, dia tak akan mengalami kesulitan, memanjat dan dapat berenang.

 

10. Yogyane malih ngumpulna, para tukang kang kanggo mring prajurit, gerji lawan tukang puntu, karya busana wastra, tukang nyamak penjahit pakaryanipun, parabot kang bangsa carma, tukang tapel lawan nyinggi.

Sebaiknya juga mengumpulkan, para tukang yang berguna bagi prajurit, penjahit dan tukang busana, untuk membuat pakaian, tukang menyamak kulit tugasnya, merawat peralatan dari kulit, tukang tapal kuda dan tukang mencetak logam.

 

11. Sayang lan tukang marakas, miranteni bekakasing prajurit, pandhe miwah tukang kayu, mranggi lawan kemasan, ingkang karya gegamaning aprang pupuh, sadaya dipun samekta, rehning rumeksa prajurit.

Tukang tembaga dan tukan intan, menyediakan perkakas prajurit, pandai besi dan tukang kayu, pembuat kerangka keris dan ahli emas, yang menyediakan senjata untuk perang, semuanya disiapkan, demi keselamatan prajurit.

 

12. Liya kang wus kanggweng wadya, aja sepi andhungan tikel kalih, gegaman saprantinipun, tuwin busana wastra, obat mimis kang cukup den anggo nglurug, awit rumeksa ing praja, tan wruh sangkaning bilai.

Selain itu kebutuhan prajurit, jangan lupa berbekal dua kali lipat, senjata dang perangkatnya, dan busana pakaiannya, peluru yang cukup untuk menyerang, karena menjaga negara, tidak tahu datangnya bencana.

 

13. Riwus ing pamintarnira, lan piranti kang kanggo ing prajurit, mangkana pangreksanipun, dipun titi ing bala, sandhang pangan ing saari aywa kantu, suker sakit kinawruhan, den bisa ngenaki kapti.

Sesudah semua kebutuhan, dan perkakas yang digunakan prajurit, hendaklah dirawat sebaik-baiknya, diteliti oleh pasukan itu, bekal makana sehari jangan sampai kekurangan, yang sakit harus segera dirawat, agar senang hatinya.

GambarGambar

14. Ywa pegat pamulangira, saniskara wajibireng prajurit, weruhna sadurungipun, nistha madya utama, myang papacak pacuhan kang wus tinamtu, dununge sawiji-wiji.

Jangan lupa mengajarkan, segala kewajiban prajurit, tunjukkan sebelumnya, nista madya lan utama, dan larangan-larangan yang tertentu, yang untuk prajurit, berlaku untuk mereka masing-masing.

white-rose——————————–
Alang Alang Kumitir.

serat kalatida

SERAT KALATIDA

Sinom
1. Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaturi
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun kala tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda

Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot.
Situasi (keadaan tata negara) telah rusah, karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi.
Sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah/aturan-aturan lama.
Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan).
Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan.

2. Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Paranedene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angrebedi
Beda-beda ardaning wong saknegara

Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik,
Patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik,
namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan.
Oleh karena daya jaman Kala Bendu.
Bahkan kerepotan-kerepotan makin menjadi-jadi.
Lain orang lain pikiran dan maksudnya.

3.Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka

Waktu itulah perasaan sang Pujangga menangis, penuh kesedihan,
mendapatkan hinaan dan malu, akibat dari perbuatan seseorang.
Tampaknya orang tersebut memberi harapan menghibur
sehingga sang Pujangga karena gembira hatinya dan tidak waspada.

4.Dasar karoban pawarta
Bebaratun ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yan pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu lali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka

Persoalannya hanyalah karena kabar angin yang tiada menentu.
Akan ditempatkan sebagai pemuka tetapi akhirnya sama sekali tidak benar,
bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali.
Sebenarnya kalah direnungkan, apa sih gunanya menjadi pemuka/pemimpin ?
Hanya akan membuat kesalahan-kesalahan saja.
Lebih-lebih bila ketambahan lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan.

5. Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhuk angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna

Menurut buku Panitisastra (ahli sastra), sebenarnya sudah ada peringatan.
Didalam jaman yang penuh kerepotan dan kebatilan ini, orang yang berbudi tidak terpakai.
Demikianlah jika kita meneliti. Apakah gunanya meyakini kabar angin akibatnya hanya akan menyusahkan hati saja. Lebih baik membuat karya-karya kisah jaman dahulu kala.

6. Keni kinarta darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-Puluh anglakoni kaelokan

Membuat kisah lama ini dapat dipakai kaca benggala,
guna membandingkan perbuatan yang salah dan yang betul.
Sebenarnya banyak sekali contoh -contoh dalam kisah-kisah lama,
mengenai kehidupan yang dapat mendinginkan hati, akhirnya “nrima”
dan menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan.
Yah segalanya itu karena sedang mengalami kejadian yang aneh-aneh.

7. Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada

Hidup didalam jaman edan, memang repot.
Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman
tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan.
Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada.

8. Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

Yah segalanya itu sebenarnya dikarenakan keinginan hati. Betul bukan ?
Memang benar kalau ada yang mengatakan demikian.
Namun sebenarnya didalam hati repot juga. Sekarang sudah tua,
apa pula yang dicari. Lebih baik menyepi diri agar mendapat ampunan dari Tuhan.

9.Beda lan kang wus santosa
Kinarilah ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ikhtiyar

Lain lagi bagi yang sudah kuat. Mendapat rakhmat Tuhan.
Bagaimanapun nasibnya selalu baik.
Tidak perlu bersusah payah tiba-tiba mendapat anugerah.
Namun demikian masih juga berikhtiar.

10. Sakadare linakonan
Mung tumindak mara ati
Angger tan dadi prakara
Karana riwayat muni
Ikhtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma

Apapun dilaksanakan. Hanya membuat kesenangan pokoknya tidak menimbulkan persoalan.
Agaknya ini sesuai dengan petuah yang mengatakan bahwa manusia itu wajib ikhtiar,
hanya harus memilih jalan yang baik.
Bersamaan dengan usaha tersebut juga harus awas dan
waspada agar mendapat rakhmat Tuhan.

11. Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan

Ya Allah ya Rasulullah, yang bersifat murah dan asih,
mudah-mudahan memberi pertolongan kepada hambamu disaat-saat menjelang akhir ini.
Sekarang kami telah tua, akhirnya nanti bagaimana.
Hanya Tuhanlah yang mampu menolong kami.

12. Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruraha
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat sih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya

Mudah-mudahan kami dapat sabar dan sentosa,
seolah-olah dapat mati didalam hidup.
Lepas dari kerepotan serta jauh dari keangakara murkaan.
Biarkanlah kami hanya memohon karunia pada MU agar mendapat ampunan sekedarnya.
Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami.

==========================================

PUJANGGA R. Ng. Ronggowarsito

R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal. Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.

Menjelang dewasa (1813 Masehi), ia pergi berguru kepada Kyai Imam Besari dipondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab selama berguru itu sepenuhnya diserahkan pada Ki Tanudjaja. Ternyata telah lebih dua bulan, tidak maju-rnaju, dan ia sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya. Disamping itu, Bagus Burham di Panaraga mempunyai tabiat buruk yang berupa kesukaan berjudi. Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2 (dua) kudanyapun telah dijual. Sedangkan kemajuannya dalam belajar belum nampak., Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong yang selalu menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu. Akhirnya Bagus Burham dan Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun atas petunjuk Ki Ngasan Nga1i, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup menunggu kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, karena sang Adi pati akan mampir di Madiun dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta.

Mas Rangga Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan Raden Ajeng Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata. Perkawinan dilaksanakan di Buminata. Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun. Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam hal ini Ki Tanudjaja ikut serta. Setelah berbakti kepada mertua, kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, beliau berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.

Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat pada tanggal 21 April 1844, R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1845. Pada tahun ini juga, Ranggawarsita kawin lagi dengan putri RMP. Jayengmarjasa. Ranggawarsita wafat pada tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal 24.


serat tripama

Mangkunegara Iv
Serat Tripama

Bait 01

Yogyanira kang para prajurit, lamun bisa sira anuladya, duk ing nguni caritane, andel ira Sang Prabu Sasrabahu ing Maespati, aran patih Suwanda, lalabuhanipun, kang ginelung triprakara, guna kaya purun ingkang den antepi, nuhoni trah utama”.

Wahai semua prajurit, contohlah segala tingkah laku, kesetiaan dan ketaatan seorang senopati bernama Suwanda yang sangat dibanggakan, oleh sang Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati, yang mencakup tiga soal.

Pertama “Kepandalan (ilmu)”; Kedua “Kekayaan akan akal”, pikiran dan siasat peperangan dan Ketiga “Kebenaran” yang penuh dengan semangat patriotik; inilah yang disebut manusia utama.

Bait 02.

Lire lalabuhan triprakawis, guna bisa sanes kareng karya, binudi dadya unggule, kaya sayektinipun duk bantu prang Manggada nagri, amboyong putri damas katur ratunipun, purune sampun tetela, aprang tanding lan ditya Ngaka nagri, Suwanda mati ngrana.

Adapun yang dimaksud dengan tiga contoh pengabdian tersebut, adalah guna (berarti) dapat melaksanakan segala hal, dan diusahakan menjadi keunggulannya, kaya (berarti) ketika (membantu) melakukan perang ke negara Magada, dan berhasil memboyong/merebut putri domas (Citrawati dan 800 pengiringnya) untuk dipersembahkan kepada rajanya dan purun/berani/kemauan adalah seperti tampak jelas di kala dengan gagah berani perang melawan raksasa (Rahwana) dari negri Alengka, dan Sumantri gugur dalam medan perang.

Bait 03

Wonten malih tuladan prayogi, satriya guna nagri ing Ngalengka, Sang Kumbakarna arane, tur iku warna diyu,suprandene nggayuh utami, duk wiwit prang Ngalengka, dennya darbe atur, Mring raka amrih raharja. Dasamuka tan kengguh ing aturyekti, mengsah wanara.

Ada lagi teladan yang patut dicontoh, seorang ksatria agung dari negeri Alengka, bernama Kumbakarna, walaupun ia berwujud raksasa, namun berbudi utama (luhur), sejak perang Alengka, ia selalu mengingatkan kepada kakaknya demi keselamatan negara, namun Rahwana tidak mau berubah pendiriannya untuk melawan prajurit kera.

Bait 04

Kumbakarna kinon mansah jurit, mring kang raka sira tan lenggana, nglungguhi kasatriyane, ing tekad datana sujud, amung cipta labuh nagari, lan noleh yayah rena nyang leluhuripun, wus mukti haning Ngalengka mangke, arsa rinusak ing bala kapti punagi mati ngrana”.

Kumbakarna setelah, mendengar perintah dari kakaknya, untuk melawan musuh yang menyerang negaranya, berangkat tanpa mendak karena memegang teguh sifat keksatriaannya, walaupun di dalam hatinya sesungguhnya tidak setuju akan perbuatan kakaknya yang salah, tetapi dia tetap berangkat ke medan perang dengan maksud untuk membela negara, keluhuran keluarga, leluhurnya dan bangsanya. Maka ia bersemboyan lebih baik mati dalam medan peperangan dari pada hidup mewah di Alengka tetapi (di rusak) prajurit kera.

Bait 05

Wonten malih kinarya palupi, Suryaputra narpati Ngawangga, lan Pandawa tur kadange len yayah tunggil ibu suwita mring Sri Kurupati, nagri Ngastina kinarya gul agul, manggala golonganing prang, Bratayuda ingadeken sepopati, ngalaga ing Kurawa.

Adalagi teladan yang pantas dicontoh, Suryaputra seorang Narpati dari Awangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi kepada Prabu Kurupati dari negeri Astina sebagai agul-agul (benteng), panglima perang, dalam perang Bratayuda menjadi senopati (perang) untuk membela Kurawa.

Bait 06

Den mungsuhken kadange pribadi, aprang tanding lan Sang Dananjaya, Sri Karna suka manahe, dene nggenira pikantuk, marga denya arsa males sih-ira Sang Duryudana, marmanta kalangkung, denya ngetok kasudirane, aprang rame Karna mati jinemparing, sembaga wiratama.

Sang Karna gembira mendengar perintah rajanya yang melawan saudaranya sendiri berperang dengan Sang Arjuna, karena inilah satu-satunya jalan untuk dapat membayar budi, rajanya yang telah memberi derajad, pangkat, kenikmatan duniawi, maka berangkatlah dengan kekuatan yang ada kemedan pertempuran guna menunaikan tugas senapatinya dan akhirnya Adipati Karna gugur dalam medan pertempuran sebagai perwira utama”.

Bait 07

Katri mangka sudarsaneng jawi, pantes agung kang para prawira, amirata sakadare, ing lelabuhanipun, hawya kongsi buang palupi, manawa tibeng nista, ina estinipun senadyan tekading budya, tan prabeda budi panduming dumadi, marsudi ing Kautaman.

Bait 08

Ketiga contoh itu merupakan teladan di jawa, yang pantas jikalau semua para prajurit dapat menghayati sekuasanya, dalam pengabdiannya terhadap (kerajaan), jangan sampai melalaikan contoh-contoh baik, jika jatuh kelembah nista, hina, kemauannya; walaupun sentausanya budi tidak ada lain hendaknya berusaha sesuai dengan harkat hidupnya, berusaha dalam keutamaan.